Demokrasi Ikhwan Bersimbah Darah Umat Islam (2)

WAHAI JAMARTO, INGATLAH NASEHAT”KU”! (UPDATE 14/01/08)
Melanjutkan artikel terdahulu: 
Demokrasi Ikhwan Bersimbah Darah Umat Islam (1)

Siap Laksanakan!
Percaya atau tidak, itulah masa lalu kami ketika di LJ, harus taat, jangan membantah dan hanya satu kalimat: “Siap laksanakan!” (Walau kita masih belum siap, ya harus siap!). Bukankah begitu bapak Panglima Dzikir Rame-rame Jamarto?”)
Sistem komando telah membuat kami bagai kerbau yang dicocok hidungnya, tanpa pilihan dan harus siap setiap saat menerima titah atasan. Dakwah akhirnya seperti hirarki sebuah yayasan atau lembaga atau partai politik. Ada atasan ada pula bawahan, semuanya harus tahu kewenangan dan pertanggungjawaban. Allahul Musta’an.
Jangan anda terjerumus seperti kami dahulu karena kamipun tidak sudi mengulangi diri berbuat kebodohan seperti masa LJ yang lalu. Anda bukan bawahan kami dan kamipun bukanlah atasan anda. Tetapi bukan berarti kita hidup seenak sendiri, agama tetap menjadi tuntunan. Kebenaran pantang untuk ditentang sebagaimana kebatilan mesti kita benci dan singkirkan, sesuai aturan tentunya.

——————
Bismillahirrahmanirrahim. Saudaraku rahimakumullah, pada kesempatan ini kami akan menurunkan dua artikel sekaligus yang masih bertemakan Sejarah Partai Politik Ikhwanul Muslimin Bersimbah Darah Umat Islam. Artikel pertama ditulis oleh ust. Ja’far Umar Thalib pada tahun 1996 yang secara khusus kami persembahan untuk menasehati Jamarto hadanallahu wa iyyahu. Artikel kedua adalah transkrip nasehat Syaikh Abdul Malik Ramadhani Aljazairi terkait dengan fitnah politik di Indonesia. Artikel pertama mengungkapkan bagaimana proses terjadinya agitasi berdarah fikrah Ikhwaniyah Siyasiyah di negeri Aljazair yang berakhir dengan pertumpahan darah sesama kaum muslimin dan tangisan  penderitaan mereka. Hal mana seolah menjadi cermin masa lalu kita ketika berkiprah di LJ, semoga Allah menerima taubat dan mengampuni kita semua, amin.
Bukan untuk mengghibah sesuatu yang kita telah berlepas diri dan bertaubat dari kesalahan-kesalahan yang pernah kita lakukan namun sebagai pelajaran penting agar kita semua (baik yang dulu pernah terlibat dengan LJ maupun yang tidak) agar tidak terjerumus dalam kesalahan yang sama maka perlu kita ingat kesalahan masa lalu. Walaupun  sejarah FIS di Aljazair tidak mutlak sama dari segala sisinya, pada sisi tertentu memiliki kesamaan seperti secara perlahan tapi pasti di level atas (sebagian besarnya) akhirnya terseret pada permainan dan lobi-lobi dan agitasi politik sebagaimana terwujudnya acara Mukernas di Jakarta (kami ingat bahwa sebagian Ikhwah di Jawa yang menentang acara tersebut memplesetkannya menjadi “Mlungker Mas” [jw, tidur dengan cara tangan melingkar ke lutut serta mempertemukan wajah dengan lutut]).
Meskipun di saat itu di tingkat grassroot timbul penentangan yang tidak kalah sengitnya[1] akan tetapi suara grassrott tidaklah memiliki arti dan pengaruh apa-apa. Acara jalan terus. Kenapa? Karena – dan ini sisi lain bukti terjerumusnya kita ke dalam hizbiyyah ketika itu – diterapkannya sistem komando, tidak taat komando berarti kita telah berma’siat. Maka di sinilah peran besar komandan-komandan lapangan dan peran terbesar tentu saja dipegang oleh sang Panglima, Jamarto. Apapun yang kita lakukan harus direstui, seijin dan atas perintah atasan. Sistem komando ini benar-benar telah mematikan akal-akal sehat manusia. Bagi yang tidak taat atau melanggar perintah atasan, tentu ada konsekwensi yang harus diterima, mulai dari yang teringan, push up sampai yang berat, “latihan” ketahanan fisik dan di bara’ disertai pengucilan.
Demikianlah, kita hidup sebagaimana layaknya robot yang hanya diprogram untuk menerima perintah atasan, taat dan jangan coba-coba membantah. Berbeda pendapat? Sesuatu yang sangat menakutkan di saat sistem Komando diterapkan. Kita adalah sipil yang hidup di dunia “kemiliteran”. Sampai kemudian Allah menunjukkan betapa besarnya rahmat dan kasih sayangNya. Beberapa ustadz memberikan masukan kepada Syaikh Rabi’ sehingga beliau hafidhahullah menegur dan memperingatkan dengan keras dan menegaskan bahwa kita telah menyimpang dari jihad yang Salafy ke jihadnya Hizbi, jihad Ikhwani dan memerintahkan agar LJ dibubarkan. Alhamdulillah kita semua dengan ikhlas mengakui dan menerima teguran beliau hafidhahullah, jazahumullahu khairan. Itulah masa lalu dan kita tidak ingin terjerumus lagi ke dalamnya.

Namun demikian, hal tersebut (bukti kesalahan dan penyimpangan LJ) bukan berarti sebagai pembenaran bagi dakwah-dakwah hizbiyyah sebagaimana dugaan “satelit-satelit” dakwah Sururiyah Ikhwaniyah Turatsiyah Siyasiyah dan dakwah Irsyadiyah Surkatiyah guru besar lotre para pejabat penjajah Belanda serta pengekor dakwah agen Yahudi Freemasonry, Jamaluddin Al Afghani dan Muhammad Abduh Al Mishri (baca juga artikel: “Mereka Yang Dijarh oleh Imam Wadi’i” di situs:  http://my.opera.com/infodammaj/blog/ ).
Bagaimana bisa mereka yakin berada di atas manhaj yang benar sementara ketika jauh sebelum LJ terbentuk, mereka adalah satelit-satelit dakwah Turatsiyah Ikhwaniyah dan para pembela gigih Surkati dan Al Irsyad serta Al Sofwa Al Muntada (http://img241.imageshack.us/img241/5074/buktiyayasanalsofwaamarvc1.jpg )? Dan setelah LJ dibubarkanpun (di saat orang-orang yang terlibat di dalamnya mengakui penyimpangannya dan bertaubat kepada Allah), bahkan setelah mengetahui hakekat dakwah sesat Al Sofwa, As-Surkati dan dakwah sesat Ihya’ut Turats,  mereka-mereka inipun masih tetap merujuk Al Sofwa Al Muntada dan membela dakwah Turatsiyah Ikhwaniyah serta dakwah Irsyadiyyah Surkatiyah? Inikah yang disebut istiqamah di atas kebenaran? Ataukah keras kepala di atas hizbiyyah dan kesesatan?
Sesungguhnya, penyimpangan-penyimpangan LJ adalah sebuah kenyataan yang tidak perlu diingkari dan alhamdulillah orang-orang yang terlibat didalamnya telah mengakui penyimpangannya yang kemudian membubarkannya dan rujuk kepada kebenaran. Adapun penyimpangan-penyimpangan Al Sofwa (http://img64.imageshack.us/img64/7177/sofwapromogembongsururife9.jpg ), Ihya’ut Turats serta Al Irsyad dan As Surkati? Adalah kenyataan pula yang tidak perlu diingkari. Bukti-bukti fakta telah berbicara. Tetapi berapa banyak yang mau mengakui dan berlepas diri dari kesesatannya?
Penyimpangan LJ bukan merupakan bukti ilmiyah bahwa dakwah Al Sofwa, Ihya’ut Turats dan Al Irsyad berada di atas kebenaran dan hal ini tidaklah samar bagi orang yang memang ikhlas mencintai dan membela kebenaran, tetapi demikianlah senantiasa akan ada orang-orang yang tengkuknya ditunggangi oleh hawa nafsunya, lidah kesombongannya menjulur melampaui mata kakinya.
Apakah anda akan berpaling mengingkarinya hanya karena orang-orang yang mengungkapkan bukti-bukti fakta tersebut tidak lebih dari orang-orang yang masih miskin ilmunya (bergelar ustadz-pun tidak)? Haihata..haihata, kami yakin bahwa seorang Ibrahim atau Abdul Ghafur atau Abdul Hadi atau siapapun kontributor informasi lainnya tidak akan merasa berat jika anda semua membenci atau alergi kepadanya. Apalah arti seorang Ibrahim atau Abdul Ghafur atau seorang Abdul Hadi? Akan tetapi apakah anda juga akan alergi, berpaling bahkan berlepas diri dari bukti-bukti FAKTA sekian banyaknya yang mereka hidangkan kepada kita sekalian? Ataukah banyaknya bukti-bukti tersebut merupakan “bukti” bahwa mereka telah ghuluw dalam mengumpulkan bukti kejahatan ini? Dan perlu anda ketahui bahwa kami telah berprinsip kalau bukti-bukti FAKTA yang kami publikasikan di situs ini ternyata terbukti palsu dan dusta, maka begitu kami tahu (atau diberi tahu) Insya Allah saat itu juga kami akan cabut, rujuk dan bertaubat dari kesalahan yang kami lakukan.
Bukan bermaksud untuk mencari benar sendiri jika kita katakan bahwa betapa seringnya menyaksikan kasus terbongkarnya suatu tindak kejahatan akan tetapi si pelaku kejahatan justru tetap memiliki kehormatan di mata sebagian masyarakat. Yang aneh, si pengungkap kejahatan itulah yang justru menjadi barang buruan dan incaran seolah-olah mereka adalah buronan penjahat hizbi kelas kakap yang harus ditangkap dan diadili, hidup atau mati.
Kita harus jujur, mental “terjajah” sebagai akibat 350 tahun dijajah Belanda cenderung menjadikan sikap sebagian masyarakat lebih mudah mengakui kebaikan-kebaikan si penjajah (daripada kekejaman dan kejahatan mereka). Lihatlah peninggalan-peninggalan mereka yang sampai saat ini masih bermanfaat bagi bangsa ini, rel kereta api, jalan-jalan yang panjang membentang, gunung-gunung yang dibelah sebagai jalan penyambung arah, jembatan-jembatan yang masih kokoh berdiri, pelabuhan-pelabuhan, belum lagi gedung-gedung yang tersebar di seantero negeri yang sampai saat ini tetap berfungsi. Mental terjajah lebih mudah menutup mata bahwa semua peninggalan-peninggalan penjajah itu tidaklah dibuat kecuali di atas kekejaman, cucuran air mata dan darah para pendahulu kita, hanya Allah yang tahu berapa banyak jumlahnya. Padahal tidaklah diwujudkan oleh penjajah kecuali untuk mempermudah eksploitasi dan perampokan serta pengangkutannya ke negeri mereka.
Tetapi demikianlah, sebagaimana pengungkapan bukti-bukti kejahatan Ikhwanul Muslimin, bukti betapa gencarnya Jama’ah Tabligh dengan akidah sesatnya menyesatkan umat, Al Sofwa adalah kepanjangan lidah dakwah Sururi pimpinan Muhammad Surur, bukti Ihya’ut Turats memecah belah umat dan menyebarkan fikrah Ikhwaniyah Siyasiyah, bukti Al Irsyad dan Surkati yang tidak lebih dari kepanjangan tangan dakwah agen Yahudi Freemasonry, Jamaluddin Al Afghani dan Muhammad Abduh (http://img405.imageshack.us/img405/8567/abdurrahmanalkadzdzabps7.jpg
http://img405.imageshack.us/img405/996/surkatiloveafghanihx4.jpg ).
Mental terjajah sebagian orang akan cenderung acuh tak acuh dan menutup mata dengan bukti-bukti FAKTA kesesatan dan kejahatannya. Justru sebaliknya, dia akan mengerahkan segenap pasukannya, membidikkan segenap busur-busur panahnya kepada para pengungkap tersebut dan menjadikan mereka sebagai binatang buruan yang dikejarnya lebih dari sikap mereka sendiri kepada para penyeru kesesatan yang untuk berkomunikasipun dengan para penyesat itu, mereka harus menggunakan bahasa-bahasa yang teredit dan terpilih. Allahul musta’an.
Anda harus jujur untuk mengakui kenyataan bahwa Al Irsyad adalah nama yang tetap diharum semerbakkan oleh para muqallidnya sebagaimana Agus Hasan Bashari semakin memiliki kedudukan yang tinggi dan mulia di mata para ulama Mekah yang kehormatan dan sosok fisik merekapun dijadikan bahan lelucon dan tertawaan oleh para penadah real-nya
Ketika Para Ulama Dijadikan Lelucon dan Tertawaan…
, menjadi da’i andalan di sisi para Irsyadiyun Turatsiyun Ikhwaniyyun bahkan menjadi pimpinan Qiblati, majalah komik khayalan Kinan “bin Agus Hasan” idola anak-anak masa depan (http://img67.imageshack.us/img67/5343/qkomikharokiyp1.jpg ) walaupun  mereka-mereka ini telah terbukti secara meyakinkan telah melecehkan dan memerangi kehormatan para ulama pewaris para Nabi (http://img405.imageshack.us/img405/1603/coveragusbashariirsattiff6.jpg
http://img405.imageshack.us/img405/1438/irsatliaragusbashorisikom7.jpg).
Andapun harus jujur mengakui bahwa sangatlah sulit bagi mereka untuk mengakui bahwa Abdullah Hadrami adalah seorang hizbi Ikhwani walaupun nyata-nyata dia bergabung bersama kader-kader Ikhwani berdemonstrasi, membela bom bunuh diri dan merasa tenang ketika Syaikh Rabi’ dicaci maki para takfiri Ikhwani.
Anda-pun harus jujur mengakui bahwa lebih mudah bagi sebagian orang untuk menutup mata dan “cuek’ dengan bukti fakta yang berisi undangan daftar nama para da’i seluruh Indonesia dalam acara Daurah Masyayikh Yordan 2004 yang di dalamnya Al Irsyad (bersama para kolaboratornya dari At Turats, Al Sofwa dll) ternyata mengundang wakil-wakil dari jaringan teroris justru setelah kasus bom Bali 2002 (http://img242.imageshack.us/img242/3249/khawarijalmukmindarusyact1.jpg ) dan sebaliknya malah mencari buruan lain dengan menjadikan pengungkapnya (seperti situs ini) sebagai “kambing hitam”.

Orang lain makan nangka, awak pula yang kena getah.
Orang lain yang berbuat jahat tetapi diriku yang menerima akibat,
Seakan diri ini seperti penyesat yang menyesali perbuatannya

Dan demikianlah racun hizbiyyah ketika mencengkeram dan membinasakan otak-otak manusia.
Kalau cinta buta sudah melekat tanah liatpun senikmat coklat

Tetapi kita harus tetap bersyukur kepada Allah Ta’ala, sekian banyak saudara-saudara kita yang lebih memilih rujuk kepada Al Haq setelah mengetahui FAKTA kejahatan kelompok-kelompok hizbiyyah tersebut daripada terus mengonsumsi tanah liatnya. Walhamdulillah.
Maka panglima dakwah adalah para ulama Ahlus Sunnah. Dakwah tidak mengenal pimpinan dakwah yang menjadi figur sentral untuk ditaqlidi dan diamini serta harus dituruti segala titahnya (sebagaimana pada kelompok-kelompok Hizbiyyah) sehingga ketika tumbang, tumbang pula dakwah itu. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai teladan. Rel dakwah adalah Al Kitab dan Sunnah di atas pemahaman Salafush shalih. Kita tidak beragama karena seseorang. Walhamdulillah.
“Oleh karena itu, wajib bagi kita semua, apabila kita keliru hendaknya bersenang hati untuk kembali kepada kebenaran setelah mengetahui dalillnya. Tidak boleh malu di hadapan manusia hanya karena takut disalahkan atau gengsi hanya karena takut kehilangan wibawa. Malu di hadapan Allah lebih utama daripada malu di hadapan manusia.”
Sekali lagi, janganlah memandang kritikan ini dengan sebelah mata hanya karena penulisnya. Dahulu ada cerita menarik, pernah suatu kali ada seorang alim ditanya suatu masalah, lalu dia menjawab: “Saya tidak tahu.” Lantas ada seorang muridnya berkata: “Saya mengetahui jawaban masalah tersebut.” Mendengarnya, sang ustadz langsung memerah wajahnya dan memarahi murid tersebut. Murid itu lalu berkata: “Wahai ustadz! Setinggi apapun ilmu anda, tapi anda tak sepandai Nabi Sulaiman ‘Alaihis salam. Saya juga tak lebih bodoh dari burung Hud-Hud, walaupun demikian dia berkata kepada Nabi Sulaiman (artinya):
“Aku telah mengetahui sesuatu yang kamu belum mengetahui.” (QS. An Naml:22)
Setelah itu, sang guru tak lagi memarahi murid cerdas tadi [Miftah Darus Sa’adah I/521 oleh Imam Ibnu Qayyim Al Jauziyah].
Selanjutnya kepada para pembaca tulisan ini, apabila mendapati kebenaran di dalamnya maka terimalah dengan senang hati tanpa melirik siapa yang mengucapkannya, perhatikan apa yang dia ucapkan, bukan orangnya. Sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla telah mencela orang yang menolak kebenaran hanya karena dari orang yang dibencinya dan mau menerima kebenaran kalau datang dari orang yang dicintainya karena itu adalah perangai ummat yang tercela. Sebagian Sahabat pernah mengatakan: “Terimalah kebenaran walaupun datangnya dari orang yang kamu benci dan tolaklah kebatilan sekalipun datangnya dari orang yang kamu cintai.” Sebagaimana apabila kamu mendapati kesalahan di dalamnya, maka sesungguhnya penulis telah berusaha sekuat tenaga, karena hanya Allah-lah yang sempurnya.”[Madarijus Salikin III/545 oleh Imam Ibnu Qayyim Al Jauziyah].
Kalau kamu dapati kesalahan maka tutupilah lubangnya
Hanya Allah, Dzat Mahatinggi dan mulia saja yang tidak punya salah
Dan apabila anda menjumpai beberapa kritikan yang terasa cukup pedas setengah kecut, maka anggaplah hal itu jamu yang pahit rasanya tapi terjamin khasiatnya. Janganlah anda terburu-buru memvonis penulisnya dengan orang yang “kasar” atau “kurang adab” karena – demi Allah – tidaklah dia menulis tulisan ini kecuali untuk nasehat.
Sekiranya hal itu dianggap “kasar” dan kurang beradab”, maka ucapan keji mereka [fatwa Majelis Tarjih dan Ifta’ Al Irsyad serta Agus Hasan Bashari terhadap para ulama pewaris para Nabi, kedustaan UUD Al Sofwa terhadap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para ulama http://img241.imageshack.us/img241/5074/buktiyayasanalsofwaamarvc1.jpg , penyesatan dan pecah belah umat yang dilakukan At Turats beserta segenap para da’i bayarannya, hinaan As Surkati dan PKS terhadap dakwah tauhid Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah – ed.] haruslah dianggap “lebih kasar’ dan “lebih kurang beradab” pula – pen]].
Semoga Allah ‘Azza wa Jalla merahmati Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah tatkala berkata: “Perumpamaan seorang mukmin sesama mukmin lainnya adalah seperti dua telapak tangan yang saling mencuci antara satu dengan lainnya. Apabila ada noda mbandel yang sulit dibersihkan kecuali dengan gosokan yang agak keras, maka diapun akan melakukannya walau terasa keras dengan harapan agar tangannya bersih dari kotoran.” [Majmu’ Fatawa XXVIII/53].

Kami berharap anda sekalian dapat memahami uraian di atas dengan pandangan hati yang jernih dan jauh dari emosi sesaat. Semoga saja tidak ada di antara pembaca yang menganggap bahwa kalimat-kalimat di atas hanyalah “helah” dari FAKTA karena uraian tersebut kami ambil dan nukil dari tulisan salah seorang pengajar Al Furqan Gresik di bawah pimpinan ustadz Aunur Rafiq yang juga menjadi salah seorang kolaborator para dai yang berada di bawah naungan dakwah hizbiyyah At Turats (http://img75.imageshack.us/img75/2407/alfurqonturatsisampuldpzs5.jpg ), Al Sofwa dan Al Irsyad (http://img292.imageshack.us/img292/5027/aunurrofiqorangalirsyadus9.jpg ).
Tetapi demikianlah hawa nafsu sebagian manusia, mereka sendiri ingin dibenarkan tindakannya ketika “bermain” kasar dan kurang beradab terhadap orang lain tetapi giliran orang lain yang menyingkap kebatilan dan penyimpangannya maka merekapun dengan entengnya mencapnya sebagai haddadi, tanfir, kasar dan tak beradab. Allahul Musta’an.

Ketika Para Preman Ikhwani Kejam Berbicara Kelembutan. Kalaulah tudingan “kasar”, “tidak santun”, “tidak beretika”, “tidak berakhlak” merupakan hujjah kebenaran bagi si penuding, tentulah Ikhwani semacam Abdullah Hadrami yang benar ketika dia menuding ustadz Luqman telah jauh dari akhlak salaf sebagaimana ucapannya ketika bedah buku Abduh ZA di kota Malang:
“Kalau saya membaca buku ini “Siapa Teroris dan Siapa Khawarij” dan juga buku yang dibantah “Mereka Adalah Teroris!”, maka saya mendapatkan buku itu jauh dari Salaf terutama dari segi akhlaq, akhlaq. Seseorang yang aqidahnya benar itu akhlaqnya akan baik, itu otomatis. Jadi tidak ada istilah yang penting aqidahnya sementara akhlaqnya jelek. Kalau ada orang mengatakan yang penting aqidahnya sementara akhlaqnya jelek berarti aqidahpun juga belum benar. Karena ada keterikatan yang sangat kuat antara aqidah dengan akhlaq… Nah kalau memang seseorang itu mengaku dirinya sebagai Salaf, ya tentu akhlaqnya akhlaq Salaf, apalagi akhlaq terhadap para ulama….
Kalau antum baca di buku ini (Mereka Adalah Teroris!), waduh ngeri, ngeri sekali, Allahu Akbar, luar biasa ya… Jadi orang-orang yang sudah meninggal diungkit-ungkit dituduh mati konyol macam-macam. Kalau ada orang mengatakan mati konyol, itu khusnul khatimah atau su’ul khatimah? Su’ul khatimah. Su’ul khatimah itu masuk mana? Neraka. Itu vonis masuk neraka, dan seorang muslim tidak boleh memvonis masuk neraka dan tidak boleh memvonis masuk surga, apalagi yang divonis itu orang-orang yang dikenal memperjuangkan Islam
[[Apakah engkau lupa wahai Ikhwani Abdullah Hadrami dengan gelar yang disematkan kepada para “ulama” haraki pujaanmu dan teman-temanmu yang mati “konyol”? Waduh ngeri, ngeri sekali, Allahu Akbar, luar biasa ya… Jadi orang-orang yang sudah meninggal karena bom bunuh diri dan orang-orang yang menjadi pembesar-pembesar gerakan pengkafiran umat Islam dielu-elukan sebagai mati SYAHID. Kalau ada orang mengatakan mati SYAHID, itu khusnul khatimah atau su’ul khatimah? Khusnul khatimah. Khusnul khatimah itu masuk mana? Surga. Itu vonis masuk surga. Dan seorang muslim tidak boleh memvonis masuk surga dan tidak boleh memvonis masuk neraka, apalagi yang divonis itu orang-orang yang dikenal memperjuangkan gerakan pengkafiran penguasa muslim dan pengkafiran masyarakat muslim. Apakah dirimu juga pura-pura tidak tahu bahwa sebelum mati konyol dengan bom bunuh diri, terlebih dahulu mereka melakukan ritual kemaksiatan dengan mencukur sunnah Nabi (jenggot-jenggot) mereka sebagaimana bukti kepala-kepala mereka yang licin tak berjenggot? Inikah artinya hidup di atas sunnah Nabi dan menjemput ajal di atas tasyabbuh bil kuffar?” – pen]].”
Setelah membela orang-orang yang mati “konyol” karena bom bunuh diri dan menuding betapa jeleknya akhlaq ustadz Luqman hafidhahullah terhadap para ulama (maksudnya si Abdullah Hadrami adalah “ulama” haraki) maka giliran Abduh Ikhwani yang dipuji kesopanan (kesesatan)nya:
…Tapi alhamdulillah, mereka-mereka, pengikutnya itu mungkin lebih berakal ya, sehingga gak mau jawab ya? Mungkin dengan bahasa-bahasa yang lebih sopan seperti buku “Siapa Teroris? Siapa Khawarij?”, saya seneng karena bahasanya sopan.”
“…Katakanlah misalnya ustadz Luqman ini mencacat para ulama seperti itu, kita jangan niru dia. Jangan kesalahan dibantah dengan kesalahan, cukuplah mereka salah dan kita nggak usah ngikuti-ikut salah. Karena kalau kita nanti bantah dengan menghujat ulama-ulama juga, nanti kita sama dengan dia.”
(lebih lengkapnya silakan baca transkrip Akh Abdul Ghafur terhadap acara bedah Buku Abduh di kota Malang yang kami muat di website ini).
http://img99.imageshack.us/img99/1238/takfiriikhwaniajariakhlst0.jpg
Itukah wahai pembaca yang dinamakan uraian ilmiyah tentang bukti kebenaran dakwahnya?
Kalaulah tudingan “kasar”,”tidak santun”, “tidak beretika” adalah bukti suatu kebatilan si tertuding, tentulah Fauzan Al Anshari (salah seorang ketua MMI, Majelis preMan Indonesia) adalah orang yang benar ketika berkomentar terhadap ustadz Luqman hafidhahullah:
“Kemudian catatan kedua, dalam buku ustadz Luqman Ba’abduh juga banyak sekali perkataan, kalimat-kalimat yang tidak santun, tidak beretika yang sesungguhnya tidak layak untuk disebutkan atau diucapkan oleh seorang muslim. OK lah kadang-kadang kalau kita bicara bisa saja kita kepleset, kalau itu sudah berbentuk tulisan, itu sudah data otentik itu, berarti seperti itulah orangnya. Sudah berbentuk tulisan, kecuali kalau orang berbicara kadang-kadang  kepleset ya, bisa saja zalllatul lisan, keseleo lidah kira-kira seperti itu. Saya katakan tidak cocok, tidak layak dilakukan seorang mukmin karena Beliau sendiri mengatakan:” Laisal mukmin bith-thoati dan seterusnya. Yang namanya orang mukmin itu bukanlah orang yang suka menuduh, suka mencela, suka berbuat keji, dan suka berkata kasar. Kalau kita punya perangai yang seperti kata Nabi :”Laisal mukmin”, bukan orang mukmin meskipun tidak mutlak demikian ya, artinya tentu ada kriterianya. Misalnya kata-kata apa yang sering beliau ucapkan. Menyebutkan pemikirannya Doktor Safar, Doktor Salman, Muhammad Surur, Syaikh Aidz Al Qarni dan sebagainya sebagai pemikiran-pemikiran bejat yang mereka adopsi dari Hasan Al Banna, Sayyid Quthub, Muhammad Quthub dan lain-lain. Mereka pada hakekatnya adalah Khawarij gaya baru, pemikiran-pemikiran bejat.
Nggak pantas orang muslim apalagi seorang ustadz mengatakan demikian…” (transkrip VCD Bedah Buku Abduh ZA di Jakarta).
Itu semua bukanlah hujjah kebenaran (sama sekali!) akan tetapi syubhat murahan dengan mengeksploitasi perasaan (dan tidak perlu membutuhkan dalil) sebagaimana perasaan mereka yang “tidak berperasaan” ketika menjustifikasi operasi bombing yang dilakukan teman-temannya di negeri kaum muslimin ini!
Anehnya Fauzan ini ternyata berjiwa licik dan pengecut, tidak berani gentleman mengakui bahwa bombing dan kekacauan itu dilakukan oleh teman-teman sefikrah semanhajnya, sebagaimana ucapannya:
“Saya tidak akan menyampaikan di sini karena saya ikut rapat tertutup dengan almarhum ZA Maulani, siapa sesungguhnya pelakunya.” (ibid).
Kenapa dirimu yang berani siap mati disambar petir ini tidak seberani Imam Samudra yang jujur mengakui perbuatannya?
Lihatlah pengakuan ”polos”nya di buku Aku Melawan Teroris hasil tulisan temanmu sendiri:
“Bingkisan buat:…”Keluarga syuhada Jihad Bom Bali dan bom lainnya, semoga diberi kesabaran oleh Allah dan turut mendapat syafa’at di akhirat kelak” (AMT, Cetk.I, September 2004, hal.3).
http://img159.imageshack.us/img159/1484/bingkisanbuatae7.jpg
Juga tulisannya:
“Maka berpadulah antara keengganan menulis autobiografi dan kewajiban memberikan penjelasan dalail (dalil-dalil) syar’i operasi jihad semisal Jihad Bom Bali kepada kaum Muslimin…Akan semakin bagus jika memahami ilmu bombing atau jurus-jurus fighting dan killing yang digunakan untuk jihad fie-sabilillah. Maka, dalam pertempuran akhir zaman yang sudah di ambang pintu ini, berusahalah untuk menjadi preacher (ustadz/da’i), hacker, bomber dan fighter atau killer!..” (ibid, Imam Samudra, Khutbatul Hajah, hal.14,15).
http://img80.imageshack.us/img80/2515/berpadulahantarazi2.jpg
Inilah penegasan Sukirno, editor buku Aku Melawan Teroris karya Imam Samudra, sang hacker perusak, carder pencuri,  bomber pengebom negeri kaum muslimin, fighter petarung dan killer pembunuh tanpa ampun:
“Terlepas kita setuju apa tidak, bukankah, para pelaku Bom Bali sering menyatakan dalam mass-media, bahwa aksi mereka lebih sebagai “pembalasan” atas aksi teror Amerika dan sekutunya terhadap umat Islam selama ini?
Juga, kalau kita cermati “perjalanan hidup” para pelaku Bom Bali yang secara terpisah banyak dimuat oleh mass-media, mereka; para pelaku itu, menemukan kembali “kekuatan tim” saat berkonsentrasi membela saudara-saudara mereka yang tertindas di Ambon, Halmahera, dan Poso. Pertanyaannnya; siapa yang “membuat” konflik di daerah-daerah tersebut, hingga para “alumnus” Afghan itu berduyun-duyun datang, dan mengalami eskalasi “kemarahan” yang membuncah luar biasa, dan kemudian melahirkan aksi-aksi seperti di Bali. Atau istilah lainnya; siapa yang mengumpulkan dan membangunkan “macan-macan” itu?”  …Itulah sebabnya, ketika saya diminta menyunting buku “Catatan harian” Imam Samudra, saya mengusulkan judul “Aku Melawan Teroris”. Menurut saya, judul itu lebih mencerminkan isi buku dan niat aksi yang mereka lakukan, meski caranya terbilang kontroversi.“
(ibid, Bambang Sukirno, pengantar Editor, hal.9-10).
http://img100.imageshack.us/img100/3545/sukirnoeditorum3.jpg
Sebelum kita lanjutkan, kami ingin bertanya kepada anda sekalian, “Siapakah yang memberi nama kasus Bom Bali dengan “Jihad Bom Bali”? Ya benar, Imam Samudra sendiri!!
Jadi, biarlah Fauzan Al Anshari cukup merasa bangga menjadi seorang “banci” yang lari ke sana kemari sibuk tuding sana tuding sini mencari kambing hitam siapa pelaku “Jihad Bom Bali” karena temannya sendiri lebih memilih menjadi seorang “lelaki” yang tegas mengakui perbuatannya! Bahkan, buku AMT sengaja disusun untuk menjelaskan landasan hukum pengeboman tersebut! Imam Samudra menegaskan:
“Bom Bali = Jihad Fi Sabilillah.  Berdasarkan niat atau rencana target, jelas bom Bali merupakan jihad fi sabilillah, karena yang jadi sasarn utama adalah bangsa-bangsa penjajah seperti Amerika dan sekutunya” (ibid, hal.109).
http://img228.imageshack.us/img228/4044/isibukudanpengakuannyaen4.jpg
“Mengapa Mesti di Bali? Tidak ada kemestian dan tidak ada keharusan untuk melakukan perlawanan terhadap bangsa-bangsa penjajah itu di Bali. Bali hanyalah sekeping dataran tempat sebagian kecil bangsa Indonesia menjalani kehidupan dengan segala rutinitasnya. Yang menjadi target kita adalah personalnya, individunya, manusianya, bukan tempatnya. Hal ini seperti ditegaskan dalam Al-Qur’an, “Dan bunuhlah mereka dimana saja kamu jumpai mereka” (Al-Baqarah:191).
Ayat di atas dengan jelas tidak membatasi tempat memerangi orang-orang kafir. Dalam konteks bom Bali, jelas targetnya: Amerika dan sekutunya…Dengan demikian dapat dimengerti bahwa bukan Bali yang jadi sasaran, bukan sama sekali”
(ibid, hal.120).
Dari tulisan Imam Samudra di atas, tampak sekali bukti bahwa MMI dengan Fauzan Al Anshari sebagai corongnya telah melakukan pengelabuan publik, penipuan umat tanpa rasa malu sedikitpun, sedikitpun! Tidak perlu terlalu jauh mereka mencari “kambing hitam”, teori konspirasi dan tetek bengek lainnya karena “kambing hitam” itu ada di kandang mereka sendiri. Mereka sendirilah yang memelihara dan memberi makanan pengkafiran umat Islam dan penguasa muslimnya kepada kambing hitamnya.
Simak bagaimana “kambing hitam” mereka menguraikan “Landasan Hukum “ Jihad Bom Bali.
Di bawah judul: “Lagi Beberapa Keterangan Hukum Bom Bali”, Samudra kesesatan menulis:
“Pada coretan-coretan yang lalu, saya telah sebutkan sepintas dasar hukum Islam mengenai operasi Jihad, dalam hal ini Bom Bali….Untuk sampai kepada pemahaman yang utuh dan baik tentang Operasi Jihad Bom Bali, paling tidak harus memahami marhaliyah (tahapan-tahapan) jihad yang disyariatkan  dalam Islam menurut pemahaman Salafush-Shalih…” (pada halaman berikutnya tampak file gambar “manuskrip” tulisan tangan Imam Samudra tertanggal 240903 yang tertulis dengan jelas “JIHAD BOM BALI”)” (ibid, hal.123,124)
Dan masih ada lagi pengakuan-pengakuan Imam Samudra sendiri, istilah-istilah yang ditulisnya sendiri yang ternyata cukup untuk membungkam dan membantah kelicikan serta kebohongan teman seperjuangannya, Fauzan Al Anshari, seperti:
“Terkait Jihad Bom Bali,..Bagaimana sekiranya warga Negara Amerika dan sekutunya yang datang ke Indonesia, khususnya bali, lebih khusus lagi ke Sari Club dan Paddy’s Pub, ternyata murni sipil? Tentu saja saya tidak akan surut sedikitpun untuk melakukan Jihad Bom Bali terhadap bangsa-bangsa zionis, Salibis agresor itu ” (ibid, hal.136)
Di bawah judul “Bom Bali Jihadkah?” Imam Samudra kesesatan menulis:
“Coretan-coretan berikut barangkali dapat membantu memahami konsep jihad yang kuyakini sehingga terlahirlah peristiwa jihad di Bali…Dalam kaitan dengan peristiwa bombing di Bali, pengertian ketiga (jihad fi sabilillah) lebih tepat dan pas untuk kita bahas dan analisis..” (ibid, hal.107,108)
“Penjelasan tentang hal tersebut perlu diberikan untuk mementahkan tuduhan bahwa operasi jihad di Bali pada 12 Oktober 2002 murni ditujukan kepada rakyat sipil seperti yang digembar-gemborkan si John Howard.” (ibid, hal.110)
“Maka, bom Bali adalah salah satu bentuk jawaban yang dilakukan oleh segelintir kaum muslimin yang sadar dan mengerti akan arti sebuah pembelaan dan harga diri kaum muslimin. Bom Bali adalah satu diantara perlawanan yang ditujukan terhadap penjajah Amerika dan sekutunya. Bom Bali adalah salah satu jihad yang harus dilakukan, sekalipun oleh segelintir kaum muslimin” (Ibid, hal.114-115)
“Bom Bali hanyalah setitik reaksi terhadap sekian banyak aksi yang dilakukan oleh bangsa-bangsa penjajah bernama Amerika dan sekutunya…” (ibid, hal.116,118).
“Dari random research yang dilakukan, nyatalah bahwa target homogen terbesar didapati di Bali, tepatnya di Sari Club dan Pady’s Pub. Maka terjadilah apa yang terjadi.” (ibid, hal.120).
“Perhatikanlah! Operasi-operasi jihad yang terjadi sebelum dan sesudah Jihad Bom Bali di seluruh dunia…” (bid, hal.144)
“Karenanya, memandang peristiwa Jihad Bom Bali hanya dari segi pariwisata…” (ibid, hal.149).
“Dampak Jihad Bom Bali? Secara garis besar terdapat beberapa efek sampingan yang sebenarnya bukan merupakan target Jihad Bom Bali.” (ibid, hal.151).
“Sampai titik ini, mudah-mudahan anda mengerti, betapa kompleksnya background yang men-trigger (memicu) terjadinya operasi Jihadi Bom Bali” (ibid, hal.170).
“Ini aku saudaramu…ini aku, datang dengan secuil bombing..” (ibid, hal. belakang luar).
“Itulah sepenggal puisi Imam Samudra. Bait-bait yang merefleksikan apa, mengapa, kepada siapa, dan bagaimana ia melawan. Dari balik jeruji besi, sembari menunggu proses eksekusi atau ganjaran pidana mati, ia menorehkan catatan-catatan harian. Sebagai bentuk pertanggungjawaban kepada publik atas apa yang ia dan kawan-kawannya lakukan di Bali pada 12 Oktober 2002. Apa yang ia dan kawan-kawannya lakukan di Bali, tak lain adalah bentuk reaksi perlawanan…” (ibid, resensi, hal. belakang luar). “Jawaban yang sama akan diperoleh dariku jika seseorang atau banyak orang bertanya kepadaku tentang peperangan yang telah aku dan kawan-kawanku lakukan di Sari Club dan Paddy’s Pub. Artinya, “Tidak ada rasa penyesalan terhadap suatu amalan yang kukerjakan atas dasar keyakinan setelah mempelajari ilmunya…Adapun yang kusesali adalah mereka yang tewas dengan tanpa disengaja, padahal mereka bukan target kami. Untuk hal inilah aku bertaubat…” (ibid, hal.196).

Samudra kesesatan mengungkap lebih jauh tentang peristiwa teror lainnya: “Bom Syahid Bali, Mengapa Mesti Terjadi? Jawabnya: Jihad Bom Syahid Bali mesti terjadi sebagaimana mesti terjadinya istisyhad Kenya dan Tanzania, ‘Adn (Yaman), WTC dan lain-lain. Latar belakang bom syahid Bali adalah sama dengan yang telah disebutkan di atas….” (Ibid, hal.188)
“Ketika terjadi Operasi Jihad Natal 2000, terdapat sebagian kaum muslimin yang mencerca operasi itu dengan berbagai alasan….Ketika operasi istisyhad WTC 11 September 2001 terjadi…Ketika operasi istisyhad Jihad Bom Bali terjadi…” (ibid, hal.188).

Dengan berserakannya bukti-bukti sebagian pengakuan Samudra kesesatan di atas, maka kita tanyakan kepada Fauzan Al Anshari yang masih sibuk lari ke sana ke mari mencari “kambing hitam” dan bualan teori konspirasi:
“Siapakah pelaku Bom Bali dan menamakannya sebagai Jihad Bom Bali?” Jawablah sebagaimana Imam Samudra mengakuinya, “Imam Samudra dan kawan-kawannya sendiri”.
“Siapakah yang menamakan bom Natal 2000 sebagai Operasi Jihad Natal 2000?” Jawablah, “Imam Samudra.”
“Dan siapa pula yang menamakan peristiwa WTC sebagai “operasi istisyhad” WTC 11 September 2001?” Jawablah dengan jujur, “Imam Samudra.”
Maka “Siapakah yang menuding bahwa pelaku peristiwa WTC adalah umat Islam?” jawablah dengan lantang, “Imam Samudra!” Jika tudingannya tidak ditujukan kepada umat Islam tentulah Imam Samudra kesesatan tidak perlu repot-repot memakai istilah “istisyhad” dengan penuh kebanggaan. Bukankah demikian wahai Fauzan La Anshari?
Sehingga, tidaklah pantas bagi dirimu untuk mencari kambing hitam dan membual tentang teori konspirasi lainnya karena “kambing hitam” dan teori konspirasi itu direncanakan di kandang “kambing-kambing hitam” kalian sendiri! Allahu yahdik.

Dan masih sempat-sempatnya si licik Fauzan mempertontonkan kegagahan dan keberaniannya:
“Oleh sebab itu saya ingin bertanya; Kalau andaikata Luqman Ba’abduh ada di sini, seandainya saya mengatakan atau saudara disuruh pilih oleh George Bush, with us or with terrorist?” Milih yang mana? La manzilah baina manzilatain, nggak ada tempat diantara dua tempat itu. With us or with terrorist, kan begitu. Nah, kalau anda milih with us yaitu George Bush, Tony Blair, Howard dan sebagainya. Terrorist, ada lagi namanya list foreign terrorist organization Asing. Ada di situ Hamas, Al-Qaida dan nomer 35 adalah Jama’ah Islamiyah yang dipimpin – katanya – ustadz Abubakar Ba’asyir itu teroris.
Kemudian PBB dalam resolusi nomer 1267 yang memuat nama-nama yang disebut Luqman Ba’abduh itu yang ditulis PBB sebagai teroris. Lalu siapa kamu Luqman? Siapa kamu sekarang ini? Kamu ini siapa? Nah, maka kami mengajak mubahalah kepada Luqman, apakah mereka teroris yang disebut itu atau sebaliknya, benar mereka teroris? Usamah bin Laden teroris sebagaimana ditulis oleh Luqman? Saya siap disambar petir! Tapi sebaliknya, kalau yang disebut itu Usamah bin Laden, Abubakar Ba’asyir adalah mujahid maka tidak disambar petir! Kalau tantangan ini nggak dijawab maka dialah pembohong! Tidak ada cerita lagi!”
(VCD Bedah buku Abduh di Jakarta)
Lihatlah bagaimana Fauzan si jago mubahalah (kami jadi ingat dengan bapak direktur Abdurrahman Tamimi yang juga memiliki hobi sama – mubahalah – yang akhirnya diwarisi oleh pengikut fanatiknya, Abu Salma CTPATnya Amerika) yang siap mati disambar petir ternyata bermental kerdil, minder dengan keIslamannya dan merasa lebih bodoh dari pada si kafir George Bush walaupun dirinya telah belajar tauhid selama bertahun-tahun dan pada akhirnya “menghapus” keimanan umat Islam dan merendahkan keutamaan tauhid (dan inilah trade mark dakwah sesat kelomoknya):
“Jadi George Bush itu ternyata lebih pinter daripada kita (yang) sudah ngaji tauhid berpuluh-puluh tahun dihadapkan pada fenomena sekarang ini tidak bisa menjawab, ya. Sedangkan moncong meriam sudah ada di depan, mengapa kita mengatakan:”Ah, kita belajar tauhid dulu, kita masih bab pertama tauhid ini, jika kita harus bersihkan tauhid dulu, ya.”
Atau juga perkataan lain: ”Kita belum punya imam, ya maka kita punya imam dulu…”
SYUBHAT-SYUBHAT INILAH YANG TELAH MENGGUGURKAN TAUHID ULUHIYYAH MEREKA!”
(ibid).

Kami akan memberikan contoh ucapan yang “lebih kasar”, “lebih tidak beradab”, “lebih brutal”, dan “lebih buas” dalam mengkafirkan umat Islam. Dia adalah anak buah Abubakar Ba’asyir, pendekar Takpiri Halawi Makmun,  Ketua Penerapan Syari’at Takfir dari organisasi MMI-NII (Majelis preMan Indonesia, Negara Ikhwani Indonesia). Perhatikan ucapannya:
“…tetapi karena Khawarij itu bodoh ikhwan, Khawarij itu bodoh dan termasuk Salafiyyun itu bodoh ikhwan, bodoh betul! Kalau pinter nggak terjebak dalam kondisi semacam itu. Seperti itu. Jadi menggunakan ayat Al-Qur’an tetapi tidak tahu maksud yang dikehendaki oleh Al-Qur’an. Ini persoalannya sehingga mereka sering justru yang diperintahkan oleh Rasululllah mereka tentang habis-habis, yang kadang-kadang biasa-biasa saja malah diwajibkan!
Contoh yang kecil, kalau antum pake’ celana nggak setengah betis walaupun antum katakanlah jenggotnya dua meter, ibadahnya hebat, jidatnya item, nggak disebut salafy karena model celana! Coba antum bayangkan otak mereka itu di mana? Ana sebetulnya kalau baca buku ustadz ini, Abduh ini nggak tega ngomong begini karena metodenya lembut sekali.”
(ibid).
Simak ucapan ngawurnya dibawah ini:
“…Saya kasih contoh, Abubakar Ash Shiddiq dan para shahabat saat itu dan itu sudah merupakan ijma’ pak! Orang-orang yang menolak zakat itu dikafirkan! Makanya diperangi! Betul? (Betul, betul – sahut para pengunjung acara ini). Abubakar, diperangi pak orang menolak zakat! Waktu itu Umar sempat mendebat karena ada hadits Rasulullah. Rasulullah itu diperintah apa namanya “Umirtu ‘an uqatilannasa hatta qalu laa ilaaha illallah wa idza ashomu minni dima’ahum wa amwalahum, ya kan? “Illa bi haqqil Islam”. Kata Abubakar, “Bihaqqil Islam!” Dia masuk Islam tetapi ada hak-hak Islam yang ditinggalkan! Maka saya perangi. Artinya dia menjadi kafir pak! Menjadi kafir! Dan Abubakar serta para shahabat ketika memerangi orang-orang yang menolak zakat itu nggak menanyakan, “Hei kamu itu ketika menolak zakat hati kamu sebetulnya tetep meyakini tidak sih kalau zakat itu wajib atau tidak wajib?” Nggak menanyakan begitu! Begitu meninggalkan, Ceprot Pak!! Apa? Diperangi! Diperangi dulu! Kalau orang berbuat kemungkaran dinasehati, tidak akan keluar pak! Tidak akan berhenti! Nasehat itu nggak ada apa-apanya” (ibid).
“…Coba kalau sekarang ada umat Islam yang justru bersatu dengan thaghut memerangi para mujahid, hukumnya apa pak? (KAFIIIIIR jawab para pengunjung). Kaafir!
Antum kan ragu. Kalau ragu, aqidahnya juga perlu dicek! (hahahahapengunjung tertawa).
Iya, kata Al-Qur’an: “waman yakfir bithaghut waman yu’mim billah faqadistamsaka bil ‘urwatil wutsqa” Antum ibadahnya sudah hebat, tidak menyekutukan Allah tapi ada thaghut nggak dikafirkan, tolak aqidah antum! Itu ayat bicara!”
(ibid).
Kalau vonis kafir sudah diteriakkannya dan perasaan para pengunjung acara keji ini sudah tergiring dan terlarut dengan sihrul bayan yang diledakkannya, maka darah kaum muslimin tidak lagi memiliki nilai dan harga di sisi gerombolan preman Takfiri Ikhwani ini. Tinggal ucapkan satu komando, tebas Luqman Ba’abduh!
“…Kalau orang betul-betul cinta kepada iman dan ada keimanan, tidak mungkin orang itu bisa bergaul dengan orang kafir, walaupun hanya simbol! Apalagi kalau duduk bersahabat dengan mereka [[dan anehnya, pendekar takpiri NII ini lupa membersihkan daki di tengkuknya sendiri, lupa bercermin bahwa di wajahnya masih bertengger dua lalat hijau pembawa penyakit yang sedang asyik bercengkerama dengan lalat-lalat lainnya yang harus ditepuk wajahnya sendiri –  terlebih dahulu. Ternyata pimpinan “jiahad”nya (Abu Bakar Ba’asyir) serta kawan dekatnya (Fauzan Al Anshari) juga bergaul mesra dengan para pembesar kekafiran! Klik saja buktinya di sini:  http://img229.imageshack.us/img229/641/abubakarbaasyirfauzanmecs6.jpg ,
http://img99.imageshack.us/img99/8696/baasyirfauzanmesraikuffdp7.jpg – pen.]]
bahkan ikut membela misi-misi mereka termasuk yang dilakukan oleh Luqman bin Muhammad Ba’abduh itu. Jelas pak! Hukumnya sudah jelas sebetulnya ini. Sudah jelas! Dan jaman ini, kalau ini tidak usah nunggu-nunggu mahkamah, kelambanan pak! TEBAS DULU BARU CERITA!! (Allahu Akbar, Allahu Akbar,  Allahu Akbar – seru para pengunjung dengan penuh emosional). Seperti itu, SUDAH MELINTANG PAK.
Bahkan dia lebih jahat daripada JIL (hehehehe – sambut pengunjung)! Daripada JIL! Jaringan Iblis Liberal! JIL walaupun sesat pak, walaupun nggak kenal Al-Qur’an masih mau diajak debat pak! Masih gentleman walaupun gentleman sesat pak! Kelompok ini lebih tidak benar lagi! Lebih tidak benar lagi!”
(ibid).
Saudaraku rahimani rahimakumullah, bisakah anda sedikit saja menggunakan akal sehat? Betapa luarbiasanya bahwa kitalah yang justru dituding dan divonis kasar, kaku, kolot, ekstrem, keras, munaffirin dan seabreg gelar-gelar “sampah’ lainnya? Jika demikian, lalu apa julukan yang pantas disematkan pada gerombolan buas nan beringas dari Takfiri Ikhwani yang otaknya penuh dijejali kebencian, diluapi agenda untuk mengkafirkan kaum muslimin dan para penguasa Muslimnya, dilumuri program bagaimana caranya membunuh dan menghalalkan darah kaum muslimin? Bisakah anda bayangkan bagaimana nasib umat Islam jika dipimpin oleh orang-orang kejam yang tidak memiliki rasa kasih sayang dan kelembutan seperti Abubakar Ba’asyir, Fauzan Al Anshari, Abduh ZA, Halawi Makmun dan para pembelanya semacam Ikwani Abdullah Hadrami? Tentu saja anda harus siap setiap saat (wal’iyadzubillah) jika ditebas oleh algojo-algojo pembunuh berdarah dingin yang akan menegakkan syariat Takfiri Ikhwani, yang selepas melakukan tugas “jihad”nya kemudian memberikan laporan kepada Big Bosnya: “SUDAH MELINTANG PAK”.
Kenapa dia berbuat demikian? Karena perintah preman bengis Takfiri Ikhwani semacam Halawi Makmun NII-MMI yang berkata: “TEBAS DULU BARU CERITA!”
Jujur saja, Ngeri sekali! Betapa murahnya harga nyawa seorang muslim di sisi Takfiriyun Ikhwaniyun, padahal “kebuasan” ini diucapkan di forum umum/terbuka dan bahkan di VCD kan serta disebarluarkan oleh penerbit Pustaka Al Kautsar Jakarta. Maka bagaimana lagi dengan ucapan-ucapan di rapat-rapat rahasia dan tertutup mereka? Tidak syak lagi bahwa Pustaka Al Kautsar menjadi corong gerakan pengkafiran dan wacana penghalalan darah umat Islam serta provokasi pembunuhan terhadap kaum muslimin di negeri ini. Waspadalah.
Jadi, jangan mudah terkecoh dengan tutur kata“manis” mereka, bisa jadi di balik bajunya telah terselip belati untuk menebas dulu baru cerita pada bosnya! Yang lebih parah lagi jika di balik bajunya telah terpasang dengan rapi bom bunuh diri yang siap diledakkan di dekat anda. Kenapa? Karena anda sekalian telah difatwa sebagai antek thaghut yang halal darahnya!
Maka dari itu, hati-hati dengan “senyum” mereka. Waspadailah “bahasa lembut” yang dibuat-buatnya. Sungguh akhlak “sopan”nya…telah siap menyesatkan dan membinasakan agama kita semua! Na’udzubillahi min dzalik.
Semoga seluruh kaum muslimin dilindungi oleh Allah Ta’ala dari orang-orang jahat dan buas seperti mereka dan semoga Allah Ta’ala melindungi penguasa muslim kita dari rongrongan makar kejahatan mereka dan mengokohkan para pemimpin muslim kita untuk berjalan di atas kebenaran dan mencintai rakyatnya serta menjadi pembela agamaNya, Amin. Betapa bahagianya.
Saatnya kita menyimak nasehat ustadz Ja’far Umar Thalib yang khusus kita persembahkan kepada Jamarto hadanallahu wa iyyahu. Bukankah sebagian orang menuntut agar kita memberikan kesempatan hak jawab kepada ustadz Ja’far Umar Thalib? Maka inilah hak jawab beliau terhadap sepak terjang Jamarto hadanallahu wa iyyahu.

MUSLIMIN ALJAZAIR BERSIMBAH DARAH,
SEBUAH PERJUANGAN YANG TERNODA
(Penulis: Ust. Ja’far Umar Thalib)
Pengantar
Artikel ini ditulis di Majalah Salafy edisi IX/Rabi’uts Tsani/1417/1996, jauh sebelum munculnya LJ. Sebagai sebuah pelajaran berharga yang patut menjadi renungan dan ibrah bagi segenap orang yang ingin meniti jalan dakwah Salafiyyah yang senantiasa penuh dengan ujian dan cobaan. Syaithan tentu tak akan pernah ridha ketika seorang hamba berusaha menapaki dan meniti jalan dakwah yang mulia ini. Ujian duniawi akan selalu membisiki. Kadang tanpa kita sadari si jahat berupaya keras untuk menunggangi. Saling nasehat menasehati adalah tuntutan syar’i sebagai pertanda saling mencintai, tentu hanya karena Allah-lah niat suci yang melandasi. Jangan sampai seorang muslim terjatuh dan terperosok ke lubang yang sama, mengulangi suatu kesalahan yang pernah terjadi. Sejarah adalah pelajaran yang sungguh sangat berharga. Berupaya menapaktilasi jalan hidup orang-orang terdahulu yang Allah muliakan karenanya serta menjauhi dan menghindari penyimpangan dan kesesatan para manusia yang jauh dari petunjuk dan cahaya kebenaran.
Benarlah apa yang disampaikan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab Al ‘Aqil hafidhahullah bahwa: “Politik adalah jebakan buat para ulama dan perangkap bagi para da’i”. Jazahumullahu khairan bahwa Syaikh Rabi’ hafidhahullah pernah mengingatkan dengan keras (ketika kita berkiprah di Ambon) bahwa kita telah bergeser dari Jihad yang Salafy ke Jihadnya Hizbi, Jihad Ikhwani. Walhamdulillah, tidak ada yang merasa berat untuk mengakui, bertaubat dan rujuk kepada kebenaran kecuali yang satu ini, Jamarto.
Maka, tidak ada yang lebih berhak dan lebih pantas untuk menasehati dan menegur Jamarto hadanallahu wa iyyahu kecuali nasehat Ust. Ja’far Umar Thalib sendiri. Tulisan yang dibuatnya pada tahun 1996 seakan telah dipersiapkan (selain untuk memperingatkan segenap kaum muslimin dari ancaman marabahaya agitasi dakwah politik Ikhwanul Muslimin) untuk “menjewer” telinga Jamarto yang masih nakal sampai saat ini.
Tentu saja “jeweran” ilmiyah yang mendidik, bukan “jeweran” dari BSH (Barisan Sakit Hati) apalagi “gebugan” tongkat besi preman tak berperasaan. Wal ‘iyadzubillah.
Besar harapan kita agar Jamarto (beserta para badut-badut politik yang tega bertopengkan atribut Islam dengan meminta kaum muslimin mendudukkan mereka di kursi kekuasaan) mau menyambut hidayah Allah Ta’ala dan merujuk kepada kebenaran setelah membaca tulisan Ust. Ja’far Umar Thalib ini. Amin.
ALJAZAIR adalah salah satu negara di Afrika Utara. Aljazair dijajah oleh Prancis yang membawa budaya dan agamanya di tengah-tengah kaum muslimin yang berbahasa Arab, sehingga gerakan Prancisisasi dan kristenisasi berjalan gencar di sana. Keadaan Aljazair kurang lebih sama dengan keadaan negara-negara kaum muslimin di dunia ini yang dijajah oleh imperialisme barat.

Jum’iyah Al-Ulama AI-Muslimin Al-Jazairiyyin dan perjuangannya
Pada tahun 1931 Syaikh Abdul Hamid Badis bersama para ulama Aljazair lainnya mendirikan organisasi Jum’iyah Al Ulama Al Muslimin Al Jazairiyyin dan berjuang untuk membangun dakwah salafiyah di Aljazair. Ide pendirian organisasi ini timbul pada tahun 1913 yang dikemukakan oleh Ibnu Badis dalam pertemuan dengan temannya dari Al Jazair yang bernama Syaikh Muhammad Basyir Al Ibrahim. Pertemuan ini berlangsung di Madinah. Syaikh Basyir – beliau juga seorang ulama Aljazair – menceritakan bahwa rekannya – Ibnu Badis – mengajak berdiskusi dengannya setiap malam setelah shalat ‘Isya di masjid Nabawi. Beliau duduk di rumah Basyir sampai waktu berangkat shalat subuh dan berjama’ah di masjid Nabawi. Demikianlah kegiatan beliau setiap malam selama tiga bulan kunjungan Ibnu Badis di Madinah. Pada saat itu keadaan di Aljazair diliputi berbagai kebodohan terhadap agama, hingga bid’ah, syirik dan berbagai penyimpangan lainnya telah membudaya di sana. Thariqat sufiyah menguasai kehidupan keagamaan di Aljazair. Syaikh Abdul Hamid Badis kemudian mengibarkan bendera dakwah salafiyah dengan menyerang ahlu bid’ah dan para penyeleweng agama dalam majelis-majelis pengajian beliau di Aljazair.
Pada tahun 1925 beliau menerbitkan majalah Al Muntaqid, yang dengannya beliau menjelaskan manhaj salafush shalih dan membantah berbagai bid’ah yang sedang berkembang di sana. Kemudian beliau juga menerbitkan majalah Asy Shihab. Melalui majalah ini beliau berupaya mengumpulkan dukungan berkenaan dengan upaya perbaikan umat Islam di Aljazair dengan mendirikan Al Jum’iyah al Ulama Al Jazairiyyin.
Ide pendirian tersebut mendapat sambutan hangat dari para ulama seperti Syaikh Thayyib Al Aqabi, Syaikh Mubarak Al Miliy, Syaikh Ar Rabbiy At Tabasiy dan Iain-lain. Pada tahun 1931 melalui majalah Asy Shihab keluarlah undangan pertemuan di Aljir (ibukota Al Jazair) pada tanggal 5 Mei hari Selasa bertepatan dengan tanggal 17 Dzulhijah 1349 Hijriyah. Dalam pertemuan tersebut dibentuklah organisasi yang diberi nama Jum’iyatul Ulama Al Jazairiyin. Organisasi ini diketuai oleh Syaikh Abdul Hamid Badis dengan wakilnya Syaikh Muhammad Basyir Al Ibrahim. Mereka amat gencar mendidik kader-kader dengan mendirikan madrasah-madrasah di seluruh Aljazair, menerbitkan buku-buku agama dan terus menerbitkan majalah guna menyebarkan pemahaman Salafush Shalih Ahlus Sunnah wal Jama ‘ah dan meng-counter berbagai pemahaman dan pengamalan bid’ah di kalangan umat Islam di Aljazair. Demikian juga mereka berjuang menghadang gerakan kristenisasi di kalangan muslimin di Aljazair. Dakwah salafiyyah hidup subur di Aljazair, sehingga Ahlul bid’ah merasa sangat terancam dengan dakwah ini.
Lima tahun setelah berdirinya organisasi ini Syaikh Muhammad Basyir Al Ibrahim membentangkan program pokok organisasi ini sebagai berikut:
1. Memerangi thariqat sufiyyah, karena tidak akan sempurna upaya perbaikan keadaan umat di Al Jazair selama masih adanya thariqat sufiyyah.
2. Menyebarkan upaya pengajaran di kalangan anak kecil dan orang dewasa yang terbebas dari campur tangan pemerintah Prancis.
3. Menghadang laju kristenasasi dan komunis di Aljazair.
Dakwah salafiyyah di Aljazair dimulai oleh para ulama tersebut di atas, namun kemudian redup sepeninggal mereka, khususnya setelah kemerdekaan Aljazair dari Perancis.

Gerakan Ikhwanul Muslimin dan Jama’ah Tabligh di Aljazair
Dengan makin melemahnya dakwah salafiyah, maka tumbuhlah dakwah khalifiyyah Ikhwanul Muslimin di Aljazair. Umat Islam mulai lalai dari kewajiban menuntut ilmu Salafus Shalih sebagaimana mereka pernah diajari oleh para ulama yang telah meninggal tersebut. Pada saat demikian mulailah tumbuh gerakan Ikhwaniyyah.
Mayoritas kaum muslimin yang bodoh menyambut gembira gerakan ini, hingga mereka seolah-olah lupa terhadap dakwah salafiyyah. Bersamaan dengan ini tumbuh dan berkembang pulalah gerakan Jama’ah Tabligh dari India. Tokoh yang membawa dakwah Ikhwaniyyah ini adalah seorang budayawan Aljazair yang bernama Malik bin Nabi rahimahullah. Majalah Al Bayan, London-Inggris, memuat sejarah tokoh ini yang ditulis oleh Muhammad Al ‘Abdah dari edisi Nomor 14 tahun 1409 H/ 1988 M sampai dengan Nomor 23 tahun 1410H/1989M.
Beberapa saat setelah perkembangan dakwah Ikhwaniyyah, lahirlah dari mereka gerakan takfir (pengkafiran kaum muslimin), karena pengaruh buku-buku Sayid Qutub rahimahullah. Di samping itu Ikhwanul Muslimin akhirnya terpecah menjadi dua: satu golongan dinamakan Ikhwan ‘alamiyyin yang menginduk pada Ikhwanul Muslimin di Mesir dan satu golongan lainnya dikatakan Iqlimiyyin yang berdiri sendiri terpisah dari induknya di Mesir. Golongan kedua ini dinamakan juga Ikhwanul Muslimin Aljaz’arah. Bersamaan dengan itu timbul pula gerakan sufiyah yang bernama Jama’ah Tabligh dari India. Kemudian ketika bangkit dakwah kaum Rafidlah (Syi’ah ekstrim) di Iran yang dipimpin oleh Khumaini, Ikhwanul Muslimin secara internasioanl menyambut dan mendukung revolusi ini. Termasuk pula di Aljazair, kaum Rafidlah dan dakwahnya masuk dengan sambutan yang hangat dari Ikhwanul Muslimin dengan alasan menyambut semangat revolusi Islam.
Sementara itu aqidah yang mendominasi gerakan Ikhwanul Muslimin adalah aqidah Asy-’Ariyyah. Ikhwanul Muslimin Aljaz’arah lebih kuat semangat fanatismenya dengan Asy-’Ariyyah dibandingkan dengan Ikhwanul Muslimin ‘Alamyin.
Pada tahun 1400 H/1979 M tampillah seorang tokoh yang bernama Ali Bin Haj atau Ali Balhaaj. la adalah seorang orator yang mengajarkan aqidah dengan manhaj (sistem) Asy-’Asyariyah dan kemudian tampil dengan sedikit pemahaman salafiyah, sehingga yang ditonjolkan dalam dakwah Balhaaj ini bahwa Salafiyah adalah dakwah dalam bidang aqidah semata. Pada waktu itu Ali Balhaaj masih sangat keras pertentangannya dengan Abbas Madani, seorang tokoh Ikhwanul Muslimin lainnya, sementara dakwah salafiyah mulai merebak di kampus-kampus perguruan tinggi dan di masjid-masjid di Aljazair. Dakwah salafiyah ini dibawa oleh para alumni Universitas Islamiyah Madinah Nabawiyah. Akan tetapi, kemudian Ali Balhaj ditokohkan sebagai pimpinan dakwah salafiyyah. Hal ini merupakan awal dari malapetaka atas dakwah Salafiyyah di sana. Seseorang yang sangat labil dalam berpegang dengan pemahaman salafiyyah justru dipercaya memimpin dakwah yang sangat berat dan besar musuhnya. Apalagi dia amat kuat latar belakang nasionalisme, Asy ‘Ariyyah dan semangat Ikhwanul Musliminnya.
Pada tahun 1401 H/1980 M, muncul pula tokoh lain yang cenderung kepada jihad bersenjata, yaitu Mustafa Abu Ya’ la dengan kelompok barunya Al Jama ‘ah Al Islamiyyah. Kelompok ini tumbuh di Mesir dengan nama populernya Jama ‘atul Jihad dan menyebar hampir di seluruh negara Arab.
Pada tahun itu pula terjadi demonstrasi besar-besaran di kampus Universitas Kampus Aljier yang diadakan oleh berbagai kelompok Ikhwanul Muslimin tersebut yang menuntut diterapkannya syari’at Islam di Aljazair. Pada waktu itu Ali Balhaaj menampakkan sikap tidak setuju terhadap kegiatan demonstrasi ini dengan alasan demonstrasi tidak ada dalilnya di dalam Al Qur’an dan Al Hadits. Dan dalam perkara ini, dia benar dan menampakan sikap salafinya, akan tetapi dalam banyak pidatonya, kemudian dia menampakkan sikap seolah-olah menyetujui kegiatan demonstrasi tersebut. Hal ini dikarenakan labilnya pemahaman dia terhadap manhaj salaf, sehingga ia hanyut dengan berbagai pidato agitasi politik. Akhirnya pemerintah menangkapnya bersama para agitator lainnya dan menjebloskan mereka ke penjara. Setelah itu dakwah di Aljazair diberangus akibat peristiwa demontrasi dan penangkapan tersebut. Begitu pula dakwah agitasi politik terhenti dengan berbagai malapetakannya.

Dakwah Salafiyyah bangkit kembali
Dengan diberangusnya dakwah agitasi politik dan dijebloskannya para tokoh dakwah tersebut ke penjara, orang mulai menyadari betapa butuhnya umat ini akan ilmu tentang agamanya. Para dai salafiyyin kembali melancarkan upaya penyebaran ilmu agama, sehingga dengan demikan mulailah semarak di Aljazair semangat menuntut ilmu agama di masjid-masjid dan di halaqah-halaqah. Para dai salafiyin menyebarkan dakwah salafiyah dengan menyebarkan ilmu di seantero negeri yang merupakan negara terluas kedua di Afrika, sehingga semangat mencintai ilmu sangat tinggi dan meluas.
Diceritakan oleh Abdul Malik bin Ahmad bin Al Mubarak Ramadhani Aljazairi – seorang thalibul ‘ilmi – bahwa Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albany hafidhahullah di Amman, Yordania dalam suatu majelis mendapat telepon dari Aljazair sebanyak lima puluh kali yang menanyakan berbagai masalah dan meminta nasihat. Penyebaran kitab-kitab ahlus sunnah semakin gencar melalui berbagai pameran kitab yang dibanjiri oleh thulabul ‘ilmi dan juga melalui pembagian kitab secara gratis dari kedutaan Saudi Arabia. Para alumnus Universitas Islam Madinah juga membawa kitab-kitab ulama ahlus sunnah sebagai rujukan. Hal ini semua semakin memperbesar penyebaran ilmu dan pemahaman salafiyyah. Akibatnya berbagai kelompok hizbiyyun terpaksa juga membuka majlis-majlis ilmu walaupun sebelumnya mereka amat sinis terhadap ilmu dan ahlul ilmu. Kaum sufiyyah semakin terjepit, sehingga mereka tidak berani lagi terang-terangan dalam menyatakan pemahaman dan keyakinannya. Kaum atheis sosialis juga semakin tidak berdaya menghadapi semangat yang amat besar dari umat Islam untuk menuntut Ilmu agama.
Abdul Malik Ramadlani Aljazairi menceritakan bahwa satu majlis ilmu di masjid dihadiri oleh dua ribu orang dalam keadaan membawa kitab, setiap yang hadir siap untuk belajar dengan serius. Keadaan demikian terus berlangsung sampai segenap sistem masyarakat dan negara terpengaruh olehnya. Diceritakan bahwa pada satu daerah di Aljazair sebelah barat telah di hancurkan enam puluh kubah yang dibangun di atas kubur dengan dibantu oleh para pejabat pemerintah setempat. Di kantor-kantor pemerintah ditegakan shalat berjamaah pada jam-jam dinas. Pemerintah menetapkan peraturan yang mewajibkan setiap kantor usaha menyediakan masjid untuk menunaikan shalat berjamaah. Tempat-tempat mesum semakin sedikit, bahkan pemerintah menghukum orang Islam yang terang-terangan tidak berpuasa di siang hari pada bulan Ramadlan dengan hukuman resmi. Di parlemen mulai diperdebatkan dengan terbuka undang-undang pelarangan khamer, olah raga di tempat umum bagi wanita dan berbagai permasalahan yang sesuai dengan syariat Islam.
Tentara yang semula dilarang memelihara jenggot, mulai sebagian mereka menumbuhkan jenggot. Jilbab untuk muslimah semakin memasyarakat, pakaian yang melambangkan keIslaman seperti jubah dan ‘imamah bagi lelaki bukan barang asing lagi. Hal ini semua adalah merupakan barakah yang Allah turunkan dengan sebab dakwah salafiyah mengajari umat ilmu tentang Qur’an dan Sunnah dan membangkitkan semangat beramal dengannya serta memberantas bid’ah, syirik dan kejahilan. Keadaan ini terus berlangsung selama lima tahun dan dakwah salafiyah tidak diganggu atau dikotori oleh para da’i agitator semacam Ali Balhaj, ‘Abbas Madani dan kawan-kawannya, karena mereka semua meringkuk di penjara dan orang pun mulai melupakan mereka.
Akhirnya, kaum sosialis yang memegang jabatan-jabatan tinggi di pemerintahan mulai berfikir untuk membendung kemajuan dakwah salafiyah ini, karena mereka merasa sangat terancam dengan keruntuhan. Mereka paham bahwa dakwah ini tidak mungkin terbendung, kecuali dengan para tokoh singa podium yang dapat memutar arus kebangkitan Islam ke arah agitasi politik, sehingga dapat dengan mudah ditumpas oleh para musuh Islam yang tetap bercokol di jabatan-jabatan tinggi negara. Pilihan pun jatuh pada alternatif yang paling ringan resikonya bagi musuh Islam itu yaitu dengan membebaskan para tokoh agitator yang sedang meringkuk di penjara seperti Ali Balhaj dan kawan-kawannya. Ini adalah sekenario mereka dalam upayanya menghancurkan dakwah salafiyah di Aljazair. Dari sinilah bermula kembali malapetaka atas kaum muslimin di Aljazair.

Kebangkitan Kembali Dakwah Agitasi Politik
Suasana kehidupan dalam penjara bagi Ali Balhaj dan kawan-kawannya adalah suasana menumpuk kebencian dan dendam atau dalam istilah populernya adalah Barisan Sakit Hati (BSH). Semangat kebencian dan dendam semakin tinggi, karena sehari-harinya mereka melahap buku-buku karya Sayid Quthub, Hasan Al Banna, ‘Abdul Qadir ‘Audah, Muhammad Al-Ghazali rahimahumullah wa ghafarahum (semoga Allah merahmati dan mengampuni mereka). Juga buku-buku karya Doktor Yusuf Qaradlawi hadanallahu wa iyyahu (semoga Allah menunjuki kita dan dia). Sehingga ketika pada akhir tahun 1987 M/1407 H Ali Balhaj dan kawan-kawannya keluar penjara, mereka mulai bangkit kembali melancarkan dakwah agitasi politik. Abbas Madani yang semula berselisih dengan Balhaj, bersatu demi tujuan dan program yang sama. Ia dan Madani adalah termasuk tokoh yang menyeru kepada persatuan Sunnah-Syi’ah sebagaimana umumnya para tokoh Ikhwanul Muslimin. Kedua orang ini segera membonceng massa dakwah salafiyah, hingga terjadilah perpecahan di antara kaum salafiyyun karena termakan oleh agitasi Balhaj Cs.. Kaum salafiyyun sebenarnya banyak yang menyadari terjadinya penyimpangan jalannya dakwah salafiyah yang sedang dikendalikan oleh tokoh agitator ini. Akan tetapi, sebagaimana lazimnya, yang termakan oleh agitasi politik lebih banyak sedangkan salafiyyin yang menyadari penyimpangan itu amat sedikit.
Majelis-majelis ilmu yang penuh dengan pengunjung dijadikan ajang pelampiasan kebencian dan dendam terhadap pemerintah. Ummat digiring menuju lubang kebinasaan yang mengerikan. Di atas mimbar-mimbar agitasi politik inilah, ilmu dan ulama Ahlus sunnah dilecehkan. Rakyat dijejali oleh kebencian dan kecurigaan terhadap pemerintah. Sehingga yang berkembang adalah sikap emosional dan mengikuti hawa nafsu tanpa bimbingan ilmu dan manhaj yang benar. Dengan demikian, Aljazair mulai dibayangi kerusuhan dan kegoncangan politik, sosial, budaya dan ekonomi. Semua ini merupakan makar kaum sosialis komunis terhadap Islam dan kaum muslimin umumnya dan terhadap dakwah salafiyyah dan salafiyyin khususnya.
Pada tahun 1989, melalui plebisit umum, pemerintah mengganti undang-undang dasar negara lama dengan undang-undang dasar baru yang diwarnai oleh liberalisme murni. Hal ini berarti memberi peluang lebih luas bagi dakwah agitasi politik, karena negara me-
ngakui dan memberi ijin berdirinya partai-partai politik. Dengan demikian dakwah agitasi politik yang semula hanya membonceng di berbagai majelis ilmu salafiyyin sekarang mendapat kesempatan untuk tampil dengan wadah yang resmi. Dalam suasana demikian inilah berdiri partai FIS (Front Islamic de Sault) di Aljazair yang didirikan oleh Abbas Madani, Ali Balhaj, Bin Azus dan lain-lain. Sementara itu Ikhwanul Muslimin Al Iqlimiyyin membentuk Rabithah Ad Dakwah Al Islamiyah untuk menyatukan berbagai orpol, ormas dan golongan Islam dalam wadah persatuan. FIS masuk dalam anggota organisasi ini yang di dalamnya bergabung berbagai golongan akidah Sunny, Asy’ari, Rafidhi, Sufi dan lain-lain. Semua golongan ini dipersatukan dengan sihir politik. Rabithah tersebut dipimpin oleh Ahmad Sahnun. Ali Balhaj pernah berkata ketika diwawancarai oleh majalah Al-Bayan, London (edisi 23 th. 1410 H/1989 M hal.70) dalam sebuah wawancara: “Apakah Rabithah juga dibangun di atas manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah atau mereka menerima siapa saja sekalipun bukan Sunny di dalam organisasi ini?” Dia menjawab: “Kami berupaya di dalam berbagai pertemuan organisasi ini untuk menjadikan manhaj Ahlus Sunnah itu mendominasi majelis. Hanya ini yang dapat saya jawab sekarang dari pertanyaan anda”. Demikianlah jawaban diplomatis dari Ali Balhaj.
Ikhwanul Muslimin alamiyyin berkoalisi dengan partai-partai sosialis dan nasionalis. Perpecahan di kalangan salafiyyin semakin melebar, sehingga berkembang di kalangan mereka dan masyarakat, istilah salafiyah ilmiah dan salafiyah harakiyah. Pemahaman salaf yang sangat mengutamakan ilmu dan ahlul ilmi dicap sebagai salafiyah ilmiah. Sedangkan kelompok yang berpemahaman dengan “akidah salaf” dan dakwahnya adalah pergerakan politik dinamakan salafiyah harakiyah.
Demikianlah kenyataannya, dakwah salafiyah yang telah mencapai masa keemasan dan kegemilangannya diporak porandakan oleh para politikus yang berbaju salaf. Sampai di tingkat ini saja, musuh-musuh Islam telah berhasil membendung keberhasilan dakwah salafiyah melalui para agitator politik dari kalangan salafiyyin atau dengan ungkapan yang lebih tepat: Mereka adalah orang-orang yang menyusup ke dalam barisan salafiyin.
Situasi terus berlangsung, musuh Islam tidak merasa puas dengan limit keberhasilan yang telah mereka capai. Pada tahun 1412H/1991 M, pemilu diadakan di Aljazair yang berakhir dengan kemenangan FIS secara mutlak pada putaran pertama, sehingga presiden Jedid akhirnya dipaksa mengundurkan diri. Ketika ia mundur dari jabatannya, pihak militer mengumumkan keadaan darurat, sehingga pemilu dibatalkan dengan alasan terjadi kecurangan. Partai-partai politik diberangus dengan undang-undang keadaan darurat.
Muhammad Bodiaf, tokoh sosialis nasionalis, yang sedang berada di tempat pengasingannya di Maroko, dipulangkan ke Aljazair untuk diangkat sebagai Presiden Aljazair. Dua ratus orang aktifis FIS ditangkap dan bersamaan dengan itu muncullah sayap militer FIS yang didominasi oleh pemikiran Khawarij atau istilah lain ialah kaum reaksioner. Pembunuhan kaum muslimin yang terlibat dalam FIS dilakukan oleh pemerintah militer. Sedangkan pembunuhan terhadap kaum muslimin yang terlibat dengan pemerintah dilakukan oleh sayap militer FIS. Ali Balhaj dan Abbas Madani pada akhirnya tertangkap dan kembali meringkuk di penjara, karena mereka sudah tidak dibutuhkan lagi dalam upaya musuh Islam menghancurkan dakwah salafiyah. Sekarang Balhaj sudah menjadikan penjara sebagai tonggak prestasinya. Di dalam penjara, ia membagi ulama dengan istilah ulama sujun (ulama penjara) dan ulama suhun (ulama piring nasi). Hal ini merupakan caranya menyindir ulama ahlus sunnah yang tidak menyetujui dakwah agitasi politik.
Pertumpahan darah terus berlangsung, korban jiwa mencapai ratusan bahkan ribuan, itu tidak termasuk korban luka-luka. Rakyat dicekam ketakutan dan kengerian, hingga tumbuhlah dengan subur di kalangan rakyat jelata semangat Islam Phoby (ketakutan dalam Islam). Akhirnya mayoritas rakyat takut diajari ilmu tentang Islam. Akibatnya dakwah salafiyah hampir mandek total. Dakwah agitasi politik berakhir dengan ratap tangis para janda dan yatim rakyat jelata. Dakwah tersebut meninggalkan noda di bumi Aljazair dalam bentuk air mata dan darah kaum mustadl ‘afin (kaum tertindas). Noda yang lebih parah dari itu ialah ketakutan rakyat jelata dari dakwah Islamiyah umumnya dan dakwah salafiyah khususnya.
Kaum sufiyyah yang semula tersisih di desa-desa dan tak berdaya menghadapi dakwah salafiyah akhirnya diangkat oleh pemerintah sebagai imam-imam di masjid-masjid kota dan desa. Kubur-kubur yang dikeramatkan dan dahulu telah dihancurkan oleh du ‘at salqfiyin, kini dibangun kembali. Dakwah salafiyah di Aljazair menurun sampai ke titik nol. lnna Lillahi wa Inna Ilaihi Raji ‘un.

Penutup
Kisah dakwah salafiyah di Aljazair saya angkat pada kesempatan kali ini karena gejala dan bibit yang sedang tumbuh di kalangan salafiyin di negeri kita ini hampir sama dengan tahapan malapetaka yang berjalan di Aljazair. Sesungguhnya apa yang terjadi di Aljazair dan yang sedang menggeliat di Indonesia, juga terjadi di banyak negeri-negeri muslim seperti Saudi Arabia. Di sana terjadi dengan tokohnya yang bernama Muhammad bin Abdillah Al-Qahthany dan Juhaiman yang berakhir dengan pertumpahan darah yang memalukan di Masjidil Haram Mekah Al-Mukaramah padatahun 1979. Kemudian sekarang terjadi lagi dengan tokohnya Muhammad Surur bin Nayef Zainal Abidin yang kemudian pindah ke Birmingham, Inggris, Dr. Safar Hawali, Salman Al-Audah, Dr. Muhammad Sa’id Al-Qahthany yang akhirnya meringkuk di penjara Saudi Arabia. Juga Dr. Nashir Al-Umar, Aidl Al-Qarny dan lain-lain.
Di Kuwait timbul gerakan serupa dengan tokohnya Abdur Rahman Abdul Khaliq, Dr. Abdur Razaq As-Sayiji dan lain-lain. Gerakan mereka semua mempunyai modus vivendi yang sama dengan apa yang terjadi di Aljazair. Hanya di Saudi dan di Kuwait lebih banyak ulama ahlus sunnah wal jama’ahnya, sehingga gerakan ini dengan pertolongan Allah dapat segera ditumpas atau paling tidak di-counter habis-habisan dan tidak sempat berakibat fatal terhadap dakwah salafiyah di sana. Sedangkan di Aljazair dan di Indonesia tidak ada ulama ahlus sunnah wal jama’ah yang mumpuni, sehingga berakibat fatal dan sangat dikuatirkan di Indonesia juga nantinya berakibat fatal terhadap dakwah ahlus sunnah wal jama’ah.
Saya sebagai seorang muslim ingin menasehati segenap kaum muslimin umumnya dan segenap salafiyin pada khususnya, berhati-hatilah dari pemikiran harakiyah siyasiah (pergerakan politik) yang membonceng dakwah salafiyah. Tokoh-tokoh pergerakan ini sudah bermunculan di Indonesia dengan baju salafiyin. Buku-buku telah ditulis dan diterjemahkan dalam bahasa Indonesia untuk menyebarkan pemikiran jahat ini. Pidato-pidato, studi intensif (daurah) dengan mendatangkan tokoh-tokoh mereka dari dalam maupun luar negeri terus dengan gencar dilakukan. Pesantren-pesantren, masjid-masjid didirikan di Indonesia untuk menyebarkan racun pemikiran ini. Kaum salafiyin terpecah menjadi dua kelompok pemahaman yaitu salafiyin yang merujuk kepada para ulama ahlus sunnah wal jama’ah dan “salafiyin” yang merujuk kepada pemikiran Abdur Rahman Abdul Khaliq, Salman Al-Audah dan lain-lain. Kaum salafiyin yang merujuk kepada ulama Ahlus Sunnah dicap sebagai ahlul ghuluw (ekstrim) dan muqalidin (suka bertaklid kepada orang per orang). Sedangkan “salafiyin” yang sudah teracuni pemikirannya oleh fikrah harakiyah siyasiyah menamakan diri dengan salafiyin munshifin (yang adil atau inshaf).
Dengan demikian perjuangan kami adalah menyebarkan ilmu ulama ahlus sunnah wal jama’ah dan mengcounter racun-racun pemikiran harakiyah siyasiyah. Racun-racun itu adalah bid’ah yang dikemas dengan penjelasan para ulama ahlus sunnah yang dipolitisir. Kami menganggap bahwa bahaya gerakan ini lebih besar bahayanya daripada gerakan ahlul bid’ah yang sesungguhnya karena bid’ah pemikiran ini lebih samar dan tidak diketahui oleh banyak orang.
Imam Abu Muhammad Al-Hasan bin Ali bin Khalaf Al-Barbahari yang meninggal pada tahun 329 H menasehatkan di dalam kitab beliau Syarhus Sunnah yang ditahqiq oleh Abu Yasir Khalid bin Qasim Ar-Radadi pada halaman 68 dan 69 point ke-7 dan 8 (artinya):
Berhati-hatilah dari bid’ah-bid’ah yang kecil dalam perkara agama. Karena bid’ah-bid’ah yang kecil itu akan menjadi besar. Demikian pula bid ‘ah yang terjadi pada umat ini. Semula ia adalah bid’ah kecil yang menyerupai kebenaran. Sehingga tertipu den-gannya orang yang terperosok di dalamnya. Dan setelah terperosok ia tidak dapat keluar darinya. Lalu ia terus menjadi bid’ah yang besar dan pada akhirnya menjadi agama tersendiri yang dianut. Sehingga ia pun menyelisihi Ash-Shirath Al-Mustaqim dan kemudian keluar dari Islam.
(Artinya):
Maka telitilah olehmu – semoga Allah merahmatimu – semua yang engkau dengar ucapannya (tentang agama) dari orang yang sezaman denganmu khususnya, janganlah kamu tergesa-gesa masuk (mengikuti) pada suatu ucapan atau pendapat sampai kamu pertanyakan dulu apakah para shahabat Nabi pernah berkata seperti itu atau ulama (ahlul hadits) pernah menyatakan demikian. Maka jika kamu mendapatkan riwayat dari mereka (para shahabat dan ulama), segeralah kamu berpegang dengannya dan jangan melanggarnya karena suatu alasan serta jangan kamu meninggalkan pendapatnya karena ingin memilih pendapat lain. Bila kamu berbuat demikian kamu akan masuk neraka!

Maraji:
1. As-Siyasah baina Firasatil Mujtahidin Wa Takayyusil Murahiqin, oleh Abdullah bin Al Mubarak Ali Khadran Al Yamani.
2. Bundel Majalah Al-Bayan, London edisi 1-6, 7-12, 13-18, 19-24,43-48.
3. Madarik An Nadhr Fi As Siyasah baina At Tathbiqat Asy Syar’iyyah wa Al Infi’alat Al Hammasiyyah, oleh Abdul Malik bin Ahmad, bin Al Mubarak Ramadlani Al Jazairi. Buku ini telah di baca dan dipuji oleh Syaikh Nashiruddin Al-Albani.
4. Syarhus Sunnah, oleh Imam Al-Barbahary Tahqiq Abu Yasir Khalid bin Qasim Ar Radadi.

Footnote:
[1] penulis sendiri ketika itu menentang acara tersebut karena disamping setiap daerah diwajibkan menyetor sekian puluh juta untuk menanggung bersama biaya ratusan juta yang harus dikeluarkan untuk acara tersebut, juga karena kondisi para ikhwah yang berjaga-jaga di front terdepan peperangan yakni di daerah-daerah perbatasan dengan para pemberontak RMS, yang berjaga di hutan-hutan siang dan malam sangat membutuhkan suplai logistik yang tidak sedikit. Beberapa ikhwah kita ajak berdiskusi permasalahan ini, sampai kita menghadap salah satu ustadz ketika itu, jawaban mereka semua mirip dan sama: “Ustadz Ja’far lebih tahu kemaslahatannya daripada kita semua karena beliau lebih berilmu daripada kita”. Dengan kondisi monolog “tidak sehat” ini , penulis “nekad” mengundurkan diri dari jabatan yang diemban ketika itu dan menyatakan berlepas diri dari acara yang menguras biaya ratusan juta yang sungguh akan jauh lebih besar manfaatnya jika dikirimkan sebagai logistik kepada para ikhwah dan kaum muslimin Ambon yang sangat membutuhkannya. Itulah sistem komando yang menggelincirkan kita ke dalam tandzim hizbiyyah, tidak perlu ada penjelasan ilmiyah kecuali kalimat kita harus taat dan ustadz Ja’far lebih tahu kemaslahatannya serta semua hal yang akan kita lakukan harus seijin dan sepersetujuan ustadz. Allahul Musta’an.
Karena itulah tidak berlebihan jika akh Abdul Ghafur ketika menulis surat kepada Jamarto sampai mengatakan: “Camkanlah! Bapaklah yang telah mengkhianati amanat kami! Bapaklah yang mengkhianati para Masyayikh! Bapaklah yang berbuat kedustaan!! Bapaklah yang menikam kami semua dari belakang dan bahkan menjerumuskan kami semua ke dalam hizbiyyah!! Bapaklah yang menyalahgunakan kekuasaan dan kewenangan atas nama “komando yang tak terbantahkan” bahkan dosa jika tidak mentaatinya!! Komando bapak sungguh merupakan komando yang membinasakan diri dan agama kami!!”
Semua itu menjadi pelajaran berharga bagi kita semua agar kita yang pernah terjerumus tidak mengulangi kesalahan tersebut dan bagi yang membaca kisah tersebut jangan sampai menirunya. Selain Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam, setiap orang – siapapun dia dan setinggi apapun ilmunya – tidaklah terbebas dari kesalahan. Kita pernah mengalami masa-masa begitu takutnya berbeda dengan “atasan”, begitu ngerinya mengatakan tidak dengan perintah yang telah diturunkan. Dan ini adalah kesalahan fatal yang pernah kami lakukan dan tidak perlu bagi kami untuk merasa malu mengungkapkannya. Semoga dapat menjadi ibrah dan pelajaran. Sekarang masa itu telah berlalu, membuka lembaran baru penuh harapan. Nasehat, kritik dan saran yang membangun (bukan mematikan) tentulah harus kami perhatikan. Sebagaimana masa-masa lalu yang – alhamdulillah – dimudahkan oleh Allah untuk ikhlas meninggalkan penyimpangan dan rujuk kepada kebenaran, Insya Allah kita sekarang tetap berprinsip demikian.
Tiada gading yang tak retak, kalau ada kesalahan (apalagi kesesatan!) wajiblah bagi kami untuk merujuk kepada kebenaran dan Insya Allah kami bukanlah manusia-manusia yang keras kepala mempertahankan kebatilan, apalagi hizbi yang dengan lantang menyerukan slogan-slogan kebid’ahan dan kesesatan. Hendaknya seorang muslim meralat kesalahannya jika telah nampak kesalahan tersebut dan jangan sekali-kali terus bersikukuh di atas kesalahannya. Mengenali kesesatan agar kita tidak terjerumus ke lubang kehinaan. Rujuk kepada kebenaran adalah suatu kemuliaan dan terus berkubang di dalam kesesatan adalah kehinaan.
————————-

POLITIK MENGGADAIKAN PRINSIP,
SLOGAN TEGAKKAN SYARI’AT MENJADI BARANG DAGANGAN,
KURSI KEKUASAAN YANG MENJADI INCARAN
(Syaikh Abdul Malik Al Jazairi)

Nukilan
Bukanlah tauhid di sini merupakan agama tasawuf. Kalian telah mengetahui bagaimana orang-orang sufi menjadikan syaikh-syaiknya sebagai rabb selain Allah. Dia juga bukan agama Al-Qadianiyah Al-Bahaiyah bukan pula agama Ikhwanul Muslimin yang di situ terdapat Sufi, Asy’ari, Maturidi, Mu’tazili yang banyak mempengaruhi fikrah (ideologi, pemikiran) mereka dalam memahami nash, juga Jahmi (pengikut Jahm bin Shafwan) dan ini yang terbanyak, Syi’ah Rafidlah dan di situ juga terdapat ahli tasawuf dalam segala bentuk tarekatnya. Mereka semua tidak mengingkari Ikhwanul Muslimin karena mereka semua adalah Ikhwanul Muslimin. Bagaimana? Di mana ukhuwahnya? Mesti ada ukhuwah keyakinan sebagai dasarnya.
Kita harus bersatu di atas satu aqidah yang benar baru setelah itu disusul pembicaraan berikutnya. Kita menasehati saudara-saudara agar jangan tertipu dengan kecaman politik, ya… memang politik sedang berhembus di tengah-tengah jama’ah kalian, namun akan segera cepat berakhir. Kalau anda tidak merasa cukup dengan firman Allah dan sabda Rasulullah sebagaimana yang telah lalu, kenapa anda tidak merasa cukup dengan realita kaum muslimin sekarang?
Selengkapnya
Akhir-akhir ini bermunculan berbagai gelombang fitnah politik di Indonesia. Potensi mayoritas penduduknya yang muslim menggelitik partai politik berlabel Islam untuk menjual atribut Islam dan slogan penerapan syari’at Islam sebagai barang dagangan untuk mencuri hati rakyat. Menjejali hati-hati kaum muslimin dengan slogan-slogan kosong yang tak lebih untuk menutupi ambisi kursi kekuasaan yang sebenarnya menjadi incaran, tak lebih. Kenyataan demi kenyataan telah membuktikannya. Berlindung di balik berhala demokrasi dan kebebasan menyuarakan pendapat, sebagian rakyatnya bahkan berdemo kepada penguasa dan melakukan tindakan-tindakan anarkhis di berbagai tempat. Sebagian lainnya – semacam Hizbut Tahrir – melalui media bulletinnya secara rutin menyirami jama’ah-jama’ah masjid di berbagai pelosok tanah air dengan artikel-artikel kebencian (bersambung) agar kaum muslimin memusuhi penguasa muslimnya. Mereka beralasan, bahwa hal ini disebabkan perbuatan dhalim penguasa, penyimpangan dan ketidakadilan mereka terhadap rakyat. Tidak bisa dibayangkan bahwa orang-orang inilah yang getol memperjuangkan tegaknya “Khilafah Hizbut Tahrir” yang mengingkari keimanan terhadap adzab kubur yang ternyata dalam persoalan yang sangat remeh – yakni menancapkan bendera partai politiknya sendiri – ternyata tidak mampu menegakkannya. Bagaimana mereka bisa menegakkan Khilafah yang imannya mengingkari adzab kubur sementara menegakkan bendera kalian sendiripun ternyata masih miring, tidak bisa tegak? Tentu kita sepakat bahwa hal-hal besar dimulai dari perhatian terhadap hal-hal yang kecil. Tetapi bagaimana jika hal yang terbesar yakni hak-hak Allah untuk diibadahi dan ditauhidkan dibelakangpunggungkan sementara hak sesama manusia yang harus didahulukan? Berikut nasehat Syaikh Abdul Malik Al Jazairi untuk kaum muslimin:
Sesungguhnya segala puji bagi Allah, kita memujiNya, meminta pertolongan kepadaNya, meminta ampun kepadaNya dan kita berlindung kepada Allah dari kejelekan-kejelekan diri-diri dan amalan kita.
Siapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka tidak ada seorangpun yang dapat menyesatkannya. Dan barang siapa yang tersesat maka tidak ada seorangpun yang dapat menunjukinya.
Saya bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang haq kecuali Allah semata tidak ada sekutu bagiNya, dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusanNya. Amma ba’du:
Sesungguhnya sejarah kaum muslimin masa kini setiap saat mengembalikan diri kepada gaung “Menang setelah (dianggap) kalah”. Seolah-olah satu permisalan dari suatu masyarakat ke masyarakat yang lain, setiap kali musuh melihat kaum muslimin telah sampai dari dekat atau dari jauh pada tingkat yang mereka (musuh) benci dan tidak mereka inginkan dari kaum muslimin maka mereka mengerahkan daya upaya menggagalkan dan menghadang keinginan mereka (muslimin) ini dengan satu atau berbagai macam cara.
Sebagai contoh, kita dapati musuh selalu berupaya memusatkan (pikiran) pada satu cara untuk memalingkan kaum muslimin dari dakwah mereka. Cara itu adalah menyibukkan kaum muslimin dengan politik. Cara ini kurang lebih juga diterapkan di setiap negara yang mereka anggap bahwa kaum muslimin telah sadar dalam banyak permasalahan agama dan telah mencapai tingkatan tertentu dalam memahami agama, maka merekapun memasang jerat.
Kita tidak mengingkari pembicaraan (masalah politik) karena dalam hal ini terdapat keterangan yang jelas gamblang ….[1].
Allah Ta’ala memberitahukan kepada kita bahwa mereka kaum Sekularis, Komunis, Yahudi, Nashrani, Budha atau orang-orang kafir lainnya tidak menginginkan kebaikan bagi kita. Allah Ta’ala berfirman (artinya):
“Mereka tidak henti-hentinya memerangi kalian sampai mereka (dapat) mengembalikan kalian dari agama kalian (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup…” (Al Baqarah: 217)
Allah juga berfirman (artinya):
‘’Mereka ingin supaya kalian menjadi kafir sebagaimana mereka telah menjadi kafir” (An Nisa’:89)
Allah juga berfirman (artinya):
“Sebahagian besar ahli kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kalian kepada kekafiran setelah kalian beriman, karena dengki yang (timbul) dari mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenaran…” (Al Baqarah: 109)
Nash-nash Al Qur’an dan As Sunah yang menjelaskan permusuhan orang-orang kafir terhadap kaum muslimin, hampir-hampir tidak dilontarkan secara lantang oleh seorang muslim pun, padahal Allah Ta’ala telah berfirman:
“Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagi kalian…” (An Nisa’: 101)
Namun, hal ini bukanlah suatu yang aneh, karena kita adalah kaum mukminin yang mempercayai berita Allah ‘Azza wa Jalla. Tapi yang mengherankan adalah kemauan kaum muslimin untuk saling mencaplok di kalangan mereka. Kemauan kaum muslimin untuk memperlemah (kekuatan) satu sama lain. Inilah yang tejadi di negeri-negeri kaum muslimin. Maka serbuan yang dicita-citakan musuh terhadap kita ini dapat menembus. Karena kebodohan kita tentang cara yang dipergunakan para Nabi ‘Alaihimush Shalatu was Sallam untuk memperbaiki masyarakat mereka.
Seperti yang kami atau saya katakan kepada kalian: “Saya sekarang tidak mau larut bersama kalian dalam pembicaraan yang terlalu berperasaan.” Or­ang-orang kafir berbuat demikian…..orang-orang kafir memerangi muslimin…, orang-orang kafir melanggar kehormatan muslimin…, orang-orang kafir menumpahkan darah kaum muslimin, menjatuhkan kehormatan, merampas harta mereka… dan seterusnya…”
Saya tidak ingin larut bersama kalian dalam perbincangan masalah ini, karena kenyataan yang demikian telah diketahui di setiap zaman dan dikenal di kalangan muslimin.
Mengulang-ulang masalah ini dapat melalaikan kaum muslimin dari perkara yang lebih wajib bagi mereka.
Perbincangan seperti ini hanyalah menyibukkan dan menyia-nyiakan waktu. Hanya membuat kaum muslimin miris dan pesimis, karena pembicaraan tentang orang-orang kafir bahwa mereka berbuat demikian dan demikian dan… dan… Ini semua membuat para pendengar miris dan menganggap bahwa segala kekuatan semuanya milik orang kafir. Di setiap zaman orang-orang kafir terus berbuat sedangkan kaum muslimin lemah dan tertindas.
Jadi, pada hakekatnya ini adalah pembicaraan untuk mengukuhkan orang kafir, bukan perbincangan untuk memberikan semangat bagi kaum muslimin dalam menghadapi orang-orang kafir. Karena hal itu tidak lebih dari sekedar ratapan dan jerit tangis. Yang seperti ini tidak ada manfaatnya. Kita ingin yang bermanfaat. Apa yang harus kita lakukan bersama mereka? Kita mengakui bahwa jumlah mayoritas adalah kuffar. Kita mengakui hal ini. Namun yang kita khawatirkan adalah terlalu sering membicarakan masalah ini atau terlalu sering mengulang pembicaraan masalah ini akan membuat kita meloncat dari satu sisi ke sisi lain. Contohnya seperti yang terjadi pada mayoritas politikus muslim aktifis harokah, di mana mereka terus mendengungkan permasalahan seputar (bagaimana) bantahan terhadap orang-orang kafir dan cara menghadapi mereka. Namun ternyata mereka sekarang berpegang dengan sisi lain yaitu seruan kepada sinkretisme agama, yakni dari satu sisi ke sisi lain.
Ini adalah musibah bagi muslimin. Ini adalah musibah besar yang menimpa kaum muslimin. Setelah kalian atau hampir seluruh pembicaraan kalian tidak keluar dari (berita) tentang orang-orang kafir yang berbuat demikian!
Dan ucapan : “Kita ingin menghadapi mereka dengan kalimat yang keras, senjata, lalu dengan parade militer kemudian dengan dialog politik dan orasi politik. Kita ingin yang seperti ini!” Maka bagaimanakah hasilnya? Hasilnya, orang-orang kafir akan merasa segan kepada kaum muslimin, dalam arti mereka akan menyatakan kepadanya: “Apabila kalian tidak segera bekerjasama dengan kami dalam upaya menyatukan rasa kemanusian di bawah naungan agama Ibrahim – seperti yang mereka sangka dengan tujuan supaya semangat kaum muslimin melebur dalam kerendahan bersama orang-orang kafir – yaitu Yahudi, Kristen dan yang lainnya kalau kalian tidak berbuat demikian, maka kekuatan dahsyat teknologi mutakhir dan kemajuan zaman akan menolak kalian. Karena lisan kemajuan sekarang telah menolak untuk mengatakan : “Ini kafir, ini muslim.””
Ini semua menyelisihi firman Allah Ta’ala (artinya):
“Sesungguhnya, wajib atas kalian wahai kelompok ahli kitab, yaitu orang-orang yang diturunkan kitab suci kepadanya untuk bersatu di atas kalimat yang sama (adil)”
“Katakanlah: Hai Ahli kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang sama (adil).” (Ali Imran:64).
Apakah kalimat yang sama itu? (Yaitu) :
“…bahwa kita tidak menyembah kecuali Allah dan kita tidak mempersekutukan Dia dengan sesuatupun dan sebagian kita tidak menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah. Jika mereka barpaling maka katakanlah kepada mereka : “Saksikanlah bahwa kami adalah muslimin.” (Ali Imran : 64)
Ini adalah seruan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada ahlul kitab yang benar-benar ingin bersatu di atas kalimat yang sama. Apakah kalimat yang sama itu? Bukan kalimat politik yang menyebabkan kita bersatu di sekitarnya. Bukan kalimat ukhuwah yakni kalimat akhlak (etika) yang menjadikan kita bersatu di sekelilingnya. Dan bukan kalimat ibadah yaitu kita beribadah kepada Allah, tetapi orang lain beribadah juga kepada yang lain menurut seleranya. Bukan itu! Sebagaimana firman Allah tentang ajakan kepada orang Yahudi :
“Kita tidak beribadah kecuali kepada Allah dan kita tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun.”
Ini semua ditolak oleh Yahudi dan Nashrani karena mereka adalah orang-orang yang menyekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak pernah menurunkan hujjah (dalil) tentangnya. “Dan sebagian kita tidak menjadikan sebagian lain sebagai Tuhan selain Allah.”
Lalu bagaimana mungkin kita menyeru kepada sinkretisme agama?
Yang serupa dengan ini adalah seruan kepada upaya mempersatukan antara Sunnah dan Bid’ah, terlebih lagi antara Sunnah dan Rafidl yakni Syi’ah Rafidlah. Ini dimaksudkan supaya muslimin terjatuh di dalamnya, namun pada hakekatnya ini semua tidak lain hanyalah suatu seruan untuk melelehkan sunnah di serambi tasyayu’ (faham Syi’ah), yaitu agar orang Syi’ah Rafidlah tetap bersikukuh di atas kebatilan dan kesesatannya, sementara kamu diajak untuk melebur.
Subhanallah! Ini menyelisihi sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Sesungguhnya siapa diantara kalian yang hidup (sepeninggalku), dia akan melihat ikhtilafyang banyak. Maka atas kalian untuk berpegang dengan sunnah.”
Apakah ketika terjadi ikhtilaf (perselisihan) kita menyatakan : “Kita saling ta’awun (menolong) dalam perkara yang kita sepakati dan kita saling memberi udzur (maaf) dalam perkara yang kita perselisihkan?!”
Apakah ketika terjadi ikhtilaf kita menyatakan demikian? Tidak! Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengatakan demikian, belian bersabda (artinya):
“Maka wajib atas kalian berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin yang mendapatkan petunjuk setelahku”
Tidak cukup ini, bahkan (beliau bersabda, artinya) :
“Berpegang teguhlah dengannya! Dan gigitlah sunnahku itu dengangigigeraham (kalian)! dan hati-hati kalian dari perkara yang diada-adakan karena setiap yang diada-adakan adalah bid’ah.” Sampai akhir hadits.
Hadits ini masyhur di kalangan kalian.
Demikianlah wasiat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala muncul berbagai macam ikhtilaf, beliau tidak mengatakan kepada satu jama’ah :
“Masing-masing melupakan ikhtilaf yang terjadi antara dia dan jama’ah lainnya! Wajib atas kalian bersatu seputar permasalahan yang kalian anggap semuanya sepakat (berserikat)!”
Rasul tidak menyatakan demikian, ini adalah politik atau ini adalah seruan politik. Seruan-seruan ini muncul dari seorang yang ingin membikin makar terhadap kaum muslimin atau makar terhadap ahlul haq.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyebutkan al haq dan al bathil, beliau datang untuk membedakan antara al haq (kebenaran) dan al bathil (kesesatan). Demikian pula Al Qur’an disebut “Al Furqan” karena ia membedakan antara al haq dan al bathil. Ia tidak datang untuk mengumpulkan sesuatu di atas selain petunjuk. Tidak! Ia mengumpulkan sesuatu dalam batas “firman Allah dan Sabda Rasulullah”. Kalau sudah keluar dari rel Al Kitab dan As Sunnah dengan pemahaman Salafus Shalih, maka kitapun keluar dari padanya.
Saya ingatkan! Wahai saudara-saudaraku! Kita tidak menginginkan hal ini, kita sekarang tidak ingin kaum muslimin menghabiskan waktunya dengan menyatakan : “Orang-orang kafir punya ini, itu dan kita tidak punya ini, itu”. “Mereka telah berbuat demikian dan kita belum berbuat demikian!” Dan seterusnya!
Kita mengakui dan memahami masalah ini, namun yang kita inginkan adalah mereka bersatu bersama kita menempuh cara Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam memperbaiki keadaan. Tidak cukup hanya mengatakan :”Kita semua menginginkan perdamaian.” Perdamaian secara umum. Kalimat ini dilontarkan oleh setiap orang sekalipun oleh Qodianiyah (Ahmadiyah) di mana mereka adalah “mayoritas kelompok Islam”, mereka mengaku bahwa Ahmad Mirza Al Qodiyani adalah nabi, mereka pun juga menyatakan : “Kita ingin perdamaian”, sekalipun Al Bahaiyah dan At Tijaniyah, kelompok-kelompok ini bukan termasuk kelompok muslimin, namun kelompok-kelompok ini menggabungkan dirinya dalam golongan muslimin. Kalau kita berjalan di atas kaidah ini (yaitu) : “Kita saling ta’awun dalam perkara yang kita sepakati.” Kita semua sepakat di atas perdamaian secara umum, atau sepakat di atas kalimat Laa Ilaha Illallah dengan ucapan semata. Kita semua mengucapkannya namun ada dari kalangan Muslimin yang mengucapkan (Laa Ilaha Illallah) dan dia beribadah kepada Allah semata dan ada juga orang mengucapkan (Laa Ilaha Illallah) sedangkan dia mengibadahi selain Allah bersamaNya; menyembah syaikhnya, pohon, sungai, menyembah …. dan mereka berikhtilaf dalam masalah ini.
Hal ini sudah kalian ketahui, lalu apakah kita akan bergabung bersama mereka? “Kemarilah kepada kalimat yang sama!” Kalimat yang sama adalah Tauhid. Selamanya kita tidak mungkin ta’awun bersama suatu kelompok sampai dia mengikrarkan tauhid yang murni bagi Allah, Tauhid Rububiyyah, Tauhid Uluhiyah, dan Tauhid Asma’ wa Shifat. Hingga dia berdiri bersama kita di atas aqidah (prinsip, keyakinan) yang sama, aqidah yang satu. Karena Allah Ta’ala telah berfirman (artinya):
“Maka jika mereka beriman kepada apa yang kamu telah beriman kepadanya, sungguh mereka telah mendapat petunjuk, dan jika mereka berpaling, sesungguhnya mereka berada dalam permusuhan (dengan kamu).” (Al-Baqarah : 137)
Jika mereka beriman dengan apa yang diimani para shahabat radliyallahu anhum, maka mereka di atas petunjuk. Namun kalau mereka berpaling, maka tidak ada satu kalimatpun yang dapat mengumpulkan mereka. Karena Allah Ta’ala telah menandaskan (artinya):
‘’Sesungguhnya mereka berada di dalam permusuhan.” Mereka akan berpecah dan mereka akan ikhtilaf, inilah yang terjadi sekarang ini.
Firqah Ikhwanul Muslimin (IM) sudah lebih dari setengah abad mendengungkan masalah
persatuan kaum muslimin, namun satu haripun mereka tidak pernah menyerukan persatuan Muslimin melalui cara yang pernah ditempuh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka hanya ingin dengan cara politik ala mereka. Subhanallah ! Allah ‘Azza wa Jalla menyatakan (artinya):
“Katakanlah: Inilah jalan agamaku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak kamu kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tidak termasuk orang-orang yang musyrik (Yusuf: 108)
Allah menyebutkan dua syarat dan dua perkara, Allah menyebutkan jalan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu mutaba’ah, mengikuti Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Allah juga menyebutkan tauhid dan tidak berbuat syirik, dua syarat yang harus ada dan keduanya adalah syarat diterimanya suatu amalan, sebagaimana yang kamu ketahui (yaitu) mengikhlaskan agama untuk Allah dan memurnikan ittiba’ (mengikuti) kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dua perkara yang harus ada di jalan kita.
Sekarang kita melihat orang-orang mulai mengemukakan berbagai pandangan dan solusi yang menyangkut cara menghadapi perselisihan yang ada dan ramai dibicarakan sekarang ini. Bagaimana kita menghadapi permasalahan ini? Orang-orang mengemukakan berbagai lontaran-lontaran.
Sebagian mereka ada yang menyatakan :
“Kaum muslimin tidak mungkin bersatu, kecuali bila mereka menambah ibadah, memperbanyak ibadah dan memantapkan shalat mereka kepada Allah Ta’ala.”
Engkau dapati mereka memperbanyak ibadah, akan tetapi ketimpangan mereka lebih besar lagi, tatkala mereka memperbanyak ibadah tanpa melihat tata cara Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam beribadah. Mereka tidak memperhatikan bagaimana Nabi beribadah kepada Rabbnya?.
Sebagian lagi ada yang menyatakan :
“Kita tidak mungkin mengeluarkan kaum Muslimin dari fitnah yang mereka alami melainkan dengan cara akhlaq, kita harus memperbaiki moral mereka.”
Ada lagi yang menyatakan :
“Supaya kaum muslimin dapat mengangkat kepalanya dan mengembalikan kejayaannya, mereka harus memegang tampuk kekuasaannya, karena para penguasa yang ada adalah orang-orang sekuler atau jahil”.
Mereka menerapkan kaidah ini dalam jangka waktu yang tidak singkat, namun tidak menambah muslimin melainkan kelemahan di atas kelemahan.
Dia mengatakan:
“Kita harus memegang hukum, kita harus menyingkirkan komunis melalui jalur hukum, menyingkirkan ahli kitab, sekularisme dan … dan… dan seterusnya,” Seperti kalian ketahui.
Kita jawab:
Mereka semua tidak di atas cara Nabi. Mereka semua menyelisihi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kenapa? Karena Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyebutkan adanya suatu kaum yang beribadah kepada Alah ‘Azza wa Jalla dengan ibadah yang tidak dapat dicapai oleh para shahabat yang mulia radliyallahu anhum. Kalian tahu siapa mereka itu ? Khawarij!
Beliau bersabda (artinya): “Kalian menganggap sedikit shalat kalian dibanding dengan shalat mereka.”
Beliau berbicara dengan siapa? Beliau berbicara dengan shahabat! Para shahabat, orang yang paling banyak beribadah kepada Allah, seagung-agung orang yang ibadah kepada Allah!
Beliau bersabda (artinya): “Kalian apabila melihat ibadah Khawarij, kalian akan menganggap sedikit shalat kalian bila dibanding dengan shalat mereka dan puasa kalian bila dibanding puasa mereka, mereka membaca Al-Qur’an, namun tidak melampaui tenggorokan mereka.”
Dalam riwayat lain beliau bersabda (artinya): “Mereka memperindah ucapan dan perkataan mereka manis, tetapi jelek perbuatannya”.
Apa yang beliau katakan? (artinya): “Sungguh! Kalau saya menjumpai mereka, saya akan bunuh mereka seperti kaum ‘Aad.”
Kalaulah seandainya ibadah yang banyak itu suatu jaminan untuk mengembalikan kejayaan muslimin, niscaya orang Khawarij adalah tokohnya. Namun bukan demikian permasalahannya.
Demikian pula Ahlul Akhlaq yaitu orang-orang yang hanya menyeru kaum muslimin untuk berakhlaq dengan akhlaq Rasulullah. Namun mereka menutup mata dari sisi ibadahnya, tentang shalatnya, zakatnya, hajinya dan yang lainnya. Mereka menutup mata dari sisi tauhidnya kepada Rabbnya ‘Azza wa Jalla. Mereka ini tidak akan berhasil. Perumpamaan mereka persis seperti Nashara. Nashara mengatakan seperti mereka: “Agama kami adalah agama kasih sayang, agama persaudaraan dan agama emansipasi.” Mereka tidak memiliki (pegangan prinsip) kecuali hanya ini. Padahal mereka sendiri pun menyelisihi prinsip mereka. Karena tidak syak lagi bahwa Nashara adalah penjajah terbesar di alam ini. Namun mereka menyatakan demikian dalam rangka mengelabui. Mereka melemparkan abu ke mata orang-orang dungu dan jahil.
Mereka menyatakan demikian, namun ini semua selamanya tidak akan mungkin dapat mengembalikan kejayaan muslimin.
Karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala datang untuk memperbaiki kaumnya dan semua orang setelahnya, beliau tidak memulai dengan perbaikan moral, beliau hanya bersabda (artinya):
“Sesungguhnya saya diutus untuk menyempurnakan akhlaq yang mulia.” (Hadits ini dishahihkan Al Albani dalam Ash Shohihah no. 45 dan Shahihul Jami’ 2349).
Subhanallah! Hanya menyempurnakan, beliau tidak datang dengan apa yang beliau bawa untuk mengadakan budi pekerti manusia, karena budi pekerti waktu itu sudah tersebar, bahkan beliau diutus di tengah-tengah kaum yang memiliki budi pekerti yang u’nggi yaitu Bangsa Arab. Mereka waktu itu berakhlaq tinggi dalam berhubungan bisnis sesama mereka, menjaga jaminan, kehormatan, amanah, perjanjian dan bertamu. Mereka memiliki kata sepakat, kalau sudah diucapkan satu kalimat, selesai!
Akan tetapi Islam datang untuk menyempurnakan yang sudah ada, karena Islam menyeru kepada derajat kesempurnaan dalam segala bidang, juga dalam masalah akhlaq (artinya): “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlaq yang baik.”
Kalau begitu beliau tidak diutus untuk menancapkan fondasi akhlaq.
Yang tersisa ialah kelompok ketiga yang menyatakan :
“Perlunya perbaikan politik.”
Kita katakan kepada mereka:
“Apakah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memulai (dakwahnya) dengan memperbaiki politik kaumnya untuk mencapai apa yang telah beliau capai ini? Ataukah beliau meninggalkan politik? Kita harus meninggalkan masalah ini! Apakah beliau memulai dengan perbaikan politik? Bukankah beliau pernah ditawari kekuasaan? Dengan ucapannya : ‘Engkau yang memimpin!” Bukankah beliau pernah ditawari wanita yang paling cantik? Bukankah beliau ditawari harta Quraisy yang akan diberikan kepada beliau? Semua itu pernah ditawarkan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Padahal waktu itu beliau mampu untuk menyatakan “Saya terima kekuasaan itu” dalam rangka mempolitisir kaumnya (strategi, ed), kemudian setelah itu beliau terapkan Islam atau Al Qur’an pada mereka! Namun beliau tidak melakukannya.
Tetapi beliau tidak diam sesaatpun dari dakwah tauhid, tidak seperti apa yang dilakukan Ikhwanul Muslimin sekarang, mereka tidak mau berbicara tentang tauhid, kenapa? Karena berbicara tentang tauhid menurut praduga dan kesesatan mereka dapat memecah belah kaum muslimin! Subhanallah – Kita memohon keselamatan kepada Allah -. Hak Allah yang cukup untuk menyatukan berbagai perpecahan terlupakan. Sementara hak kalian berhukum dengan syari’at yang adil dalam perkara yang kalian lakukan tidak terlupakan! Adapun hak Allah yaitu (hak) untuk diibadahi, ditunda dan diakhirkan. Mereka memulai dengan jatah-jatah mereka dan membiarkan serta menunda hak Allah Subhanahu wa Ta’ala. Bahkan terkadang ada yang menyatakan : “Orang-orang kafir Quraisy menawarkan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kekuasaan dengan perhitungan bahwa beliau akan diam dari tauhid (tidak membicarakannya!).”
Kita katakan: Jawaban terhadap masalah ini ada dua:
Jawaban pertama, jawaban secara realita. Sesungguhnya Ikhwanul Muslimin sendiri juga menerima tawaran yang sama, ditawarkan kepada mereka hal-hal ini (kekuasaan) dan mereka menyambutnya dengan syarat diam dari tauhid. Bahkan saya melihat sendiri orang-orang yang masuk parlemen (dari mereka) tidak membicarakan tauhid. Mereka tidak membicarakan tauhid bukan karena takut kepada orang-orang parlemen, namun karena takut kepada masyarakat. Karena masyarakat mereka tidak terdidik dengan tauhid. Mereka tidak mampu mendidik masyarakatnya dengan tauhid, lalu bagaimana mungkin mereka mampu mendidik masyarakatnya dengan politik, etika, ibadah, dengan ini dan itu…? Subhanallahil ‘Adhim. Pada ujian pertama, kalian sudah gagal, tidak berhasil, padahal itu yang paling besar, paling agung dan paling baik! Bagaimana kalian tidak meninggalkan perkara-perkara lain? Mereka tenang meninggalkan suatu perkara yang merupakan ungkapan tentang kehidupan. Ini adalah kesalahan mereka, Ikhwanul Muslimin dan demikianlah model diamnya mereka.
Jawaban kedua, jawaban berdasarkan Syari’at, dikatakan: Sungguh telah datang suatu tawaran dari Allah ‘Azza wa Jalla kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diturunkan bersama seorang malaikat, maka ia (Jibril) berkata (artinya): “Wahai Muhammad! Ini adalah Malaikat yang belum pernah turun ke bumi sebelum ini. Malaikat ini mulai berbicara, ia berkata : “Rabbmu mengutusku kepadamu dan berkata: “Apakah (kau mau) Aku menjadikan kamu seorang raja atau seorang hamba dan rasul?” Orang-orang harakah, para politikus muslim akan mengatakan: “Duhai kiranya beliau menerima kekuasaan dan dari situ beliau mempraktekkan Islam.” Orang yang tidak dapat diobati dengan Al Kitab, maka beliau obati dengan pedang karena beliau punya kekuasaan! Yakni ini adalah angan-angan politik kaum pergerakan. Namun Jibril mengatakan : “Wahai Muhammad! Tawadlu’ah kamu kepada Rabbmu!” Kemudian beliau menyatakan: ‘Tidak! Tapi aku memilih menjadi seorang hamba dan rasul!
Lalu kenapa kita sekarang menyelisihi, Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yakni kita lebih banyak trik-trik politik dari pada beliau? Apakah kita lebih mengerti realita (umat) di banding beliau? Lebih mampu menyatukan massa daripada beliau? Kita bisa menjaga benteng muslimin, kita bisa membela kaum muslimin, kita lebih mengerti dan lebih tahu hukum daripada beliau?! Naudzubillah min dzalik kita berlindung kepada Allah dari ucapan atau tindakan yang beliau pun dahulu mampu mengucapkannya: “Saya akan memegang tampuk kekuasaan dan niat saya baik, wahai Jama’ah! Saya berniat mempraktekkan Islam setelah itu! Tapi beliau tidak melakukan hal ini, beliau ridla menjadi seorang hamba yang lemah. Seperti keumuman orang dan kadang-kadang beliau lebih rendah dari kebanyakan orang kafir dari sisi sosialnya, namun beliau seorang rasul dalam arti seorang mubaligh dan da’i, beliau ridla menjadi seorang hamba tetapi sebagai seorang da’i yang mengajak kepada Allah ‘Azza wa Jalla, maka beliaupun konsisten di atas hal ini, Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dan dari sisi akal/alasan hal ini telah diketahui, bahwa seorang pemuda tidak mungkin engkau jadikan sebagai seorang yang taat kepada Islam hingga dia merasa qana’ah (puas) dengan Islam dan qana’ahnya secara terperinci, tidak hanya mengatakan : “Ya Akhi! Saya mencintai Islam!”
Baiklah! Apakah engkau mengharapkan Islam dalam rumahmu? Apakah engkau menjaga shalat di masjid Rabbmu? Bila kami mendatangimu ketika shalat fajar (shalat Shubuh) setiap hari… yakni 100 % kaum muslimin tertidur ketika shalat fajar, mungkin 20 % bila masyaratnya baik shalat fajar di masjid. Sebaliknya kita lihat istri-istri kalian, putri-putri kalian, apakah sudah berhijab dengan sebenarnya terdidik dengan norma-norma Islam? Kita lihat putera-puteri kalian, apakah kalian juga menerapkan agama ini pada diri-diri kalian? Kalau begitu inilah yang seyogyanya kita renungkan dan kita pikirkan.
Bila para Rasul alaihimush shalatu wa sallam ingin berkumpul di sekitarnya sekian banyak orang, mereka akan menempuh jalur politik?
Lihatlah sekarang kepada dakwah-dakwah dan “politik Islam” – kalau benar istilah ini -. Lihatlah sekarang kepada orang yang menggembar-gemborkan landasan politik, tentu akan datang mengerumuninya sekian banyak kaum muslimin, semuanya akan bergabung dengannya, namun kalau dia mengangkat bendera dakwah tauhid, dakwah Nabi, dakwah rabbani menyeru kepada tauhid. Maka tidak ada yang mengikutinya kecuali sedikit sekali dari kalangan Muslimin. Ingatkah kalian satu hadits Muttafaq ‘Alaihi (yang disepakati keshahihannya oleh Imam Bukhari dan Muslim – red). Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (artinya):
“Akan datang pada hari kiamat nanti seorang Nabi dan bersamanya beberapa orang pengikut, dan ada seorang yang bersamanya satu dua orang serta ada seorang Nabi yang tidak ada seorangpun bersamanya.”
Tidak bisa saya gambarkan, kalau seandainya Nabi tersebut mendakwahkan prinsip politik, kemudian tidak ada seorangpun yang mengikutinya, ini mustahil, karena orang-orang sekarang senang kekuasaan walau dengan itu mereka meremehkan masalah agama.
Manusia menyukai kekuasaan, mencintai harta, mereka mencintai kursi (kekuasaan). Bila engkau mengajak mereka kepada politik, mereka pasti akan mengikutimu. Setan-setan mereka tidak akan membiarkan mereka, ia akan mengatakan : “Wahai jama’ah! Apakah kita ingin kursi?” Tidak! Kita katakan : “Kita tidak ingin kursi, kita ingin Islam, kita ingin berhukum dengan Islam!” Subhanallah! Apakah kalian telah berhukum dengan Islam di rumah, pada diri sendiri, daerah dan desa kalian? Mereka tidak bisa menjawab! Bahkan sebagian mereka berkelit mengatakan: “Kita menginginkan hal itu, namun penguasa mengharuskan demikian”! Bagaimana itu? Tunjukkan kepadaku seorang hakim yang mencegah kalian mengerjakan shalat fajar di masjid, apakah kalian menjumpai seorang penguasa yang mencegat di tengah jalan sedang kalian hendak pergi ke masjid? Kalian tidak akan mendapatinya, lalu siapa yang mencegah kalian? Sebenarnya yang menghukumi kalian adalah setan dan hawa nafsu yang mengintai, baru setelah itu kita berbicara tentang masalah politik.
Kalau demikian, kita yakin bahwa ketika kita melarang saudara-saudara kita dari jalan politik, bukan berarti kita ingin mengatakan: “Politik bukan termasuk bagian agama”. Politik termasuk bagian dari agama, namun kita katakan: “Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menggariskan bagi kita satu jalan yang harus kita ikuti.” Inilah yang kita inginkan.
Saya katakan: “Demikianlah, bahwa politik termasuk bagian dari agama.” Al Qur’an dan As Sunnah harus (menjadi dasar yang) menghukumi diri kita dan dua hal tersebut harus menjadi hakim dalam (berbagai) kemaslahatan hukum. Namun bagaimana cara Nabi shallahu a’alaihi wa sallam bisa sampai berhukum dengan syari’at Islam di kota Madinah setelah beliau meninggalkan negerinya, Makkah? Bagaimana beliau mencapainya? Tunjukkan kepada kami wahai jama’ah, satu hadits! Tunjukkan kepada kami satu nash shahih dari sirah nabawiyyah (sejarah perjalanan hidup Nabi) bahwa Nabi shallalahu a’laihi wa sallam memulai (perjuangannya, ed) dengan mengajari masyarakat berpolitik dan mengadakan orasi politik di hadapan Quraisy untuk mencapai tampuk kekuasaan! Kami hanya ingin satu dalil saja dari kalian! Subhanallah! Dahulu beliau punya kesempatan pada musim haji di Makkah, beliau punya kesempatan masuk dari satu kemah ke kemah lain untuk menyatakan: “Siapa yang mau melindungi aku menyampaikan risalah Tuhanku?” Beliau mengunjungi (rumah-rumah) orang hingga ke pasar-pasar sambil berteriak: “Katakanlah Laa Ilaaha Illallahu, niscaya kalian bahagia!”
Kenapa beliau tidak menyinggung politik? Kenapa beliau tidak mengatakan: “Wahai Jama’ah! Pensyariatan itu milik Allah! Kekuasaan itu milik Allah, kerajaan itu milik Allah! Kalian harus berhukum dengan Al-Qur’an!” Ini semua tidak disinggung oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau ingin memulai dengan hak Allah sebelum hak-hak muslimin, karena kita punya hak yang mengharuskan kita berhukum kepada syariat. Hak apa itu? Hak itu yakni seperti rizqi melimpah, kejayaan dan seterusnya…. ini semua adalah janji Allah, namun dengan syarat, apa syaratnya? Allah berfirman (artinya):
“Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa.” (An Nur: 55).
Bukanlah tauhid di sini merupakan agama tasawuf. Kalian telah mengetahui bagaimana orang-orang sufi menjadikan syaikh-syaiknya sebagai rabb selain Allah. Dia juga bukan agama Al-Qadianiyah Al-Bahaiyah bukan pula agama Ikhwanul Muslimin yang di situ terdapat Sufi, Asy’ari, Maturidi, Mu’tazili yang banyak mempengaruhi fikrah (ideologi, pemikiran) mereka dalam memahami nash, juga Jahmi (pengikut Jahm bin Shafwan) dan ini yang terbanyak, Syi’ah Rafidlah dan di situ juga terdapat ahli tasawuf dalam segala bentuk tarekatnya. Mereka semua tidak mengingkari Ikhwanul Muslimin karena mereka semua adalah Ikhwanul Muslimin. Bagaimana? Di mana ukhuwahnya? Mesti ada ukhuwah keyakinan sebagai dasarnya.
Kita harus bersatu di atas satu aqidah yang benar baru setelah itu disusul pembicaraan berikutnya. Kita menasehati saudara-saudara agar jangan tertipu dengan kecaman politik, ya… memang politik sedang berhembus di tengah-tengah jama’ah kalian, namun akan segera cepat berakhir. Kalau anda tidak merasa cukup dengan firman Allah dan sabda Rasulullah sebagaimana yang telah lalu, kenapa anda tidak merasa cukup dengan realita kaum muslimin sekarang? Seluruh kelompok mengangkat bendera politik untuk mengembalikan kejayaan muslimin, mereka semua menyatakan: “Kita melihat pengalaman praktis orang sebelum kita, namun kita membuang kesalahan-kesalahan mereka dan kita tambahkan beberapa perkara yang benar untuk menepis kesalahan mereka!”
Kita katakan: “Hendaklah kalian meninggalkan sesuatu yang sia-sia seperti ini, wajib atas anda menelusuri jalan yang telah digariskan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam upaya memperbaiki masyarakatnya. Hendaklah memperbaiki masyarakat dengan cara yang telah digariskan Nabi, dan janganlah kalian menghabiskan waktu untuk politik”.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memulai (dakwahnya) dengan politik, seluruh kitab sejarah menyatakan: Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tinggal di Makkah selama 13 tahun mengajari umat tentang tauhid, bahkan ayat yang berbicara masalah politik tidak diturunkan melainkan di kota Madinah, anda telah mengetahui masalah ini! Kemudian, di Madinah pun beliau tidak meninggalkan dakwah tauhid, beliau memusatkan dakwah dari awal sampai akhir dan di tengah-tengah dakwah untuk kehidupan muslimin, beliau tidak meninggalkannya sama sekali, sampai pada akhir hayatnya shallallahu ‘alaihi wa sallam di saat nafas-nafas terakhir menuju Ar-Rafiqul A’la[2], lima hari sebelum walat beliau menyatakan: “Mudah-mudahan Allah melaknat Yahudi dan Nashara, mereka menjadikan kubur para Nabi dan orang-orang shalih mereka sebagai masjid (tempat ibadah).” ‘Aisyah menjelaskan: “Beliau memperingatkan (umatnya) dari apa yang mereka perbuat”
Beliau juga berdo’a: “Ya Allah! Jangan engkau jadikan kuburku sebagai Ied (tempat perayaan)!”
Subhanallah! Kenapa kita tidak menyeru kepada masalah ini?! Musibah terbesar yang menimpa kaum muslimin sekarang ini adalah mereka menjadikan kubur para Nabi dan orang shalih sebagai masjid. Mana aktivis da’wah? Mana para da’i? Mereka sebenarnya banyak jumlahnya, namun sedikit di kalangan mereka yang menyeru kepada kebenaran. Kita menjumpai para da’i sekarang berjumlah banyak – Alhamdulillah – namun sangat disayangkan mayoritas mereka berpaling dari dakwah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Bila engkau pergi ke negeri muslimin, engkau akan dapati banyak orang yang thawaf di kuburan orang-orang shalih, orang-orang yang meminta pertolongan kepada orang-orang yang sudah mati dan banyak pula orang-orang yang minta tolong kepada orang-orang shalih (yang sudah mati). Tunjukkan kepada kami di mana Allah? Kalian telah menyia-nyiakan Allah, kenapa kalian bergantung kepada hamba-hambaNya padahal mereka tidak mampu mendatangkan manfaat, madlarat, kematian, kehidupan dan kebangkitan pada diri-diri mereka? Kenapa kalian menjadikan kuburan mereka sebagai kiblat bagi kalian?! Kalian berdo’a kepada mereka dengan sangkaan bahwa perbuatan seperti itu termasuk bentuk kecintaan kepada Allah?
Apakah kalian mencintai orang-orang shalih? Ya, kita mencintai orang-orang shalih, orang-orang yang dicintai Allah, namun kita tidak beribadah kepada mereka dan sebagian kita tidak menjadikan sebagian yang lain sebagai rabb (Tuhan) selain Allah, kita tidak mengibadahi mereka, karena itu adalah hak Allah yang murni.
Subhanallahi al ‘Aliy al-’Adhim! Bila engkau sekarang ini masuk ke negeri-negeri kaum muslimin, engkau akan kesulitan mendapati sebuah masjid yang sesuai Sunnah, engkau akan sulit mencari sebuah masjid yang bersih dari kuburan orang shalih, apalagi berbagai kebid’ahan yang bukan kesyirikan yang banyak terjadi pada para imam, da’i, khatib, pembimbing dan para guru apalagi orang awam.
Subhanallahil ‘Adhim. Lalu kenapa mereka membuang-buang waktu? Kenapa mereka menyia-nyiakan sejarah hidup Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam? Padahal kita tidak mungkin dapat memperbaiki kondisi kita sama sekali kecuali dengan apa yang telah memperbaiki kondisi generasi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, telah shahih dari Imam Malik Rahimahullah bahwa beliau pernah menyatakan: “Tidak akan baik keadaan akhir umat ini kecuali dengan apa yang memperbaiki keadaan awalnya.”
Kalau begitu, kita harus menempuh jalan ini. Demikianlah apa yang dapat saya sampaikan dalam masalah ini, wallahu a’lam. (Sumber: Majalah Salafy. Edisi 33/1420H/1999).

Footnote:
[1] Ada beberapa kalimat yang tidak sempat terekam karena kesalahan teknis.
[2] Yakni Allah Subhanahu wa Ta’ala