Jawaban Ilmiah Atas Syubhat-syubhat Seputar “Watsiqah” (Kesepakatan) Muhammad Al-Imam dengan Rafidhah Hutsiyun

Bismillahirrohmanirrohim. o

Jawaban Ilmiah Atas Syubhat-syubhat Seputar “Watsiqah”

Jawaban Ilmiah Atas Syubhat-syubhat Seputar “Watsiqah” (Kesepakatan)

Muhammad Al-Imam dengan Rafidhah Hutsiyun

Asy-Syaikh Abu Ammar Ali Al-Hudzaify

Pertanyaan:
“Anda mengetahui kritikan para ulama terhadap “al-Watsiqah”, namun di sana ada pihak yang mendebat untuk membelanya dengan berbagai syubhat” kita akan sebutkan syubhatnya lalu kita bantah:

Syubhat pertama:

Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam berdamai dengan orang-orang kafir.

Bantahan terhadap syubhat ini:
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdamai dengan orang-orang kafir, tetapi beliau TIDAK MEMPERSAKSIKAN untuk mereka bahwa aqidah beliau dan aqidah mereka satu, dan beliau TIDAK MENGATAKAN: “Agama kita satu, kitab kita satu, dan Rabb kita satu.” Jadi perdamaian tidak masalah, jika kaum Muslimin membutuhkan perdamaian, maka ini adalah sebuah permasalahan / pembahasan tersendiri. Sedangkan persaksian bagi orang-orang sesat dan ahli bid’ah –terlebih lagi yang telah divonis oleh para ulama bahwa bid’ah mereka telah sampai tingkat kekafiran– bahwa aqidah mereka lurus adalah permasalahan/pembahasan lain.

Jadi harus dibedakan (antara 2 permasalahan tersebut, pen), agar jangan sampai engkau dikelabuhi oleh orang-orang yang suka mengelabuhi dengan dalih: “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan perjanjian damai.” Memang, beliau melakukan perjanjian damai. Siapa yang mengatakan bahwa perdamaian haram?! Sebagian ikhwah penuntut ilmu ada yang mengatakan demikian, dan ini tidak benar. Bab perdamaian ada dalam kitab-kitab fiqih, bab perjanjian ada dalam kitab-kitab jihad, hal ini tidak masalah.
Tetapi, berdamai adalah sebuah perkara tersendiri, sedangkan persaksian bagi mereka bahwa aqidah mereka lurus adalah perkara tersendiri pula (harus dibedakan antara kedua perkara tersebut, pen). Maka tidak ada hujjah bagi mereka dengan berdalil perdamaian yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Syubhat kedua:

Yang menandatanganinya ketika itu dalam keadaan TERPAKSA.

Bantahannya:
Perhatikanlah wahai ikhwah, Ahlus Sunnah tidak bersikap basa-basi. Kita, jika datang orang-orang Al-Ikhwan Al-Muslimun dan mereka masuk ke parlemen serta mengakui aturan demokrasi dan menjadikan rakyat sebagai pengambil keputusan, maka kita bantah mereka dan kita mintai pertanggungjawaban dengan kita katakan: “Kemarilah kalian, kenapa kalian mengakui aturan semacam ini?!” Mereka menjawab: “Kami darurat dan terpaksa.” Maka kita katakan kepada mereka: “Tunjukkan kepada kami syarat-syarat sesuatu itu dihukumi sebagai perkara yang bersifat darurat!” Ahlus Sunnah menerapkan syarat-syarat darurat sekalipun terhadap Al-Ikhwan Al-Muslimun dan selain mereka. Kemarilah, para ulama menyebutkan syarat-syarat bagi sesuatu untuk dihukumi sebagai perkara darurat, apakah syarat-syarat ini sudah ada pada kalian?! Kenapa para ulama menyebutkan syarat-syarat darurat?! Tujuannya agar tidak ada orang yang bermain-main. Kalian semuanya paham?! Jadi jangan sampai ada seseorang mengatakan kepada kita: “Demi Allah, saya dalam keadan darurat.”

Perhatikan misalnya ada seseorang keluar pergi ke bank bermuamalah dengan riba, lalu kita tanya: “Kenapa engkau lakukan?!” Dia menjawab: “Saya dalam keadaan darurat.” Dia duduk dengan wanita yang bukan mahramnya lalu ditanya: “Kenapa engkau lakukan?!” Dia menjawab: “Saya dalam keadaan darurat.” Jawabannya darurat dan darurat! Keadaan darurat itu memiliki syarat-syarat, para ulama telah menyebutkan syarat-syarat bagi keadaan darurat.

Al-Hafizh Ibnu Hajar menyebutkannya dalam Fathul Bary pada kitab Al-Ikrah dari Shahih Al-Bukhary, dan selain beliau juga menyebutkan dalam kitab-kitab tentang kaidah-kaidah fiqih, mereka menyebutkan kaidah “Tidak haram jika dalam keadaan darurat” dan “Tidak wajib jika tidak mampu” serta “Kesulitan akan mendatangkan pemberian kemudahan” dan mereka menyebutkan setelah kaidah ini syarat-syarat bagi keadaan darurat. Jadi syarat-syarat keadaan darurat berlaku bagi setiap orang.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan: “Saya menelusuri madzhab Ahmad maka saya dapati bahwa beliau tidak menganggap bolehnya alasan terpaksa untuk melakukan kekafiran kecuali dalam keadaan darurat.” Walaupun sampai seseorang memaksamu dengan ucapan, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa tidak boleh bagimu untuk melakukan kekafiran jika misalnya dikatakan kepadamu: “Lakukan, kalau tidak engkau akan kubunuh!” Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan: “Sampai benar-benar dia nampak serius akan melakukannya.”

Jika dia telah memukulmu atau menyiksamu, Al-Imam Ahmad mengatakan: “Di sinilah baru dia teranggap terpaksa.” Tentunya ini menurut madzhab Al-Imam Ahmad, bisa jadi para imam yang lain tidak sependapat dengan beliau. Tetapi yang menjadi dalil di sini bahwa sebagian ulama mensyaratkan syarat-syarat yang kuat. Jadi keadaan darurat itu memiliki syarat-syarat.
Ketika seseorang datang kepadanya (Muhammad Al-Imam) dan mengatakan kepadanya: “Tandatanganilah!” Maka katakanlah kepadanya: “Kami memandang untuk mengganti ungkapannya.” Misalnya dengan mengatakan: “Bismillahwalhamdulillahwa ba’du; dua pihak telah sepakat…” Tidak perlu persaksian dengan misalnya menyatakan: “Musuh kita satu, nabi kita satu…” Tidak perlu semacam ini. Perhatikanlah wahai jama’ah, syarat-syarat keadaan terpaksa berlaku bagi semua orang, tidak hanya berlaku bagi si Zaid dan si Amr saja, lalu berarti jika kita terapkan kepada si Zaid gugur syarat-syarat terpaksa.

Syubhat ketiga:

Asy-Syaikh Muqbil rahimahullah dahulu juga berdamai dengan Badruddin Al-Hutsy dan beliau mengatakan: “Kita berdamai dengan syarat sebagian kita tidak membantah yang lain, dan saya mengetahui bahwa hal ini tidak dibenarkan oleh syari’at.” Atau perkataan yang semakna dengan ini.

Bantahannya:
Asy-Syaikh Muqbil rahimahullah tidak mempersaksikan bagi Badruddin Al-Hutsy dengan kelurusan aqidahbahkan kita mengetahui kesesatan Badruddin Al-Hutsy dari perkataan Asy-Syaikh rahimahullah. Beliau dahulu banyak membicarakan kesesatannya, dan ikhwah yang dahulu mendengar pelajaran-pelajaran yang beliau sampaikan mereka mengetahui bahwa beliau sering membantahnya di markiz, hingga kami mengetahui bahwa dia adalah salah seorang pemimpin kesesatan. Jadi beliau mencelanya. Bersamaan dengan ini beliau menilai bahwa pada perdamaian ini merupakan upaya mencegah keburukan, tanpa mempersaksikan bagi seorang pun dengan kelurusan aqidah, atau menyatakan bahwa mereka termasuk Ahlus Sunnah, atau mereka adalah saudara kita, atau kita berada di jalan yang satu, dan seterusnya. Beliau sama sekali tidak mempersaksikan itu semua bagi seorangpun. Intinya mereka sepakat untuk tidak saling membantah. Termasuk yang menunjukkan bahwa beliau adalah seorang imam dan berani terang-terangan menyampaikan kebenaran, beliau menilai bahwa hal ini menyelisihi syari’at, dan ini juga termasuk sifat wara’ beliau rahimahullah, kalau tidak maka sebenarnya padanya tidak ada hal yang menyelisihi syari’at. Keadaan diam pada sebagian waktu demi maslahat tidak masalah. Jadi beliau dengan perkataannya yang lalu tidaklah menyelisihi syari’at, Asy-Syaikh rahimahullah tidak menyelisihi syari’at.

Syubhat keempat: 

Surat kesepakatan tersebut memiliki rahasia, dan yang menandatanganinya akan menjelaskannya pada waktu yang tepat.

Bantahannya:
Sesungguhnya para ulama sepakat bahwa sebuah perdamaian jika padanya terdapat perkara yang menyelisihi syari’at, maka perkara yang menyelisihi syari’at tersebut bathil. Namun setelah itu mereka berbeda pendapat apakah akad perjanjian damai tersebut batal semuanya, ataukah hanya syarat-syarat yang menyelisihi syari’at saja.

Ada dua pendapat di kalangan para ulama ahli fiqih sebagaimana yang ditunjukkan oleh Ibnu Qudamah dalam kitab Al-Kaafy (Al-Kaafy fi Fiqh al-Imam Ahmad –pent). Mereka sepakat bahwa syarat yang bathil hukumnya pun bathil, dan wajib atas orang yang menetapkannya untuk mencabutnya dan menjelaskannya.

Apa makna mencabutnya?
Yaitu menjelaskannya kepada pihak kedua dengan mengatakan: “Telah muncul dari saya syarat ini dan saya mencabutnya, kita sepakat dalam hal ini dan itu, adapun ini dan itu maka saya tidak akan menyelisihinya.” Jadi perdamaian hukumnya boleh antara sesama kaum Muslimin. Perdamaian boleh yang artinya berlaku. Fulan jaaizun fith thariq artinya si fulan berjalan. Perdamaian boleh di antara kaum Muslimin, yaitu berlaku di antara kaum Muslimin, kecuali perdamaian yang menghalalkan sesuatu yang haram atau mengharamkan sesuatu yang halal, dan kaum Muslimun itu terikat dengan syarat-syarat mereka.

Ini adalah kaidah fiqih yang disebutkan, bahkan merupakan hadits yang dijadikan oleh sebagian ulama ahli fiqih sebagai kaidah fiqih yang disebutkan oleh Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’dy rahimahullah di dalam kitab “Al-Qawaid wa al-Ushul al-Jami’ah wa al-Furuq wa at-Taqasim Al-Badi’ah An-Nafi’ah.”

Syubhat kelima:

Dia (Muhammad Al-Imam) tidak menulis sendiri teks perjanjian tersebut, tetapi dituliskan untuknya.

Bantahannya:
Tidak ada bedanya (antara dua hal tersebut, pen). Seandainya seseorang menulis bahwa : “saya fulan bin fulan –kita berlindung kepada Allah dari hal ini, tetapi kita hanya buat sebagai contoh– bersaksi bahwa Allah adalah yang ketiga dari yang tiga (trinitas)”, dan kita katakan kepada si fulan: “Tandatanganilah!” Dia pun membacanya dan menandatanganinya. Apahukum dari menandatanganinya tersebut?! Itu merupakan kekafiran, karena dia menyetujuinya. Tanda tangan maknanya menyetujui ucapan ini. Jadi tidak ada perbedaan antara tanda tangan dengan menulis sendiri sebuah ucapan. Maka tidak tepat berdalih dengan ucapan bahwa dia tidak menulisnya sendiri, tetapi hanya menandatangani.

Dengan tanda tangan bisa hilang hartamu sebanyak 100 juta misalnya, dengan sekali tanda tangan saja. Misalnya engkau menandatangani pernyataan: “Saya fulan bin fulan menyerahkan harta saya untuk si fulan.” Lalu engkau menandatanganinya, maka habislah hartamu itu. Jadi tanda tangan itu –baarakallahu fiikum jami’an– maknanya adalah engkau menyetujui ucapan sebelumnya dan sepakat dengannya.

Syubhat keenam:

Salah seorang dari mereka menukil dari Asy-Syaikh Rabi’ hafizhahullah bahwasanya beliau berkata dalam Majmu’ul Fatawa war Rasail: “Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi was sallamtelah memenuhi permintaan orang-orang musyrik beberapa perkara pada Perjanjian Hudaibiyah demi menjaga maslahat.” Bahkan sebagian mereka menukil dari Asy-Syaikh Rabi’ bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam mengalah sampai pada sebagian PERKARA-PERKARA PRINSIP.

Bantahannya:
Kami jelaskan kepada kalian –baarakallahu fiikum– bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam TIDAK MENGALAH dari perkara-perkara PRINSIP pada Perjanjian Hudaibiyah, karena Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam hanya mengalah dari penulisan.
Apakah beliau mengalah dari kerasulan?! Apakah mereka mengatakan kepada beliau: “Tandatanganilah sekarang dengan menulis atau setujuilah bahwa engkau bukan seorang rasul!” Lalu ketika itu beliau mengatakan: “Ya, saya bukan seorang rasul.” Apakah beliau mengatakan demikian TIDAK, hanyalah ketika beliau mengatakan: “Bismillahiramanirrahim.” Maka mereka menolaknya dengan mengatakan: “Kami tidak mengetahui siapa itu Ar-Rahman dan Ar-Rahim, tulislah saja “Bismika Allahumma!” Maka beliau pun menyuruh agar menulis “Bismika Allahumma.” Beliau berpindah dari apa ke apa?! Dari perkara yang boleh ke perkara yang boleh juga. Lalu ketika beliau mengatakan: “Ini adalah perjanjian antara rasul utusan Allah.” Maka mereka menolaknya dengan mengatakan: “Seandainya engkau benar-benar rasul utusan Allah, tentu kami tidak akan memerangimu, tulis saja “Muhammad bin Abdillah!” Maka beliau pun mengatakan: “Wahai Ali, tulislah “Muhammad bin Abdillah!” Beliau berpindah dari perkara yang boleh kepada perkara lain yang boleh. Yaitu dari kata “Rasulullah” kepada “Muhammad bin Abdillah.” Yang ini boleh dan yang itu juga boleh. Tidak ada padanya sikap mengalah sedikitpun. Pada sebagian riwayat disebutkan beliau mengatakan: “Demi Allah, sesungguhnya aku adalah rasul utusan Allah.”

Jadi –baarakallahu fiikum– tidak tepat berdalih dengan mengatakan bahwa Rasulullahshallallahu ‘alaihi was sallam mengalah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi was sallam hanya mengalah dari perkara-perkara yang dibenarkan oleh syari’at yang boleh untuk mengalah darinya dan boleh berdamai atasnya. Tetapi tidak boleh untuk dikatakan bahwa beliau mengalah dari perkara-perkara prinsip atau dari prinsip-prinsip dasar Islam. Pernyataan semacam ini SALAH.

(SELESAI, Alhamdulillah)
WhatsApp Miratsul Anbiya Indonesia

http://miratsul-anbiya.net/

Artikel terkait:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *