Silsilah Pembelaan Terhadap Al Ustadz Dzulqarnain (1): Cara Menyikapi Jarh Global Dari Seorang Ulama Yang Diakui Keilmuannya

Bismillahirrohmanirrohim. o

Sisilah dzulqarnain 1

SILSILAH PEMBELAAN TERHADAP AL USTADZ DZULQARNAIN (1):

CARA MENYIKAPI JARH GLOBAL DARI SEORANG ULAMA YANG DIAKUI KEILMUANNYA 

Seperti telah kita ketahui bahwa pasca turunnya tahdzir Asy Syaikh  Rabi’, Asy Syaikh Muhammad bin Hadi & Asy Syaikh Abdullah Al Bukhary hafizhahumullah terhadap Al Ustadz Dzulqarnain maka barisan pembebek beliau melakukan berbagai cara dan gaya dalam upayanya untuk menolak, membatalkan, memandulkan serta melecehkan tahdziran tersebut terhadap para ulama serta asatidzah yang menyampaikannya kepada umat bahkan menunggu kematian Asy Syaikh Rabi’, Allahul musta’an.

IMG-20141003-WA0002

Diantara syubhat terkini yang dilancarkan oleh para fanatikus pembela Al Ustadz Dzulqarnain adalah tuduhan bahwa asatidzah (& masyaikh) yang menyampaikan tahdziran ulama dijuluki secara keji sebagai TUKANG OPLOS FATWA!!
Tidak ada larangan dari Masyaikh untuk belajar menuntut ilmu kepada Al Ustadz Dzulqarnain (yang telah dijarh secara rinci, mufassar) teriak pembelanya. Jadi walaupun Al Ustadz Dzulqarnain telah dijarh secara keras sebagai La’ab, Mutalawwin, Makir yang mengikuti thariqahnya mubtadi’ Ali Hasan Al Halaby (dengan bukti rincian kejahatan-kejahatan beratnya) namun demikian mereka menolak keras konsekwensi tahdziran terhadapnya, yakni tetap boleh belajar menuntut ilmu dari beliau, Allahul musta’an.

Maka tak heran jika dari barisan-barisan semacam ini akhirnya bermunculan pendusta-pendusta Makir sebagai hasil transformasi ilmu MLM dari guru yang dibelanya. Allahul musta’an.

Dalam kesempatan ini kami akan tampilkan penjelasan Asy-Syaikh Nazar bin Hasyim Al-Abbas hafizhahullah terkait orang-orang yang ditahdzir secara global (dan apalagi jika ditahdzir secara rinci sebagaimana yang terjadi terhadap  al Ustadz Dzulqarnain hadahullah) berikut konsekwensi sebagai akibat dari tahdziran global tersebut aebagai hujjah untuk membungkam para pembebek fanatik Al Ustadz Dzulqarnain yang menolak larangan menuntut ilmu kepadanya.

Pertanyaan:

Apa yang sepantasnya kita lakukan ketika menjumpai jarh yang tidak terperinci dari seorang ulama yang mulia terhadap salah seorang syaikh yang kita menilainya di atas kebaikan? Apakah kita berhenti (tidak belajar kepadanya –pent) secara langsung ataukah kita menunggu perincian sebelum menghentikan mendengar ilmu darinya?

Jawaban:

Jika jarh tersebut berasal dari seorang yang diakui keilmuannya, tsiqah, mulia, dan tinggi kedudukannya, seperti Asy-Syaikh Al-Allamah Rabi’ bin Hady, Asy-Syaikh Al-Allamah Ubaid Al-Jabiry, Asy-Syaikh Al-Allamah Muhammad bin Hady, Asy-Syaikh Abdullah Al-Bukhary, dan para ulama yang lain, maka berhenti (dari mengambil ilmu pihak yang dijarh –pent) dan menjauhi adalah sikap yang lebih utama dan berhati-hati, ini demi untuk menjaga agama.

Hal itu karena pihak yang menjarh –sebagaimana yang telah diketahui– bisa jadi dia mengetahui perkara yang tersembunyi yang cukup untuk menjatuhkan dan bisa sebagai alasan untuk menjarh, lalu dia mentahdzir dengan sebab tersebut secara umum tanpa perincian, bukan karena tidak adanya perkara yang perlu dirinci, tetapi karena ada faktor-faktor lain yang bisa dicari, seperti butuhnya tambahan pembahasan secara lebih mendalam dan menelusurinya.

Atau jarh tersebut muncul karena hal yang sifatnya menjatuhkan muru’ah atau kehormatan yang khawatir dilanggar sehingga perlu untuk ditutupi, jika pihak yang dijarh tersadar darinya dan kemungkinan bisa diharapkan taubatnya, atau dia masih terus dinasehati. Maka termasuk sifat amanah dan khawatir akan membahayakan para pemuda kaum Muslimin, pihak yang pengkritik dan ahli dalam bidangnya mentahdzir secara umum dan global, dalam rangka menjaga maslahat umum yang dikedepankan atas maslahat pihak yang dijarh secara khusus, hingga keadaannya menjadi jelas dan dipastikan perkaranya.

Kalau jarh tersebut telah dicabut darinya, maka keadaannya kembali seperti semula dan para penuntut ilmu bisa belajar lagi kepadanya.

Kalau tidak, maka harus menjauhi secara total setelah menjauhi yang sifatnya untuk kehati-hatian. Ini yang nampak berdasarkan penelitian terhadap prinsip-prinsip syari’at serta kaidah-kaidah dalam bab yang agung ini (bab jarh wa ta’dil). Wallahu a’lam.

Sumber:
http://www.sahab.net/forums/index.php?showtopic=147888

Artikel Terkait:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *