Bahayanya Pemikiran Takfir Sayyid Qutub

بسم الله الرحمن الرحيم

Penulis: Al Ustadz Muhammad Umar As Sewed

Bukan riwayat hidup beliau yang akan saya tulis di sini. Sudah terlalu banyak orang yang menuliskannya dengan indah, bahkan kadang berlebihan. Bukan pula perhitungan amal dan perbandingan antara kebaikan dan kejelekan yang akan saya hisab karena perhitungan akan hal tersebut akan Allah tegakkan di hari perhitungan kelak dengan teliti dan akan Allah balas dengan seadil-adilnya.

Saya hanya menukilkan nasihat untuk seluruh kaum Muslimin agar berhati-hati dari pemikiran Sayyid Quthb yang berbahaya dan telah dituangkan kepada kaum Muslimin dengan berbagai macam bahasa. Pemikiran beliau ini laku keras di pasaran karena kekaguman kaum Muslimin kepada gerakan, keberanian, dan digantungnya beliau oleh tirani Mesir. Sehingga ketika mereka mendengar peringatan Ahlus Sunnah dari bahaya permikiran Sayyid Quthb, mereka tersentak kaget. Jantung mereka seakan berhenti sesaat. ”Seorang pejuang Islam yang mati syahid di tiang gantungan tirani Mesir dikatakan sesat?” Seakan-akan orang yang mati di tiang gantungan tidak mungkin memiliki penyelewangan dan bahaya pemikiran.

Maka untuk Allah ‘Azza wa Jalla, kemudian untuk kebaikan dan keselamatan manhaj kaum Muslimin serta untuk kebaikan Sayyid Quthb sendiri, yaitu agar penyelewengan dan kerancuan pemikirannya tidak diikuti oleh orang yang lebih banyak yang berarti menambah dosa beliau, kami akan jelaskan beberapa pemikiran beliau yang sangat berbahaya khususnya dalam masalah pengkafiran kaum Muslimin. Semoga dapat bermanfaat bagi kita dan dapat berhati-hati darinya. Untuk membongkar kesesatan pemikiran Sayyid Quthb, maka saya memakai kitab Adlwa’ Islamiyah ‘ala Aqidah Sayyid Quthb oleh Syaikh Rabi’ bin Hadi Al Madkhali hafidhahullah sebagai rujukan utamanya.

KERANCUAN PEMAHAMAN SAYYID QUTHB TERHADAP “LA ILAAHA ILLALLAH”

Pemikiran takfir Sayyid Quthb merupakan akibat dari aqidah dan keyakinan yang salah terhadap makna kalimat tauhid La Ilaaha Illallah. Dia menafsirkan kata ilah dengan Al-Hakim (yang menghukumi). Penafsiran ini persis seperti pemikiran Abul A’la Al Maududi yang ternyata mengambil pemahaman ini dari seorang ahli filsafat barat, yaitu Haigle dalam bukunya Al Hukumah Al Kulliyah (Pemerintahan yang Menyeluruh). Syaikh Nadzir Al Kasymiri (seorang ulama’ Salaf India) berkata : ”Syaikh Maududi menampilkan pemikiran filsafat barat dari buku Al Hukumah Al Kulliyah dengan dibungkus pemikiran Islam.” (Adlwa’ Islamiyah hal. 59)

Sebagai contoh, kita nukilkan di sini terjemahan ucapan Sayyid dalam bukunya Al Adalah Al Ijtima’iyah (Keadilan Sosial) hal.182 cet.12 : ”Sesungguhnya perkara yang meyakinkan dalam Dien ini adalah bahwasanya tidak akan tegak di hati ini aqidah dan tidak pula dalam kehidupan dunia, kecuali dengan mempersaksikan bahwasanya La ilaaha illallah, yaitu La hakimiyah illa lillah (tidak ada kehakiman kecuali untuk Allah), hakimiyah yang berujud qadla dan qadar-Nya sebagaimana terwujud dalam syariat dan perintah-Nya.

Demikian pula ucapannya dalam menafsirkan surat Al Qashash : Huwallahulladzi la ilaaha illahuwa. Dia berkata : ”Yaitu tidak ada sekutu bagi-Nya dalam penciptaan dan ikhtiar”. (Fi Zhilalil Qur’an 5/2707).

Bahkan lebih jelas lagi dia berkata dalam tafsir surat An Nas bahwa Al Ilah adalah Al Musta’li, Al Mustauli, Al Mutasallith (Fi Zhilalil Qur’an 6/4010) yang semuanya bermakna kurang lebih sama yaitu ”Yang Menguasai”.

Demikian Sayyid mempersempit makna illah hanya kepada rububiyah dan melalaikan makna yang hakiki dari kata ilah yang mengandung makna uluhiyah yaitu “Yang Berhak untuk diibadahi”. Penafsiran Sayyid ini jelas bertentangan dengan penafsiran para ulama’ Ahlus Sunnah.

Ibnu Jarir berkata dalam menafsirkan surat Al Qashash di atas : ”Allah yang Maha Tinggi sebutannya, Rabb kamu – wahai Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam – adalah yang berhak untuk diibadahi yang tidak layak peribadatan itu diberikan kecuali kepada-Nya dan tidak ada yang boleh diibadahi kecuali Dia”. (Tafsir Ath Thabari 20/102)

Demikian pula dalam Tafsir Ibnu Katsir dikatakan : ”Yaitu yang menyendiri dengan uluhiyah dan tidak ada yang berhak diibadahi selain Dia. Sebagaimana tidak ada penguasa yang menciptakan apa yang dikehendakinya dan memilih sekehendaknya kecuali Dia”. (Tafsir Ibnu Katsir 3/398)

Demikianlah para ulama’ Ahlus Sunnah memahami kalimat tauhid seperti pemahaman para pendahulunya dari kalangan salafus shalih, yaitu tidak ada yang berhak untuk diibadahi kecuali Allah (uluhiyah) yang terkandung di dalamnya makna rububiyah dan asma’ wa sifat. Adapun pemahaman Sayyid bahwa al ilah adalah al hakim atau al musta’li, al mustauli dan al mutasallith (penguasa), maka perlu dipertanyakan dari mana dia mendapatkan pemahaman seperti ini. Siapa yang memahami demikian dari kalangan shahabat atau para ulama’ Salaf?

Pemahaman ini jelas menyimpang karena Ahlus Sunnah secara umum telah memahami bahwa tauhid rububiyah (yaitu mengakui bahwa Allah Penguasa dan Pencipta telah diakui juga oleh sebagian besar orang-orang musyrik jahiliyah).

Allah berfirman tentang mereka :

“Katakanlah : ‘Kepunyaan siapakah bumi ini dan semua yang ada padanya, jika kamu mengetahui?’ Mereka akan menjawab : ’Kepunyaan Allah’, Katakanlah : ’Maka apakah kamu tidak ingat?’ Katakanlah : ’Siapa pemilik langit yang tujuh dan Pemilik ‘Arsy yang besar?’ Mereka akan menjawab : ’Kepunyaan Allah’. Katakanlah : ’Maka apakah kamu tidak bertaqwa?’. Katakanlah : ’Siapakah yang ditangan-Nya berada kekuasaan atas segala sesuatu sedang Dia melindungi, tetapi tidak ada yang dilindungi dari (adzab)-Nya, jika kamu mengetahui?’. Mereka akan menjawab : ’Kepunyaan Allah’. Katakanlah : ’(Kalau demikian), maka dari jalan manakah kamu ditipu?’ ” (Al Mukminun 84-89)

Lupakah Sayyid tentang ayat-ayat Allah yang menjelaskan makna kalimat tauhid dengan tauhid ibadah, mengesakan Allah dalam beribadah kepada-Nya dan tidak beribadah kepada selain-Nya? Allah berfirman :

“Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya : ’Bahwasanya tidak ada tuhan melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku’ ” (Al Anbiya 25)

Kita sama-sama mengetahui betapa luasnya makna ibadah yang mencakup keyakinan, kecintaan, ketaatan, pengabdian, pengagungan, ketundukan, kekhusyu’an, ketakutan, harapan dan juga mencakup amalan badan seperti sujud, ruku’, thawaf, doa, istighatsah, isti’anah serta mencakup puji-pujian lisan seperti tashbih, tahmid, tahlil, takbir dan lain-lain. Semua itu dilakukan oleh hamba karena rasa butuh hamba kepada Allah dalam rangka menghambakan diri dan beribadah kepada Allah. Tidak diberikan jenis-jenis peribadatan ini kecuali kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Anehnya Sayyid Quthb membawa nama arab dan bahasa arab dalam “pemahamannya” itu. Dia berkata : ”… bahwasanya mereka (orang-orang arab) dahulu telah mengetahui dengan bahasa mereka apa itu makna ilah dan makna laa ilaah illallah … . Mereka mengetahui bahwa uluhiyah adalah hakimiyah yang paling tinggi (Fi Zhilal 2/1005)

Dia juga berkata dalam halaman berikutnya : ”Laa Ilaaha Illallah sebagaimana dipahamai oleh orang arab yang mengerti apa-apa yang ditunjukkan oleh bahasanya yaitu : Tidak ada hakimiyah kecuali dari Allah serta tidak ada syariat kecuali dari Allah serta tidak ada kekuasaan seseorang atas seseorang karena kekuasaan seluruhnya milik Allah” (Fi Zhilal 2/1006).

Syaikh Rabi’ dalam membantah ucapan ini berkata : ”Sesungguhnya apa yang dinisbahkan oleh Sayyid kepada bahasa arab yaitu tentang makna uluhiyah adalah hakimiyah, tidak dikenal oleh orang arab dan tidak pula dikenal oleh pakar-pakar bahasa arab ataupun selain mereka. Bahkan al ilah menurut orang arab adalah al ma’nud (yang diibadahi) yang para hamba mendekatkan diri kepada-Nya dengan ibadah disertai ketundukan, penghinaan diri, kecintaan dan ketakutan, … . Bukan bermakna sesuatu yang mereka berhukum kepadanya”. (Adlwa’ Islamiyah hal. 63)

Orang-orang arab jahiliyah dahulu memiliki tokoh-tokoh dan pemimpin-pemimpin yang mereka berhukum kepadanya, tetapi mereka tidak menamakannya Ilah (sesembahan). Bahkan sebaliknya, mereka memiliki berhala-berhala yang mereka namakan Ilah-Ilah. Seperti Latta yang berbentuk kuburan. Uzza yang berbentuk tempat keramat, serta patung-patung lainnya yang mereka bertawasul, berkurban dan beribadah padanya, tetapi mereka tidak mereka menamakan perbuatan mereka dengan berhukum, bertahkim atau hakimiyah.

Demikian pula dimasa mereka terdapat raja-raja di timur dan di barat, tapi mereka tidak menamakannya dengan ilah.

Ingat! Yang kita bantah disini bukan kewajiban bertahkim pada Allah, melainkan pemahaman sempit Sayyid Qutb yang mengatasnamakan bahasa arab dan orang-orang arab. Padahal sama sekali tidak dikenal dalam bahasa arab bahwa makna ilah adalah hakim.

KABURNYA PEMAHAMAN SAYYID TERHADAP RUBUBIYYAH DAN ULUHIYYAH

Kadang-kadang Sayyid menafsirkan makna uluhiyyah dengan rububiyyah. Terkadang pula sebaliknya. Sayyid berkata dalam tafsir surat Ibrahim 52 : “Makna Al Ilah adalah Dzat yang berhak menjadi rabb yaitu yang menghakimi, yang memiliki, yang berbuat, yang membuat syari’at dan yang mengarahkan. (Fi Zhilalil Qur’an : 4/2114)

Bahkan dia berkata bahwa pertikaian antara Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kaum musyrikin jahiliyyah adalah dalam masalah rububiyyah. Berbeda dengan apa yang disampaikan oleh seluruh ulama’ Ahlussunnah. Dia mengatakan : ”Perkara uluhiyyah sedikit sekali menjadi bahan pertikaian pada kebanyakan orang-orang jahiliyyah, khususnya jahiliyyah arab. Hanya saja yang menjadi bahan pertikaian adalah masalah rububiyyah. Yaitu masalah penerapan dien pada kehidupan dunia ini, berupa amal nyata yang mempengaruhi kehidupan manusia.” (Fi Zhilal)

Dari ucapan ini terlihat bahwa Sayyid tidak dapat membedakan antara uluhiyyah dan rububiyyah. Kemudian apakah akibat dari kerancuan pemahaman Sayyid terhadap Rububiyyah dan Uluhiyyah dan sempitanya pandangan Sayyid terhadap Laa ilaaha illallah ini?

PENGKAFIRAN SAYYID TERHADAP KAUM MUSLIMIN

Akibatnya sungguh mengerikan! Dia mengkafirkan seluruh kaum muslimin dan umat islam secara tersirat dan tersurat dan meremehkan kesyirikan dalam masalah ibadah. Perhatikanlah ucapannya : ”Termasuk dalam ruang lingkup masyarakat jahiliyah adalah masyarakat yang mengaku dirinya muslim. Masyarakat tersebut masuk kedalam lingkungan ini bukan karena meyakini uluhiyah kepada selain Allah dan tidak pula menghadapkan syiar-syiar ibadah kepada selain Allah, tetapi mereka masuk ke dalam masyarakat jahiliyah ini karena tidak beragama dengan ‘peribadatan’ pada Allah dalam undang-undang kehidupan mereka. Maka yang demikian walaupun mereka tidak meyakini uluhiyyah seorangpun kecuali Allah tetapi mereka telah memberikan yang paling istimewa dari keistimewaan- keistimewaan ketuhanan pada selain Allah dan beragama dengan hakimiyah pada selain Allah.” (Fi Zhilal)

Tampak dari ucapannya bahwa masyarakat Islam hanya pengakuan, padahal sebenarnya mereka adalah masyarakat jahiliyah. Terkesan pula bahwa memberikan syiar-syiar kepada selain Allah adalah masalah sepele, bahkan sebagaimana diterangkan oleh Syaikh Rabi’ bahwa hampir pada semua tulisan Sayyid dalam tafsir Fii Zhilalil Qur’an dan yang lainnya tidak memperdulikan para penyembah kubur, orang-orang yang melampaui batas dalam terhadap ahlul bait dan para wali, serta orang-orang yang memberikan sifat-sifat uluhiyyah dan ubudiyyah kepada mereka. Dia tidak menghukumi manusia kecuali dengan penyelisihannya terhadap hakimiyyah. Dan penafsiran Sayyid terhadap Laa ilaaha illallah tidak keluar dari hakimiyyah, kekuasaan, dan kepemimpinan semata.

Juga ucapan Sayyid ketika menafsirkan surat Yusuf 106 :

”Tidaklah kebanyakan mereka beriman pada Allah kecuali dalam keadaan musyrik.” (Surat Yusuf 106)

Setelah Sayyid menyebutkan syirik yang samar dia mengatakan : ”Dan di sana ada syirik yang tampak jelas yaitu tunduk kepada selain Allah dalam salah satu urusan kehidupan dan tunduk kepada aturan syari’at yang dijadikan oleh manusia sebagai hukum. Hal ini merupakan asas dalam kesyirikan yang tidak bisa dibantah. Demikian pula tunduk kepada adat-adat kebiasaan seperti mengadakan perayaan-perayaan, musim-musim yang diatur oleh manusia padahal tidak disyariatkan oleh Allah, tunduk pada aturan pakaian yang menyelisihi apa yang diperintahkan oleh Allah untuk ditutupi dan membuka aurat-aurat yang syariat Allah telah menetapkan untuk ditutupi[1]. Urusan seperti ini lebih dari sekedar pelanggaran dan dosa penyelisihan syariat, karena urusan itu merupakan ketaatan dan ketundukan pada pemahaman yang umum pada masyarakat berupa ciptaan hamba dan meninggalkan perkara yang jelas yang muncul dari penguasa para hamba. Sesungguhnya ketika itu bukan lagi dia sebagai dosa melainkan pensyariatan karena yang demikian merupakan ketundukan pada selain Allah dalam perkara yang menyelisihi perintah Allah.” (Fi Zhilalil Qur’an 4/2023)

Dalam ucapan Sayyid diatas terdapat dua bahaya besar. Pertama, pengkafiran kaum muslimin karena dosa-dosa seperti mengikuti adat kebiasaan, berpakaian yang menyelisihi syari’at dan lain-lain. Kedua, penafsiran Al Qur’an tidak seperti apa yang dikehendaki Allah khususnya dalam masalah kesyirikan.Hal ini terjadi karena Sayyid bersikap ghuluw pada masalah hakimiyah sampai-sampai dia berkata : “Sesungguhnya kesyirikan mereka ( jahiliyah) yang asasi bukan dalam keyakinan tapi dalam masalah hakimiyah” (Fi Zhilal : 3/1492)

Sungguh aneh pemahaman Sayyid ini. Bagaimana kira-kira dia menghukumi raja Najasyi yang masuk islam dengan keyakinannya dan belum sempat mempraktekkan hukum-hukum islam dan belum menerapkan Al Hakimiyah di negaranya? Kalau menurut pemahaman Sayyid berarti dia tetap kafir karena menurutnya kesyirikan hakiki adalah pada penerapan hakimiyah dan bukan pada masalah keyakinan!

Adapun pemahaman Ahlus Sunnah adalah pemahaman Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Beliau bersabda kepada para shahabat ketika mendengar raja Najasyi meninggal :

“Telah meninggal hari ini seorang yang shalih dari habasyah. Marilah kemari ! Shalatkanlah dia!” (HR. Bukhari dengan Fathul Bari 3/1320)

Bagaimanakah pendapat anda kalau raja Najasyi menerapkan hakimiyah tetapi tidak meyakini aqidah tauhid den beribadah kepada kuburan-kuburan? Apakah Rasulullah akan menganggap dia sebagai muslim?!

ANGGAPAN SAYYID BAHWA UMAT ISLAM TELAH LENYAP

Saudarakau kaum muslimin, sesungguhnya Sayyid Quthb tidak menganggap keberadaan kita sebagai kaum Muslimin. Dia menganggap umat Islam telah lenyap dengan lenyapnya kekhilafahan! Lihatlah dia berkata dalam bukunya Hadlirul Islam wa Mustaqbaluh (Islam kini dan Esok) : ”Kami mengajak untuk mengembalikan kehidupan Islami dalam masyarakat yang Islami dengan hukum aqidah Islam dan pandangan yang Islami, sebagaimana dihukumi pula oleh syariat Islam dan aturan yang Islami. Kita telah mengetahui bahwa kehidupan Islam seperti ini telah berhenti sejak lama di seluruh permukaan bumi. Dan keberadaan Islam pun telah berhenti … .”

Tenang sebentar! Jangan tergesa-gesa menafsirkan dengan tafsiran pembelaan, karena Sayyid akan berkata lebih jelas lagi, yaitu : ” … kami menampakkan kenyataan yang terakhir ini walaupun akan menyebabkan munculnya benturan keras dan keputus asaan dari orang-orang yang masih tetap menginginkan untuk menjadi Muslimin.”

Lihat dia menyebut kaum Muslimin dengan ungkapan : ”Orang-orang yang ingin menjadi Muslimin”!

Ucapan yang hampir sama ia ucapkan pula dalam bukunya Al Adalah Al Ijtima’iyah, setelah dia membawakan ayat-ayat tentang hakimiyah : ”Ketika kita memperhatikan seluruh permukaan hari ini, di bawah cahaya ketetapan Ilahi terhadap pemahaman dien ini, kita tidak mendapatkan keberadaaan dien ini … sesungguhnya keberadaan dien ini telah lenyap sejak kelompok terakhir dari kaum Muslimin melepaskan pengesaan Allah dalam Hakimiyah dalam kehidupan manusia. Yang demikian adalah ketika mereka meninggalkan berhukum dengan syari’at Allah semata dalam segala aspek kehidupan. Kita harus mengakui kenyataan pahit ini dan harus menampakkanya. Janganlah kita khawatir munculnya “putus harapan” dalam hati-hati kebanyakan orang-orang yang suka untuk menjadi Muslimin. Mereka seharusnya meyakini bagaimana mereka dapat menjadi muslimin. Sesungguhnya musuh-musuh dien ini telah menjalankan usaha sejak beberapa abad dan masih tetap melaksanakan usaha-usaha maksimal yang menipu dan jahat untuk merampas kehendak kebanyakan orang yang ingin menjadi Muslimin?” (Al Adalah Al Ijtima’iyah hal. 183-184)

Di sini terlihat pemikiran-pemikiran Sayyid yang berbahaya di aataranya anggapan beliau bahwa :

Kehidupan Islam telah tiada
Bahkan wujud Islam telah berhenti
Anggapan bahwa kaum muslimin adalah orang-orang kafir jahiliyah yang menginginkan Islam
Inti Islam yang hakiki adalah tauhid hakimiyah
Dia mengharuskan dan menegaskan untuk mengumumkan pengkafiran umat Islam
Adakah pengkafiran yang lebih jelas daripada pengkafiran Sayyid Quthb ini?! Mana yang dinamakan pengkafiran kalau ucapan seperti ini tidak dinamakan pengkafiran? Perhatikanlah wahai orang-orang yang memiliki pandangan!

UMAT ISLAM TELAH MURTAD DAN ADZAB BAGI MEREKA LEBIH KERAS DARI PADA ORANG KAFIR LAINNYA

Sayyid Quthb berkata : ”Telah bergeser jaman, kembali seperti keadaan pada hari datangnya dien ini kepada manusia (yaitu masa jahiliyah). Telah murtad manusia menuju peribadatan kepada hamba-hamba dan menuju kerusakan agama-agama. Mereka telah berpaling dari Laa Ilaaha Illallah, walaupun sekelompok dari mereka masih tetap mengumandangkan di menara-menara adzan Laa Ilaaha Illallah tanpa memahami maksudnya, tanpa mengerti apa konsekwensinya, padahal dia mengulang-ulangnya. Juga tanpa menolak pensyariatan hakimiyah yang diaku oleh para hamba untuk diri-diri mereka. Hal ini sama dengan penuhanan (uluhiyah). Sama saja, apakah diaku oleh pribadi-pribadi atau kelompok pensyariatan ataupun oleh masyarakat…” (fi Zhilalil Qur’an 2/1057)

Bahkan lebih kejam lagi dia berkata : ”… yaitu kemanusiaan seluruhnya, termasuk di dalamnya mereka yang mengulang-ulang di menara-menara adzan di timur atau di barat bumi ini kalimat Laa Ilaaha Illallah tanpa maksud dan tanpa kenyataan. Mereka paling berat dosanya dan paling keras adzabnya karena mereka telah murtad kepada peribadatan para hamba setelah jelas baginya petunjuk dan karena mereka sebelumnya berada dalam dien Allah”. (Fi Zhilalil Qur’an 2/1057)

Lihatlah betapa beraninya Sayyid mengkafirkan kaum Muslimin dan menganggap mereka orang-orang murtad yang paling keras adzabnya. Padahal mereka masih mengumandangkan adzan dan masih shalat. Lantas apa anggapan dia tentang peribadatan mereka di masjid-masjid?

MASJID MENURUT SAYYID ADALAH TEMPAT PERIBADATAN JAHILIYAH

Bertolak dari pengkafiran dia terhadap masyarakat Islam, maka Sayyid menganggap masjid-masjid mereka sebagai tempat-tempat peribadatan jahiliyah. Dia berkata ketika menafsirkan ucapan Allah dalam surat Yunus 87 :

“Dan Kami wahyukan kepada Musa dan saudaranya : ’Ambillah olehmu berdua beberapa rumah di Mesir untuk tempat tinggal bagi kaummu dan jadikanlah olehmu rumah-rumahmu itu tempat sembahyang dan dirikanlah olehmu sembahyang serta gembirakanlah orang-orang yang beriman.’ ” (Surat Yunus 87)

Dia berkata : ” … inilah pengalaman yang Allah tunjukkan kepada kelompok Mukmin agar menjadi teladan. Bukan khusus bagi Bani Israil. Tapi ini adalah pengalaman iman yang murni. Kadang-kadang orang-orang beriman mendapati diri-diri mereka terusir pada suatu hari dari masyarakat jahiliyah, ketika fitnah telah merata, thoghut telah bertambah sombong dan manusia telah rusak, serta lingkungan telah membusuk. Demikian pula keadaan di jaman Fir’aun pada masa ini. Di sini Allah mengarahkan kita pada beberapa perkara :

Memisahkan diri dari masyarakat jahiliyah, busuknya, rusaknya, dan kejelekannya sebisa mungkin. Dan mengumpulkan ‘kelompok mukmin’ yang baik dan bersih dirinya untuk mensucikan, membersihkan, dan melatih serta menyusun mereka hingga datang janji Allah untuk mereka.
Menghindari tempat-tempat peribadatan jahiliyah dan menjadikan rumah-rumah ‘kelompok Muslim’ sebagai masjid yang di sana mereka dapat merasakan keterpisahan mereka dari masyarakat jahiliyah. Kemudian di sana mereka melangsungkan peribadatan kepada Rabb mereka dengan cara yang benar. Dan melanjutkan dengan ibadah tersebut menuju semacam keteraturan (tandhim) dalam lingkungan suasana ibadahyang suci. (Fi Zhilalil Qur’an 3/1816) ”
Apa yang akan terjadi kalau dakwah Sayyid seperti ini dibiarkan ? Jelas penafsiran yang bathil ini akan mengakibatkan ditinggalkannya masjid-masjid dan munculnya Neo Khawarij dengan gaya baru yang memisahkan diri dari masyarakat Islam dan mengkafirkan mereka. Kemudian siapa yang dimaksud ‘kelompok Mukmin’, ‘kelompok Muslim’ dalam masyarakat jahiliyah ini? Tentu pembaca dapat menebak dengan melihat aqidah dan pemikiran Sayyid yang telah dijelaskan. Ya tentunya yang dia maksud adalah dirinya dan orang-orang yang mengikuti pemikirannya.

JALAN KELUAR MENURUT SAYYID

Islam telah lenyap, Muslimin telah murtad, masyarakat Muslimin telah kembali menjadi jahiliyah. Masjid-masjid telah menjadi tempat-tempat peribadatan jahiliyah … . Lalu apa yang harus kita perbuat? Dan bagaimana jalan keluar bagi yang ingin menjadi ‘kelompok muslim’? Dengarlah apa kata Sayyid Quthb berkenaan dengan pertanyaan ini : “Sesungguhnya tidak ada keselamatan bagi ‘kelompok Muslim’ di seluruh dunia dari adzab yang Allah sebutkan :

” … atau Dia mencampurkan kamu dalam golongan-golongan (yang saling bertentangan) dan merasakan kepada sebagian kamu keganasan sebagian yang lain…” (Al An’am 65)

Kecuali jika mereka memisahkan keyakinan, perasaan dan juga prinsip hidup mereka dari masyarakat jahiliyah dan memisahkan diri dari kaumnya. Hingga Allah mengijinkan bagi mereka untuk mendirikan negara Islam yang mereka berpegang padanya. Kalau tidak, maka hendaknya mereka merasakan seluruh perasaannya bahwa mereka sendirilah umat Islam dan merasakan bahwa apa dan siapa yang disekelilingnya yang tidak masuk kepada apa yang mereka masuki adalah jahiliyah dan masyarakat jahiliyah … .” (Fi Zhilalil Qur’an 2/1125)

Inilah jalan keluar menurut Sayyid, yaitu dengan menjadi khawarij, mengkafirkan dan memisahkan diri dari umat Islam! Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un. Tidakkah Sayyid melihat dakwah Ahlus Sunnah dan para ulama’nya di jazirah Arab, Yaman, India atau yang lainnya? Tidakkah dia melihat perjuangan dakwah mereka dalam memurnikan ajaran Islam? Bahkan apakah Sayyid tidak melihat di sampingnya seorang ulama’ yang berjuang membela tauhid dan sunnah, yaitu Syaikh Muhibbun Al Khatib rahimahullah?!

PEMIKIRAN TAKFIR SAYYID DIAKUI TOKOH-TOKOH IKHWAN (IM) SENDIRI

Sesungguhnya pemikiran takfir Sayyid Quthb tidak mungkin dipungkiri lagi. Bahkan telah diakui pula oleh beberapa tokoh Ikhwanul Muslimin sendiri. Berikut ini kita dengar beberapa ucapan mereka :

Berkata Yusuf Al Qardlawi dalam bukunya Awliyat Al Harakah Al Islamiyah : “Dalam fase ini muncul buku-buku ‘Asy Syahid’ Sayyid Quthb yang merupakan fase terakhir dari pemikirannya yang mengkafirkan masyarakat (Islam) dan menunda dakwah sampai kepada keteraturan Islam dengan pembaharuan fiqh dan perkembangannya. Menghidupkan ijtihad serta mengajak untuk memisahkan diri secara perasaan dari masyarakat, memutus hubungan dengan orang lain, mengumumkan jihad fisik melawan seluruh manusia … ” (Awliyat hal. 110)

Berkata Farid Abdul Khaliq, salah seorang tokoh besar IM dalam kitabnya Ikhwanul Muslimin fi Mizanil Haq hal. 115: “Kita mengetahui dari apa yang telah lewat bahwa munculnya pemikiran takfir di kalangan Ikhwan bermula dari penjara Qanathir di akhir tahun lima puluhan dan awal enam puluhan. Mereka terpengaruh oleh Sayyid Quthb dan pemikiran-pemikirannya. Mereka mengambil pemahaman darinya bahwa masyarakat ini dalam keadaan jahiliyah dan bahwasanya dia telah mengkafirkan pemerintah yang merasa asing dengan apa yang diturunkan Allah. Juga mengkafirkan rakyatnya karena mereka ridla dengan hal itu”.

Berkata Ali Gharishah, salah seorang tokoh besar IM, sebagai berikut : “Dalam kejadian ini, terpecah satu kelompok dari kelompok Islam yang besar ketika keberadaan mereka di penjara-penjara … bersamaan dengan itu kelompok tersebut bertameng dengan pengkafiran kelompok Islam yang besar. Mereka masih tetap dalam pendapatnya tentang pengkafiran pemerintah, penolong-penolongnya serta masyarakat seluruhnya. Kemudian kelompok tersebut berpecah kembali menjadi beberapa kelompok, yang masing-masing mengkafirkan yang lain … .” (Al Ittijahat Al Fikriyah Al Mu’ashirah hal. 279)

Ucapan-ucapan mereka ini menunjukkan bahwa pemikiran takfir Sayyid Quthb telah dikenal oleh kawan dan lawannya. Hanya saja ketika bantahan itu dari ‘kawan’ satu harakah, selalu diiringi dengan basa-basi atau penyamaran agar tidak terlihat seakan-akan permasalahan ini adalah permasalahan besar. Seperti Al Qardlawi setelah ucapannya di atas, dia berkata : ” … Dan buku-buku beliau tersebut memiliki keutamaan-keutamaan dan pengaruh-pengaruh positif yang besar di samping pengaruh-pengaruh negatif.” (Awliyat hal. 110)

Atau seperti ucapan Ali Gharishah yang tidak menyebutkan siapa atau buku apa atau jama’ah apa, dia hanya mengatakan ‘kelompok kecil’ dan ‘kelompok besar’.

Saudara-saudaraku kaum Muslimin, bisa jadi sikap basa-basi dan penyamaran yang menyebabkan terasa kecilnya bahaya-bahaya besar ini adalah karena mereka satu hizb. Mereka menjaga persatuan dan kesatuan hizbnya dengan prinsip mereka yang terkenal : ‘KITA SALING TOLONG MENOLONG ATAS APA YANG KITA SEPAKATI DAN SALING TOLERANSI ATAS APA YANG KITA BERBEDA’. Kalau begitu bagaimana dengan saudara-saudara kita yang mengaku sebagai Ahlus Sunnah, Salafiyyah tetapi memiliki prinsip yang sama dengan mereka?

SIKAP SAYYID TERHADAP ‘UTSMAN BIN ‘AFFAN RADLIALLAHU ‘ANHU

Ikhwani fiddin a’azzakumullah, sesungguhnya pemikiran takfr Sayyid Quthb bukan permasalahn sepele. Sikap pengkafiran seluruh manusia karena dosa-dosa sungguh sangat berbahaya. Tidakkah kita mendengar bagaimana Ali bin Abi Thalib menyikapi khawarij, kemudian memerangi mereka? Tidakkah kita mendengar ucapan beberapa shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa mereka sejelek-jelek makhluk? Pemikiran Sayyid yang berbahaya ini juga mengakibatkan celaan dan tuduhan kepada para shahabat Nabi seperti para pendahulunya dari kalangan khawarij dan syi’ah, khususnya terhadap ‘Utsman bin ‘Affan dan Mu’awiyah radliallahu ‘anhuma. Sayyid Quthb tidak mengakui keberadaan khilafah ‘Utsman radliallahu ‘anhu, padahal masa kekhilafahannya paling panjang. Dia berkata : “Kami condong kepada anggapan bahwa khilafah Ali radliallahu ‘anhu adalah kelanjutan dari khilafah dua syaikh sebelumnya (Abu Bakar dan ‘Umar bin Khaththab). Adapun masa ‘Utsman merupakan celah antara keduanya.” (Al Adalah hal. 206). Mengapa? Hal ini setelah Sayyid mengatakan pada halaman sebelumnya tentang ‘Utsman sebagai berikut : “Sesungguhnya diantara kejelekan yang muncul adalah bahwa ‘Utsman mencapai khilafah dalam keadaan tua, telah lemah semangat Islamnya dan lemah keinginannya untuk tetap tegar menghadapi tipu daya Marwan dan tipu daya Bani Umayyah di dalamnya.” (Al Adalah (dalam terbitan Pustaka Salman) hal. 270)

Bahkan dengan terang-terangan dia meragukan ruh Islam yang ada pada ‘Utsman, yaitu setelah Sayyid menyebutkan cerita-cerita tentang ‘Utsman yang membagi-bagikan harta pada keluarga dan kerabatnya (korupsi). Juga setelah menceritakan bahwa ‘Utsman mengangkat gubernur-gubernurnya dari keluarganya sendiri, seperti Mu’awiyah dan Al Hakam radliallahu ‘anhuma dan selainnya. Kemudian dia berkata : ” … Dan bahwasanya para shahabat mengetahui penyelewengan dalam ruh Islam ini. Khalifah dengan ketuaan dan kepikunannnya tidak dapat memegang urusannya dari Marwan. Sesungguhnya sangat susah meragukan ruh Islam di dalam hati ‘Utsman. Tetapi juga sangat sulit memaafkan kesalahan-kesalahannya yang merupakan kesalahan fatal mengenai wilayah dan khilafahnya. Sedangkan dia seorang seorang tua renta yang dikelilingi oleh jajaran orang-orang jelek dari Bani Umayyah … .” (Al Adalah hal. 187, cet. kelima dan secara makna pada cet. ke-12 hal. 159, dan dalam terjemahan Pustaka Salman hal. 272)

Sebaliknya Sayyid Quthb justru memuji dan membela para pemberontak yang membunuh ‘Utsman. Dia berkata : ” … akhirnya, terjadilah pemberontakan atas’Utsman. Tercampur padanya kebenaran dan kebatilan, kebaikan dan kejelekan.Tetapi bagi yang memandang ini dengan ‘kaca mata Islam’ dan merasakan urusan ini dengan ‘ruh Islam’, pasti dia akan menetapkan bahwa pemberontakan tersebut secara keumuman lebih dekat kepada ‘ruh Islam’ dan arahannya daripada sikap ‘Utsman atau lebih tepatnya sikap Marwan dan orang-orang yang di belakangnya dari Bani Umayyah.” (Al Adalah hal.189 cet. ke-5 dan hal. 161, 162 cet. ke-12 dengan beberapa perubahan tetapi intinya sama, hanya
pada cetakan terakhir ini dia menyebut bahwa hal itu karena pengaruh tipu daya Ibnu Saba’ dan dalam terjemahannya hal. 275)

Seharusnya dia mengucapkan : “Barangsiapa memandang dengan kacamata saya dan merasakan dengan ruh saya … .” Karena kesimpulan dan pandangan seperti itu sama sekali bukan dari Islam. Adapun pandangan Sayyid adalah pandangan Syi’ah, Khawarij dan Ahli Bid’ah!

Semoga Allah menyelamatkan kaum Muslimin dari penyelewengannya dan membuka mata kaum hizbiyyah agar melihat bahayanya serta menghilangkan sikap fanatik mereka padanya. Amin.

______________________________

[1] Lantas bagaimana dia menghukumi dirinya, dia mengikuti kebiasaan orang-orang kafir Barat dengan memotong habis jenggotnya dan memakai jas dan berdasi? (Dikutip dari tulisan Ustadz Muhammad Umar as Sewed, Majalah Salafy, Edisi XVI/Dzulhijjah/1417 H/1997 M)