Bantahan Para Ulama Ahlussunnah Terhadap Isi Perjanjian Asy Syaikh Al Imam dengan Pentolan Rafidhah Hutsiyun (Bag. 2)

Bismillahirrohmanirrohim. o

bantahan para ulama ahlussunnah terhadap isi perjanjian syaikh al imam dgn rafidhah hutsiyyin 2

Bantahan Para Ulama Ahlussunnah

Terhadap Isi Perjanjian Asy Syaikh Al Imam Dengan Pentolan Rafidhah Hutsiyun (2)

Bantahan Asy-Syaikh Arafat Bin Hasan Al-Muhammady

Ini adalah pertanyaan yang diajukan kepada asy-Syaikh Arafat bin Hasan Al-Muhammady -hafizhahullah- berkaitan penjelasan tentang KESEPAKATAN “Hidup Berdampingan dan Bersaudara yang dikeluarkan oleh Asy-Syaikh Muhammad Al-Imam.

Audio ini direkam pada hari Sabtu tanggal 28 Ramadhan 1435 H.

Pertanyaan: Semoga Allah berbuat baik kepada Anda, Syaikh kami.

Bagaimana pendapat Anda terhadap penjelasan Syaikh Al-Imam, pernyataan, dan tanda tangan beliau bersama Hutsiyun yang termasuk kelompok Rafidhah, yang mana penjelasan tersebut mengandung perkara-perkara yang orang awam saja mengingkarinya, apalagi Ahlus Sunnah?

Kemudian bagaimana tanggapan Masayikh terhadap penjelasan tersebut?

Semoga Allah memberkahi Anda.

Jawaban: Penjelasan ini adalah penjelasan yang bathil dan telah ditanyakan kepada Masayikh. Mereka pun berlepas diri kepada Allah darinya. Diantara mereka adalah Syaikh Rabi’, Syaikh Ubaid, dan Abdullah Al-Bukhary. Sebagian mereka saya dengar langsung dan sebagian yang lain berdasarkan berita yang sampai kepada saya. Pada penjelasan tersebut mengandung kebathilan dan berisi kedustaan. Ahlus Sunnah yang jujur wajib atas mereka untuk berlepas diri dari penjelasan tersebut kepada Allah.

Semoga Allah mengampuni Syaikh Al-Imam. Bagaimana bisa beliau menganggap boleh hal semacam ini?!

Telah menjadi perkara yang diketahui bahwa penjelesan tersebut mengandung 3 poin kesepakatan yang semuanya bathil, semuanya mungkar dan sangat buruk. Masing-masing poin lebih buruk dan lebih jelek dari poin yang lainnya.

Sebagaimana yang kalian perhatikan, mereka memulai penjelasan tersebut dengan sebuat ayat yang agung di dalam Kitabullah, yaitu:

وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلا تَفَرَّقُوا … (١٠٣)

“Dan hendaknya kalian semua berpegang teguh dengan tali Allah dan janganlah kalian bercerai berai.” (QS. Ali Imran: 103)

Jika engkau membuka referensi kitab-kitab Rafidhah dan membaca akidah-akidah mereka, engkau akan menjumpai mereka dalam kitab-kitab tersebut menyatakan dengan jelas bahwa yang dimaksud dengan “tali Allah” pada ayat di atas adalah Ali (bin Abi Thalib), dan yang dimaksud adalah para imam (tokoh besar) mereka.

Screenshot salah satu isi perjanjian tersebut

Gambar 1. Screenshot salah satu isi perjanjian tersebut

Adapun Rafidhah mereka siap untuk menandatangani penjelasan seperti apapun, karena memang agama mereka dibangun di atas prinsip “taqiyah” (berdusta untuk melindungi diri), dan hal itu merupakan pondasi kemunafikan. Kita berlindung kepada Allah darinya.

Sangat disesalkan, saya katakan: bahwa apa yang disepakati oleh asy-Syaikh Al-Imam dalam “Penjelasan” tersebut, adalah sama persis dengan apa yang ditegaskan oleh HASAN AL-BANNA kepada para pengikut dan muridnya.

Hasan al-Banna, ketika At-Tilmisani datang kepadanya – sebagaimana dalam kitabnya “Dzikrayaat la Mudzakkirat” – dia datang bertanya kepada Hasan al-Banna, “Kami ingin tahu apa yang ada pada Syi’ah.” Demikianlah mereka menamakannya Syi’ah. Terlebih, mereka mendapati bahwa Albanna sedang melakukan pendekatan antara berbagai madzhab. Termasuk antara Syiah dengan Ikhwanul Muslimin. Kemudian dia menyebutkan bahwa Hasan Albana berupaya serius dalam mendekatkan berbagai madzhab.

Maka At-Tilmisani pun bertanya kepada Hasan Albanna tentang hal itu. Hasan Albanna melarangnya untuk masuk dalam masalah seperti ini, yakni jangan turut campur dalam urusan kami dengan Rafidhah.

Namun At-Tilmisany mengulang-ulang pertanyaannya kepada Al-Banna seraya mengatakan: “Saya tidak bertanya dalam rangka untuk bersikap fanatik atau agar perselisihan semakin meluas, tetapi saya bertanya semata-mata karena ingin mengetahui apa sebenarnya yang terjadi antara kita dengan Syi’ah.”

Ternyata Hasan Al-Banna menjawab: “Ketahuilah bahwasanya Ahlus Sunnah dan Syi’ah SAMA-SAMA MUSLIMIN, mereka dipersatukan oleh kalimat Laa ilaha illalah wa anna muhammadan rasulullah.”

Padahal ini adalah dasar akidah. Dan inilah yang juga terdapat pada “Penjelasan” tersebut.

Dalam “Penjelasan” itu disebutkan: “Kita semua Muslimun, Rabb kita satu, kitab kita satu, nabi kita satu, dan musuh kita satu.” Inilah yang dikatakan oleh Hasan Al-Banna kepada para pengikutnya.

Salah satu poin penting isi perjanjian tersebut

Gambar 2. Salah satu poin penting isi perjanjian tersebut

Hasan Al-Banna juga menyatakan: “Ahlus Sunnah dan Syi’ah memiliki kesamaan dan titik temu, adapun perselisihan diantara mereka maka itu hanya pada perkara-perkara yang masih mungkin untuk diupayakan pendekatan antara kedua pihak.”

Hal ini -sebagaimana yang telah kami isyaratkan- disebutkan di dalam kitab At-Tilmisany yang berjudul “Dzikriyaat Laa Mudzakkiraat.”

Maka perhatikanlah ucapan Hasan Al-Banna ketika menyatakan: “Adapun perselisihan diantara kedua pihak (Ahlus Sunnah dan Syi’ah) maka itu dalam perkara-perkara yang masih mungkin untuk dikompromikan diantara kedua belah pihak.”

Bandingkan dengan apa yang disebutkan dalam penjelasan tersebut: “Dan bahwasanya perselisihan kita pada perkara-perkara yang kecil yang sifatnya cabang -hal ini setelah mereka menyatakan bahwa Rabb mereka satu, kitab mereka satu, dan seterusnya- maksudnya: inilah dakwah pendekatan sebagaimana yang dinyatakan terang-terangan oleh Hasan Al-Banna. Dia habiskan hidupnya semuanya untuk menyerukannya. Ini merupakan kebathilan dan termasuk kebathilan yang paling bathil.

Bagaimana menyatakan bahwa kitab kita satu, sementara mereka meyakini bahwa ada kitab-kitab lain yang turun kepada para imam mereka?! Ini berdasarkan apa yang mereka nyatakan secara terang-terangan.

Jika engkau membaca kitab-kitab Rafidhah, engkau akan menjumpai mereka memiliki mushaf Ali dan mushaf Fathimah. Oleh karena inilah Al-Khu’iy yang dia ini termasuk tokoh mereka, dia menyatakan: “Sesungguhnya mushaf Ali berbeda dengan Al-Qur’an ini.” Maksudnya Al-Qur’an kitab kita, yaitu berbeda dalam urutan surat-suratnya. Bahkan dia menyatakan: “Para ulama (ulama Syi’ah) sepakat terhadap keberadaan kitab ini, yaitu mushaf Ali.”

Jadi jika seseorang ingin membantah Syaikh (Al-Imam) pada satu saja dari perkataan beliau: “Kitab kita satu.” Bisa jadi dia akan menulis hingga satu jilid.

Syaikh Rabi’ telah menulis sebuah kitab yang berjudul “Al-Intishaar li Kitaabillahil Aziizil Jabbar” sebanyak satu jilid. Beliau menelusuri akidah-akidah Bathiniyah yang diyakini oleh para pemimpin Rafidhah, karena mereka suka menafsirkan sebuah ayat dengan makna bathin atau yang tersembunyi. Beliau membongkar cara mereka menafsirkan Kitab Allah. Ihsan Ilahy Zhahir juga telah menulis dalam masalah tersebut sebanyak satu jilid yang berjudul Al-Qur’an dan Syi’ah.”

Kemudian ucapan beliau juga: “Dan nabi kita satu.” Ini juga merupakan kesalahan besar. Jadi apakah Nabi alaihis shalatu was salam yang disebutkan oleh Rafidhah adalah yang Allah wajibkan untuk mentaatinya, yaitu apakah beliau yang wajib untuk ditaati perintah dan demikian juga larangannya dan yang mereka peringatkan agar tidak menyelisihi beliau alaihis shalatu was salam?!

Ini tidak benar! Bahkan Nabi yang mulia ini alaihis shalatu was salam, mereka tidak menganggap perintah-perintah dan larangan-larangan beliau. Mereka juga tidak memperhatikan ketaatan kepada beliau, tetapi mereka hanya memperhatikan apa yang diada-adakan oleh Abdullah bin Saba’ berupa agama Rafidhah yang telah diketahui itu.

Diantara keyakinan mereka terhadap Nabi shallahu ‘alaihi was salam bahwasanya istri beliau (Aisyah) adalah pezina. Demikian juga termasuk keyakinan mereka terhadap Nabi yang mulia ini bahwasanya kedua putri beliau yaitu Ruqayyah dan Ummu Kultsum bukan keturunan Nabi shallallahu alaihi was salam, tetapi mereka adalah anak Khadijah dengan suaminya yang pertama. Demikianlah mereka menyatakan dengan terang-terangan dalam kitab-kitab mereka. Mereka juga meyakini bahwa Ali lebih mulia dibandingkan para nabi dan para rasul, dan bahwasanya ketaatan itu ditujukan kepada Ali. Bahkan mereka membolehkan untuk berdusta dan mengada-adakan kebohongan atas nama Nabi shallallahu alaihi was salam.

Saya sebenarnya tidak bertujuan untuk menyebutkan akidah-akidah Rafidhah karena sangat banyak dan akan panjang waktunya. Tetapi yang saya inginkan adalah menyebutkan ungkapan-ungkapan yang harus dikritik pada penjelasan tersebut.

Kemudian pada penjelasan tersebut beliau juga mengatakan: “Musuh kita satu.”

Bagaimana Syaikh bisa menganggap boleh pernyataan semacam ini?!

Tentu tidak tersembunyi bagi Syaikh siapakah sebenarnya musuh Rafidhah. Musuh Rafidhah adalah Abu Bakr, Umar, Utsman, Aisyah, dan para Shahabat semuanya, Thalhah, Zubair, mereka semuanya radhiyallahu anhum kecuali sedikit. Mereka itulah musuh Rafidhah. Oleh karena inilah termasuk keyakinan Rafidhah adalah sepakat tentang wajibnya melaknat Abu Bakr dan Umar serta berlepas diri dari keduanya.

Jadi hakekatnya yang wajib atas Syaikh dalam keadaan beliau membimbing dakwah dan memimpin salah satu markiz Ahlus Sunnah dan beberapa markiz lain yang menginduk markiz beliau sebagaimana yang disebutkan dalam penjelasan tersebut, yang wajib adalah mengucapkan perkataan yang benar dan menyatakannya dengan terang-terangan dalam rangka menjaga agama.

Jadi tidak adanya penjelasan kebenaran dan tidak adanya upaya menjaga agama termasuk kezhaliman yang paling besar terhadap kaum Muslimin, terlebih lagi terhadap siapa saja yang percaya kepada keilmuan Syaikh dan kedudukan beliau.

Allah berfirman:

إِنَّ الَّذِينَ يَكْتُمُونَ مَا أَنْزَلْنَا مِنَ الْبَيِّنَاتِ وَالْهُدَى مِنْ بَعْدِ مَا بَيَّنَّاهُ لِلنَّاسِ فِي الْكِتَابِ أُولَئِكَ يَلْعَنُهُمُ اللَّهُ وَيَلْعَنُهُمُ اللاعِنُونَ (١٥٩)

“Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang Allah turunkan berupa keterangan-keterangan yang jelas dan petunjuk setelah Kami menjelaskannya untuk manusia di dalam Al-Kitab, mereka itu dilaknat oleh Allah dan oleh semua makhluk yang bisa melaknat.” (QS. Al-Baqarah: 159)

Tidak perlu kita jelaskan akidah-akidah Rafidhah dan keyakinan mereka kepada Syaikh, karena beliau adalah ulama dalam bidang ini dan beliau telah menulis beberapa kitab tentangnya.

Tetapi nasehat kami kepada beliau hendaknya jangan menyembunyikan kebenaran sebagaimana yang beliau lakukan pada penjelasan tersebut, dan jangan sampai beliau menyelisihi apa yang telah beliau paparkan dalam kitab-kitab dan pelajaran-pelajaran beliau berupa akidah-akidah Rafidhah yang bathil dan penuh kekafiran.

Kemudian, “apakah kita berbeda pendapat hanya dalam perkara-perkara kecil yang sifatnya cabang?!” Maksudnya: apa saja perkara-perkara kecil yang sifatnya cabang tersebut?! Apakah dalam masalah thaharah (bersuci) ataukah dalam urusan shalat?! Dalam hal apa?! Kita semua mengetahui apa keyakinan Rafidhah terhadap Kitab Rabb kita, terhadap Sunnah Nabi kita, terhadap para Shahabat beliau, dan terhadap Aisyah. Jadi akidah mereka tertulis dan termaktub, mereka bangga-banggakan dan mereka sebarkan. Maka perkara-perkara semacam itu apakah bisa dikatakan dan dimutlakkan begitu saja dengan menyebutnya sebagai perkara-perkara kecil dan sifatnya cabang?! Dan telah kita isyaratkan sedikit dari akidah mereka. Jadi tidak diragukan lagi bahwa ini juga termasuk kebathilan yang paling bathil.

Lalu, dalam perjanjian itu sendiri Syaikh juga mengisyaratkan tentang hidup berdampingan dengan damai. Ketika beliau menyebutkan poin-poin dari inti penjelasan tersebut yang diantaranya adalah hidup berdampingan dengan damai diantara kedua belah pihak tanpa saling mengganggu dan tanpa berbenturan bagaimanapun keadaannya. Ini juga merupakan kebathilan bagaimanapun keadaannya. Kemudian hidup berdampingan dengan damai itu yang dimaksud seperti apa bentuknya?!

Syaikh Muhammad Al-Imam pernah dari atas mimbar beliau mentahdzir Rabithah Alam Islamy dan mentahdzir salah seorang raja, karena raja tersebut bersama Rabithah menyetujui sebuah pertemuan dengan Yahudi dan Nashara dalam rangka untuk mendiskusikan tentang hidup berdampingan dengan damai.

Kemudian Syaikh dari atas mimbar mengkritik dan menuntut mereka agar bertaubat. Jelas ini bukan jalan yang ditempuh oleh para Salaf, yaitu mencela penguasa dari atas mimbar dan membangkitkan emosi manusia.

Kemudian Syaikh dari atas mimbar mengkritik dan menuntut mereka agar bertaubat

Gambar 3. Kemudian Syaikh dari atas mimbar mengkritik dan menuntut mereka agar bertaubat.

Dengan perbuatan semacam ini, Syaikh telah terjatuh padanya bersama siapa?! Bersama orang yang lebih kafir, lebih jahat, dan lebih zhalim dibandingkan dengan Yahudi dan Nashara. Walaupun Syaikh belum mengetahui gambaran sebenarnya dari pertemuan itu, namun beliau menilainya secara mutlak sebagai persatuan agama!! Oleh karena inilah engkau tidak akan bisa mendatangkan satu kalimat pun yang terlontar dalam muktamar tersebut yang mengandung sedikit saja sikap mengalah dalam urusan agama kita atau pada salah satu dari dasar-dasar pokok agama kita.

Di samping itu, Syaikh Muhammad Al-Imam bukan seorang penguasa, sehingga beliau tidak berhak untuk menandatangani perjanjian semacam ini, membatalkan sedikit pun, atau mengeluarkan penjelasan semacam itu. Beliau termasuk rakyat juga dan di leher beliau terdapat baiat yang wajib untuk dipenuhi kepada pemerintah. Dan langkah beliau semacam ini dianggap oleh para ulama sebagai sikap mengambil tindakan tersendiri.

Perjanjian damai semacam ini tidak boleh dilakukan oleh individu, karena itu merupakan hak pemerintah. Kalau pemerintah menyerahkan tugas atau dia merupakan wakil pemerintah, maka boleh. Dan ini merupakan perkara yang disepakati oleh para ulama ahli fikih. Diantara yang menukil kesepakatan tersebut adalah Ibnu Qudamah rahimahullah. Karena terkadang seseorang bisa jadi berdamai dengan pihak-pihak tertentu atau dengan wilayah lain, padahal maslahatnya justru dengan memeranginya.

Kemudian memenuhi sebuah perjanjian damai tidak boleh kecuali yang sesuai dengan nash-nash (dalil-dalil) dan kaedah-kaedah syariat serta sesuai dengan tujuan-tujuan syariat. Adapun dengan dengan poin-poin yang bathil semacam ini, maka tidak boleh memenuhinya.

Pada penjelasan itu juga terdapat sikap untuk tidak menganjurkan atau menahan diri dari pembicaraan yang sifatnya membangkitkan semangat, demikian juga tentang hidup berdampingan dengan damai, beliau menyebutkan untuk tidak berbenturan dan berperang bagaimana pun keadaannya dan apapun alasannya. Ini bathil dan tidak benar. Seandainya dikatakan seperti ini, niscaya jihad akan terlantar.

Padahal telah diketahui bahwa jihad di Yaman sekarang ini yang ditegakkan oleh Ahlus Sunnah adalah jihad yang sifatnya membela diri (defensive). Mereka berhak untuk membela diri, membela agama, dan membela kehormatan mereka. Dan ini berdasarkan ijma’ para ulama. Jadi jihad tersebut adalah jihad untuk membela diri dari kejahatan orang-orang zindiq dan munafik yang membunuhi kaum Muslimin dan meledakkan masjid-masjid mereka.

Kemudian pada poin itu juga disebutkan tentang kebebasan berfikir. Ini tidak butuh untuk dibicarakan lagi. Seorang penuntut ilmu yang baru belajar pun mengetahui pengingkaran para ulama terhadapnya dan bahwa itu adalah ucapan yang buruk dan jahat. Tidak diragukan lagi bahwa termasuk keyakinan Rafidhah adalah kebebasan berfikir.

Yang menguatkan hal itu adalah bahwa di akhir zaman nanti sebagaimana yang mereka sebutkan bahwasanya imam yang mereka tunggu-tunggu akan muncul dan akan menegakkan syariat. Jika dia telah muncul, dia akan menjalankan hukum Dawud alaihis salam. Hal itu sebagaimana yang disebutkan oleh Al-Kulainy dalam kitab Ushuulul Kaafy. Jadi menurut mereka jika ada seseorang dari keluarga Muhammad (ahlul bait) telah muncul, dia akan menerapkan hukum Dawud dan Sulaiman. Jika demikian, agama kita menurut mereka tidak dibutuhkan. Dan telah diketahui kesepakatan bahwa tidak boleh bagi seorang pun untuk berhukum selain dengan syariat Al-Qur’an. Ini berdasarkan kesepakatan kaum Muslimin.

Jadi istilah “kebebasan berfikir” dimunculkan oleh orang-orang sekuler dan liberal hingga mereka menjadikannya sebagai dalih untuk membolehkan kekafiran dan kemurtadan atas nama kebebasan tersebut. Jangan sampai ada yang mengatakan: “Yang dimaksud oleh orang yang mengatakannya hanyalah kebebasan berfikir dan memperhatikan atau merenungkan sesuatu!”

Ini tidak benar, karena istilah ini telah dikenal. Bahkan ini juga termasuk istilah Freemansony yang paling masyhur.

Apakah akidah Rafidhah termasuk kebebasan, sehingga mengikrarkan dan menandatangani perjanjian tersebut bersama Rafidhah?! Padahal mereka membunuhi kaum Muslimin! Inikah yang dinamakan kebebasan itu?! Mereka melakukan kerusakan di muka bumi, mengobarkan kekacauan, bertindak sewenang-wenang, menghancurkan masjid-masjid, dan mencabik-cabik umat. Maka bagaimana bisa menandatangani tentang kebebasan berfikir bersama mereka dalam penjelasan tersebut?!

Oleh karena inilah engkau jumpai pada tulisan-tulisan dan ucapan-ucapan Hasan Ash-Shaffar Ar-Rafidhy sering berbicara tentang kebebasan berfikir.

Dan Syaikh Rabi’ ketika membantah Sayyid Quthub dalam kitab beliau yang berjudul Al-Awashim wal Qawashim, beliau mengisyaratkan bahwa Sayyid Quthub sering mendengung-dengungkan kebebasan berfikir dan kebebasan berkeyakinan. Demikian juga Yusuf Al-Qaradhawy.

Syaikh Rabi’ juga telah menukil fatwa Syaikh Ibnu Utsaimin dalam kitab Al-Awashim wal Qawashim.

Maka tidak diragukan lagi bahwa ungkapan ini seandainya berasal dari orang-orang sekuler dan liberal atau Jurji Zaidan, atau Iliya Abu Madhy, atau Thaha Abu Husain, engkau tidak akan merasa heran. Tapi masalahnya ungkapan ini muncul dari sebuah penjelasan yang ditandatangani oleh seorang syaikh salafy. Tentu ini merupakan kesalahan besar.

Inilah yang ingin kami berikan catatan atau komentar terhadap pertanyaan ini.

Maka kita memohon kepada Allah Azza wa Jalla agar mengembalikan Syaikh Muhammad kepada kebenaran dan kita berharap beliau mengeluarkan sesuatu yang menjelaskan rujuknya dari penjelasan yang beliau tanda tangani tersebut.

Kemudian juga pada penjelasan itu disebutkan tentang menanamkan jiwa persaudaraan dan saling membantu. Maksudnya saling membantu dengan Rafidhah. Padahal mereka membunuhi umat Islam, menghancurkan masjid-masjid mereka, dan suka melanggar perjanjian.

Maka yang wajib atas Syaikh jika beliau melihat adanya bahaya yang mengancam keselamatan beliau untuk keluar dari wilayah provinsi tersebut (Ma’bar di Provinsi Dzammar) dan meninggalkannya serta pindah ke tempat yang lain. Karena Nabi shallallahu alahi was sallam ketika dahulu beliau di Makkah, beliau berhijrah ke Madinah. Padahal telah diketahui bahwa Makkah adalah tempat yang paling dicintai oleh Allah.

Ahmad bin Hanbal rahimahullah ketika ditanya tentang wilayah-wilayah yang dikuasai oleh Khawarij, beliau menyuruh agar kaum Muslimin keluar meninggalkannya, dan beliau mengatakan: “Tinggalkan wilayah itu, karena mereka suka membunuh umat Islam namun justru membiarkan para penyembah berhala!”

Demikianlah yang seharusnya juga dalam menyikapi Rafidhah. Jika engkau merasa bahwa engkau tidak mampu bersabar dan tidak mampu berperang membela dirimu, keluargamu, agamamu, dan hartamu, maka keluarlah dan tinggalkanlah negerimu untuk mereka.

Ini yang kita katakan, dan yang wajib atas Syaikh adalah rujuk dari kesalahannya tersebut.

Demikian juga ketika di awal penjelasan itu menyebutkan ayat:

إِنَّما الْمُؤْمِنُوْنَ إِخْوَةٌ

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu bersaudara.” (QS. Al-Hujurat: 10)

Screenshot ayat 10 surah al Hujurat di dalam surat perjanjian tersebut

MAKA DEMI ALLAH, RAFIDHAH BUKAN SAUDARA KITA.(*)

Kemudian setelah ayat tersebut, beliau mengiringinya dengan sebuah bid’ah, yaitu ucapan “shadaqallahul azhim.”

Sepertinya -wallahu a’lam- Syaikh disodori penjelasan tersebut, lalu beliau menandatanganinya dalam keadaan telah siap dan telah ditulis.

Kalau tidak demikian, maka hal-hal semacam ini mampu itu diperbaiki yang salah oleh Syaikh. Dan beliau bisa mengatakan: “Kita hanya membicarakan tentang menjaga pertumpahan darah, dan kalian tidak memiliki kaitan dengan perkara-perkara yang lainnya.”

Anehnya, pada poin ketiga Syaikh menyebutkan bahwa di sana ada kelompok yang disusupkan atau ada kelompok penyusup atau pihak lain yang disusupkan yang berusaha untuk merusak kesepakatan antara kedua belah pihak.

Ini ucapan yang tidak benar dan bathil. Tidak ada penyusup, tidak ada orang-orang zindiq, dan tidak ada musuh-musuh kaum Muslimin selain Rafidhah.

Merekalah para penyusup itu, merekalah orang-orang kafir dan jahat, merekalah yang membunuhi umat Islam, merekalah yang melampaui batas, merekalah yang melakukan berbagai kejahatan terhadap kaum Muslimin. Sebagaimana yang terlihat, dan fakta menjadi bukti di semua tempat. Di Iran, di Iraq, di Suria, di Yaman, dan di Bahrain.

Maka tidak diragukan lagi bahwa poin terakhir ini juga bathil dan tidak benar.

Syaikh juga menyatakan bahwa beliau akan menjalin hubungan atau komunikasi dengan mereka dan akan terus menjaga hubungan itu.

Saya tidak tahu bagaimana beliau kok bisa menjalin hubungan dengan orang-orang jahat dan pendusta itu?!
Semoga Allah memberi taufik kepada semuanya kepada apa-apa yang dicintai dan diridhai oleh-Nya.

ﻭﺻﻠَّﻰ ﺍﻟﻠّﻬﻢّ ﻋﻠﻰ ﻣﺤﻤَّﺪ ﻭﻋﻠﻰ ﺁﻝ ﻣﺤﻤَّﺪ ﻭﻋﻠﻰ ﺁﻟﻪ ﻭﺻﺤﺒﻪ.

Transkrip kalam Syaikh Arafat:

http://www.ajurry.com/vb/showthread.php?t=38906&p=115361#post115361

Audio:

atau download di sini

(*) Tambahan dari kami (tpah)

———–***———–

FATWA AL FAUZAN: SYIAH-RAFIDHAH BUKAN SAUDARA KITA

(Asy Syaikh Al Alamah Shalih bin Fauzan Al Fauzan hafidzahullah)

 

Pertanyaan:

“Ketika berbicara tentang Syiah dan Rafidhah sebagian para dai dan penuntut ilmu mengatakan, ‘Sesungguhnya mereka adalah saudara kita.’ Apakah boleh kita mengatakan itu? Apa yang wajib bagi kita dalam hal itu?”

Jawaban:

“Kita berlepas diri darinya. Kita berlepas diri dari perkataan ini. Mereka bukan saudara kita. Demi Allah, mereka bukan saudara kita. Bahkan mereka saudaranya setan. Karena mereka mencerca Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu’anha, istri Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam yang Allah pilih untuk Nabi-Nya shalallahu ‘alaihi wasalam, As Sidiqiyah putri As Sidiq.

Mereka mengkafirkan Abu Bakar dan  Umar radhiyallahu ‘anhuma dan mereka melaknat keduanya. Mereka mengkafirkan para sahabat secara umum kecuali ahli bait, Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu, bersaman dengan itu mereka adalah musuh Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu. Ali radhiyallhu’anhu berlepas diri dari mereka. Ali radhiyallahu ‘anhu imam kita, bukan imam mereka, imam Ahlu Sunah, bukan imam Rafidhah yang keji.

Maka kita berlepas diri dari meraka dan mereka bukan saudara kita. Barang siapa mengatakan, ‘Mereka saudara kita’, hendaknya bertaubat kepada Allah dan beristighfar kepada Allah. Allah ‘azza wa jalla mewajibkan bagi kita sikap berlepas diri dari pelaku kesesatan dan sikap loyalitas pada pelaku keimanan.”

Dialihbahasakan oleh Abu Abdillah Zaki Ibnu Salman

Sumber : WhatsApp Thulab Fiyus

Audio:

atau download di sini

Baca artikel terkait:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *