Kisah Dibalik Foto, Jejak Hubungan Rahasia Antara Ikhwanul Muslimin Dengan Gerakan Radikal Revolusioner Syiah Iran Sebelum Revolusi Khomeini 1979

bismillahirrohmanirrohim

KISAH DIBALIK FOTO, JEJAK HUBUNGAN RAHASIA ANTARA IKHWANUL MUSLIMIN DENGAN GERAKAN RADIKAL REVOLUSIONER SYIAH IRAN SEBELUM REVOLUSI KHOMEINI 1979
(Mengurai Akar Gerakan Teror Pemberontakan, Revolusi & Pengkafiran Pemerintah-Umat Islam)

Ide-ide revolusioner Sayyid Qutb dilihat oleh banyak orang Syiah Iran, yang juga bergaung di kalangan tokoh intelektual dan revolusioner Iran, termasuk di kalangan dedengkot Ikhwanul Muslimin sendiri, Mohammad al-Ghazali dan Mustafa al-Sibai.

Patut dicatat bahwa pemimpin tertinggi revolusi Iran saat ini, Ali Khamenei sendiri sebelum revolusi Iran telah menerjemahkan sejumlah karya Sayyid Quthb. Hal ini menunjukan betapa sangat besarnya pengaruh Takfiri Sayyid Quthb (The Grandfather Terrorist Ideology) bagi terbentuknya pemikiran para dedengkot gerakan Revolusioner “Islam” Iran yang di tahun-tahun berikutnya menjadi pemimpin tertinggi gerakan revolusi Iran yang menumbangkan penguasa di Negara tersebut.

Hubungan hangat antara Ikhwanul Muslimin dan Iran bertemu pada titik kesesuaian propaganda “Khilafah dan Imamah”.

Sejak dibentuk persesuaian kelompok antara sekte Islam Sunni ala Ikhwanul Muslimin as-Sufi dengan Syiah Rafidhah di awal kepemimpinan Ikhwanul Muslimin oleh Hasan al-Banna yang berkontribusi pada apikal dan kerjasama di tahun-tahun selanjutnya yang ada diantara kedua gerakan Radikal Revolusioner tersebut dengan rezim Khomeini bahkan bukti jalinan kerjasama terdahulu adalah kunjungan wakil Khomeini, Nawab Safawi pada tahun 1954 ke Kairo, seorang komandan “Fidayeen Islam” dan salah satu pemimpin Gerakan Islam Iran yang telah memiliki hubungan dekat dengan Ikhwanul Muslimin di Mesir.

Kunjungan ini adalah hasil dari hubungan dekat yang membawa kebersamaan antara Ikhwanul Muslimin dan gerakan Islam Iran sebelum revolusi, dimana ia bertemu Omar Tilmisani (perhatikan fotonya, genggaman erat penuh persahabatan diantara kedua tokoh gerakan radikal revolusioner tersebut), yang menjadi pembicara utama pada pertemuan publik Ikhwanul Muslimin di Universitas Kairo.

Nukilan:
Salim Al-Bahansawi, seorang pemikiran Ikhwanul Muslimin, dalam bukunya Al-Sunnah al-Muftara ’alayha (Sunnah yang Dipalsukan), menulis: ”Sejak terbentuknya Jama’ah at-Taqrib baynal Madzahib al-Islamiyyah yang di dalamnya Imam Al-Banna dan Imam Al-Qummi ( ulama Syi’ah Iran) turut serta, terjadilah kerjasama antara Ikhwanul Muslimin yang menghasilkan kunjungan Nawab Safawi (Pemimpin gerakan Fida’iyyin Islam Iran) ke Kairo dalam tahun 1954.” Ia juga mengatakan, ”Kerja sama semacam itu tidaklah mengherankan, tidak merupakan sesuatu yang aneh, karena kepercayaan-kepercayaan dari kedua kalangan (Sunni dan Syi’ah) itu memang mengantarkan ke sana.” (hal. 57, lihat juga hal.151).

Dr. Ishaq Musa Al-Husaini menulis buku al-Ikhwanul Muslimin (Persaudaraan Muslimin), tentang gerakan Islam modern yang berpusat di Mesir itu. Di dalamnya ia menunjukkan bahwa beberapa orang Syi’ah yang sedang belajar di Mesir telah bergabung dalam organisasi itu. Juga sudah diketahui secara luas bahwa di antara para pemuka ikhwan di Iraq terdapat banyak orang Syi’ah. Demikian juga bahwa pemimpin Ikhwanul Muslimin di Yaman Utara sampai tahun 1981, Abdul Majid Al-Zindani, adalah seorang Muslim Syi’ah. Di sana pun banyak Muslimin Syi’i menjadi anggota Ikhwanul Muslimin.

Ketika Nawab Safawi seorang pejuang Muslim dari Iran mengunjungi Siria, ia bertemu dengan Dr. Mustafa Al-Siba’i, pemimpin Ikhwanul Muslimin di sana. Tatkala Al-Siba’i mengeluh kepada Safawi tentang beberapa pemuda Syi’ah yang telah bergabung dengan gerakan-gerakan nasional yang sekuler (bersifat duniawiah), pejuang dari Iran itu berkata dalam ceramahnya kepada sekelompok besar orang Syi’ah dan Sunnah: ”Barangsiapa hendak menjadi seorang (Syi’ah) Ja’fari sejati, hendaklah dia bergabung dengan Ikhwanul Muslimin.”

Muhammad Ali Al-Dhanawi, dalam bukunya Kubra Al-Harakat al-Islamiyyah fil ’Ashr al-Hadits (Gerakan-gerakan Islam terbesar di jaman modern) mengutip kata-kata Bernad Lewis: ”Walaupun mereka (Fida’iyyin Islam) bermazhab Syi’ah, mereka percaya pada kesatuan Islam, sama besarnya kepercayaan kaum Muslimin Mesir, dan di antara mereka terjalin komunikasi yang sangat lancar. (hal. 150).

Ketika menyimpulkan beberapa prinsip Fida’iyyin Islam, Al-Dhanawi mengatakan: ”Islam merupakan suatu sistem kehidupan yang komprehensif (luas dan lengkap). Tidak ada sektarianisme (fanatik mazhab), antara Sunni dan Syi’ah, di kalangan kaum Muslimin.” Kemudian ia mengutip kata-kata Nawab Safawi: ”Marilah kita bekerja sama untuk Islam, marilah kita lupakan segala sesuatu selain perjuangan kita demi kehormatan Islam. Belum tibakah saatnya bagi kaum Muslimin untuk sadar dan menghilangkan perpecahan di antara Sunni dan Syi’i?”

Fat-hi Yakan menulis, dalam bukunya Mausuu’ah al-Harakah al-Islamiyyah (Ensiklopedia Pergerakan Islam), tentang kunjungan Nawab Safawi ke Kairo serta sambutan hangat yang penuh gairah dari Ikhwanul Muslimin. Tentang hukuman mati yang dijatuhkan pada Nawab Safawi oleh Syah Iran, ia menulis: ”Timbul reaksi keras terhadap keputusan hukum yang tidak adil itu. Massa (Ikhwanul, ed) Muslimin merasa terpukul ketika mendengar berita itu, karena mereka sangat menghargai perjuangan dan tindakan-tindakan heroik mujahid dari Iran ini. Kaum Muslimin berdemonstrasi menentang dan mengutuk keputusan hukum yang dzalim terhadap pejuang dan pahlawan yang mukhlis itu. Kematiannya dipandang sebagai suatu kerugian besar di jaman moderen ini.” (hal.163).

Nawab Safawi yang bermazhab Syi’ah itu oleh Ikhwanul Muslimin itu dicatat sebagai seorang syahid dari Ikhwanul Muslimin. Fat-hi Yakan memandang Nawab dan kawan-kawannya yang gugur dalam perjuangan Islam itu sebagai orang-orang yang ”tergabung dalam barisan para syuhada’ yang abadi”, dan bahwa ”darah mereka yang suci akan menjadi suluh yang menerangi jalan bagi generasi kesyahidan dan kemerdekaan yang datang.”

Dalam bukunya al-Islam, Fikr wa Harakah wa Inqilab (Islam, Pikiran, Gerakan, dan Revolusi), ia menulis: ”Sekarang, setelah Syah Iran mengakui Negara Zionis itu pada tanggal 23 Juli 1960 menjadi kwajiban bagi orang Arab untuk menyadari adanya Nawab dan saudara-saudara Nawab di Iran. Sayang, para penguasa Arab belum berbuat demikian, sehingga gerakan Islam sekarang mencari sokongan untuk menopang perjuangannya dari luar dunia Islam sendiri. Adakah Nawab lain di Iran sekarang?” (hal.56).

Dikutip dari Buletin Suluh, Edisi Khusus Menyambut Bulan Ramadhan, Terbitan Majlis Ilmu dan Zikir ”Al-Huda”, Gedong Sonorejo.

Url bukti:

Karena itulah, segera setelah revolusi Islam di Iran, Sekretariat Organisasi Internasional Ikhwanul Muslimin menghubungi para pejabat Iran untuk membentuk sebuah delegasi dari Ikhwanul Muslimin dalam rangka mengunjungi Iran untuk mengucapkan selamat kepada keberhasilan Revolusi Syiah Khomeini Iran dan mendiskusikan cara-cara kerjasama diantara kedua belah pihak.

Antusiasme dimulai melalui beberapa posisi yang diambil oleh kelompok, termasuk judul pembuka dimana Khomeini diangkat menjadi sampul depan majalah utama Ikhwanul Muslimin Al-Dawa pada Maret 1979: “Khomeini, antara Harapan Muslim dengan Perang Salib & Komunisme.”

#iran #syiah #khomeini #ikhwanul_muslimin #hasan_albanna #sufi #nawab_shafawi #fidaiyin_islam #umar_tilmisani #imamah #khilafah #radikal #teroris #bukan_wahabi

Baca juga:

🔆👣🔆👣🔆👣🔆👣🔆
⚔️🛡Anti Terrorist Menyajikan Bukti & Fakta Yang Nyata
📠 Channel Telegram: http://telegram.me/tp_alhaq
🌎 http://tukpencarialhaq.com || http://tukpencarialhaq.wordpress.com
•┈┈•┈┈•⊰✿✿⊱•┈┈•┈┈••

 

 

 

 

 

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *