Rasulullah dan Para Shahabat Bukan Demonstran!

Masih mengenai topik Berhala Demokrasi…
(Menyambung tulisan terdahulu http://tukpencarialhaq.wordpress.com/2007/12/02/julukan-wahabi-politik-keranjang-sampah/)
Di antara tokoh-tokoh mereka adalah Abdurahman Abdul Khaliq (mufti besar Ihya’ At-Turats Al-Kuwaiti) yang mengatakan (artinya): “Termasuk metode atau cara Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam berdakwah adalah demonstrasi atau unjuk rasa.” (Al-Fushul Minas Siyasah Asy-Syar’iyyah, hal. 31-32)…
Di sana terdapat kesesatan dan tasyabbuh dengan turut sertanya para wanita dalam demonstrasi.
Demikian itu merupakan kesempurnaan tasyabbuh terhadap orang kafir, baik laki-laki atau perempuan. Karena, kita melihat melalui foto-foto, atau berita lewat radio dan televisi atau selainnya, tentang keluarnya beribu-ribu manusia dari kalangan orang-or­ang kafir Afrika maupun Syiria dan yang lainnya. Menurut ungkapan orang-orang Syam, keluarnya laki-laki dan wanita dalam keadaan “meleit temkit”. Meleit temkit maksudnya mereka berdesakan antara punggung dengan punggung, atau pinggul dengan pinggul dan Iain-lain…Dari sini, setiap jama’ah hizbiyah, kelompok Islam jelas telah melakukan kekeliruan besar karena tidak menelusuri jalan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam merubah keadaan masyarakat. Tidak ada dalam aturan Islam merubah keadaan masyarakat dengan cara bergerombol-gerombol, berteriak-teriak dan demonstrasi (unjuk rasa). Islam mengajarkan ketenangan, dengan mengajarkan ilmu di kalangan kaum muslimin serta mendidik mereka di atas syariat Islam sampai berhasil, walaupun harus dengan waktu yang sangat panjang.
Selengkapnya…Gejolak unjuk rasa atau demonstrasi yang saat ini sedang marak, mengundang komentar banyak pengamat. Sebagian mereka mengatakan: “Aksi ujuk rasa ini dipelopori oleh oknum-oknum tertentu.” Adapula yang berkomentar, “Tidak mungkin adanya gejolak kesemangatan untuk aksi kecuali ada yang memicu atau ngompori.” Sedangkan yang lain berkata: “Demonstrasi ini adalah ungkapan hati nurani rakyat”. Demikian komentar para pengamat tentang demonstrasi yang terjadi di hampir semua universitas di Indonesia. Sebagian mereka menentangnya dan menganggap para mahasiswa itu ditunggangi oleh pihak-pihak tertentu. Sebagian lain justru mendukung mati-matian dan menganggapnya sebagai jihad.
Namun dalam tulisan ini kita tidak menilai mana pendapat pengamat yang benar dan mana yang salah. Tetapi kita berbicara dari sisi: Apakah demonstrasi ini bisa digunakan sebagai sarana / alat dakwah kepada pemerintah atau tidak? Atau, apakah tindakan ini bisa dikatakan sebagai jihad?[1].

Demonstrasi Pertama dalam Sejarah Islam
Kasus terbunuhnya Utsman bin Affan dan timbulnya pemikiran Khawarij sangat erat hubungannya dengan demonstrasi. Kronologis kisah terbunuhnya Utsman radliyallahu ‘anhu adalah berawal dari isyu-isyu tentang kejelekan khalifah Utsman yang disebarkan oleh Abdullah bin Saba’ di kalangan kaum muslimin.
Abdullah bin Saba’ adalah seorang Yahudi yang pura-pura masuk Islam[2]. Sedangkan kita telah maklum bagaimana karakter Yahudi itu karena Allah telah berfirman (artinya):
“Niscaya engkau akan dapati orang yang paling memusuhi (murka) kepada orang-orang yang beriman adalah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrikin.” (Al-Maidah: 82)
Permusuhan kaum Yahudi terlihat sejak berkembangnya Islam, seperti mengkhianati janji mereka terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, merendahkan kaum muslimin, mencerca ajaran Islam dan banyak lagi (makar-makar busuk mereka). Setelah Islam kuat, tersingkirlah mereka dari Madinah. (Lihat Sirah Ibnu Hisyam, jil. 3 hal 191,199)
Pada jaman Abu Bakar dan Umar radliyallahu ‘anhuma, suara orang-orang Yahudi nyaris hilang. Bahkan Umar mengusir mereka dari jazirah Arab sebagai realisasi perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang pernah bersabda (artinya):
“Sungguh akan aku keluarkan orang-orang Yahudi dan Nashara dari Jazirah Arab sampai aku tidak sisakan padanya kecuali orang muslim.”
Juga ucapan beliau (artinya): “Keluarkanlah orang-orang musyrikin dari Jazirah Arab!” (HR. Bukhari)
Di tahun-tahun terakhir kekhalifahan Utsman radliyallahu ‘anhu, di saat kondisi masyarakat mulai heterogen, banyak mualaf dan orang awam yang tidak mendalam keimanannya, mulailah orang-orang Yahudi mengambil kesempatan untuk mengobarkan fitnah. Mereka berpenampilan sebagai muslim, dan di antara mereka adalah Abdullah bin Saba’ yang dijuluki Ibnu Sauda. Orang yang berasal dari San’a ini menebarkan benih-benih fitnah di kalangan kaum muslimin agar mereka iri dan benci kepada Utsman radliyallahu ‘anhu. Sedangkan inti dari apa yang dia bawa adalah pemikiran-pemikiran pribadinya yang bernafaskan Yahudi. Contohnya adalah qiyasnya yang batil tentang kewalian Ali radliyallahu ‘anhu. Dia berkata (artinya): “Sesungguhnya telah ada seribu nabi dan setiap nabi mempunyai wali. Sedangkan Ali adalah walinya Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Kemudian dia berkata lagi: “Muhammad adalah penutup para nabi sedangkan Ali adalah penutup para wali.”
Tatkala tertanam pemikiran ini dalam jiwa para pengikutnya, mulailah dia menerapkan tujuan pokoknya yaitu melakukan pemberontakan terhadap kekhalifahan Utsman bin Affan radliyaliahu ‘anhu. Maka dia melontarkan pernyataan pada masyarakat yang bunyinya (artinya): “Siapa yang lebih dhalim daripada orang yang tidak pantas mendapatkan wasiat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (kewalian rasul), kemudian dia melampaui wali Rasulullah (yaitu Ali) dan merampas urusan umat (pemerintahan)!” Setelah itu dia berkata (artinya): “Sesungguhnya Utsman mengambil kewalian (pemerintahan) yang bukan haknya, sedang wali Rasulullah ini (Ali) ada (di kalangan kalian). Maka bangkitlah kalian dan bergeraklah. Mulailah untuk mencerca pejabat kalian, tampakkan amar ma’ruf nahi mungkar. Niscaya manusia serentak mendukung dan ajaklah mereka kepada perkara ini.” (Tarikh Ar-Rasul’  juz 4 hal 340 karya Ath-Thabary melalui Mawaqif).
“Amar ma’ruf nahi mungkar” ala Ibnu Saba’iyah ini sama modelnya dengan “amar ma’ruf” menurut Khawarij yakni keluar dari pemerintahan dan memberontak, memperingatkan kesalahan aparat pemerintahan di atas mimbar-mimbar, forum-forum dan demonstrasi-demonstrasi yang semua ini mengakibatkan timbulnya fitnah. Masalah pun bukan semakin reda, bahkan tambah menyala-menyala. Fakta sejarah telah membuktikan hal ini. Amar ma’ruf nahi mungkar ala Ibnu Saba’iyah dan Khawarij ini mengakibatkan terbunuhnya Khalifah Utsman bin ‘Affan radliyallahu ‘anhu, peperangan sesama kaum muslimin dan terbukanya pintu fitnah dari jaman Khalifah ‘Utsman sampai jaman kekhalifahan ‘Ali bin AbiThalib radliyaliahu ‘anhu (Tahqiq Mawaqif Ash-Shahabati fil Fitnati min Riwayat Al-Imam Ath-Thabari wal Muhadditsin juz 2 hal 342).
Sebenarnya amar ma’ruf nahi mungkar yang mereka gembar-gemborkan hanyalah sebagai label dan tameng belaka. Buktinya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Utsman (artinya):
“Hai ‘Utsman, nanti sepeninggalku Allah akan memakaikan pakaian padamu. Jika orang-orang ingin mencelakakanmu pada waktu malam —dalam riwayat lain—: Orang-orang munafiq ingin melepaskannya, maka jangan engkau lepaskan. Beliau mengucapkannya tiga kali.” (HR Ahmad dalam Musnadnya, juz 6 hal 75 dan At-Tirmidzi dalam Sunannya dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi 3/210 no. 2923).
Syaikh Muhammad Amhazurn berkomentar (artinya): “Hadits ini menunjukkan dengan jelas bahwa orang Khawarij tidaklah menuntutkeadilan dan kebenaran, akan tetapi mereka adalah kaum yang dihinggapi penyakit nifaq sehingga mereka bersembunyi di balik tabir syiar perdamaian dan amar ma’ruf nahi mungkar. Tidak diketahui di satu jaman pun adanya suatu jama’ah atau kelompok yang lebih berbahaya bagi agama Islam dan kaum muslimin daripada orang-orang munafiq.” (Tahqiq Mawaqif Ash-Shahabati juz 1 hal 476).
Inilah hakikat amar ma’ruf nahi mungkar kaum Ibnu Saba’iyyah dan Khawarij. Alangkah serupanya kejadian dulu dan sekarang?!
Di jaman ini ternyata ada Khawarij gaya baru, yaitu orang-orang yang mempunyai pemikiran khawarij. Mereka menjadikan demonstrasi, unjuk rasa dan sebagainya sebagai alat dan metode dakwah serta jihad. Di antara tokoh-tokoh mereka adalah Abdurahman Abdul Khaliq yang mengatakan (artinya): “Termasuk metode atau cara Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam berdakwah adalah demonstrasi atau unjuk rasa.”
Sebelum kita membongkar kebatilan ucapan ini dan kesesatan manhaj Khawarij dalam beramar ma’ruf nahi mungkar kepada pemerintahan, marilah kita pelajari manhaj salafus shalih dalam perkara ini.

Manhaj Salafus Shalih Beramar Ma’ruf Nahi Mungkar kepada Pemerintah
Allah adalah Dzat yang Maha Adil. Dia akan memberikan kepada orang-orang yang beriman seorang pemimpin yang arif dan bijaksana. Sebaliknya dia akan menjadikan bagi rakyat yang durhaka seorang pemimpin yang dhalim. Maka jika terjadi pada suatu masyarakat seorang pemimpin yang dhalim, sesungguhnya kedhaliman tersebut dimulai dari rakyatnya. Meskipun demikian apabila rakyat dipimpin oleh seorang penguasa yang melakukan kemaksiatan dan penyelisihan (terhadap syari’at) yang tidak mengakibatkan ia kufur dan keluar dari Islam, maka tetap wajib bagi rakyat untuk menasihati dengan cara yang sesuai dengan syari’at. Bukan dengan ucapan yang kasar lalu dilontarkan di tempat-tempat umum, apalagi menyebarkan dan membuka aib pemerintah, yang semua ini dapat menimbulkan fitnah yang lebih besar lagi dari permasalahan yang mereka tuntut.
Adapun dasar memberikan nasehat kepada pemerintah dengan sembunyi-sembunyi adalah hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (artinya):
‘Barangsiapa yang hendak menasehati pemerintah dengan suatu perkara; maka janganlah ia tampakkan di khalayak ramai. Akan tetapi hendaklah ia mengambil tangan penguasa (raja) dengan empat mata. Jika ia menerima, maka itu (yang dinginkan) dan kalau tidak, maka sungguh dia telah menyampaikan nasehat kepadanya. Dosa bagi dia dan pahala baginya (orang yang menasehati).”
Hadits ini dikeluarkan oleh Imam Ahmad, Al-Haitsami dalam Al-Majma’ 5/229, Ibnu Abi Ashim dalam As-Sunnah 2/522, Abu Nu’aim dalam Ma’rifatus Shahabah 2/121. Riwayat ini banyak yang mendukungnya sehingga hadits ini kedudukannya shahih, bukan hasan apalagi dlaif sebagaimana sebagian ulama mengatakannya. Demikian keterangan Syaikh Abdullah bin Barjas bin Nashir Ali Abdul Karim rahimahullah(lihat Muamalatul Hukam fi Dlauil Kitab was Sunnah hal. 54). Dan Syaikh Al-Albani menshahihkannya dalam Dzilalul Jannah fit Takhriji Sunnah 2/521-522.
Hadits ini adalah pokok dasar dalam menasehati pemerintah. Orang yang menasehati jika sudah melaksanakan cara ini, maka dia telah berlepas diri (dari dosa) dan pertanggungan jawab. Demikian dijelaskan oleh Syaikh Abdullah bin Barjas rahimahullah.
Bertolak dari hadits yang agung ini, para ulama salaf berkata dan berbuat sesuai dengan kandungannya. Di antara mereka adalah Imam Asy-Syaukani yang berkata (artinya): “Bagi orang-orang yang hendak menasehati imam (pemimpin) dalam beberapa masalah —lantaran pemimpin itu telah berbuat salah—, seharusnya ia tidak menempatkan kata-kata yang jelek di depan khalayak ramai. Tetapi sebagaimana dalam hadits di atas, bahwa seorang tadi mengambil tangan imam dan berbicara empat mata dengannya, kemudian menasehatinya tanpa merendahkan penguasa Allah. Kami telah menyebutkan pada awal kitab As-Sair. Bahwasanya tidak boleh memberontak terhadap pemimpin walaupun kedhalimannya sampai puncak kedhaliman apapun, selama mereka menegakkan shalat dan tidak terlihat kekufuran yang nyata dari mereka. Hadits-hadits dalam masalah ini mutawatir. Akan tetapi wajib atas makmur (rakyat) mentaati imam (pemimpin) dalam ketaatan kepada Allah dan tidak mentaatinya dalam maksiat kepada Allah. Karena sesungguhnya tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (As-Sailul Jarar 4/556)
Imam Tirmidzi membawakan sanadnya sampai ke Ziyad bin Kusaib Al-Adawi. Beliau berkata (artinya): “Aku di samping Abu Bakrah, berada di bawah mimbar Ibnu Amir. Sementara itu Ibnu Amir tengah berkhutbah dengan mengenakan pakaian tipis”. Maka Abu Bilal[3] berkata, “Lihatlah pemimpin kita, dia memakai pakaian orang fasik.” Lantas Abu Bakrah berkata, “Diam kamu! Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Barangsiapa yang menghina (merendahkan) penguasa yang ditunjuk Allah di muka bumi, maka Allah akan menghinakannya.” (Sunan At-Tirmidzi no. 2224)
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah menjelaskan tata cara menasehati seorang pemimpin sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Asy-Syaukani, sampai pada perkataannya (artinya): “….sesungguhnya menyelisihi pemimpin dalam perkara yang bukan prinsip dalam agama dengan terang-terangan dan mengingkari-nya di perkumpulan-perkumpulan masjid, selebaran-selebaran, tempat-tempat kajian dan sebagainya, itu semua sama sekali bukan tata cara menasehati. Oleh karena itu, jangan engkau tertipu dengan orang yang melakukannya, walaupun timbul dari niat yang baik. Hal itu menyelisihi cara salafus shalih yang harus diikuti. Semoga Allah memberi hidayah padamu.” (Maqasidul Islam hal. 395)
Diriwayatkan dari Usamah bin Zaid, bahwasanya beliau ditanya (artinya): “Mengapa engkau tidak menghadap Utsman untuk menasehatinya?” Maka jawab beliau: “Apakah kalian berpendapat semua nasehatku kepadanya harus diperdengarkan kepada kalian? Demi Allah, sungguh aku telah menasehatinya hanya antara aku dan dia. Dan aku tidak ingin menjadi orang pertama yang membuka pintu (fitnah) ini.” (HR. Bukhari 6/330, 13/48 Fathul Bari; Muslim dalam Shahihnya 4/2290)
Syaikh Al-Albani mengomentari riwayat ini dengan ucapannya (artinya): “Yang beliau (Usamah bin Zaid) maksudkan adalah (tidak melakukannya – pent) terang-terangan di hadapan khalayak ramai dalam mengingkari pemerintah. Karena pengingkaran terang-terangan bisa berakibat yang sangat mengkhawatirkan. Sebagaimana pengingkaran secara terang-terangan kepada Utsman mengakibatkan kematian beliau[4].”
Demikian metode atau manhaj salaf dalam amar ma’ruf nahi mungkar kepada pemerintah atau orang yang mempunyai kekuasaan. Dengan demikian batallah manhaj Khawarij yang mengatakan bahwa demonstrasi termasuk cara untuk berdakwah, sebagaimana yang dianggap oleh Abdurrahman Abdul Khaliq.
Manhaj Khawarij ini menjadi salah satu sebab jeleknya sifat orang-orang khawarij. Sebagaimana dalam riwayat Said bin Jahm, beliau berkata (artinya): “Aku datang ke Abdullah bin Abu Aufa. beliau matanya buta, maka aku mengucapkan salam.” Beliau bertanya padaku: “Siapa engkau?” “Said bin Jahman”, jawabku. Beliau bertanya: “Kenapa ayahmu?” Aku katakan: “Al-Azariqah[5] telah membunuhnya.” Beliau berkata: “Semoga Allah melaknat Al-Azariqah, semoga Allah melaknat Al-Azariqah. Rasulullah shallallahu “alaihi wa sallam mengatakan bahwa mereka anjing-anjing neraka.” Aku bertanya: “(Yang dilaknat sebagai anjing-anjing neraka) Al-Azariqah saja atau Khawarij semuanya?” Beliau menjawab: “Ya, Khawarij semuanya.” Aku katakan: “Tetapi sesungguhnya pemerintah (telah) berbuat kedhaliman kepada rakyatnya.” Maka beliau mengambil tanganku dan memegangnya dengan sangat kuat, kemudian berkata: “Celaka engkau wahai Ibnu Jahman, wajib atasmu berpegang dengan sawadul a’dham, wajib atasmu untuk berpegang dengan sawadul a’dham. Jika kau ingin pemerintah mau mendengar nasehatmu, maka datangilah dan kabarkan apa yang engkau ketahui. Itu kalau dia menerima, kalau tidak, tinggalkan! Sesungguhnya engkau tidak lebih tahu darinya” (HR. Ahmad dalam musnadnya 4/383)
Dan masih banyak lagi hadits-hadits mengenai celaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap orang-orang Khawarij sebagai anjing-anjing neraka, karena perbuatan mereka sebagaimana telah dijelaskan.
Oleh karena itu, bagi seorang muslim yang masih mempunyai akal sehat, tidak mungkin dia akan rela dirinya terjatuh pada jurang kenistaan seperti yang digambarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (sebagai anjing-anjing neraka). Maka wajib bagi kita apabila hendak menasehati pemerintah, hendaklah dengan metode salaf yang jelas menghasilkan akibat yang lebih baik dan tidak menimbulkan bentrokan fisik antara rakyat (demonstran) dengan aparat pemerintah yang akhirnya membawa kerugian di kedua belah pihak atau munculnya tindak anarki.

Demontrasi atau Unjuk Rasa Merupakan Bentuk Tasyabbuh (menyerupai) Orang-Orang Kafir
Sangat disayangkan, para demonstran ini mayoritas mereka adalah aktivitis-aktivitis Islam. Tetapi rnengapa mereka melakukan hal ini? Mana ciri Islam mereka? Atas dasar apa melakukan hal itu? Apakah berdasarkan dalil ataukah berlandaskan syubhat (kekaburan pemahaman)? Mereka —mahasiswa/rakyat yang beragama Islam— tidak sadar bahwa mereka telah melakukan perbuatan yang dilarang oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, junjungan mereka; yaitu larangan menyerupai orang-orang kafir. Beliau shallallahu’alaihi wa sallam mengabarkan (artinya): “Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka mereka termasuk kaum tersebut.” Masalah demonstrasi ini termasuk bentuk tasyabbuh terhadap orang kafir. Telah diterangkan oleh Syaikh Al-Albani hafidhahullah tatkala seorang penanya menyampaikan pertayaan kepada beliau yang lengkapnya demikian (artinya):
Penanya: “Apa hukumnya demonstrasi/ujuk rasa, misalnya para remaja, laki-laki maupun perempuan keluar ke jalan-jalan?”
Syaikh: “Para perempuan juga.”
Penanya: “Benar! Sungguh ini telah terjadi.”
Syaikh: “Masya Allah.”
Penanya: “Mereka keluar ke jalan-jalan dalam rangka menentang sebagian permasalahan yang dituntut atau diperintahkan oleh orang yang mereka anggap thaghut-thaghut, atau apa yang mereka tuntut dari organisasi/partai-partai politik yang bertentangan dengan mereka. Apa hukumnya perbuatan ini?”
Syaikh: “Aku katakan —wabillahit taufiq—, jawaban dari soal ini masuk pada kaidah dalam sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dikeluarkan oleh Abu Dawud di dalam Sunannya. dari Abdullah bin ‘Amr bin “Ash radliyallahu ‘anhu atau hadits Ibnu Umar radliyallahu ‘anhu —saya ragu apakah beliau Abdullah bin Amr atau Ibnu Umar—, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Aku diutus dengan pedang dekat sebelum hari kiamat sampai hingga hanya Allah-lah yang disembah, tidak ada sekutu bagi-Nya. Dan Allah menjadikan rezekiku di bawah naungan tombak, dijadikan kerendahan dan kekerdilan atas orang yang menyelisihi pemerintah. Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum maka dia termasuk kaum mereka.”
Yang dijadikan dalil dari ucapan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam ini adalah perkataan: “Barangsiapa yang meyerupai suatu kaum maka dia termasuk kaum mereka.”
Maka tasyabbuh (penyerupaan) seorang muslim kepada seorang kafir tidak dibolehkan dalam Islam. Tasyabbuh kepada seorang kafir ada beberapa tingkatan dari segi hukum. Yang tertinggi adalah haram dan yang terendah adalah makruh. Permasalahan ini sudah diterangkan secara rinci oleh Syaikhul Islam di dalam kitabnya yang agung, Iqtidla’ Shirathal Mustaqim, Mukhalafata Ashabil Jahim, secara rinci dan tidak akan didapat selain dari beliau rahimahullah. Aku ingin memperingatkan perkara yang lain, yang sepantasnya bagi thalibul ilmi memperhatikannya agar tidak menyangka bahwa hanya tasyabbuh saja yang dilarang syariat.
Ada perkara lain —yang lebih tersamar— yaitu perintah untuk menyelisihi orang-orang kafir. Tasyabbuh kepada orang-orang kafir adalah menjalankan kesukaan mereka. Adapun menyelisihi orang-orang kafir adalah engkau bermaksud menyelisihi mereka pada apa yang kita dan mereka mengerjakannya tetapi mereka tidak merubahnya. Seperti sesuatu yang ditetapkan dengan ketetapan yang alami. Maka ini adalah ketetapan alami, yang tidak berbeda antara muslim dengan kafir, karena sesungguhnya pada ketetapan ini, tidak ada usaha dan kehendak dari makhluk. Karena yang demikian adalah sunnatullah Tabaraka wa Ta’ala kepada manusia, dan engkau tidak akan mendapati sunatullah itu berubah. Sebagaimana telah shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (artinya):
“Sesungguhnya or­ang-orang Yahudi dan Nashrani tidak menyemir rambut-rambut mereka, maka selisihi mereka (2x).”
Sungguh dalam hal ini seorang mukmin mungkin menyerupai orang kafir dalam hal uban. Dan ini tidak ada perbedaannya. Engkau tidak akan menemukan seorang muslim yang tidak beruban kecuali sangat sedikit sekali. Ada kesamaan di sini pada penampilan antara muslim dan kafir yang sama-sama keduanya tidak bisa memiliki/mengatur sebagaimana yang kami katakan tadi. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kita untuk menyelisihi kaum musyrikin, yakni dengan menyemir uban rambut-rambut kita. Sama saja rambut, jenggot atau kepala. Untuk apa? Agar dengan ini tampak perbedaan antara muslim dan kafir. Maka apa tujuannya kalau apabila seorang kafir mengerjakan suatu amalan, lalu seorang muslim ikut melakukannya dan terpengaruh dengan perbuatan-perbuatan mereka? Ini kesalahan yang lebih parah daripada menyelisihi. Dalam masalah ini, aku memperingatkannya sebelum memasuki bahasan dalam menerangkan jawaban yang ditujukan padaku. Jika telah diketahui perbedaan antara tasyabbuh dengan penyelisihan, maka seorang muslim yang benar keIslamannya hendaknya terus menerus berusaha menjauhi bertasyabbuh dengan or­ang kafir. Sebaliknya harus berusaha menyelisihi mereka. Dengan alasan inilah kami menyunnahkan (membiasakan) meletakkan jam tangan di tangan kanan, karena mereka yang pertama kali membuat jam tangan memakainya di tangan kiri.
Kami mengambil istinbath demikian berdasar ucapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (artinya): “Maka selisihilah mereka.” Kalian mengetahui hadits ini (artinya): “bahwa Yahudi dan Nashara tidak menyemir rambut mereka, maka selisihilah mereka”. Sebagaimana yang diucapkan Syaikhul Islam dalam kitab tersebut (iqtidla). Ucapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (artinya): “Maka selisihilah mereka,” merupakan hujjah yang mengisyaratkan penyelisihan terhadap orang-orang kafir sebagaimana yang dikehendaki oleh As-Sami’ul ‘Alim (Allah Subhanahu wa Ta’ala) Dan direalisasikan dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, kami mendapati praktek penyelisihan dalam amalan dan hukum-hukum bukan termasuk wajib. Seperti makan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam atau, “Shalatlah kalian diatas sandal-sandal kalian”, “Selisihilah Yahudi (2x).” Di sini diketahui bahwasanya shalat memakai san­dal bukan fardlu. Beda dengan memanjangkan jenggot, karena orang yang mencukurnya akan mendapat dosa. Adapun shalat dengan bersandal itu adalah perkara yang sunnah (mustahab). Namun apabila seorang muslim terus menerus tidak memakai sandal ketika shalat, justru telah menyelisihi sunnah, dan bukan menyelisihi Yahudi.
Ada suatu hal yang perlu diperhatikan di sini sebagaimana dalam riwayat sikap tawadlu Ibnu Mas’ud ketika beliau mempersilakan Abu Musa Al-Asy’ari mengimami shalat waktu itu. Padahal kedudukan Ibnu Mas’ud lebih utama dari Abu Musa radliyallahu ‘anhu. Pada waktu itu Abu Musa Al-Asy’ari melepas sandalnya, dan segera ditegur dengan keras oleh Ibnu Mas’ud. “Bukankah ini perbuatan orang-orang Yahudi? Apakah kau menganggap dirimu ada di lembah Thursina yang disucikan?” Ucapan Ibnu Mas’ud ini menegaskan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,”Shalatlah di atas sandal kalian dan selisihilah Yahudi!”
Apabila dua hakekat ini telah dipahami, yaitu (larangan) tasyabbuh dan (perintah) menyelisihi kaum musyrikin, maka wajib bagi kita untuk menjauhi setiap perilaku kesyirikan dan segala bentuk kekufuran.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (artinya): “Sungguh kalian benar-benar akan mengikuti jalan-jalan yang ditempuh oleh orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta, bahkan kalaupun mereka menyusuri atau masuk ke lubang biawak niscaya kalian pun akan memasukinya.”
Berita dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ini mengandung peringatan bagi umat ini. Namun di samping itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengatakan dalam hadits mutawatir (artinya): “Akan selalu ada dari umatku suatu kelompok yang menampakkan al-haq. Tidak membahayakan mereka orang yang menyelisihi mereka sampai datang hari kiamat.”
Jadi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam itu telah memberikan kabar gembira dalam hadits shahih ini bahwasanya umat ini terus dalam keadaan baik. Tatkala datang berita ini, yaitu “sungguh kalian akan mengikuti jalan-jalan sebelum kalian,” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memaksudkan dalam hadits ini setiap individu dari umatnya akan mengikuti jalan orang-orang kafir. Maka ucapan itu bermakna peringatan artinya: “hati-hati kalian, jangan mengikuti sunnah orang-orang sebelum kalian. Dan sesungguhnya akan ada dari kalian orang-orang yang melakukannya.”
Dalam riwayat lain selain riwayat As-Shahihain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menggambarkan perbuatan orang Yahudi pada tingkat yang sangat parah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (dalam riwayat itu, artinya): “Bahkan ada dari mereka (Yahudi) orang yang mendatangi (menzinahi) ibunya di tengah-tengah jalan, dan niscaya akan ada pula dari kalian yang akan melakukannya.”
Kecenderungan pada jaman ini telah membuktikan kebenaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut, walaupun masih perlu adanya penelitian yang lebih mendalam.
Dan pada sebagian hadits-hadits yang telah tsabit Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak akan terjadi hari kiamat sampai ada di antara manusia bersetubuh seperti bersetubuhnya keledai di jalan-jalan.” Ini adalah puncak kejelekan tasyabbuh terhadap orang-orang kafir.
Apabila kalian telah mengetahui larangan bertasyabbuh dan perintah untuk menyelisihi (orang-orang kafir), maka kembali kepada permasalahan demonstrasi (unjuk rasa), kita saksikan dengan mata kepala sendiri saat Perancis menguasai Syiria dan apa yang terjadi di Aljazair. Di sana terdapat kesesatan dan tasyabbuh dengan turut sertanya para wanita dalam demonstrasi.
Demikian itu merupakan kesempurnaan tasyabbuh terhadap orang kafir, baik laki-laki atau perempuan. Karena, kita melihat melalui foto-foto, atau berita lewat radio dan televisi atau selainnya, tentang keluarnya beribu-ribu manusia dari kalangan orang-orang kafir Afrika maupun Syiria dan yang lainnya. Menurut ungkapan orang-orang Syam, keluarnya laki-laki dan wanita dalam keadaan “meleit temkit”. Meleit temkit maksudnya mereka berdesakan antara punggung dengan punggung, atau pinggul dengan pinggul dan Iain-lain. Saya katakan dari segi yang lain (yang berhubungan dengan demonstrasi): Bahwasanya demonstrasi ini, menunjukkan sikap taklid terhadap orang-orang kafir dalam rangka menolak undang-undang yang ditetapkan oleh hakim-hakim mereka. Demonstrasi ala Eropa dengan sikap taklidiyah (ikut-ikutan) dari kalangan kaum muslimin, bukan termasuk cara yang syar’i untuk memperbaiki hukum dan keadaan masyarakat. Dari sini setiap jama’ah hizbiyah, kelompok Islam jelas telah melakukan kekeliruan besar karena tidak menelusuri jalan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam merubah keadaan masyarakat. Tidak ada dalam aturan Islam merubah keadaan masyarakat dengan cara bergerombol-gerombol, berteriak-teriak dan demonstrasi (unjuk rasa). Islam mengajarkan ketenangan, dengan mengajarkan ilmu di kalangan kaum muslimin serta mendidik mereka di atas syariat Islam sampai berhasil, walaupun harus dengan waktu yang sangat panjang.
Dengan ini saya katakan dengan ringkas, demonstrasi dan unjuk rasa yang terjadi di sebagian negara Islam pada asalnya adalah penyimpangan dari jalan kaum mukminin[6] dan tasyabbuh (menyerupai) golongan kafir. Sungguh Allah telah berfirman (yang artinya): “Barangsiapa yang menentang Rasul setelah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukah jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia berkuasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam neraka Jahanam dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (An-Nisa: 115)
Penanya: “Mereka—para demonstran— berdalih dengan dalil Sirah (sejarah Nabi), bahwasanya setelah Umar radliyallahu ‘anhu masuk Islam, kaum muslimin (serentak) keluar. Umar pada suatu barisan sedang Hamzah di barisan lain. Maka mereka (yang pro demonstrasi) mengatakan unjuk rasa ini untuk mengingkari thaghut-thaghut dan orang kafir Quraisy. Bagaimanakah jawaban anda dengan dalil semacam ini?”
Jawab: Jawaban terhadap pendalilan semacam itu adalah: Berapa kali aksi demonstrasi ini terjadi pada masyarakat Islam (dulu)? Hanya satu kali. Padahal Sirah termasuk sunnah yang diikuti, menurut ulama fiqih. Mereka mengatakan kalau tsabit dari Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam suatu ibadah yang disyariatkan, akan diberi pahala orang yang melakukannya. Dan dalam pelaksanaannya pun tidak boleh terus menerus tanpa putus karena dikhawatirkan menyerupai perkara wajib dengan sebab lamanya waktu.
Kebanyakan manusia, —menurut adat mereka— kalau ada salah satu muslim meninggalkan sunnah seperti ini, niscaya akan diingkari dengan keras. Demikian menurut para ahli fikih. Maka bagaimana kalau ada suatu peristiwa yang sekilas terjadi pada waktu tertentu seperti disebutkan di dalam Sirah di atas, kemudian dijadikan sunnah yang diikuti, bahkan dijadikan hujjah untuk mendukung apa yang diperbuat oleh orang-orang kafir secara terus menerus, sedang kaum muslimin tidak secara mutlak melakukannya kecuali pada saat itu saja[7].
Kita mengetahui kebanyakan pemerintahan mempunyai hukum-hukum yang keluar dari Islam dan kadang-kadang manusia dipenjarakan dengan dhalim dan melampaui batas, maka bagaimana sikap kaum muslimin
dalam hal ini? Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan dalam hadits shahih wajibnya taat[8] kepada pemerintah walaupun dia mengambil hartamu dan memukul punggungmu. Namun kenyataannya demonstrasi bukan ketaatan kepada pemerintah seperti yang digariskan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Inilah yang aku khawatirkan tentang apa yang dinamakan “kebangkitan (shahwah)[9] suara kebenaran”, bagaimana kita akan meridlainya? Bagaimana mungkin suatu “kebangkitan” (shahwah) dengan perasaan, bukan dengan ilmu? Padahal ilmu itulah yang menjadikan perkara itu dianggap baik atau buruk.
Tidak diragukan lagi di Aljazair dan di setiap negara Islam, “shahwah” ini lahir dari pemuda Muslim setelah mereka “bangun dari tidur.” Akan tetapi engkau akan melihat mereka (yang baru bangun dari tidurnya itu, ed) berjalan di atas jalan yang menunjukkan ketidakgigihan mereka dalam menuntut ilmu Allah ‘Azza wa Jalla.
Kita tidak memperpanjang pembahasan. Cukuplah kita katakan pengambilan mereka terhadap dalil ini menunjukkan kebodohan mereka terhadap fiqh Islam sebagaimana yang kami telah isyaratkan di depan. Kejadian yang sesaat ini terbetik pada diri saya dan saya teringat bahwa kejadian ini tercatat dalam Sirah. Akan tetapi saya belum bisa mendapati shahih atau tidaknya saat ini. Jika riwayat ini shahih sanadnya dan ada salah seorang di antara kalian mendapati riwayat ini pada kitab-kitab hadits standar, tolong ingatkan saya sehingga saya bisa memeriksa barangkali riwayat tentang demonstrasi dalam sirah tersebut shahih[10]. Maka kalaupun shahih, hanya dilakukan satu kali saja. Jika terjadi hanya sekali saja, tentu tidak bisa dijadikan sunnah. Apalagi bila demonstrasi saat ini lebih sering dilakukan oleh orang-orang kafir yang seharusnya kaum muslimin menyelisihinya.
Kejadian ini dilakukan oleh orang-orang kafir kemudian kita mengikutinya. Ulama Hanafiyah telah membuat pijakan di dalam masalah fiqhiyah bahwasanya ada suatu masalah yang merupakan sunnah Muhammadiyah yang tidak sepantasnya ditinggalkan, yaitu sunnah membaca surat Sajadah pada pagi hari Jum’at (saat shalat subuh). Ini terdapat dalam Shahihain (Bukhari dan Muslim). Walaupun demikian ulama Hanafiyah menganjurkan pada imam-imam masjid agar sesekali meninggalkannya, dikhawatirkan apabila terus menerus diamalkan di kalangan orang awam, akan mengangkat hukumnya keluar dari hukum asalnya.
Kami mempunyai bukti yang mendukung ketelitian dalam fiqih dan pemahaman terhadap sunnah ini. Saya sangat ingat bahwasanya imam di masjid besar Damaskus, yaitu masjid Bani Umayah, mengimami shalat shubuh di masjid tersebut dan dia tidak membaca surat Sajadah. Baru saja imam salam, tiba-tiba mereka membentak dan mendatangi imam tersebut seraya berkata: “Kenapa engkau tidak membaca surat sajadah?” Kemudian ia menerangkan bahwa hal itu adalah sunnah, dan kadang-kadang dianjurkan untuk meninggalkannya.
Kejadian ini terjadi karena imam masjid mengamalkan amalan tersebut secara terus-menerus dan berlangsung lama. Dan saat itu ia tidak mengerjakan amalan tersebut.
Lebih aneh lagi yang terjadi pada diri saya. Pada suatu hari saya berada dalam perjalanan dari Damaskus, kira-kira 60 km ke Madhaya. Maka aku mampir di pagi hari Jum’at untuk shalat berjamaah bersama kaum muslimin di sana. Tatkala itu imam tidak datang. Maka mereka mencari pengganti imam yang cocok. Mereka tidak mendapati pengganti kecuali saya. Pada waktu itu saya masih muda dan jenggot saya baru tumbuh. Dalam keadaan bingung, mereka menyuruh saya maju. Saya sebenarnya belum hafal surat Sajadah dengan baik, maka aku membaca surat Maryam. Aku membaca dua halaman awal. Tatkala aku takbir untuk ruku, maka aku merasakan semua makmum malah sujud. Ini menunjukkan karena apa? Karena adat kebiasaan (yakni mereka sujud tilawah karena kebiasaan dan bukan dengan ilmu, ed).
Seyogyanya para imam menjaga keadaan masyarakatnya agar tidak ghuluw (berlebihan) pada sebagian hukum-hukum. Lalu memberi penjelasan bahwa masalah syariat, wajib untuk diambil dengan tanpa sikap keterlaluan hingga mengangkat derajat hukum sunnah menjadi wajib, dan sebaliknya yang wajib menjadi sunnah. Semua ini adalah ifrath dan tafrith yang tidak diperbolehkan. Inilah jawaban saya terhadap pendalilan (riwayat Umar di atas) yang menunjukkan atas kebodohan orang yang mengambil dalil dengannya.” (Kaset Fatawa Jeddah no. 89980, pagi subuh, hari Ahad, 27 Jumadil Akhir l410H)

Bantahan terhadap Syubhat Abdur Rahman Abdul Khaliq
Di awal sudah saya singgung masalah manhaj Abdurrahman Abdul Khaliq terhadap pemerintahan muslimin. Yaitu, bolehnya memakai demonstrasi sebagai alat dakwah dengan berdalil riwayat Umar radliyallahu ‘anhu yang dibawakan oleh seorang penanya di atas. Dan Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa beliau belum tahu shahih dan dlaifnya riwayat tersebut. Syaikh Abdul Aziz bin Baz telah membantah syubhat Abdur Rahman Abdul Khaliq dalam surat menyurat antara beliau dengan Abdurrahman Abdul Khaliq. Kata Syaikh bin Baz (artinya): “Engkau menyebutkan pada kitab Fushul Minasy Syiyasah As Syar’iyah hal. 31-32 bahwasanya termasuk dari uslub (metode) dakwah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah demonstrasi. Aku belum pernah mengetahui nash yang sharih dalam masalah ini. Maka aku mengharap faedah dari siapa engkau mengambil dan dari kitab mana engkau dapatkan. Jika hal itu tidak ada sanadnya, maka engkau wajib untuk rujuk (kembali/bertaubat) dari hal itu. Karena aku tidak tahu samma sekali nash-nash yang menunjukkan hal itu. Dengan menggunakan demonstrasi atau unjuk rasa justru mengakibatkan banyak kerusakan. Jika nash (dalil) itu shahih, maka kamu harus menerangkan dengan jelas dan sempurna sehingga orang-orang yang membuat kerusakan tidak berdalih dengannya dalam demonstrasi-demonstrasi mereka yang batil.” (Tanbihat wa Ta’qibat, hal. 41)
Jawaban Abdur Rahman Abdul Khaliq (artinya): “Adapun ucapanku pada kitab Al-Fushul Minas Siyasah As-Syariah fi Da’wah Ilallah hal. 31-33, maka aku katakan: Aku telah menyebutkan demonstrasi-demonstrasi yang digelar itu sebagai wasilah (metode) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam menampakkan dakwah Islam, sebagaimana telah diriwayatkan bahwa setelah masuk Islamnya Umar radliyallahu ‘anhu kaum muslimin keluar karena perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada dua shaf (barisan) dalam rangka menampakkan kekuatan. Dalam satu barisan terdapat Hamzah radliyallahu ‘anhu, sedang barisan yang lain ada Umar bin Al-Khattab radliyallahu ‘anhu beserta kaum muslimin.” (Kemudian Abdul Rahman Abdul Khaliq membawakan riwayat dengan sanad-sanad yang diriwayatkan oleh Abu Nu’aim di dalam Al-Hilyah dengan sanad sampai ke Ibnu Abbas radliyallahu ‘anhu 1/40, Ibnu Abi Syaibah dalam As-Shabah 2/512, dan di dalam tarikhnya serta Al-Bazar. Kemudian dia (Abdurrahman) berkata): “Tetapi setelah kedatangan surat anda (Syaikh Ibnu Baz) aku dapatkan bahwa pusat (poros) sanad hadits ini atas Ishaq bin Abdullah bin Abi Farwah, dia mungkarul hadits.” Demikian pernyataan Abdurrahman Abdul Khaliq.
Tapi anehnya setelah itu ia mengatakan (artinya): “Aku berpandangan metode ini (demonstrasi) bisa untuk dijadikan metode yang benar dalam mendorong/ menganjurkan manusia dalam shalat jum’at dan jamaah…dalam rangka menampakkan banyaknya orang Islam. Demikian juga memamerkan tentara-tentara Is­lam bersama dengan peralatan perang, karena hal ini dapat menaklukkan hati-hati musuh dan menakuti musuh-musuh Allah serta meninggikan syariat Islam.”
Demikianlah cara ahlul bid’ah. Setelah ditanya atau dibantah dari sisi pendalilan dan setelah ucapan atau perbuatannya diketahui tidak benar, bahkan palsu, mereka tidak mau merujuk kepada dalil yang shahih dan manhaj yang benar. Bahkan dia berkelit, “Maksud saya demikian, maksud saya demikian.” “Boleh saja hadits lemah —dalam hal ini palsu— dijadikan i’tibar” dan berbagai silat lidah lainnya pun meluncur tajam.
Maka saya katakan: “Setelah atsarnya diketahui mungkar, karena adanya rawi yang mungkarul hadits pada sanadnya, tentu saja demonstrasi tidak bisa dijadikan sebagai hujjah dan dijadikan manhaj amar ma’ruf nahi mungkar. Karena metode dakwah adalah tauqifiyah, yakni harus sesuai dengan metode Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabatnya.”
Jikalau kisah Umar itu shahih, maka penjelasannya adalah sebagaimana yang telah diterangkan oleh Syaikh Al-Albani. Dengan telah diketahui atsarnya dlaif bahkan mungkar, maka tidak bisa lagi dijadikan sebagai dalil bolehnya demonstrasi, sekalipun niatnya baik, sebagaimana telah diterangkan oleh Syaikh bin Baz di atas. Wallahu a’lam.

Kemungkaran-Kemungkaran Pada Acara Unjuk Rasa
Di atas sudah diterangkan sebagian kemungkaran pada acara demo yaitu:
– Bentuk tasyabbuh dengan orang-orang kafir.
– Termasuk khuruj (menentang pemerintah) yang dilarang oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam riwayat Muslim dan lain-lain.
– Menceritakan aib pemerintah di depan umum dalam bentuk orasi-orasi yang inipun dilarang oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
– Ikhtilath bercampurnya laki-laki dan perempuan, bahkan berdesak-desakan. (Lihat Salafy rubrik Ahkam edisi 4 tahun pertama)
– Tindak anarkis yang seringkali timbul ke sana atau setelah demonstrasi dan orasi-orasi.
– Dan lain-lain.

Solusi Dari Krisis
Pada situasi sekarang, masalah yang timbul bukan saja terjadi akibat satu aspek, misalnya ekonomi. Tetapi juga terkait pada aspek lainnya, seperti sosial dan politik. Dan krisis ini tidak bisa sembuh total manakala dibasmi dengan kebatilan.
(Jika) suatu negara dipimpin oleh pemimpin yang dhalim, yang di dalamnya ditaburi praktek-praktek kolusi, korupsi dan nepotisme (hal ini) merupakan buah dari tindakan rakyatnya juga. Maka kalau rakyatnya baik, nicsaya Al­lah Subhanahu wa Ta’ala akan menganugerahkan kepada mereka pemimpin yang arif dan bijaksana. Hal ini sudah dibuktikan oleh junjungan kita Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para khulafaur rasyidin. Situasi yang kacau balau ini solusinya bukan dengan demonstrasi, tetapi dengan amar ma’ruf nahi mungkar dengan cara yang tepat dan benar. Kemudian menyebarkan ilmu yang haq di kalangan umat agar muncul generasi-generasi yang berbekal ilmu. Akhirnya, diharapkan nanti setiap langkah yang mereka lakukan diukur dengan ilmu syar’i yang haq. Dengan demikian akan musnahlah virus kolusi, korupsi dan vi­rus-virus yang lainnya. Wallahu a’lam bish-shawab. (Sumber: artikel Demonstrasi bukan Jihad, Zuhair Syarif, Majalah SALAFY, Edisi XXVH/1419 H/1998 M)

Footnote:
[1] Seperti pendapat Abdurrahman Abdul Khaliq dan rekan-rekannya.
[2] Orang yang bergabung dengannya disebut golongan (firqah) Ibnu Saba’iyah.
[3] Mirdas bin Udayah, seorang Khawarij, lihat Tahdzibul Kamal oleh Imam Al-Mizzi 7/399.
[4] Mukhtashar Shahih Muslim ta’liq Syaikh Al-Albani no. 335.
[5] Satu aliran dari aliran-aliran Khawarij.
[6] shahabat, ed.
[7] Ini bukti bahwa para shahabat, tabi’in, tabi’it tabi’in dan seterusnya tidak mengambil kejadian itu sebagai sunnah dalam rangka mengingkari pemerintah.
[8] Taat dalam arti tidak memberontak dan lepas dari baiat dengan tetap meninggalkan kemaksiatan dan tidak taat dalam kemaksiatan.
[9] Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan dalam hadits mutawatir (artinya): “Akan selalu ada dari umatku suatu kelompok yang menampakkan al-haq. Tidak membahayakan mereka orang yang menyelisihi mereka sampai datang hari kiamat.” juga riwayat lainnya , artinya: “Akan senantiasa ada sekelompok dari umatku yang berjuang di atas kebenaran, mereka menang melawan orang yang menghadang mereka sehingga akhir dari mereka perang melawan Dajjal” (HR. Ahmad 4/429, 437, Abu Dawud 2484, Al Hakim 4/450, dishahihkan oleh Al-Albani dalam Ash-Shahihah 1959).

Perhatikan sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, artinya: “Akan selalu ada dari umatku suatu kelompok yang menampakkan al-haq” dan sabda beliau, artinya: “Akan senantiasa ada sekelompok dari umatku yang berjuang di atas kebenaran..sehingga…”.  Maka benarkah bahwa “dakwah” Islamiyah pernah “tertidur” sehingga hizbiyyin memunculkan istilah asing “Ash-Shahwah” (kebangkitan) Al-Islamiyah? Apakah “dakwah” Islamiyah juga pernah “berhenti” sehingga hizbiyyun harus memunculkan istilah aneh “Harokah” (Gerakan) Islamiyah? Penyakit apa yang menghinggapi mereka sehingga Ash-Shahwah Islamiyah dan Harakah Islamiyah lebih “nikmat” daripada dakwah Islamiyah?! Mereka-mereka inikah yang selama ini selalu berteriak dengan lantang sedang berdemonstrasi memperjuangkan syariat Islam? La haula wa quwwata illa billah, ed.
[10] Perhatikan uraian selanjutnya bahwa pada akhirnya Abdurrahman Abdul Khaliq mengakui perawi hadits ini tertuduh mungkarul hadits, artinya: “Tetapi setelah kedatangan surat anda (Syaikh Ibnu Baz) aku dapatkan bahwa pusat (poros) sanad hadits ini atas Ishaq bin Abdullah bin Abi Farwah, dia mungkarul hadits.” Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un, ed.

Abdul Hadi