SEJARAH HITAM IKHWANUL MUSLIMIN
Oleh: Al-Ustadz Qomar ZA, Lc.
Pemikiran dan buku tokoh-tokoh mereka, semacam Hasan Al-Banna, Sayyid Quthub, Said Hawwa, Fathi Yakan, Yusuf Al-Qardhawi, At-Turabi tersebar luas dengan berbagai bahasa, sehingga sempat mewar-nai gerakan-gerakan dakwah di berbagai negara.
Ikhwanul Muslimin, gerakan ini tidak bisa lepas dari sosok pendirinya, Hasan Al-Banna. Dialah gerakan Ikhwanul Muslimin dan Ikhwanul Muslimin adalah dia. Karismanya benar-benar tertanam di hati pengikut dan simpatisannya, yang kemudian senantiasa mengabadikan gagasan dan pemikiran Al-Banna di medan dakwah sepeninggalnya.
Untuk mengetahui lebih dekat hakikat gerakan ini, mari kita simak sejarah singkat Hasan Al-Banna dan berdirinya gerakan Ikhwanul Muslimin.
Kelahirannya
Hasan Al-Banna dilahirkan pada tahun 1906 M, di sebuah desa bernama Al-Mahmudiyyah, yang masuk wilayah Al-Buhairah. Ayahnya seorang yang cukup terkenal dan memiliki sejumlah peninggalan ilmiah seperti Al-Fathurrabbani Fi Tartib Musnad Al-Imam Ahmad Asy-Syaibani, beliau adalah Ahmad bin Abdurrahman Al-Banna yang lebih dikenal dengan As-Sa’ati.
Pendidikannya
Ia mulai pendidikannya di Madrasah Ar-Rasyad Ad-Diniyyah dengan menghafal Al-Qur`an dan sebagian hadits-hadits Nabi serta dasar-dasar ilmu bahasa Arab, di bawah bimbingan Asy-Syaikh Zahran seo-rang pengikut tarekat shufi Al-Hashafiyyah. Al-Banna benar-benar terkesan dengan sifat-sifat gurunya yang mendidik, sehingga ketika Asy-Syaikh Zahran menyerahkan kepemim-pinan Madrasah itu kepada orang lain, Hasan Al-Banna pun ikut meninggalkan madrasah.
Selanjutnya ia masuk ke Madrasah I’dadiyyah di Mahmudiyyah, setelah berjanji kepada ayahnya untuk menyelesaikan hafalan Al-Qur`an-nya di rumah. Tahun ketiga di madrasah ini adalah awal perke-nalannya dengan gerakan-gerakan dakwah melalui sebuah organisasi, Jum’iyyatul Akhlaq Al-Adabiyyah, yang dibentuk oleh guru matematika di madrasah tersebut. Bahkan Al-Banna sendiri terpilih sebagai ketuanya. Aktivitasnya terus berlanjut hingga ia bergabung dengan organisasi Man’ul Muharramat.
Kemudian ia melanjutkan pendidikannya di Madrasah Al-Mu’allimin Al-Ula di kota Damanhur. Di sinilah ia berkenalan dengan tarekat shufi Al-Hashafiyyah. Ia terkagum-kagum dengan majelis-majelis dzikir dan lantunan nasyid yang didendangkan secara bersamaan oleh pengikut tarekat tersebut. Lebih tercengang lagi ketika ia dapati bahwa di antara pengikut tarekat tersebut ada guru lamanya yang ia kagumi, Asy-Syaikh Zahran. Akhirnya Al-Banna bergabung dengan tarekat tersebut. Sehingga ia pun aktif dan rutin mengamalkan dzikir-dzikir Ar-Ruzuqiyyah pagi dan petang hari. Tak ketinggalan, acara maulud Nabipun rutin ia ikuti: “…Dan kami pergi bersama-sama di setiap malam ke masjid Sayyidah Zainab, lalu melakukan shalat ‘Isya di sana. Kemudian kami keluar dari masjid dan membuat barisan-barisan. Pimpinan umum Al-Ustadz Hasan Al-Banna maju dan melantunkan sebuah nasyid dari nasyid-nasyid maulud Nabi, dan kamipun mengikutinya secara bersamaan dengan suara yang nyaring, membuat orang melihat kami,” ujar Mahmud Abdul Halim dalam bukunya. (Al-Ikhwanul Muslimun Ahdats Shana’at Tarikh, 1/109)
Di antara aktivitas selama bergabung dengan tarekat ini ialah pergi bersama teman-teman se-tarekat ke kuburan, untuk meng-ingatkan mereka tentang kematian dan hisab (perhitungan amal). Mereka duduk di depan kuburan yang masih terbuka, bahkan salah seorang mereka terkadang masuk ke liang kubur tersebut dan berbaring di dalamnya agar lebih menghayati hakekat kematian nanti.
Al-Banna terus bergabung dengan tarekat tersebut sampai pada akhirnya ia berbai’at kepada syaikh tarekat saat itu yaitu Asy-Syaikh Basyuni Al-’Abd. Jabir Rizq mengatakan: “…(Hasan Al-Banna) sangat berkeinginan mengambil ajaran tarekat itu, sampai-sampai ia meningkat dari sekedar simpatisan ke pengikut yang berbai’at.” Sepeninggal Basyuni, Al-Banna berbai’at kepada Asy-Syaikh Abdul Wahhab Al-Hashafi, pengganti pendiri tarekat tersebut. Ia diberi ijazah wirid-wirid tarekat tersebut. Dengan bangga Al-Banna mengungkapkan: “Dan saya berteman dengan saudara-saudara dari tarekat Al-Hashafiyyah di Damanhur. Saya rutin mengikuti acara al-hadhrah di Masjid Taubah setiap malam… Sayyid Abdul Wahhab-pun datang, dialah yang memberikan ijazah di kelompok tarekat Hashafiyyah Syadziliyyah, dan saya menda-pat ajaran tarekat ini darinya. Ia juga mem-beri saya wirid dan amalan tarekat itu.”
Karena faktor tertentu, akhirnya kelompok tarekat ini mendirikan sebuah organisasi, bernama Jum’iyyah Al-Hashafiyyah Al-Khairiyyah yang diketuai oleh teman lamanya, Ahmad As-Sukkari. Sementara Hasan Al-Banna menjadi sekretarisnya. Al-Banna mengatakan: “Di saat-saat ini, nampak pada kami untuk mendirikan organisasi perbaikan yaitu Al-Jum’iyyah Al-Hashafiyyah Al-Khairiyyah, dan aku terpilih sebagai sekretarisnya… Lalu dalam perjuangan ini, aku menggantikannya dengan organisasi Ikhwanul Muslimin setelah itu.”
Al-Banna menghabiskan waktunya di madrasah Al-Mu’allimin dari tahun 1920-1923 M. Di sela-sela masa itu, ia juga banyak membaca majalah Al-Manar yang diterbitkan oleh Muhammad Rasyid Ridha, salah seorang tokoh gerakan Ishlahiyyah yang banyak dipengaruhi pemikiran Mu’ta-zilah. Di sisi lain, iapun suka mendatangi Asy-Syaikh Muhibbuddin Al-Khathib di perpustakaan salafinya.
Al-Banna, ketika ingin melanjutkan pendidikannya ke Darul Ulum, sempat bimbang antara melanjutkan atau menekuni dakwah dan amal. Ini dikarenakan interaksinya dengan buku Ihya‘ Ulumuddin. Namun bermodalkan nasehat dari salah seorang gurunya, ia mantap untuk melanjutkan pendidikan.
Ia akhirnya memutuskan melanjutkan pendidikannya di Darul Ulum. Di sini, ia sangat giat membentuk jamaah-jamaah dakwah, sehingga di tengah-tengah aktivitasnya tercetus dalam benaknya, ide untuk menjalin hubungan dengan orang-orang yang duduk di warung-warung kopi dan di desa-desa terpencil untuk mendakwahi mereka. Pada akhirnya Al-Banna lulus dari Darul Ulum pada tahun 1927 M.
Usai pendidikannya di Darul Ulum, ia diangkat menjadi guru di daerah Al-Isma’iliyyah. Iapun mengajar di sekolah dasar selama 19 tahun. Sebelumnya, ia datang ke daerah itu pada tanggal 19 September 1927 dan tinggal di sana selama 40 hari untuk mempelajari seluk-beluk lingkungan tersebut. Ternyata, ia dapati banyak terjadi perselisihan di antara masyarakat, sementara ia berkehendak agar dapat berkomunikasi, bergaul dengan semua pihak, dan mempersatukannya. Usai berpikir panjang, akhirnya ia memutuskan untuk menjauh dari semua kelompok yang ada dan berkonsentrasi mendakwahi mereka yang berada di warung-warung kopi. Lambat laun dakwahnya-pun tersebar dan semakin bertambah jumlah pengikutnya.
Pembentukan Gerakan Ikhwanul Muslimin
Pada bulan Dzulqa’dah 1347 H yang bertepatan dengan Maret 1928, enam orang dari pengikutnya mendatangi rumahnya, membai’atnya demi beramal untuk Islam dan sama-sama bersumpah untuk menjadikan hidup mereka untuk dakwah dan jihad. Dengan itu muncullah tunas pertama gerakan Ikhwanul Muslimin. Selang empat tahun, dakwahnya meluas, sehingga ia pindah ke ibukota Kairo, bersama markas besar Ikhwanul Muslimin. Dengan bergulirnya waktu, jangkauan dakwah semakin lebar. Kini saatnya bagi Al-Banna untuk mengajak anggotanya melakukan jihad amali. Dengan situasi yang ada saat itu, ia membentuk pasukan khusus untuk melindungi jamaahnya. Pada tahun 1942 M, Hasan Al-Banna menetapkan untuk mencalonkan dirinya dalam pemilihan umum, tapi ia mencabutnya setelah maju, karena ada ancaman dari Musthafa Al-Basya, yang waktu itu menjabat sebagai pimpinan Al-Wizarah (Perdana Menteri, ed.). Dua tahun kemudian, ia mencalonkan diri kembali, namun Inggris memanipulasi hasil pemilihan umum.
Wafatnya
Pada tahun 1949 M, Al-Banna mendapat undangan gelap untuk hadir di kantor pusat organisasi Jum’iyyatusy Syubban Al-Muslimin beberapa saat sebelum maghrib. Ketika ia hendak naik taksi bersama Abdul Karim Manshur, tiba-tiba lampu penerang jalan tersebut dipadamkan. Bersamaan dengan itu peluru-peluru beterbangan mengarah ke tubuhnya. Ia sempat dievakuasi dengan ambulans. Namun karena pendarahan yang hebat, ajal menjemputnya. Dengan itu, tertutuplah lembaran kehidupannya.
Demikian sejarah ringkas Hasan Al-Banna bersama gerakan dakwah yang ia dirikan. Pembaca mungkin berbeda-beda dalam menanggapi sejarah tersebut, sesuai dengan sudut pandang yang digunakan. Namun bila kita melihatnya dengan kacamata syar’i, menimbangnya dengan timbangan Ahlus Sunnah, maka kita akan mendapatinya sebagai sejarah yang suram. Mengapa? Karena kita melihat, ternyata gerakan tersebut lahir dari sebuah sosok yang berlatar belakang aliran shufi Hashafi dengan berbagai kegiatan bid’ahnya, seperti bai’at kepada syaikh tarekat dan kepada Al-Banna sendiri sebagai pimpinan gerakan, amalan wirid-wirid Ruzuqiyyah yang diada-adakan, dzikir berjamaah, maulud Nabi, ziarah-ziarah kubur dengan cara bid’ah sampai pada praktek politik praktis di atas asas demokrasi. Gurunyapun campur aduk, dari syaikh tarekat, seorang yang terpengaruh madzhab Mu’tazilah, dan seorang yang berakidah salafi.
Warna-warni sosok pendiri tersebut sangat berpengaruh dalam menentukan corak gerakan tersebut, sehingga warnanyapun tidak jelas, buram. Tidak seperti Ash-Shirathul Mustaqim yang Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam katakan:
تَرَكْتُكُمْ عَلىَ مِثْلِ الْبَيْضَاءِ لَيْلُهَا كَنَهَارِهَا
“Aku tinggalkan kalian di atas yang putih bersih, malamnya seperti siangnya.” (HR. Ahmad, Ibnu Majah, Ibnu Abi ‘Ashim, Al-Hakim, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Zhilalul Jannah no. 33)
Untuk melihat lebih dekat dan jelas buktinya mari kita simak pembahasan berikutnya.
Pandangan Umum terhadap Gerakan Ikhwanul Muslimin
Sekilas, dari sejarah singkat Hasan Al-Banna tampak jati diri gerakan yang didirikannya. Namun itu tidak cukup untuk mengungkap lebih gamblang. Untuk itu perlu kami nukilkan di sini beberapa kesimpulan yang didasari oleh komentar Al-Banna sendiri atau tokoh-tokoh gerakan ini atau simpatisannya.
Pertama: Menggabung Kelompok-kelompok Bid’ah
Tentu pembaca tahu, bahwa bid’ah tercela secara mutlak dalam agama:
كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Semua bid’ah itu sesat.” (HR. Muslim, Kitabul Jum’ah, no. 2002)
Kata-kata ini senantiasa Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam ucapkan dalam pembukaan khutbahnya. Bahkan Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam juga katakan:
لَعَنَ اللهُ مَنْ آوَى مُحْدِثاً
“Allah melaknati orang yang melindungi bid’ah.” (HR. Muslim, Kitabul Adhahi, Bab Tahrim Adz-Dzabh Lighairillah, no. 5096)
Yakni ridha terhadapnya dan tidak mengingkarinya. Dan banyak lagi hadits yang lain. Tapi anehnya, Al-Banna justru menaungi kelompok-kelompok bid’ah sebagaimana dia sendiri ungkapkan: “Sesungguhnya dakwah Ikhwanul Muslimin adalah dakwah salafiyyah… tarekat sunniyah… hakekat shufiyyah…dan badan politik…” (Majmu’ah Rasa`il, hal. 122)
Ini menggambarkan usaha untuk mencampur antara al-haq dan al-bathil. Dan ini adalah cara yang batil. Jika memang dakwahnya adalah salafiyyah yang sesungguhnya –dan itulah kebenaran– tidak mungkin dipadukan dengan shufiyyah dengan berbagai bid’ahnya dan praktek politik praktis yang diimpor dari Barat.
Karena prinsip ini, maka realita membuktikan bahwa: “Ratusan ribu manusia telah bergabung dengan kelompok Ikhwanul Muslimin. Mereka dari kelompok yang bermacam-macam, paham yang berbeda-beda. Di antara mereka ada sekelompok Shufi yang menyangka bahwa kelompok ini adalah Shufi gaya baru…,” demikian ungkap Muhammad Quthub dalam bukunya Waqi’una Al-Mu’ashir (hal. 405).
Bahkan dengan kelompok Syi’ah-pun berpelukan. Itu terbukti dengan usaha Al-Banna untuk menyatukan antara Sunnah dengan Syi’ah, dan tak sedikit anggota gerakan yang beraliran Syi’ah. Umar At-Tilmisani, murid Al-Banna sekaligus pimpinan umum ketiga gerakan ini, mengungkapkan: “Pada tahun empat-puluhan seingat saya, As-Sayyid Al-Qummi, dan ia berpaham Syi’ah, singgah sebagai tamu Ikhwanul Muslimin di markas besarnya. Dan saat itu Al-Imam Asy-Syahid (Al-Banna) berusaha dengan serius untuk mendekatkan antar berbagai paham, sehing-ga musuh tidak menjadikan perpecahan paham sebagai celah, yang dari situ mereka robek-robek persatuan muslimin. Dan kami suatu hari bertanya kepadanya, sejauh mana perbedaan antara Ahlus Sunnah dengan Syi’ah, maka ia pun melarang untuk masuk dalam permasalahan semacam ini… Kemudian mengatakan: ‘Ketahuilah bahwa Sunnah dan Syi’ah adalah muslimin, kalimat La ilaha illallah Muhammad Rasulullah menyatukan mereka, dan inilah pokok aqidah. Sunnah dan Syi’ah dalam hal itu sama dan sama-sama bersih. Adapun perbedaan antara keduanya adalah pada perkara-perkara yang mungkin bisa didekatkan.” (Dzikrayat la Mudzakkirat, karya At-Tilmisani, hal. 249-250)
Benarkah dua kelompok itu sama dan bersih dalam dua kalimat syahadat? Tidakkah Al-Banna tahu, bahwa di antara kelompok Syi’ah ada yang menuhankan ‘Ali bin Abi Thalib? Tidakkah dia tahu bahwa Syi’ah menuhankan imam-imam mereka, dengan menganggap mereka mengetahui perkara-perkara ghaib? Tidakkah dia tahu bahwa di antara Syi’ah ada yang meyakini bahwa Malaikat Jibril keliru menyampaikan risalah –mestinya kepada Ali, bukan kepada Nabi n–? Seandainya hanya ini saja (penyimpangan) yang dimiliki Syi’ah, mungkinkah didekatkan antara keduanya? Lebih-lebih dengan segudang kekafiran dan bid’ah Syi’ah.
Kedua: Lemahnya Al-Wala` dan Al-Bara`
Pembaca, tentu anda tahu bahwa Al-Wala` (loyalitas kepada kebenaran) dan Al-Bara` (antipati terhadap kebatilan) merupakan prinsip penting dalam agama kita, Islam.
Abu ‘Utsman Ash-Shabuni (wafat 449 H) mengatakan: “Dengan itu, (Ahlus Sunnah) seluruhnya bersepakat untuk merendahkan dan menghinakan ahli bid’ah, dan menjauhkan serta menjauhi mereka, dan tidak berteman dan bergaul dengan mereka, serta mendekatkan diri kepada Allah dengan menjauhi mereka.” (‘Aqidatussalaf Ashabil Hadits, hal. 123, no. 175)
Tapi prinsip ini menjadi luntur dan benar-benar luntur dalam manhaj gerakan Ikhwanul Muslimin. Itu terbukti dari penjelasan di atas. Juga sambutan hangatnya terhadap pimpinan aliran Al-Marghiniyyah, sebuah aliran wihdatul wujud yang menganggap Allah menjadi satu dengan makhluk (lihat Qafilatul Ikhwan Al-Muslimin, 1/259, karya As-Sisi). Lebih dari itu –dan anda boleh kaget– Al-Banna mengatakan: “Maka saya tetapkan bahwa permusuhan kita dengan Yahudi bukan permusuhan karena agama. Karena Al-Qur`an menganjurkan untuk bersahabat dengan mereka. Dan Islam adalah syariat kemanusiaan sebelum syariat kesukuan. Allah-pun telah memuji mereka dan menjadikan kesepakatan antara kita dengan mereka… dan ketika Allah ingin menyinggung masalah Yahudi, Allah menyinggung mereka dari sisi ekonomi, firman-Nya….” (Al-Ikhwanul Al-Muslimun Ahdats Shana’at Tarikh, 1/409 dinukil dari Al-Maurid, hal. 163-164)
Apa yang pantas kita katakan wahai pembaca? Barangkali tepat kita katakan di sini:
أَفَتُؤْمِنُوْنَ بِبَعْضِ الْكِتَابِ وَتَكْفُرُوْنَ بِبَعْضٍ
“Apakah kamu beriman kepada sebahagian Al-Kitab dan ingkar terhadap sebahagian yang lain?” (Al-Baqarah: 85)
Ke mana hafalan Al-Qur`an-nya? Siapapun yang membaca pasti tahu bahwa Allah telah mengkafirkan Yahudi, mereka membunuh para nabi, mencela Allah, tidak mau beriman kepada Nabi Muhammad n, dan beberapa kali berusaha membunuh Nabi n. Apakah ini semua tidak pantas menimbulkan permusuhan antara muslimin dengan Yahudi dalam pandangannya?
Bukti lain tentang lemahnya Al-Wala` dan Al-Bara`, bahwa sebagian penasehatnya adalah Nashrani. Menurut pengakuan Yusuf Al-Qardhawi, katanya: “Saya tumbuh di sebuah lingkungan yang berkorban untuk Islam. Madrasah ini, yang memimpinnya adalah seorang yang mempunyai ciri khas keseimbangan dalam pemikiran, gerakan, dan hubungannya. Itulah dia Hasan Al-Banna. Orang ini sendiri adalah umat dari sisi ini, di mana dia bisa bergaul dengan semua manusia, sampai-sampai sebagian penasehatnya adalah orang-orang Qibthi –yakni suku bangsa di Mesir yang beragama Nashrani– dan ia masukkan mereka ke dalam departemen politiknya…” (Al-Islam wal Gharb, ma’a Yusuf Al-Qardhawi, hal. 72, dinukil dari Dhalalat Al-Qardhawi, hal. 4)
Padahal Allah Azza wa Jalla berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا لاَ تَتَّخِذُوا بِطَانَةً مِنْ دُوْنِكُمْ لاَ يَأْلُوْنَكُمْ خَبَالاً وَدُّوا مَا عَنِتُّمْ قَدْ بَدَتِ الْبَغْضَاءُ مِنْ أَفْوَاهِهِمْ وَمَا تُخْفِي صُدُوْرُهُمْ أَكْبَرُ قَدْ بَيَّنَّا لَكُمُ اْلآيَاتِ إِنْ كُنْتُمْ تَعْقِلُوْنَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang di luar kalanganmu, (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya.” (Ali ‘Imran: 118)
Ketiga: Tidak Perhatian terhadap Aqidah
Pembaca, aqidah adalah hidup matinya seorang muslim. Bagi muslim sejati, yang berharga menjadi murah demi membela aqidah. Aqidah adalah segala-galanya, tidak bisa main-main, tidak bisa coba-coba. Tapi tidak demikian adanya dengan kelompok yang kita bicarakan ini. Itu terbukti dari keterangan di atas, ditambah keadaan Al-Banna sendiri yang tidak beraqidah salaf dalam mengimani Asma`ul Husna dan sifat-sifat Allah. Salah jalan, ia terangkan aqidah salaf tapi ternyata itu aqidah khalaf (yang datang belakangan dan menyelisihi salaf). Ungkapnya: “Adapun Salaf, mereka mengatakan: Kami beriman dengan ayat-ayat dan hadits-hadits sebagaimana datangnya, dan kami serahkan keterangan tentang maksudnya kepada Allah tabaraka wa ta’ala, sehingga mereka menetapkan sifat Al-Yad (tangan) dan Al-’Ain (mata)… Semua itu dengan makna yang tidak kita ketahui, dan kita serahkan kepada Allah pengetahuan tentang ilmunya…” (Majmu’ Rasa`il, karya Al-Banna, hal. 292, 324)
Tauhid Al-Asma` dan Sifat, adalah salah satu dari tiga unsur penting dalam ilmu-ilmu tentang Allah Azza wa Jalla. Intinya adalah mengimani nama-nama Allah Azza wa Jalla dan sifat-sifat-Nya sebagaimana Allah Azza wa Jalla sebutkan dalam Al-Qur`an atau Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam sebutkan dalam hadits yang shahih.
Aqidah Ahlussunnah dalam hal ini tergambar dalam jawaban Imam kota Madinah saat itu, Al-Imam Malik bin Anas Al-Ashbuhi, ketika ditanya oleh seseorang: “Allah naik di atas ‘Arsy-Nya, bagaimana di atas itu?” Dengan bercucuran keringat karena kaget, beliau menjawab: “Naik di atas itu diketahui maknanya. Caranya tidak diketahui. Iman dengannya adalah wajib. Dan bertanya tentang itu adalah bid’ah!”
Ucapan Al-Imam Malik ini minimalnya mengandung empat hal:
1. Naik di atas itu diketahui maknanya: Demikian pula nama, sifat dan perbuatan Allah yang lain seperti, murka, cinta, melihat, dan sebagainya. Semuanya diketahui maknanya, dan semua itu dengan bahasa Arab yang bisa dimengerti.
2. Tapi caranya tidak diketahui: yakni kaifiyyah, cara dan seperti apa tidaklah diketahui, karena Allah Azza wa Jalla tidak memberi-tahukan perincian tentang hal ini. Demikian pula sifat-sifat yang lain.
3. Iman dengannya adalah wajib: karena Allah memberitakannya dalam Al-Qur`an dan Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan dalam haditsnya yang shahih.
4. Dan bertanya tentang itu adalah bid’ah: yakni bertanya tentang tata caranya dan seperti apa sifat-sifat tersebut adalah bid’ah, tidak pernah dilakukan oleh generasi awal. Mereka beriman apa adanya, karena Allah k tidak pernah memberitakan perincian tata caranya. Berbeda dengan ahli bid’ah yang melakukan takyif yakni mereka-reka kaifiyyah sifat tersebut, atau bertanya untuk mencari tahu dengan pertanyaan: Bagaimana?
Dengan penjelasan di atas, maka ucapan Hasan Al-Banna: …”Semua itu dengan makna yang tidak kita ketahui, dan kita serahkan kepada Allah pengetahuan tentang ilmunya”, adalah ucapan yang menyelisihi kebenaran. Dan ini tentu bukan manhaj salaf. Bahkan ini adalah manhaj Ahluttafwidh atau Al-Mufawwidhah, yang menganggap ayat dan hadits tentang sifat-sifat Allah itu bagaikan huruf muqaththa’ah, yakni huruf-huruf di awal surat seperti alif lam mim, yang tidak diketahui maknanya.
Madzhab ini sangat berbahaya, yang konsekuensinya adalah menganggap Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabatnya bodoh, karena mereka tidak mengetahui makna ayat-ayat itu. Oleh karenanya, Ibnu Taimiyyah t mengatakan bahwa: “Al-Mufawwidhah termasuk sejahat-jahat ahli bid’ah.” (lihat Dar`u Ta’arudhil ‘Aql wan Naql karya Ibnu Taimiyyah, 1/201-205, dinukil dari Al-Ajwibah Al-Mufidah, hal. 71)
Bukti lain, ia hadir di salah satu sarang kesyirikan terbesar di Mesir yaitu kuburan Sayyidah Zainab, lalu memberikan wejangan di sana, tetapi sama sekali tidak menyinggung kesyirikan-kesyirikan di sekitar kuburan itu (lihat buku Qafilatul Ikhwan, 1/192). Jika anda heran, maka akan lebih heran lagi ketika dia mengatakan: “Dan berdoa apabila diiringi dengan tawassul kepada Allah k dengan perantara seseorang dari makhluk-Nya, adalah perbedaan pendapat yang sifatnya furu’ (cabang) dalam hal tata cara berdoa dan bukan termasuk perkara aqidah.” (Majmu’ Rasa`il karya Al-Banna, hal. 270)
Pembaca, jika anda mengikuti kajian-kajian majalah kesayangan ini, pada dua edisi sebelumnya dalam Rubrik Aqidah akan anda dapati pembahasan tentang tawassul. Tawassul (menjadikan sesuatu sebagai perantara untuk menyampaikan doa kepada Allah) telah dibahas panjang lebar oleh ulama dan sangat erat kaitannya dengan aqidah. Di antara tawassul itu ada yang sampai kepada derajat syirik akbar, adapula yang bid’ah. Dari sisi ini, bisa pembaca bandingkan antara nilai aqidah menurut para ulama dan menurut Hasan Al-Banna.
Keempat: Menganggap Sepele Bid’ah dalam Agama
Sekilas telah anda ketahui tentang bahaya bid’ah yang Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam katakan:
شَرُّ اْلأُمُوْرِ مُحْدَثَاتُهَا
“Sejelek-jelek perkara adalah perkara yang diada-adakan.” (HR. Muslim, Kitabul Jum’ah, no. 2002)
Oleh karenanya, Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam berpesan:
وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ اْلأُمُوْرِ..
“Dan jauhi oleh kalian perkara-perkara baru (yakni dalam agama) karena semua bid’ah itu sesat, dan semua kesesatan di neraka.” (Shahih, HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi)
Namun berbeda keadaannya dengan gerakan Ikhwanul Muslimin, sebagaimana anda baca dalam sejarah ringkas Al-Banna. Berbagai macam bid’ah ia kumpulkan, kelompok-kelompok bid’ah ia rangkul, acara bid’ah ia datangi seperti maulud Nabi dan dzikir bersama dengan satu suara, bahkan sebagian bacaannya mengandung aqidah wihdatul wujud. Tentu itu bukan secara kebetulan, terbukti dengan penegasannya: “Dan bid’ah idhafiyyah, tarkiyyah, dan iltizam pada ibadah-ibadah yang bersifat mutlak adalah perbedaan fiqih, yang masing-masing punya pendapat dalam masalah itu…” (Majmu’ Rasa`il karya Al-Banna, hal. 270)
Ia hanya anggap bid’ah-bid’ah itu layaknya perbedaan fiqih biasa. Coba bandingkan dengan wasiat Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam di atas. Oleh karenanya, muncul kaidah mereka yang sangat populer: “Kita saling membantu pada perkara yang kita sepakati, dan saling mamaklumi pada apa yang kita perselisihkan.” Pada prakteknya, mereka saling memaklumi dengan Syi’ah, Shufi yang ekstrim, bahkan Yahudi dan Nashrani, apalagi ahli bid’ah yang belum sederajat dengan mereka.
Sedikit penjelasan terhadap ucapan Al-Banna, bid’ah idhafiyyah adalah sebuah amalan yang pada asalnya disyariatkan, tapi dalam pelaksanaannya ditambah-tambah dengan sesuatu yang bid’ah. Termasuk di dalamnya yaitu sebuah ibadah yang mutlak, artinya tidak terkait dengan waktu, jumlah, tata cara, atau tempat tertentu. Tetapi dalam pelaksanaannya, seseorang mengaitkan dengan tata cara tertentu dan iltizam (terus-menerus) dengannya. Contoh dzikir dengan ucapan La ilaha Illallah, dalam sebuah hadits dianjurkan secara mutlak, tapi ada orang yang membatasi dengan jumlah tertentu (500 kali, misalnya) dan beriltizam dengannya.
Bid’ah tarkiyyah, adalah mening-galkan sesuatu yang Allah halalkan atau mubahkan dengan niat ber-taqarrub, mendekatkan diri dan beribadah kepada Allah dengan itu. Contohnya adalah orang yang tidak mau menikah dengan tujuan semacam itu, seperti yang dilakukan pendeta Nashrani dan sebagian muslimin yang mencontoh mereka. (lihat Mukhtashar Al-I’tsham, hal. 11 dan 72)
Kelima: Bai’at Bid’ah
Bai’at adalah sebuah ibadah. Layaknya ibadah yang lain, tidak bisa dibenarkan kecuali dengan dua syarat: ikhlas dan sesuai dengan ajaran Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wa salam. Dalam sejarah Nabi dan para shahabatnya, bahkan para imam Ahlus Sunnah setelah mereka, mereka tidak pernah memberikan bai’at kepada selain khalifah, imam, atau penguasa muslim. Maka, sebagaimana dikatakan Sa’id bin Jubair –seorang tabi’in–: “Sesuatu yang tidak diketahui oleh para Ahli Badr (shahabat yang ikut Perang Badr), maka hal itu bukan bagian dari agama.” (Al-Fatawa, 4/5 dinukil dari Hukmul Intima`, hal. 165). Al-Imam Malik mengatakan: “Sesuatu yang di masa shahabat bukan sebagai agama, maka hari ini juga bukan sebagai agama.” (Al-Fatawa, 4/5 dinukil dari Hukmul Intima`, hal. 165)
Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan ditanya tentang bai’at, beliau menjawab: “Bai’at tidak diberikan kecuali kepada waliyyul amr (penguasa) kaum muslimin. Adapun bai’at-bai’at yang ada ini adalah bid’ah, dan merupakan akibat dari adanya ikhtilaf (perselisihan). Yang wajib dilakukan oleh kaum muslimin yang berada di satu negara atau satu kerajaan, hendaknya bai’at mereka hanya satu dan untuk satu pimpinan…” (Fiqh As-Siyasah As-Syar’iyyah hal. 281 dan lihat Al-Maurid Al-’Adzb Az-Zulal, karya An-Najmi hal. 214). Lebih rinci tentang hukum bai’at, silakan anda buka-buka kembali Asy-Syariah edisi-edisi sebelumnya.
Sementara, Hasan Al-Banna sendiri berbai’at kepada syaikh tarekat shufi. Dan ketika mendirikan gerakan ini, ia dibai’at oleh enam tunas gerakan ini, bahkan Al-Banna menjadikan bai’at sebagai unsur penting manhaj gerakan Ikhwanul Muslimin. Dia katakan: “Wahai saudara-saudara yang jujur, rukun bai’at kita ada sepuluh, hafalkanlah: 1. Paham, 2. Ikhlas, 3. Amal, 4. Jihad, 5. Pengorbanan, 6. Taat, 7. Kokoh, 8. Konsentrasi, 9. Persaudaraan, 10. Percaya.” (Majmu’ Rasa`il, karya Al-Banna, hal. 268)
Untuk mengkaji kritis secara tuntas point-point itu tentu butuh berlembar-lembar kertas. Namun cukup untuk mengetahui batilnya, bahwa rukun-rukun bai’at ini berdiri di atas asas bai’at yang salah. Sebagai tambahan, tahukah anda apa yang dimaksud ketaatan pada point keenam? Silahkan anda simak penuturan Al-Banna: “…Dan pada periode kedua yaitu periode takwin (menyusun kekuatan), aturan dakwah dalam periode ini adalah keshufian yang murni dari sisi rohani dan militer murni dari sisi amal. Dan selalu, motto dua sisi ini adalah ‘komando’ dan ‘taat’ tanpa ragu, bimbang, bertanya, segan.” (Risalah Ta’lim, karya Al-Banna, hal. 274)
Yakni taat komando secara mutlak, bagaikan mayat di hadapan yang memandikan. Sedangkan Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam saja, dalam bai’at yang sah mensyaratkan ketaatan dengan dua syarat:
1. Pada perkara yang sesuai syariat.
2. Sebatas kemampuan.(lihat Al-Maurid Al-’Adzb Az-Zulal, karya An-Najmi hal. 217)
Tahukah pula anda, apa yang dimaksud dengan paham pada point pertama? Mari kita simak penuturan sang imam ini: “Hanyalah yang saya maukan dengan ‘paham’ ini, adalah engkau harus yakin bahwa pemikiran kami adalah Islami dan benar, dan agar engkau memahami Islam sebagaimana kami memahaminya dalam batas 20 prinsip yang kami ringkas seringkas-ringkasnya.” (Majmu’ Rasa`il, karya Al-Banna, hal. 356)
Pembaca, haruskah seseorang berbai’at untuk membenarkan pemikiran Al-Banna yang sedemikian rupa, seperti anda baca? Haruskah kita memahami Islam seperti dia pahami, hanya berkutat pada 20 prinsip yang ia buat, itu pun bila prinsip-prinsip itu benar?
Anehnya juga, ketika menyebutkan 38 kewajiban muslim berkaitan dengan bai’at tersebut, salah satunya adalah: “Jangan berlebih-lebihan minum kopi, teh dan minuman-minuman sejenis yang membuat susah tidur.” (Majmu’ Rasa`il, karya Al-Banna, hal. 277, dinukil dari Haqiqatud Da’wah, karya Al-Hushayyin, hal. 80), namun dia tidak menyinggung masalah pembenahan aqidah.
Pembaca yang saya muliakan, dari penjelasan di atas tentu anda merasakan, bagaimana sosok Hasan Al-Banna begitu mewarnai corak gerakan yang ia dirikan. Sekaligus anda dapat mengetahui betapa jauhnya gerakan ini dari Ash-Shirathul Mustaqim, jalan yang digariskan Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam dan kita diperintahkan menelusurinya serta berhati-hati dari selainnya. Lebih-lebih, gerakan ini juga, tidak kurang-kurangnya memuji musuh-musuh Allah seperti, Al-Khomeini, dan tokoh-tokoh Syi’ah yang lain, Al-Marghini tokoh wihdatul wujud, memusuhi Muwahhidin, melakukan pembunuhan-pembunuhan kepada aparatur negara yang dianggap merugikan dengan cara yang tidak syar’i, berdemo, melakukan kudeta tanpa melalui prosedur syar’i, nasyid ala shufi dan sandiwara. Dan betapa pengikutnya berlebihan dalam menyanjung Al-Banna sampai menjulukinya Asy-Syahid (yang mati syahid), dan dengan yakin salah satu di antara mereka mengatakan: “Bahwa ia (yakni Hasan Al-Banna) hidup di sisi Rabbnya dan mendapat rizki di sana.” (lihat Al-Maurid Al-’Adzb Az-Zulal, karya An-Najmi hal. 206, 165, 208, 226, 229, 117, 228)
Padahal, Al-Imam Al-Bukhari menyebutkan sebuah bab dalam bukunya Shahih Al-Bukhari berjudul: “Tidak boleh dikatakan bahwa fulan adalah syahid”, lalu beliau sebutkan dalilnya. Beliau juga menyebutkan hadits dalam bab lain: “…Bahwa Ummul ‘Ala berkata: ‘Utsman bin Mazh’un dapat bagian di rumah kami (setelah diundi), maka ketika ia sakit kami mera-watnya. Tatkala wafat, aku katakan: ‘Persaksianku atas dirimu wahai Abu Sa`ib (’Utsman bin Mazh’un) bahwa Allah telah memuliakanmu’. Maka Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam mengatakan: ‘Darimana engkau tahu bahwa Allah telah memuliakannya?’ Saya katakan: ‘Ayah dan ibuku tebusanmu, wahai Rasulullah. Demi Allah, saya tidak tahu.’ Maka Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wa Salam mengatakan: ‘Sesungguhnya aku, demi Allah, dan aku ini adalah utusan Allah, aku tidak tahu apa yang akan Allah perlakukan kepadaku dan kepada kalian’.” (Shahih, HR. Al-Bukhari)
Wahai saudaraku, sadarlah dan ambillah pelajaran….
( http://asysyariah.com/print.php?id_online=303 )