Salafiyun Semangat Menuntut Ilmu dan Tidak Meremehkan Kitab Rudud

Bismillahirrohmanirrohim. o

salafiyyun semangat menuntut ilmu dan tidak meremehkan kitab rudud

SALAFIYUN SEMANGAT MENUNTUT ILMU DAN TIDAK MEREMEHKAN KITAB RUDUD

(Padanya Terkandung Jawaban Kenapa Ada Orang yang Alergi Manhaj, Ternyata…)

Asy-Syaikh Muqbil bin Hady rahimahullah

Pertanyaan: Sebagian orang yang menisbatkan diri kepada manhaj Salaf mereka menyibukkan diri dengan mengkritik dan mentahdzir berbagai kelompok sesat, namun mereka melalaikan diri dari menuntut ilmu. Sementara yang lain mementingkan ilmu namun meninggalkan upaya memperingatkan bahaya kelompok-kelompok tersebut, sampai mereka ada yang mengatakan: “Sesungguhnya membantah penyimpangan sama sekali bukan termasuk manhaj Ahlus Sunnah.” Maka bagaimana yang benar di dalam permasalahan tersebut?

Jawab: ORANG-ORANG YANG HANYA MENYIBUKKAN DIRI DENGAN MEMBANTAH DAN MENTAHDZIR SAJA, MEREKA TERANGGAP MEREMEHKAN MENUNTUT ILMU DAN BERLEBIHAN DI DALAM MEMBANTAH. Ulama-ulama kita jika engkau memperhatikan misalnya biografi Ibnu Abi Hatim, maka engkau akan mendapati beliau seorang hafizh (hafal hadits yang banyak) yang besar bahkan beliau digelari Syaikhul Islam, demikian juga Al-Imam Al-Bukhary, Al-Imam Ahmad bin Hanbal, Yahya bin Ma’in, Yahya bin Sa’id Al-Qaththan, Abu Hatim, Abu Zur’ah, Ad-Daruquthny, Ibnu Hibban dan Al-Hakim. Mereka memiliki karya-karya tulis yang bermanfaat di dalam bidang tafsir dan ilmu hadits, mereka telah menulis kitab-kitab yang bermanfaat dan mereka memelihara Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk kita. NAMUN MEREKA JUGA MENULIS KITAB-KITAB YANG BERMANFAAT DI DALAM MASALAH JARH WA TA’DIL. JADI HARUS MENGGABUNGKAN YANG INI DENGAN YANG ITU.KALAU TIDAK, MAKA DIA ADALAH ORANG YANG KURANG DAN MEREMEHKAN.

Saya bertanya kepada engkau: DENGAN TIMBANGAN APA ENGKAU MENILAI MANUSIA JIKA ENGKAU TIDAK MENGERTI ILMU YANG BERMANFAAT?!Apakah engkau akan menimbangnya dengan hawa nafsu atau dengan apa yang dikatakan syaikh fulan kepadamu?! Kalau syaikh fulan mencabut perkataannya, apakah engkau pun ikut mencabutnya, dan jika dia membantah suatu kelompok maka engkau pun ikut membantahnya?! JADI YANG BENAR ADALAH HARUS DENGAN CARA MENGGABUNGKAN YANG INI DAN YANG ITU.

Sedangkan jenis yang lain yaitu orang-orang yang mementingkan ilmu, tetapi tidak memperhatikan sama sekali terhadap ta’dil.Maka ini adalah jenis yang menurut pandangan saya lebih mending dari jenis yang pertama, karena jenis yang pertama mencemburkan diri di dalam perkara-perkara yang bukan bidangnya untuk mencemburkan diri, tetapi jenis yang kedua ini telah menghancurkan sisi lain yang sangat penting.

RISALAH SAUDARA KITA BAKR BIN ‘ABDILLAH ABU ZAID YANG BERJUDUL TASHNIFUN NAAS BAINAZH ZHAN WAL YAQIN TERANGGAP TULISAN YANG PALING BURUK YANG DIA TULIS. Banyak dari tulisan-tulisannya -dengan memuji Allah- teranggap termasuk tulisan-tulisan yang terbaik, semoga Allah membalasnya dengan kebaikan.

Adapun dengan menghancurkan jarh wa ta’dil, maka sesungguhnya Allah Azza wa Jalla telah berfirman di dalam kitab-Nya yang mulia:

وَلاَ تُطِعْ كُلَّ حَلاَّفٍ مَهِيْنٍ. هَمَّازٍ مَشَّاءٍ بِنَمِيْمٍ. مَنَّاعٍ لِلْخَيْرِ مُعْتَدٍ أَثِيْمٍ. عُتُلٍّ بَعْدَ ذَلِكَ زَنِيْمٍ.

“Dan janganlah engkau mengikuti setiap orang yang banyak bersumpah lagi hina, yang banyak mencela dan suka mengadu domba, yang sangat enggan berbuat baik dan melampaui batas lagi banyak dosa, yang kaku kasar dan terkenal kejahatannya.” (QS. Al-Qalam: 10-13)

Dia juga berfirman:

تَبَّتْ يَدَا أَبِيْ لَهَبٍ وَتَبَّ. مَا أَغْنَى عَنْهُ مَالُهُ وَمَا كَسَبَ. سَيَصْلَى نَارًا ذَاتَ لَهَبٍ. وَامْرَأَتُهُ حَمَّالَةَ الْحَطَبِ. فِيْ جِيْدِهَا حَبْلٌ مِنْ مَسَدٍ.

“Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa. Tidaklah bermanfaat baginya harta bendanya dan apa yang dia usahakan. Kelak dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak. Dan istrinya akan membawa kayu bakar. Di lehernya terdapat tali dari sabut.” (QS. Al-Masad: 1-5)

Jadi Allah mencela Abu Lahab dan juga mencela istrinya.

Ketika Musa ingin memukul orang Qibthy beliau berkata kepada temannya:

إِنَّكَ لَغَوِيٌّ مُبِيْنٌ.

“Sesungguhnya engkau benar-benar orang yang sesat dengan jelas.” (QS. Al-Qashash:18)

Jadi ini merupakan dalil yang menunjukkan atas bolehnya mengkritik.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan tentang seseorang laki-laki:

بِئْسَ أَخُوْ الْعَشِيْرَةِ.

“Dia adalah sejelek-jelek teman bergaul.”

Tetapi tatkala orang itu masuk, beliau melembutkan ucapan kepadanya, maka ‘Aisyah menanyakan kepada beliau kenapa hal itu beliau lakukan, beliau pun menjawab:

إِنَّ شَرَّ النَّاسِ مَنْ تَرَكَهُ النَّاسُ اتِّقَاءَ فُحْشِهِ.

“Wahai ‘Aisyah, sesungguhnya sejelek-jelek manusia adalah orang yang ditinggalkan oleh manusia karena keburukannya.”

Riwayat ini dikeluarkan oleh Al-Bukhary dan Muslim dari hadits ‘Aisyah.[1]

Dalam Ash-Shahih dari hadits ‘Aisyah ketika istri Abu Sufyan berkata kepada beliau: “Sesungguhnya Abu Sufyan adalah seorang yang bakhil, dia tidak memberi nafkah yang mencukupi bagi saya.” Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyetujuinya di dalam mencela Abu Sufyan.[2]

Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ سَيِّدُكُمْ يَا بَنِيْ سَلِمَةَ؟

“Siapa pemimpin kalian wahai Bani Salimah?”

Mereka menjawab: “Al-Ja’ad bin Qais, hanya saja kami menganggapnya bakhil.” Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَيُّ دَاءٍ أَدْوَأُ مِنْ الْبُخْلِ, بَلْ سَيِّدُكُمْ عَمْرُو ابْنُ الْجَمُوْحِ.

“Penyakit apa yang lebih berbahaya dari kebakhilan, pemimpin kalian adalah ‘Amr bin Al-Jamuh”[3]

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Mu’adz bin Jabal:

أَفَتَّانٌ أَنْتَ يَا مُعَاذُ؟

“Wahai Mu’adz, apakah engkau akan menjadi juru fitnah?!”[4]

Beliau berkata kepada Abu Dzar:

إِنَّكَ امْرُؤٌ فِيْكَ جَاهِلِيَّةٌ.

“Sesungguhnya engkau adalah seseorang yang pada dirimu masih ada sisa-sisa sifat jahiliyyah.”[5]

Beliau juga berkata kepada sebagian istri-istri beliau:

إِنَّكُنَّ لَأَنْتُنَّ صَوَاحِبُ يُوْسُفَ.

“Sesungguhnya kalian benar-benar seperti wanita-wanita yang menggoda Yusuf.[6]

Al-Bukhary meriwayatkan di dalam shahihnya bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَا أَظُنُّ فُلاناً وَفُلاناً يَعْرِفَانِ مِنْ دِيْنِنَا شَيْئًا.

“Aku tidak menyangka kalau si fulan dan fulan mengetahui sedikit pun dari agama kita.”[7]

Penafsiran Al-Laits bin Sa’ad menjelaskan bahwa keduanya adalah orang munafik yang diserahkan kepada beliau.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkata kepada Hamal bin Malik bin An-Nabighah di mana kisahnya ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memutuskan kasus seorang wanita yang memukul wanita lain hingga menggugurkan janinnya, beliau bersabda:

فِيْهِ غُرَّةٌ عَبْدٌ أَوْ أَمَةٌ.

“Diyat untuk janin yang meninggal adalah membebaskan seorang budak laki-laki atau perempuan.”

Hamal bin Malik bin An-Nabighah berkata: “Bagaimana kami harus membayar janin yang belum minum, belum makan, belum bisa bicara dan tidak menangis sewaktu keluarnya?” Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّمَا هَذَا مِنْ إِخْوَانِ الْكُهَّانِ.

“Sesungguhnya ini hanyalah merupakan ucapan teman para dukun.”[8]

Beliau ucapkan ini karena perkataannya yang bersajak.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

هَلَكَ الْمُتَنَطِّعُوْنَ هَلَكَ الْمُتَنَطِّعُوْنَ هَلَكَ الْمُتَنَطِّعُوْنَ.

“Binasalah orang-orang yang melampaui batas, binasalah orang-orang yang melampaui batas, binasalah orang-orang yang melampaui batas.”[9]

Beliau bersabda mensifati orang-orang Khawarij:

إِنَهُمْ كِلابُ النَّارِ.

“Sesungguhnya mereka adalah anjing-anjing neraka.”[10]

Dan beliau juga bersabda:

يَمْرُقُوْنَ مِنْ الدِّيْنِ كَمَا يَمْرُقُ السَّهْمُ مِنْ الرَّمِيَّةِ.

“Mereka keluar dari agama sebagaimana melesatnya anak panah dari binatang buruannya.”[11]

Maka orang yang menganggap tidak perlunya jarh wa ta’dil berarti dia meremehkan As-Sunnah. Jika di sana tidak ada jarh wa ta’dil maka perkataan seorang dai ilallah yang mulia seperti dengan perkataan ‘Ali Ath-Thanthawy, atau seperti perkataan Mahmud Ash-Shawaf, atau seperti perkataan Muhammad Al-Ghazaly, atau seperti perkataan Hasan At-Turaby, atau seperti perkataan Asy-Sya’rawy, atau seperti perkataan Syi’ah Rafidhah atau seperti perkataan seorang shufy seperti Hasan As-Saqqaf.

MAKA SAYA KATAKAN: TIDAK AKAN MEREMEHKAN ILMU INI KECUALI SEORANG YANG JAHIL, ATAU SESEORANG YANG DI DALAM HATINYA TERDAPAT KEDENGKIAN, ATAU SESEORANG YANG MENGETAHUI BAHWA DIRINYA DIJARH, SEHINGGA DIA BERUSAHA MELARIKAN MANUSIA DARI JARH WA TA’DIL KARENA MENGETAHUI BAHWA DIRINYA DIJARH.

Allah enggan kecuali untuk menolong agama-Nya dan meninggikan kalimat-Nya serta memenangkan kebenaran. Maka Ahlus Sunnah senantiasa melakukan jarh wa ta’dil, seakan-akan mereka dahulu tidur lalu Allah bangkitkan orang yang membangunkan mereka. Dulu mereka tidak mau berbicara tentang jarh wa ta’dil dan seakan-akan menganggap bahwa hal itu hanya khusus pada zaman Al-Bukhary dan Muslim. Syubhat semacam itu dilemparkan agar sekarang kita tidak mengkritik orang yang mengatakan: “Demokrasi tidak bertentangan dengan Islam.” Bukankah sepantasnya orang ini dikritik dan dijelaskan kepada manusia bahwasanya dia adalah salah seorang dajjal (yang sangat pendusta) Tidakkah engkau menjarh orang yang mencela ulama kaum Muslimin?! Kenapa mereka mencela para ulama yang mulia, sementara kita hanya diam saja?!

JADI WAJIB UNTUK MENGGABUNGKAN ANTARA INI DENGAN ITU. Kalau kita membaca perjalanan hidup para shahabat dan perjalanan hidup para tabi’in serta para murid tabi’in, bagaimana seandainya mereka (yang anti rudud dan alergi bantahan –pent) mendengar perkataan Adz-Dzahaby: “Ratan siapakah Ratan itu, dia adalah salah seorang pendusta yang mengaku-ngaku sebagai shahabat setelah enam ratus tahun.” Atau mendengar perkataan Al-Imam Asy-Syafi’iy: “Riwayat dari Haram bin Utsman adalah haram.” Atau perkataan Asy-Syafi’iy yang lain: “Siapa yang meriwayatkan dari Al-Bayadhy maka semoga Allah memutihkan matanya (membinasakan dia)” MEREKA PASTI AKAN MENGATAKAN: “AL-IMAM ASY-SYAFI’IY ADALAH ORANG YANG SANGAT KERAS DAN KAKU SUKA MENCELA KAUM MUSLIMIN DAN PARA ULAMA.”

KAMI TANTANG KALIAN UNTUK MENUNJUKKAN BUKTI DENGAN JELAS BAHWA KAMI TELAH MENCELA PARA ULAMA?! Yang kami cela adalah orang-orang menggembar-gemborkan demokrasi, orang-orang yang mengatakan agar saling menghormati pendapat, serta orang-orang yang mengakui keputusan PBB dan Dewan Keamanan. Mereka mengatakan: “Ini bukan zaman ‘haddatsana’ (si fulan telah meriwayatkan hadits kepada kami) dan ‘akhbarana’ (si fulan telah mengabarkan kepada kami) serta bukan zamannya mengatakan ini hadits shahih dan ini hadits lemah.”

Maka kita katakan kepada mereka: “Bahkan ini adalah zamannya, karena banyaknya hadits-hadits yang lemah dan palsu.”

Kami tutup perkataan kami dengan ucapan Al-Hafizh Ash-Shury rahimahullah Ta’ala yang mengatakan:

قُلْ لِمَنْ عَانَـدَ الْحَدِيْثَ وَأَضْحَى                        عَائِبًـا أَهْلَـهُ وَمَـنْ يَدَّعِيْـهِ

أَبِعِلْـمٍ تَقُوْلُ هَـذَا أَبِـنْ لِـيْ        أَمْ بِجَهْلٍ فَالْجَهْلُ خُلُقُ السَّفِيْهِ

أَيُعَـابُ الّـَذِيْنِ هُـمْ حَفِظُوْا                   الـدِّيْنَ مِنْ الترَاهَاتِ وَالتَّمْوِيْهِ

وَإِلَى قَوْلِهِمْ وَمَـا قَـدْ رَوَوْهُ                  رَاجَـعَ كُـلُّ عَـالِمٍ وَفَقِيْـهٍ

Katakanlah kepada orang yang menentang hadits

Dan dia mencela ahlinya dan orang yang mendakwahkannya

Apakah dengan ilmu engkau mengatakannya, jelaskan kepadaku

Ataukah dengan kebodohan, maka kebodohan adalah akhlak orang dungu

Apakah mereka pantas untuk dicela

Padahal mereka menjaga agama dari kedustaan dan penodaan

Dan kepada ucapan merekalah dan apa yang mereka riwayatkan

Setiap ulama dan ahli fiqih mengambil referensi

Saya tidak menginginkan dari seorang sunni untuk menghabiskan seluruh waktunya. Hendaknya dia gunakan waktunya untuk melaksanakan shalat berjama’ah, waktu untuk istirahat, waktu santai, serta waktu untuk makan dan tidur. Tetapi saya mengharapkan dia agar menjadi seperti yang dikatakan penyair:

فَكُـنْ رَجُلاً رِجْـلُهُ فِيْ الثُّـرَى              وَهَامَّـةُ هِمَّتِـهِ فِيْ الثُّرَيَـا

Jadilah seorang pria sejati yang kakinya di tanah

Tetapi puncak keinginannya di atas bintang di langit

Sebagian ikhwah fillah telah menulis surat kepada saya dengan mengatakan: “Janganlah engkau menyibukkan diri engkau dengan perkara ini saja.” Jadi mereka menyangka bahwa saya menyibukkan diri dengan perkara ini saja. Jadi saya tidak menyibukkan diri dengan perkara ini saja -dengan memuji Allah-, TETAPI MENULIS PADA WAKTUNYA, MENGAJAR PADA WAKTUNYA, DAN JARH WA TA’DIL PADA WAKTUNYA TERSENDIRI.

Dahulu Ibnul Jauzy menantang orang-orang di zaman beliau untuk mendatangkan atau membuat-buat hadits lemah atau palsu selagi beliau masih hidup (untuk beliau bongkar kepalsuannya) Dan demikianlah para ulama terdahulu selain Ibnul Jauzy sebelum beliau mereka menantang orang-orang yang sezaman dengan mereka untuk mendatangkan atau membuat-buat hadits lemah atau palsu selagi mereka masih hidup.

Walhamdulillah As-Sunnah telah menyebar dan akhirnya Ikhwanul Muflisin pun pura-pura mempelajari mushthalah (ilmu hadits), tetapi sebagaimana dikatakan bahwa mereka melakukannya sekedar supaya mereka bisa memegang para pemuda mereka agar tidak menyerang mereka.

Demikian juga keadaan Abdullah Sha’tar yang mulai mengajar Syarah Ath-Thahawiyyah. Engkau telah mendaki dengan sangat kepayahan wahai Abdullah Sha’tar! Pada malam yang pertama banyak yang hadir di majelisnya, sedangkan di malam yang kedua lebih sedikit dan di malam yang ketiga lebih sedikit lagi, lalu setelah itu hanya dihadiri sekitar tujuh orang dan setelahnya lagi hanya sekitar tiga orang. Lalu dia tidak mengetahui kecuali koran “Al-Hayat” mengatakan demikian, radio London mengatakan demikian, koran ini mengatakan demikian. Jadi demikianlah mereka ingin menipu para pemuda dengan mengatakan: “Kita mempelajari akidah dan mempelajari mushthalah dan ini dan itu.”

Tetapi demikianlah keadaannya seperti yang dikatakan dalam pepatah Arab: “Halimah kembali kepada kebiasaannya yang telah lalu.” Tatkala mereka melihat hal ini tidak bermanfaat dan tidak berguna, maka mereka pun kembali melakukan kedustaan dan memutar balikkan fakta.

Sumber Artikel:

Fadhaa-ih wa Nashaa-ih, hal. 111-117

Catatan kaki:

[1] Al-Bukhary (6054) dan Muslim (2591) dan lafazh Al-Bukhary sebagai berikut:

أَيْ عَائِشَةُ إِنَّ شَرَّ النَّاسِ مَنْزِلَةً عِنْدَ اللهِ مَنْ تَرَكَهُ أَوْ وَدَعَهُ النَّاسُ اتِّقَاءَ فُحْشِهِ.

“Wahai ‘Aisyah, sesungguhnya sejelek-jelek manusia kedudukannya di sisi Allah adalah orang yang ditinggalkan manusia karena takut terhadap keburukannya.”

[2] HR. Al-Bukhary (7180) dan Muslim (1714).

[3] HR. Al-Bukhary di dalam Al-Adab Al-Mufrad hal. 111 sebagaimana di dalam Dzammul Masalah hal. 77 no. hadits (80) karya Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi rahimahullah dan beliau menghasankannya.

[4] Al-Bukhary (705) dan Muslim (465).

[5] Al-Bukhary (30 dan 6050) dan Muslim (1661).

[6] HR. Al-Bukhary (713) dan Muslim (418) dari hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha.

[7] HR. Al-Bukhary (6067) dari hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha.

[8] HR. Al-Bukhary (5758 dan 6910) dan Muslim (1681) dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu.

[9] HR. Muslim (2670) dari hadits ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu.

[10] Dari hadits ‘Abdullah bin ‘Alqamah Abi Aufa diriwayatkan oleh Ibnu Majah (173) dan Ahmad (4/355) dan Asy-Syaikh Al-Albany menshahihkannya sebagaimana di dalam Kilabun Naar karya Asy-Syaikh Jamal bin Furaihan hal. 71, dan Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi rahimahullah menghasankannya di dalam Al-Jami’ Ash-Shahih Mimma Laisa fi Ash-Shahihain (3/480), dan dari hadits Abu Umamah Shuday bin ‘Ajlan radhiyallahu ‘anhu diriwayatkan oleh At-Tirmidzy (3000) dan Ahmad (5/253), dan Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi rahimahullah menghasankannya di dalam Al-Jami’ Ash-Shahih Mimma Laisa fi Ash-Shahihain (3/480-481).

[11] HR. Al-Bukhary (4351) dan Muslim (1064) dari hadits Abu Sa’id Al-Khudry radhiyallahu ‘anhu dan dari shahabat yang lainnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *