Dengan Siapa Teman Karib (dekat) nya
ﺍﻟﻤﺮﺀ ﻋﻠﻰ ﺩﻳﻦ ﺧﻠﻴﻠﻪ ﻓﻠﻴﻨﻈﺮ ﺍﺣﺪﻛﻢ ﻣﻦ ﻳﺨﺎﻟﻞ
“Seseorang itu dinilai diatas agama teman karib (dekat), maka lihatlah dengan siapa temannya.”
ﺇﻥّ ﺍﻟﻄّﻴﻮﺭ ﻋﻠﻰ أﺷﻜﺎﻟﻬﺎ ﺗﻘﻊ
“Sesungguhnya burung-burung itu akan hinggap dengan yang sejenisnya.”
ﻣﻦ ﺃﺧﻔٰﻰ ﻋﻠﻴﻨﺎ ﺑﺪﻋَﺘَﻪ ﻟﻢ ﺗﺨﻒَ ﻋﻨَّﺎ ﺃﻟﻔﺘﻪ
“Barangsiapa tersamarkan bid’ahnya atas kami, maka tidak tersamarkan atas kami keakraban/kecintaannya.”
TIS (Thalab Ilmu Syar’i)
Akibat Buruk Pertemanan Dan Kedekatan
Dalam catatan sejarah, banyak terkoleksi contoh kasus pertemanan dan kedekatan yang menjadikan seseorang sesat.
Diantara contoh kasus tersebut adalah sebagai berikut:
Abu Thalib terhalang dari Islam karena pengaruh temannya.
Disebutkan dalam Shahih Al-Bukhari (no. 3884):
“Saat menjelang kematian Abu Thalib, Rasulullah datang menjenguknya. Ternyata di sisi Abu Thalib telah ada Abu Jahl dan Abdullah bin Abu Umayyah bin Al-Mughirah.
Rasulullah berkata: ‘Wahai pamanku, ucapkanlah Laa ilaaha illallah (tiada yang berhak diibadahi dengan sebenarnya kecuali Allah, pen.), sebuah kalimat yang akan kujadikan hujjah (pembelaan) untukmu di hadapan Allah’. Maka berkatalah Abu Jahl dan Abdullah bin Abu Umayyah bin Al-Mughirah: ‘Apakah kamu benci terhadap agama Abdul Muththalib (agama berhala, pen.)?!’ Setiap kali Rasulullah menawarkan kalimat Laa ilaaha illallah kepada Abu Thalib, maka setiap kali pula Abu Jahl dan Abdullah bin Abu Umayyah bin Al-Mughirah menimpalinya dengan perkataan di atas. Hingga kata terakhir yang diucapkan Abu Thalib kepada mereka adalah: ‘(Aku) di atas agama Abdul Muththalib (menyembah berhala)’.”
Demikian pula secara lebih tegas disebutkan dalam Shahih Muslim (no. 39): “…Dia (Abu Thalib) berada di atas agama Abdul Muththalib (menyembah berhala) dan tidak mau mengucapkan kalimat Laa ilaaha illallaah.”
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin berkata: “Betapa bahayanya teman yang buruk terhadap seseorang. Kalau tidak ada pengaruh dari dua orang tersebut (Abu Jahl dan Abdullah bin Abu Umayyah bin Al-Mughirah, pen.) bisa jadi Abu Thalib menerima ajakan Nabi untuk mengucapkan kalimat Laa ilaaha illallaah dan wafat sebagai pemeluk agama Islam.” (Al-Qaulul Mufid Syarh Kitabit Tauhid 1/224)
Abu Dzar Al-Harawi terseret ke dalam madzhab Asy’ari karena kedekatannya dengan Al-Qadhi Abu Bakr Ath-Thayyib.
Di dalam kitab Siyar A’lamin Nubala’ (17/558-559) dan Tadzkiratul Huffazh (3/1104-1105) karya Al-Imam Adz-Dzahabi disebutkan bahwa Abu Dzar Al-Harawi, seorang ulama terkemuka di masanya terseret ke dalam madzhab sesat Asy’ari, disebabkan kedekatannya dengan tokoh madzhab tersebut yang bernama Al-Qadhi Abu Bakr Ath-Thayyib. Bermula dari pertemuan pertama di Kota Baghdad, kemudian disusul dengan pertemuan kedua, dan demikian seterusnya. Hingga akhirnya terseret ke dalam madzhab Asy’ari, sebagaimana yang dinyatakan Abu Dzar Al-Harawi sendiri: “Akhirnya aku mengikuti madzhabnya.” Tidak sampai di situ, ia pun kemudian menyebarkan madzhab Asy’ari tersebut di Kota Makkah.
Al-Imam Adz-Dzahabi berkata: “Dia mendapatkan ilmu kalam dan madzhab Asy’ari dari Al-Qadhi Abu Bakr Ath-Thayyib, kemudian menyebarkannya di Kota Makkah. Orang-orang yang berasal dari negeri-negeri maghrib arabi (magharibah) menyambutnya dan membawa akidah sesat tersebut ke Negeri Maroko dan Andalusia (Spanyol). Padahal sebelumnya para ulama di beberapa negeri tersebut tidak menyukai ilmu kalam. Bahkan mereka adalah orang-orang yang mumpuni di bidang ilmu fiqh, hadits, atau bahasa Arab.” (Siyar A’lamin Nubala’ 17/557)
Imran bin Hiththan menjadi khawarij karena pengaruh istrinya.
Imran bin Hiththan adalah seorang yang hidup di masa tabi’in. Dia meriwayatkan hadits dari sekelompok sahabat Nabi. Dia kesohor akan kesungguhan dalam menuntut ilmu dan hadits. Dahulunya berakidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, namun di akhir hayatnya terseret ke dalam akidah sesat Khawarij.
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata: “Adalah Imran bin Hiththan tergolong orang yang terkenal di kalangan madzhab Khawarij, padahal sebelumnya dia kesohor akan kesungguhan dalam menuntut ilmu dan hadits, kemudian terseret ke dalam fitnah (Khawarij).” Ya’qub bin Syaibah berkata: “Dia berjumpa dengan sekelompok sahabat Nabi, namun di akhir hayatnya terseret ke dalam akidah Khawarij. Sebabnya adalah bahwa sepupu wanita/anak pamannya (yang bernama Hamnah, pen.) yang memiliki akidah sesat Khawarij. Dia menikahinya dengan tujuan mengembalikan sepupunya itu ke dalam akidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Akan tetapi, justru sang istrilah yang menyeretnya ke dalam akidah Khawarij.”
Hal senada juga disampaikan oleh Al-Imam Muhammad bin Sirin. (Lihat Tahdzibut Tahdzib karya Al-Hafizh Ibnu Hajar, 8/108-109)
WhatsApp Miratsul Anbiya Indonesia 1
Berhati-hatilah dalam Memilih Teman!
Selektif dalam memilih teman merupakan prinsip utama dalam Islam. Sejarah pun menunjukkan bahwa para ulama terdahulu (as salafush shalih) benar-benar memerhatikan prinsip ini. Karena sosok teman sangat berpengaruh bagi kehidupan seseorang baik di dunia maupun di akhirat.
Di dalam Shahih Al-Bukhari no. 3742 disebutkan bahwa Alqamah seorang tabi’in yang mulia berkisah: “Ketika aku masuk ke Negeri Syam, maka aku (langsung menuju masjid dan) shalat dua raka’at. Kemudian kupanjatkan sebuah do’a: ‘Ya Allah, berilah aku kemudahan untuk mendapatkan teman yang baik (di negeri ini)’. Usai berdo’a kudatangi sekelompok orang yang sedang duduk-duduk dan turut bergabung bersama mereka. Lalu datanglah seorang syaikh dan duduk disebelahku. Aku bertanya kepada mereka, ‘Siapakah orang ini?’ Mereka menjawab: ‘Beliau adalah sahabat Abu Darda’.’ Maka aku katakan kepada beliau, ‘Aku telah berdo’a kepada Allah agar diberi kemudahan untuk mendapatkan teman yang baik (di negeri ini). Sungguh Allah telah memudahkanku untuk bertemu denganmu.’ Sahabat Abu Darda’ berkata: ‘Dari manakah engkau’. Maka kukatakan: ‘Aku dari Negeri Kufah’.”
Selektif dalam memilih teman merupakan kewajiban setiap insan muslim.
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin berkata: “Memerhatikan teman merupakan kewajiban setiap insan muslim. Jika mereka itu orang-orang yang buruk, maka hendaknya dijauhi, karena (penyakit) mereka itu lebih kuat penularannya daripada kusta. Atau jika mereka itu teman-teman yang baik, yang senantiasa memerintahkan kepada kebaikan, mencegah dari kemungkaran dan membimbing kepada pintu-pintu kebaikan, maka hendaknya digauli.” (Al-Qaulul Mufid Syarh Kitabit Tauhid 1/224)
Selektif dalam memilih teman ini hendaknya dilakukan semenjak seseorang masih muda. Karena pergaulan di masa muda sangat menentukan bagi kelanjutan seseorang pada fase-fase berikutnya.
Al-Imam Ahmad bin Hanbal berkata: “Jika engkau melihat seorang pemuda di awal pertumbuhannya bersama Ahlus Sunnah wal Jama’ah, maka optimislah akan keadaannya (di kemudian hari). Jika engkau melihat di awal pertumbuhannya bersama ahlul bid’ah, maka pesimislah akan keadaannya (di kemudian hari).” (Al-Adab Asy-Syar’iyyah karya Al-Imam Ibnu Muflih 3/77)
Demikian halnya yang dikatakan Al-Imam Amr bin Qais Al-Mula’i, namun ada sedikit tambahan: “…karena (perjalanan) seorang pemuda sangat ditentukan oleh masa awal pertumbuhannya.” (Al-Ibanah karya Al-Imam Ibnu Baththah 2/481-482)
Tak kalah pentingnya pula selektif dalam memilih teman saat menuntut ilmu.
Al-Imam Badruddin Ibnu Jama’ah Al-Kinani berkata: “Bila dia (seorang penuntut ilmu) membutuhkan teman, hendaknya memilih orang yang shalih, beragama, bertakwa, wara’, cerdas, banyak kebaikannya lagi sedikit keburukannya, santun dalam bergaul, dan tak suka berdebat. Bila dia lupa, teman tersebut bisa mengingatkannya. Bila dalam keadaan ingat (kebaikan), teman tersebut mendukungnya. Bila dia butuh bantuan, teman tersebut siap membantunya. Dan bila dia sedang marah, maka teman tersebut pun menyabarkannya.” (Tadzkiratus Sami’ wal Mutakallim, hlm. 83-84)
Teman adalah potret tentang jatidiri seseorang. Bahkan ia sebagai barometer bagi agamanya.
Rasulullah bersabda:
الرَّجُلُ عَلَى دِيْنِ خَلِيْلِهِ ، فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ
“Seseorang tergantung agama teman akrabnya. Maka hendaknya salah seorang dari kalian memerhatikan siapa yang dijadikan sebagai teman akrab.” (HR. Abu Dawud dalam As-Sunan 2/293, At-Tirmidzi As-Sunan 2/278, Al-Hakim dalam Al-Mustadrak 4/171 dan Ahmad dalam Al-Musnad 2/303 dan 334 dari sahabat Abu Hurairah. Lihat Silsilah Al-Ahadits As-Shahihah no. 927)
Sahabat Abdullah bin Mas’ud berkata: “Seseorang akan berjalan dan berteman dengan orang yang dicintainya dan sejenis dengannya.” (Al-Ibanah karya Al-Imam Ibnu Baththah 2/476)
Al-Imam Qatadah berkata: “Demi Allah, sungguh tidaklah kami melihat seseorang berteman kecuali dengan yang sejenisnya. Maka bertemanlah dengan orang-orang shalih dari hamba-hamba Allah, semoga kalian senantiasa bersama mereka atau menjadi seperti mereka.” (Al-Ibanah karya Al-Imam Ibnu Baththah 2/480)
Ketika Al-Imam Sufyan Ats-Tsauri datang ke Kota Bashrah dan melihat posisi Ar-Rabi’ bin Shubaih yang tinggi di tengah umat, beliau pun menanyakan prinsip agamanya. Maka orang-orang menjawab: “Prinsip agamanya tidak lain adalah Ahlus Sunnah wal Jama’ah.” Al-Imam Sufyan Ats-Tsauri bertanya lagi: “Siapakah teman-teman dekatnya?” Mereka menjawab: “Orang-orang Qadariyyah (anti taqdir, pen.).” Al-Imam Sufyan Ats-Tsauri pun berkata: “Kalau begitu dia adalah seorang qadari.” (Al-Ibanah karya Al-Imam Ibnu Baththah 2/453)
WhatsApp Miratsul Anbiya 1