Bantahan Para Ulama Ahlussunnah
Terhadap Isi Perjanjian Asy Syaikh Al Imam Dengan Pentolan Rafidhah Hutsiyun (1)
Muqaddimah Dari Masyaikh
(asy-Syaikh Rabi al-Madkhali, asy-Syaikh ‘Ubaid al-Jabiri, asy-Syaikh ‘Abdullah al-Bukhari Hafizhahumullah)
البركة مع اكابركم
Keberkahan itu bersama ulama Kibar kalian
Berikut ini isi perjanjian yang ditandatangani dengan seorang pentolan Syiah Hutsiyin di Yaman, Sayyid Abdul Malik Badruddin Al Hutsyi.
Gambar 1. Surat perjanjian yang kontroversial tersebut
Sebagian terjemahannya…
…Segala puji bagi Allah yang telah berfirman:
“Sesungguhnya tiada lain orang-orang yang beriman itu bersaudara”
Maha benar Allah Yang Maha Agung (dengan segala firmanNya).
Shalawat dan salam semoga terlimpah kepada pemuka kita Muhammad dan kepada keluarganya yang suci, dan semoga Allah meridhai para shahabat beliau yang pilihan dari kalangan Muhajirin dan Anshor dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik.
Kita adalah sesama muslim seluruhnya, Rabb kita satu, kitab kita satu, Nabi kita satu dan musuh kita satu, meskipun kita berbeda dalam masalah furu’ (cabang) yang terperinci. Dan Islam mengharamkan darah, kehormatan dan harta kita atas sebagian kita kepada sebagian yang lain sebagai sesama muslim.
Dan bersandarkan kepada hal ini, maka telah sempurnalah sebuah kesepakatan antara kelompok Ansharullaah (dan yg mewakili kelompok ini adalah as Sayyid Abdul Malik Badruddiin al Hutsy) dengan Salafiyin di Markaz an Nuur di Ma’bar dan markaz-markaz yang lain yang mengikutinya (dan yang mewakili mereka adalah asy Syaikh Muhammad bin Abdillah al Imam)….dst
Maka berikut ini pengantar bantahan Asy Syaikh Arafat terhadap Asy Syaikh Muhammad Al Imam yang ditulis oleh 3 masyaikh Ahlussunnah.
PENGANTAR DARI ASY SYAIKH RABI’ AL MADKHALY ATAS BANTAHAN SYAIKH ARAFAT
TERHADAP SYAIKH MUHAMMAD AL-IMAM
بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه ومن اتبع هداه أما بعد:
Saya telah membaca apa yang telah ditulis oleh Asy-Syaikh Arafat bin Hasan Al-Muhammady tentang khutbah yang menegaskan atau menguatkan perjanjian bathil yang telah berlangsung antara Muhammad Al-Imam dan Rafidhah Hutsiyun yang merupakan musuh-musuh Kitab Allah, sunnah Rasul-Nya, musuh para Shahabat yang mulia, serta musuh Ahlus Sunnah. Hal itu sudah merupakan sifat Rafidhah sepanjang sejarah Islam. Ini adalah perkara yang diketahui oleh para ulama Ahlus Sunnah dan para penuntut ilmu, bahkan banyak kaum Muslimin yang awam. Sedangkan Muhammad Al-Imam sangat mengetahuinya dengan jelas. Kitab-kitab Rafidhah penuh dengan celaan mereka terhadap para Shahabat Rasulullah, mengkafirkan mereka, mengkafirkan Ahlus Sunnah, mengubah-ubah Al-Qur’an, tidak mengakui sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi was sallam yang tertulis dalam Ash-Shahihain (Shahih Al-Bukhary dan Shahih Muslim –pent) dan kitab-kitab As-Sunnah yang lainnya.
Diantara ucapan mereka adalah apa yang dikatakan oleh seorang Rafidhah zindiq yang bernama Ni’matullah Al-Jazairy tentang Rafidhah: “Kita tidak akan pernah bersatu dengan mereka –maksudnya Ahlus Sunnah– dalam hal sesembahan, nabi, dan imam. Hal itu karena mereka menyatakan bahwa Rabb mereka adalah yang mengutus Muhammad sebagai nabi, dan khalifah setelahnya adalah Abu Bakar. Sedangkan kita tidak mengakui Rabb yang seperti ini dan tidak pula mengakui nabi tersebut. Bahkan kita menyatakan bahwa Rabb yang khalifah yang menggantikan nabi-Nya adalah Abu Bakar maka Dia bukanlah Rabb kita, dan nabi tersebut bukanlah nabi kita.” (Al-Anwaar An-Nu’maniyyah, II/278)
Muhammad Al-Imam sangat mengetahui perkara ini dengan jelas, dan dia telah menulisnya di dalam kitabnya yang membantah Rafidhah Hutsiyun yang berjudul “An-Nushrah Al-Yamaaniyyah” dan dia mengetahui banyak sekali tentang kesesatan mereka. Dan saya yakin dia mengetahui kebathilan dari kesepakatan ini yang telah menyakiti As-Sunnah dan orang-orang yang berpegang teguh dengannya dan mereka pun sangat merasa tersakiti karenanya dan sangat mengingkarinya dengan keras. Sedangkan musuh-musuh mereka justru merasa senang dengannya sehingga mereka akan menjadikan kesepakatan tersebut sebagai pijakan untuk mencela Salafiyun secara umum dan mencela akidah dan manhaj mereka. Jadilah mereka menuduh Ahlus Sunnah telah menjalin ukhuwwah dengan Rafidhah dan mereka pun telah memvonis kafir terhadap Muhammad Al-Imam disebabkan kesepakatan tersebut dan mengisyaratkan vonis kafir terhadap Salafiyun akibat kesepakatan tersebut.
Maka yang dituntut dari Muhammad Al-Imam adalah mengumumkan pembatalan kesepakatan yang bathil ini yang keadaannya tepat dengan sabda Rasulullah shallallahu alaihi was sallam:
مَا كَانَ مِنْ شَرْطٍ لَيْسَ فِيْ كِتَابِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ فَهُوَ بَاطِلٌ وَإِنْ كَانَ مِائَةَ شَرْطٍ.
“Apa pun syarat yang tidak ada di dalam Kitab Allah Azza wa Jalla, maka syarat tersebut bathil walaupun ada 100 syarat.”
Pengumuman semacam ini benar-benar sedang ditunggu-tunggu oleh Salafiyun. Jadi wajib atas Al-Imam untuk segera mengeluarkan pengumuman ini yang merupakan perkara yang diwajibkan oleh Islam atasnya, dan dengannya dia bisa lepas dari segala konskwensinya dan selamat dari kemurkaan Ar-Rahman.
Ditulis oleh:
Rabi’ bin Hady Umair
——–***——–
PENGANTAR DARI ASY-SYAIKH UBAID BIN ABDILLAH AL-JABIRY
ATAS BANTAHAN SYAIKH ARAFAT TERHADAP SYAIKH MUHAMMAD AL-IMAM
بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله رب العالمين وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين أما بعد:
Saya telah membaca perjanjian jahat dan zhalim yang ditulis oleh Hutsiyun dan ditandatangani oleh Muhammad bin Abdillah Ar-Raimy yang terkenal dengan Al-Imam. Demikian juga saya telah menelaah isi khutbahnya pada Idul Fitri tahun ini yaitu tahun 1435 H yang terus menerus dan dengan keras mengandung pembelaan terhadap kebathilannya yang dia lakukan dengan menandatangani perjanjian tersebut. Di sinilah sepantasnya untuk mengingatkan dua perkara yang penting:
Pertama: Keadaan Hutsiyun, tidak tersembunyi dari seorang muslim dan muslimah pun yang memiliki pandangan dan mata hati, bahwasanya mereka adalah Rafidhah Bathiniyah yang kafir. Bahkan Al-Akh Muhammad Al-Imam pun mengetahui hal itu dengan yakin. Hal ini diketahui darinya berdasarkan berita yang bersumber dari kitabnya sendiri yang berjudul “An-Nushrah Al-Yamaaniyyah Fii Bayaani Maa Ihtawathu Malaazim Za’iimith Thaa-ifah Al-Huutsiyyah Min Dhalalaatin Iiraaniyyah” yang di dalamnya dia telah menyingkap tentang berbagai kekafiran, kehinaan, dan kejahatan mereka yang tidak terhitung jumlahnya.
Jadi di sini muncul pertanyaan: Bagaimana bisa Al-Akh Muhammad menandatangani perjanjian zhalim dan jahat tersebut?! Padahal perjanjian tersebut mengandung pernyataan bahwa kelompok Hutsiyun adalah termasuk kaum Muslimin yang beriman, sebagaimana juga yang ditunjukkan ketika mereka mengawali perjanjian mereka dengan firman Allah Ta’ala:
إِنَّما الْمُؤْمِنُوْنَ إِخْوَةٌ.
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu bersaudara.” (QS. Al-Hujuraat: 10)
Jadi konsekwensi dari pernyataan di atas adalah meyakini bahwa mereka memiliki hak ukhuwwah karena keimanan.
Dia tidak mengetahui –semoga Allah memaafkan kita dan dia– bahwa dengan dia menandatangani isi perjanjian tersebut dia telah memasukkan kepada Ahlus Sunnah hal-hal yang bukan termasuk bagian dari agama mereka. Hal itu karena penandatanganannya terhadap perjanjian tersebut merupakan bentuk pengakuan atau persetujuan darinya terhadap tindakan kekafiran dari keyakinan Rafidhah Bathiniyah mereka. Yang semakin menguatkan dan memperjelas hal ini adalah apa yang terdapat dalam perjanjian tersebut: “Kita semua muslimun, Rabb kita satu, kitab kita satu, nabi kita satu, dan musuh kita satu, walaupun kita berbeda pendapat dalam perkara-perkara yang kecil yang sifatnya cabang.”
Saya bertanya kepadamu wahai Syaikh Muhammad, dan saya meminta jawabannya darimu dengan jelas dan tegas: apakah engkau lupa terhadap apa yang pernah engkau paparkan tentang kelompok yang sesat dan menyimpang tersebut dan yang telah engkau singkap hakekat mereka, yaitu dalam kitab An-Nushrah Al-Yamaaniyyah?! Ataukah engkau telah menghapusnya sehingga seakan-akan tidak pernah ada?! Ataukah Hutsiyun telah bertaubat dari kekafiran mereka secara terang-terangan?!
Saya tanyakan kepadamu pertanyaan-pertanyaan ini dalam keadaan saya yakin bahwa antara engkau dengan perkara yang terakhir ini ada perkara yang sangat berat. Jika engkau berakal dan memiliki kecemburuan terhadap As-Sunnah, maka wajib atas engkau untuk bertaubat secara terang-terangan dari tindakanmu menandatangani perjanjian tersebut. Sama saja apakah engkau mengetahui atau tidak mengetahui, tindakanmu menandatangani perjanjian tersebut merupakan bentuk persetujuan terhadap kekafiran mereka. Penjelasannya adalah karena kekafiran kelompok tersebut diketahui sampai oleh kaum Muslimin yang awam di Yaman sekalipun, apalagi para ulama dan penuntut ilmu yang telah mapan.
Gambar 2. Beda ulama dengan MLM. Bantahan Asy Syaikh Arafat dengan pengantar dari 3 ulama Ahlussunnah dan pujian di akun Abu Abdirrahman Al Kutawy
Jadi bagaimana engkau bisa demikian lancang menyetujui perkara yang sudah jelas (kebathilannya –pent) bagi orang-orang yang baik dari saudara-saudara kita dan anak-anak kita di Yaman, semoga Allah menjaganya dan menjaga negeri-negeri Muslimin dari keburukan dan kejelekan dalam perkara agama dan dunia. Dan menurut saya tidak ada penafsiran atau penjelasan yang bisa diterima bagi urusanmu, kecuali bahwa engkau telah menempuh cara salah satu kelompok dakwah yang sesat di masa ini, yaitu Al-Ikhwan Al-Muslimun. Jadi apakah engkau mengetahuinya ataukah tidak?!
فَإِنْ كُنْتَ لَا تَدْرِيْ فَتِلْكَ مُصِيْبَةٌ وَإِنْ كُنْتَ تَدْرِيْ فَالْمُصِيْبَةُ أَعْظَمُ
“Jika engkau tidak mengetahui maka itu merupakan musibah.
Namun jika engkau mengetahui maka musibahnya lebih besar lagi.”
Kedua: WAJIB ATAS ULAMA YAMAN DAN PARA PENUNTUT ILMU YANG TELAH MAPAN UNTUK SECEPATNYA MENGUMUMKAN DENGAN JELAS DAN TEGAS SIKAP BERLEPAS DIRI PENANDATANGANAN TERHADAP PERJANJIAN TERSEBUT.
Demikian yang terakhir dari apa yang ditulis untuk membantah perjanjian tersebut dan penandatanganannya, hanya Allah saja yang bisa memberi taufik.
وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين.
Ditulis oleh:
Ubaid bin Abdillah bin Sulaiman Al-Jabiry
Malam Kamis, 11 Syawwal 1435 H
——–***——-
PENGANTAR ASY-SYAIKH ABDULLAH AL-BUKHARY ATAS BANTAHAN ASY-SYAIKH ARAFAT TERHADAP ASY-SYAIKH MUHAMMAD AL-IMAM
بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله رب العالمين والصلاة والسلام على نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين أما بعد:
Saya telah membaca apa yang ditulis oleh saudara kami dan murid kami Asy-Syaikh Arafat bin Hasan bin Ja’far Al-Muhammady –semoga Allah memberinya taufik– berupa bantahan terhadap khutbah Idul Fitri tahun 1435 H yang disampaikan oleh saudara kami Asy-Syaikh Muhammad Al-Imam –semoga Allah memberi taufik beliau kepada hidayah-Nya– yang di dalamnya beliau menetapkan perjanjian untuk hidup berdampingan dan bersaudara dengan Rafidhah Hutsiyun yang telah beliau tandatangani pada waktu yang lalu di bulan Ramadhan tahun ini 1435 H.
Maka saya menjumpai bantahan ini pada tempatnya dan penulisnya telah benar, semoga Allah selalu memberinya taufik kepada yang benar.
Orang yang memperhatikan perjanjian yang penuh dosa itu benar-benar akan mengetahui bahwa hal itu hakekatnya merupakan bencana besar yang menimpa Ahlus Sunnah dengan sebenar-benarnya. Dan yang wajib atas Asy-Syaikh Muhammad Al-Imam untuk meminta pertimbangan kepada para ulama dan bermusyawarah dengan mereka sebelum melakukan perkara semacam ini. Beliau sangat mengetahui dengan benar hakekat Hutsiyun –semoga Allah memperburuk mereka– dan juga keyakinan-keyakinan mereka yang sesat serta kelakuan mereka yang buruk. Hal itu dalam rangka menjalankan perintah Allah Tabaaraka wa Ta’aala:
وَإِذَا جَاءَهُمْ أَمْرٌ مِّنَ الأَمْنِ أَوِ الْخَوْفِ أَذَاعُواْ بِهِ وَلَوْ رَدُّوْهُ إِلَى الرَّسُوْلِ وَإِلَى أُولِي الأَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِيْنَ يَسْتَنبِطُوْنَهُ مِنْهُمْ وَلَوْ لاَ فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ لاَتَّبَعْتُمُ الشَّيْطَانَ إِلاَّ قَلِيْلاً.
“Dan jika datang kepada mereka sebuah perkara berupa ketakutan atau keamanan, mereka terburu-buru menyiarkannya. Seandainya mereka mau mengembalikan urusannya kepada Rasul dan ulil amri mereka, tentu orang-orang yang ingin mengambil keputusan yang tepat bisa mengetahuinya dengan bertanya kepada mereka. Seandainya bukan karena keutamaan Allah dan rahmat-Nya atas kalian, niscaya kalian akan mengikuti syaithan kecuali sedikit saja diantara kalian.” (QS. An-Nisaa’: 83)
Guru dari para guru kita yaitu Al-Allamah Abdurrahman As-Sa’dy rahimahullah berkata dalam tafsirnya pada halaman 179: “Ini teguran dari Allah kepada hamba-hamba-Nya tentang perbuatan mereka yang tidak pantas ini, dan bahwasanya sepantasnya bagi mereka jika datang kepada mereka sebuah perkara penting dan kepentingan umum yang berkaitan dengan keamanan dan kegembiraan orang-orang yang beriman, atau yang berkaitan dengan ketakutan yang padanya terdapat musibah yang menimpa mereka, hendaknya mereka meneliti dan memastikan duduk perkaranya serta tidak terburu-buru untuk menyebarkan berita tersebut. Tetapi hendaknya mereka mengembalikannya kepada Rasul dan ulil amri diantara mereka, yaitu orang-orang yang memiliki pandangan yang tajam, ilmu, nasehat, akal, dan kematangan. Yaitu orang-orang yang bisa mengetahui perkara dan bisa menimbang mana yang merupakan maslahat dan mana yang kebalikannya. Jika mereka memandang dengan menyiarkannya ada maslahatnya, membangkitkan semangat bagi kaum Mu’minin, memberikan kegembiraan bagi mereka, dan melindungi dari kejahatan musuh-musuh mereka, maka mereka pun melakukannya. Dan jika mereka memandang bahwa padanya tidak terdapat maslahat, atau padanya terdapat maslahat hanya saja madharatnya mengalahkan maslahatnya, maka mereka pun tidak menyiarkannya. Oleh karena inilah Dia berfirman:
لَعَلِمَهُ الَّذِيْنَ يَسْتَنبِطُوْنَهُ مِنْهُمْ.
“Tentu orang-orang yang ingin mengambil keputusan yang tepat bisa mengetahuinya dengan bertanya kepada mereka.”
Maksudnya menggali dengan pemikiran dan pendapat mereka yang lurus dan ilmu mereka yang terbimbing.
Dan pada ayat ini terdapat dalil bagi kaedah yang sifatnya adab, yaitu jika terjadi sebuah pembahasan pada sebuah perkara maka sepantasnya untuk diserahkan kepada ahlinya, diberikan kepada ahlinya, dan tidak mendahului mereka. Karena sesungguhnya hal itu lebih dekat kepada yang benar dan lebih pantas untuk selamat dari kesalahan.
Padanya juga terdapat larangan dari sikap tergesa-gesa dan terburu-buru menyiarkan perkara sejak mendengarnya, dan perintah untuk memperhatikan dan memikirkan secara mendalam sebelum berbicara; apakah itu merupakan maslahat sehingga seseorang melakukannya, ataukah sebaliknya sehingga dia menahan diri darinya?
Kemudian Allah berfirman:
وَلَوْ لاَ فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ.
“Seandainya bukan karena keutamaan Allah dan rahmat-Nya atas kalian.”
Maksudnya dengan memberi taufik kepada kalian, mendidik kalian, dan mengajari kalian hal-hal yang sebelumnya tidak kalian ketahui.
Firman-Nya:
لاَتَّبَعْتُمُ الشَّيْطَانَ إِلاَّ قَلِيْلاً.
“Niscaya kalian akan mengikuti syaithan kecuali sedikit saja diantara kalian.”
Hal itu karena manusia tabiat dasarnya zhalim dan jahil, sehingga jiwanya tidak menyuruh kecuali kecuali keburukan. Maka jika dia berlindung kepada Rabb-nya, berpegang teguh dengan urusan-Nya serta bersungguh-sungguh melakukannya, maka Rabb-nya akan menurunkan kelembutan-Nya dan memberinya taufik kepada semua kebaikan, dan menjaganya dari syaithan yang terkutuk.” –selesai perkataan As-Sa’dy rahimahullah–
Oleh karena inilah maka saya memandang wajib atas saudara kami Asy-Syaikh Muhammad Al-Imam untuk berlepas diri dari perjanjian tersebut, karena –sebagaimana yang telah saya katakan– perjanjian tersebut mengandung bencana besar yang menimpa orang-orang yang berpegang teguh dengan kebenaran serta merupakan bentuk pembelaan terhadap para pendengki dan orang-orang zindiq.
Semoga Allah mensyukuri saudara kami yang mengkritik atas usaha nasehatnya kepada Asy-Syaikh Al-Imam, dan bagi kaum Muslimin secara umum serta bagi agama Allah.
Saya memohon kepada Allah Rabb pemilik Arsy yang mulia agar memberi taufik kita kepada hal-hal yang Dia ridhai, serta mengokohkan kita di atas Islam dan As-Sunnah hingga kita berjumpa dengan-Nya.
وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم.
Ditulis oleh:
Abdullah bin Abdurrahim Al-Bukhary
Di Al-Madinah An-Nabawiyyah
Selasa, 9 Syawwal 1435 H
http://www.sahab.net/forums/index.php?showtopic=146036
——–***——–
MUHAMMAD AL-IMAM MUBTADI’
Asy-Syaikh Ubaid bin Abdillah Al-Jabiry hafizhahullah
Saya katakan: “Muhammad Al-Imam mubtadi’ sesat, sampai dia bertaubat dari perjanjian yang zhalim ini dan berlepas diri kepada Allah darinya, dan dia adalah seorang Ikhwani.”
13 Syawwal 1435 H
9 Agustus 2014 M
http://www.albaidha.net/vb/showthread.php?t=52238
Sumber makalah: WA Miratsul Anbiya