Merupakan perkara yang maklum di kalangan salafiyin untuk menjauhi fitnah sejauh mungkin. Jauh dari fitnah lebih baik dari pada dekat dengan fitnah. Dekat dengan fitnah lebih baik dari pada masuk pada fitnah. Sebagaimana telah meresap di sanubari salafiyin sabda Rasulullah shalallahu ‘alahi wa salam,
ستكون فتن القاعد فيها خير من القائم، والقائم فيها خير من الماشي، والماشي فيها خير من الساعي، من تشرف لها تستشرفه فمن وجد ملجأ أو معاذا فليعذ به
“Akan muncul fitnah, orang yang duduk padanya lebih baik dari orang yang berdiri. Orang yang berdiri lebih baik dari orang yang berjalan. Orang yang berjalan padanya lebih baik dari orang yang berlari. Barang siapa menghadapkan dirinya, fitnah akan membinasakannya. Barang siapa mendapatkan tempat berlindung, hendaknya berlindung padanya.” (HR. Bukhori 7082 dan Muslim No. 2887)
Tentu kita semua tidak menginginkan munculnya fitnah. Tapi Allahlah yang menjalankan semua rotasi kehidupan hamba dan Dialah Al Hakim yang mengetahui hikmah dan apa yang terbaik bagi hamba-hamba-Nya. Allah pun telah menjelaskan solusi terbaik dalam penanganannya. Salah satunya adalah yang tersurat dalam hadits di atas, mencari tempat berlindung.
Berlindung kepada ulama kibar dan menjadikan mereka sebagai rujukan dalam mengaplikasikan Al Quran dan Sunnah terkait fitnah yang mewabah. Mereka telah menghabiskan umur yang panjang dalam mempelajari keduanya dan ilmu-ilmu pendukung lainnya. Pengalaman bergelut dalam medan dakwah selama bertahun-tahun telah menoreh pelajaran berharga di hati-hati mereka. Merekalah yang paling paham bagaimana hendaknya insan berbuat dalam semua gejolak fitnah yang semakin memanas. Rasulullah bersabda:
البركة مع أكابركم
“Keberkahan itu bersama orang-orang besar kalian” (HR Al Hakim di Al Mustadrak 1/62 dan dishahihkan Syaikh Al Albani dalam Silsilah Shahihah No. 1778)
Berkata Abdullah Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu, “Selalu saja manusia dalam kebaikan selama mereka mengambil ilmu dari para ulama besar dan para pemegang amanah mereka. Jika mereka mengambil ilmu dari para pemuda dan para perusak mereka, mereka akan binasa.”
Dan berkata Ibnu Qutaibah rahimahullah menjelaskan perkataan Ibnu Masud, “Beliau menginginkan selalu saja manusia dalam kebaikan selama ulama mereka adalah para syaikh dan bukanlah ulama mereka orang-orang yang baru. Karena sosok syaikh telah hilang darinya kesenangan, kemarahan, ketergesaan, dan kebodohan para pemuda, dan menemaninya percobaan dan pengalaman. Maka tidak masuk pada ilmunya kesamaran, dan tidak menguasainya hawa nafsu. Tidak condong pada ketamakan, dan setan tidak menggelincirkannya dengan ketergelinciran para pemuda. Maka mengiringinya ketuaan, kebesaran, kemuliaan, dan kewibawaan. Adapun orang-orang baru terkadang masuk padanya perkara-perkara yang syaikh telah aman darinya, maka jika mereka masuk pada perkara itu dan berfatwa, maka dia akan binasa dan membinasakan.” (Nasihatu Ahlil Hadits 28-30)
Sebagai penuntut ilmu tentu bersegera untuk mengamalkan faedah penting ini dalam kesehariannya terkait fitnah yang meradang. Tapi ada daya, kita ditampakkan oleh Allah beberapa fenomena aneh yang muncul justru dari kalangan penuntut ilmu, bukan orang awam. Di mana kecerdasan yang mereka elukkan sebagai perekam alami faedah-faedah ilmiyah? Di mana pengamalan ilmu yang dieluk-elukkan sebagai buah dari ilmu yang terpetik selama ini?
Madus obrolan santai setelah setoran hafalan, telah dijadikan media ampuh untuk melariskan subhat-subhat orang yang jelas-jelas telah dikritiki oleh para ulama. Lambat laun pola pikir para penuntut ilmu jadi berubah, menganggap fatwa kibar ulama seolah-olah hujah yang lemah. Penerimaan fatwa mereka dianggap perkara ijtihadiyah yang ada kelapangan padanya. Bahkan sebagiannya menganggap termasuk permasalahan kaum Jahiliyah. Innalillahi wa inna ilaihi rojiun.
Sungguh kita sangat berduka ketika hati-hati penuntut ilmu sudah terbelenggu dengan kefanatikan buta yang terhiasi sikap “adil menerima informasi dua arah”. Tak lupa untuk kamulfase, slogan “belajar saja, jangan sibuk dengan fitnah” juga ikut serta dikoar-koarkan dengan lantang. Satu sisi menyerukan jangan bicara fitnah, tapi realitanya justru dia yang bergerilya menyebar subhat-subhat terkait fitnah di kalangan para penuntut ilmu dalam keadaan ulama kibar sudah berfatwa. Ya, sungguh aneh.
Pasca kejelasan fatwa ulama kibar yang sangat gamblang, serta merta modus pengkaburan disebar untuk menepis fatwa itu. Penjatuhan kredibilitas ulama kibar dengan tega dan tanpa rasa malu ditempuh juga. Bahkan penantian kematian mereka. Para pengusung fatwa ulama kibar juga tak luput dari cercaan mereka. Baik dengan kedustaan ataupun pemutarbalikan fakta sejarah. Orang yang ketika detik-detik sejarah itu berlangsung masih bercelana pendek juga mengaku tahu sejarah dan mulai mencerca.
Mereka mengaku salafi, tapi adab mereka sungguh jauh dengan adab para salaf. Berkata Ibnul Mubarok rahimahullah, “Barangsiapa meremehkan para ulama, hilang akhiratnya. Barang siapa meremehkan para pemimpin pemerintahan, hilang dunianya. Barang siapa meremehkan saudara-saudaranya, hilang wibawanya.”(Siyar Alamin Nubala 2/769)
Keberanian bertanya yang termotivasi kefanatikan berhias dengan meminta fatwa ulama dan tambahan faedah juga digencarkan. Dicarilah pertanyaan-pertanyaan yang sekiranya menguntungkan mereka dan menjatuhkan pihak yang telah mendapatkan fatwa ulama kibar sebelumnya. Begitu dapat jawaban yang kurang pas dengan keinginan mereka, segera saja bungkam seribu bahasa, tak menjawab kecuali seperlunya, terlebih lagi untuk menyebarnya. Beda halnya kalau jawaban sesuai keinginannya, spontanitas disebar seantero dunia dengan senyum lebar penuh kepuasan, tanpa tabayun dan merujuk ke asalnya.
Memang aneh dan ironis, sikap ini tidak selayaknya dimiliki para penuntut ilmu karena sikap ini merupakan ciri khas ahlu bidah. Berkata Waki’ bin Al Jaroh rahimahullah, “Ahlu sunnah menulis yang menguntungkan dan yang merugikan mereka. Adapun ahlu bidah menulis yang menguntungkan mereka saja.”
Awal mula dengan tanpa nama alias mubham, yang penting penuntut ilmu di sisi ulama. “Intinyakan pada isi kabar, bukan siapa yang mengabarkan, ini bukan majelis tahdits, ya akhi…”, begitu salah satu jawaban mereka ketika dihadapkan dengan kaidah mustholah yang kini jadi bumerang buat mereka, tidak diterimanya pengkabaran orang majhul apalagi mubham. Sebelumnya kaidah itu begitu digembor-gemborkan, bahkan merupakan senjata ampuh (menurut mereka) untuk menepis kegamblangan fatwa ulama kibar. Walaupun pada hakikatnya merupakan pemaksaan dan penjejalan kaidah-kaidah yang tidak pada tempatnya. Kenapa mereka gunakan kaidah itu ketika menguntungkan mereka dan dengan mudah mementahkannya ketika merugikan mereka? Bukankah ini standar ganda? Aneh…
Tersebarlah fatwa kontroversial itu dan langsung bertolak belakang dengan fatwa ulama kibar yang sudah beredar sebelumnya. Bingung, resah, dan berpecah, itulah yang muncul pada masyarakat salafi setelahnya. Sang penanya aman posisinya karena dilindungi sekian pihak yang mengaku mengetahui si penanya dan bersumpah bukan sebagai penanya. Diam mengamankan nama sang penanya, walaupun tahu kerusakan besar yang ditimbulkan olehnya. Mudah untuk berdusta juga sebagai bumbu pelengkap misi bertendensi ini. Aneh…, bukankah ini kerjasama dalam perkara kemungkaran? Takutlah kepada Allah, bukankah telah lengket dalam benak kita firman-Nya ini:
ولا تعاونوا على الإثم والعدوان اتقوا الله إن الله شديد العقاب
“Janganlah kalian tolong menolong dalam perbuatan dosa dan permusuhan. Bertakwalah kalian kepada Allah, sesungguhnya Allah sangat keras dalam hukuman-Nya.” (QS Al Maidah: 2)
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam juga menegaskan,
لعن الله من آوى محدثا
“Allah melakanat orang yang melindungi pembuat kerusakan.” (HR Muslim 1978)
Merasa kena senjata makan tuan, segera saja beberapa nama ditempel sebagai formalitas menutup celah kemubhaman yang ada. Sang pemilik pun nama diam seribu bahasa, maka publik pun mengaminkan dialah sang penanya fatwa kontroversial itu. Kurang lebih 14 hari nama itu tertera di mata publik, kemudian terkuak hakikat fatwa kontroversial itu. Melihat posisi yang semakin sulit, sekian pihak yang menyemarakkan penyebaran fatwa palsu itu bersegera menyatakan perlepasan diri darinya. Tak ketinggalan pemilik nama juga “cepat-cepat” menyatakan perlepasan diri, walaupun kita semua tahu sikap diam dia selama 14 hari sebelumnya, ada apa gerangan? Sekali lagi aneh…
Kenapa hati kita begitu berat untuk sekedar mengembalikan beban dakwah ini ke pundak para ulama kibar dan menerima semua fatwa mereka dengan senang hati? Bukankah demikian, Al Quran dan Sunnah membimbing kita? Jawab dengan jujur dan hati terbuka, kalau kita memang hanya mencari kebenaran dan keridhaan Allah. Buang segala tendensi duniawi dan ganti dengan keikhlasan yang murni. Ingat, Allah selalu mengetahui apa yang terselubung dalam hati. Ya Allah, tundukkanlah hati-hati kami kepada kebenaran dari siapapun datangnya dan sepahit apapun resikonya.
Fiyus, 24 Syakban 1435
Mukhibukum Fillah,
Abu Abdillah Zaki Ibnu Salman
WA Salafy Lintas Negara
Bismillah
Assalamu’alaikum warohmatullahi wabarokatuh
Jazakumullah khairon katsiron
Semoga dengan ini bisa menyadarkan mereka-mereka yang tertipu dan terbawa oleh syubhat yang sedang dihembuskan oleh jaringan MLM.
Dan ini juga menjadi pelajaran bagi salafiyyin untuk berhati-hati dalam menerima berita, dengan selalu cek and ricek, dan tidak terburu-buru menyebarkan suatu berita hingga jelas kebenaran berita tersebut.
Kemudian dengan peristiwa ini kita pun menjadi tahu dan semakin jelas siapa-siapa mereka yang ingin merusak dakwah salafiyyah ini, dimana mereka bersembunyi dibalik topeng-topeng dengan ragam bentuk dan warnanya. dan semoga dengan ini Allah akan singkapkan siapa mereka sesungguhnya.
Upaya yang dilakukan para jejaring MLM untuk menjatuhkan asatidzah kita yang terpercaya -semoga Allah menjaga dan mengokohkan mereka- dan juga terhadap para Ulama’ Ahlussunnah -hafizhahumallah- adalah bukti nyata makar-makar jahat mereka.
Semoga Allah Subhanahu Wa Ta’ala menjadikan kita tetap istiqomah diatas manhaj yang mulia ini sampai akhir hayat kita, aaamiiin