Parodi Rodja (Bagian 7): Ada Apa Dengan Rodja TV?

Bismillahirrohmanirrohim. o

parodi rodja bagian 7

updated 13 Rajab 1434 H/ 23 Mei 2013 M

Sesungguhnya, bukanlah persoalan mendasar apakah kami dan anda siap atau tidak siap untuk membaca (bukan mendengarkan) jawabannya (karena dalam bentuk tulisan, bukan audio). Kalaupun kami dan anda tidak siappun, akan tetap ada orang-orang yang siap – dengan ijin Allah Ta’ala – untuk menyambut, menerima dan membela serta menegakkan Al Haq sampai waktu yang Allah kehendaki. Tentunya, bagi orang yang memang benar-benar mencari Al Haq, dia akan selalu siap untuk menerima jawaban (kebenaran) karena kebenaran itulah yang musti dikedepankan, kebenaran lebih besar dari siapapun.

Bagi yang memang benar-benar siap untuk menyodorkan bukti dan hujjah terkait penyimpangan-penyimpangannya, apa faidahnya jika hanya sebatas mencukupkan diri memamerkan kepada umat bahwa dia memiliki kemampuan untuk menyingkap secara detail penyimpangan-penyimpangan orang yang menyimpang jika tidak diiringi dengan bukti dari apa yang dinyatakannya? Bukankah semestinya  menyadari sepenuhnya tuntutan syari’at bahwa bukti bagi penuduh harus ditegakkan tanpa perlu tawar-menawar terlebih dahulu dengan sang tertuduh sembari menulis Siapkah Anda Mendengarkan Jawabannya?”

apakah saya siap menguraikan kesalahan rodja secara detail

Gambar 1. Screenshot apakah saya siap menguraikan kesalahan-kesalahan Rodja secara detail?

Dimana kita bisa mendapatkan teladan dari Salaful Ummah dari tawar-menawar (kategori:Manhaj) antara penuduh dengan tertuduh yang demikian? Apakah kalau Sang tertuduh tidak siap untuk mendengarkan jawabannya maka gugurlah kewajiban sya’iy bagi penuduh untuk membuktikan kejahatan Rodja dan Firanda yang sudah dia umumkan kepada dunia? Bahkan setelah dihapusnya tuduhan tersebut dari website resminya sekalipun, apakah tuntutan syari’at untuk membuktikan tuduhannya juga gugur begitu saja? Apakah kalau Sang tertuduh tidak siap untuk mendengarkan jawabannya maka ini merupakan dalil bolehnya menjadi SYETAN BISU bagi orang yang mengetahui secara detail penyimpangannya? Ataukah kalau yang berilmu lebih memilih menjadi SYETAN BISU otomatis umat akan tertipu? Tetap tersembunyi bukti dan fakta kejahatan Rodja dan para da’inya?

Jawabannya adalah tidak sebagaimana bukti Parodi Berseri yang telah berlalu!!

Maka, yang dinampakkan kepada kita semua adalah KETIDAKSIAPAN UNTUK MENULISKAN DETAIL BUKTI PENYIMPANGANNYA dan sebaliknya adalah KESIAPAN UNTUK MEMBELA DIRI DUS BERKOMPROMI. Dihapusnya tulisan kedua tokoh elite dari pandangan umat dengan penuh kesadaran di website resmi masing-masing, tanpa ada unsur paksaan ataupun rayuan dari siapapun, membiarkan begitu saja para ulama Ahlussunnah direndahkan di depan umat, tidakkah cukup sebagai bukti bagi kita semua? Allahul musta’an.

Pembaca rahimakumullah, pada proposal ishlah yang diajukan oleh saudara Caldok Firanda untuk berdamai dengan Asy Syaikh AMDz, beliau mengemukakan beberapa alasan tentang munculnya para dai/ulama yang berdakwah melalui jalur televisi, tak luput mengemukakan “dalil” dengan keberadaan video para ulama semisal Asy Syaikh Abdul Azis Alu Syaikh dan Asy Syaikh Shalih Al Fauzan hafizhahumallah yang tersebar sebagai bukti.

para ulama kibar berdakawah di tv

Gambar 2. Screenshot para ulama kibar berdakwah di TV

Untuk menguatkan pendapatnya, Halabiyun Firanda juga mengarahkan pernyataan umum Al Allamah Al Albany rahimahullah sebagai dalil boleh tampilnya para da’i untuk berdakwah di TV adalah sebuah program yang dibolehkan oleh syari’at, bahkan dia menegaskannya dengan membawa pernyataan Al Imam Al Albany sebagai program acara TV yang ilmiah dan bermanfaat bagi umat maka –pada saat itu- kami tidak hanya mengatakan bahwa hukum menonton TV adalah boleh bahkan akan kami katakan bahwa menonton TV hukumnya wajib.

pernyataan Al Allamah Al Albany rahimahullah diarahkan oleh Halabiyun Firanda sebagai dalil bolehnya bahkan wajib hukumnya menonton TV

Gambar 3. Screenshot pernyataan Al Allamah Al Albany rahimahullah diarahkan oleh Halabiyun Firanda sebagai dalil bolehnya bahkan wajib hukumnya menonton TV (para dai tampil di TV)

Allahu a’lam, kami melihat bahwa ini semua adalah MERUPAKAN BENTUK PENGKABURAN TERHADAP SIKAP YANG SESUNGGUHNYA  DARI PARA ULAMA DI ATAS dalam permasalahan ini, menggunakan kalimat-kalimat mereka yang bersifat umum untuk kemudian diarahkan untuk mendukung apa yang sesuai dengan pendapatnya semata.

Bak gayung bersambut, Asy Syaikh AMDz  – dalam risalah jawaban dan tawarannya kepada Halabiyun Rodjaiyun Firanda – juga menguatkan pernyataan di atas dengan pernyataan beliau:

surat ijin tampil di tv

Gambar 4. Screenshot Asy Syaikh menunjukkan pada umat bahwa beliau telah mendapatkan surat ijin tampil di TV Nasional

Sebuah hal yang luarbiasa memang, beliau lebih memilih untuk membela kehormatan diri padahal di tempat yang sama, Halabiyun Firanda telah menghiasi isi proposalnya dengan merendahkan kehormatan para ulama Ahlussunnah, menuding dengan tuduhan-tuduhan dusta dan jahat terhadap para du’at Ahlussunnah dan bahkan berupaya mengelabui umat!! Dan Asy Syaikh, meloloskan begitu saja ini semua! Allahul musta’an.

bukti tazkiyah syaikh al fauzan membungkam perendahan halabiyun firanda

Gambar 5. Screenshot “gaya” Halabiyun Rodjaiyun Firanda dalam mencerca Ahlussunnah dan menjatuhkan kehormatan ulama Ahlussunnah yang gigih dalam membentengi umat dari tipu daya dan penyimpangan Ali Hasan Al Halaby.

Oleh karena itulah, menjadi penting bagi kita semuanya untuk mengetahui mauqif sebenarnya para ulama di atas, syubhat-syubhat seputar permasalahan ini dan mana pendapat yang rajih.

Taruhlah para ulama telah bersepakat secara bulat akan kebolehannya untuk tampil di Televisi, hal ini tidak akan menjadikan bukti-bukti nyata penyimpangan manhaj Rodja berubah sebagai bukti kebenaran.

Faktanya, para ulama telah berbicara, mengklarifikasi dan meluruskan hilah/alasan sebagian orang yang menjadikan bukti video-video mereka sebagai dalil kebolehannya. Pada makalah terdahulu, Asy Syaikh Muhammad bin Hadi, Asy Syaikh Shalih As Suhaimy hafizhahumallah telah memberikan penjelasan dan tanggapan terkait video beliau yang beredar sehingga tidak ada alasan lagi untuk menjadikan beliau sebagai dalih.

http://tukpencarialhaq.com/2013/05/14/asy-syaikh-muhammad-bin-hadi-al-madkhali-menjawab-fitnah-dan-tuduhan-halabiyyun/

Bahkan Asy Syaikh Muhammad bin Hadi hafizhahullah telah pula menegaskan mauqif Al Allamah Bin Baz rahimahullah yang mengingkari hal yang demikian, walaupun sampai saat ini masih saja ada  yang berdalih dengan adanya foto gambar/video beliau sebagai buktinya. Allahul musta’an.

Pada pertemuan ini kita akan membaca makalah yang ditulis oleh Asy Syaikh Mahir Al Qahthany hafizhahullah, tanya jawab beliau dengan gurunya (Al Fauzan), jawaban terhadap syubhat-syubhat yang terlontar dan tentu saja kami lengkapi dengan fatwa Asy Syaikh Al Fauzan hafizhahullah ketika beliau ditanya tentang gambar, video ataupun kemunculan beliau di stasiun-stasiun televisi. Kita juga akan membaca sikap Al Allamah Al Albany rahimahullah, mauqif Al Imam Ibnu Baaz rahimahullah sebagaimana yang disampaikan sendiri oleh Asy Syaikh Al Fauzan hafizhahullah.

Hendaklah orang-orang (yang menjadikan para ulama di atas sebagai sandaran “dalil” untuk hal-hal yang mencocoki hawa nafsunya semata) bisa bersikap jujur dan ketahuilah bahwa umat juga akan membaca dan mengetahui bagaimana sikap sebenarnya dari para ulama tersebut. Walhamdulillah.

Asy Syaikh Mahir Al Qahthany hafizhahullah memulai tulisannya…

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته، أما بعد:

Janganlah engkau melakukan penakwilan-penakwilan yang rusak wahai Ahlus Sunnah, karena tidaklah dibinasakan Khawarij, Jahmiyah, Jabriyah, Qadariyah, Quburiyah dan selain mereka kecuali dengan penakwilan-penakwilan yang rusak tersebut. Hal itu dengan akalmu atau hawa nafsumu menganggap baik amal yang tidak saleh.

Engkau mengetahuinya lalu mencari-carikan dalil untuk membelanya dengan penakwilan-penakwilan yang rusak menurut syariat, maka sesungguhnya akibat perbuatan tersebut adalah sangat buruk. Jadi hawa nafsu akan menghalangi seseorang dari kebenaran. Dan cukuplah untuk menunjukkan keburukannya dengan mengetahui bahwa itu termasuk sifat-sifat orang-orang musyrik. Allah Ta’ala berfirman:

إِنْ يَتَّبِعُوْنَ إِلَّا الظَّنَّ وَمَا تَهْوَى الْأَنْفُسُ وَلَقَدْ جَاءَهُمْ مِنْ رَبِّهِمُ الْهُدَى. [النجم:[23

“Mereka tidaklah mengikuti kecuali dugaan dan apa yang disukai oleh hawa nafsu, padahal telah datang kepada mereka petunjuk dari Rabb mereka.” (QS. An-Najm: 23)

Maka, merupakan aib dan kehinaan jika telah jelas petunjuk bagimu, namun engkau menolaknya dengan dalih-dalih yang rusak atau taklid buta yang tidak ada manfaatnya. Jadi, engkau adalah hamba Allah yang Dia menciptakanmu lalu membaguskan rupamu kemudian menyempurnakannya, engkau bukan budak hawa nafsumu. Allah Ta’ala berfirman:

فَلَمَّا زَاغُوْا أَزَاغَ اللهُ قُلُوْبَهُمْ. [الصف: 5]

“Tatkala mereka berpaling (dari kebenaran), maka Allah palingkan hati-hati mereka.” (QS. Ash-Shaff: 5)

Juga sebagaimana perkataan Abu Bakr Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu:

لَسْتُ تَارِكًا شَيْئًا كَانَ رَسُوْلُ اللهِ r يَعْمَلُ بِهِ إِلَّا عَمِلْتُ بِهِ فَإِنِّي أَخْشَى إِنْ تَرَكْتُ شَيْئًا مِنْ أَمْرِهِ أَنْ أَزِيْغَ.

“Aku tidak akan meninggalkan sesuatu yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi was salam kecuali aku kerjakan, karena aku takut akan menyimpang jika aku meninggalkan sedikit saja dari perintah beliau.” (Shahih Al-Bukhary no. 3099, bab Fardhul Khumus)

Maka, jika seorang yang merupakan shiddiq (tingkatan di bawah para nabi -pent) dari umat ini merasa takut hatinya akan menyimpang jika menyelisihi Rasulullah shallallahu ‘alaihi was salam dalam satu perkara saja, padahal dia adalah khalifah Rasulullah shallallahu ‘alaihi was salam dan sebagian shahabat telah mengatakan: “Abu Bakr adalah orang yang berilmu di antara kami.” Lalu bagaimana dengan orang yang menyelisihi beliau karena menganggap halal sesuatu dengan dalih-dalih yang rusak atau dengan dalil-dalil yang lemah karena sikap taklid tanpa ilmu atau mencari-cari pembenaran tanpa fikih?!

Setiap orang yang sesat dari umat Muhammad shallallahu ‘alaihi was salam setelah dia mengetahui ilmunya dan mencari-cari pembenaran yang diada-adakan, maka pada dirinya terdapat keserupaan dengan orang-orang Yahudi yang telah menghalalkan hal-hal yang telah Allah haramkan dengan akal-akalan. Al-Bukhary rahimahullah meriwayatkan di dalam Shahih-nya:

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّهُ سَمِعَ رَسُوْلَ اللهِ r يَقُولُ عَامَ الْفَتْحِ وَهُوَ بِمَكَّةَ: إِنَّ اللهَ وَرَسُوْلَهُ حَرَّمَ بَيْعَ الْخَمْرِ وَالْمَيْتَةِ وَالْخِنْزِيْرِ وَالْأَصْنَامِ. فَقِيلَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ أَرَأَيْتَ شُحُوْمَ الْمَيْتَةِ فَإِنَّهَا يُطْلَى بِهَا السُّفُنُ وَيُدْهَنُ بِهَا الْجُلُوْدُ وَيَسْتَصْبِحُ بِهَا النَّاسُ؟ فَقَالَ: لَا هُوَ حَرَامٌ. ثُمَّ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ r عِنْدَ ذَلِكَ: قَاتَلَ اللهُ الْيَهُوْدَ إِنَّ اللهَ لَمَّا حَرَّمَ شُحُومَهَا جَمَلُوْهُ ثُمَّ بَاعُوهُ فَأَكَلُوْا ثَمَنَهُ.

Dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma dia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi was salam bersabda pada tahun penaklukan Mekah: “Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya telah mengharamkan jual beli khamer, bangkai, babi dan patung.” Beliau ditanya: “Wahai Rasulullah, bagaimana pendapat Anda dengan lemak bangkai, karena bisa digunakan untuk menambal perahu yang bocor, untuk meminyaki kulit dan manusia menggunakan untuk bahan bakar lampu? Beliau menjawab: “Tidak boleh, tetap haram hukumnya.” Lalu Rasulullah shallallahu alaihi was salam ketika itu bersabda: “Semoga Allah membinasakan Yahudi, sesungguhnya ketika Allah mengharamkan lemak-lemak bangkai, mereka menjadikannya sebagai minyak lalu mereka jual kemudian mereka makan hasil penjualannya.” (HR. Al-Bukhary no. 2236 dan Muslim 1581)

Dan jika engkau selamat dari makhluk yang menyampaikan nasehat yang dia mendapatkan udzur karena ada perkara yang tidak dia ketahui, padahal dia telah mengatakan kepadamu: “Wahai Ahlus Sunnah, kenapa engkau melakukan kemaksiatan kepada Allah?! Maka, engkau tidak akan selamat dari Pencipta-mu yang Dia telah berfirman tentang diri-Nya:

يَعْلَمُ خَائِنَةَ الْأَعْيُنِ وَمَا تُخْفِي الصُّدُورُ. [غافر: [19

“Dia mengetahui mata-mata yang berkhianat dan apa-apa yang disembunyikan di dalam hati.” (QS. Ghafir: 19)

Maka, berhati-hatilah wahai Ahlus Sunnah, jangan sampai engkau melakukan keharaman dengan berdalih menggunakan hal-hal yang tidak engkau ketahui kesahihannya di dalam syariat. Allah Ta’ala berfirman:

إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَمَا تَهْوَى الْأَنْفُسُ وَلَقَدْ جَاءَهُمْ مِنْ رَبِّهِمُ الْهُدَى. [النجم: [23

“Mereka tidaklah mengikuti kecuali dugaan dan apa yang disukai oleh hawa nafsu, padahal telah datang kepada mereka petunjuk dari Rabb mereka.” (QS. An-Najm: 23)

Dan termasuk perkara yang diharamkan yang mungkin syetan telah menggelincirkan kedua kakimu dengannya sehingga engkau menyangkanya termasuk perkara yang benar, yaitu dakwahmu kepada jalan Allah dengan cara yang haram. Seperti ucapan sebagian orang: Dusta diperbolehkan untuk maslahat dakwah agama Allah. Mengambil gambar dan tampil di channel dan televisi boleh untuk merealisasikan dakwah agama Allah. Ini seperti ucapan Amr Khalid Al-Mishry yang menyerupai orang-orang fasik yang bergelut dalam bidang sinema dan sandiwara: Saya mencukur jenggot saya agar para pemuda tidak lari dariku. Ini menurutnya merupakan maslahat dakwah.

Maka saya katakan: Tidak boleh bagi seorang muslim atau muslimah yang beriman kepada Allah dan hari kiamat untuk membantu kemaksiatan mengambil gambar yang diharamkan yaitu gambar-gambar makhluk yang bernyawa, dan tidak boleh pula untuk memberikan kesempatan dengan cara mendatanginya, walaupun dengan dalih untuk maslahat dakwah. Hal ini berdasarkan beberapa sisi, maka pahamilah dengan baik wahai Ahlus Sunnah, dan tinggalkan hawa nafsu agar tidak menyeretmu ke neraka!

Pertama: Sesungguhnya dengan pergi untuk pengambilan gambar guna tampil di televisi -walaupun dengan dalih untuk maslahat dakwah – merupakan perbuatan saling membantu melakukan dosa, padahal Allah berfirman:

وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإثْمِ وَالْعُدْوَانِ. [المائدة: 2

“Dan hendaklah kalian tolong menolong dalam kebaikan dan ketakwaan, dan jangan tolong menolong dalam dosa dan permusuhan.”

Kedua: Sesungguhnya tidak ada perbedaan tentang keharaman -berdasarkan apa yang dirajihkan oleh Al-Allamah Al-Imam Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz, Al-Allamah Nashiruddin Al-Albany, Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan dan banyak lagi selain mereka-[1] antara menggambar dengan tangan dan menggambar dengan alat, sama saja apakah gambarnya diam dengan alat gambar diam yaitu kamera, atau gambarnya bergerak dengan alat pengambil gambar bergerak yaitu video atau televisi. Hal ini karena cara modern ini termasuk pada keumuman larangan mengambil gambar sebagaimana yang terdapat di dalam Shahih Al-Bukhary dari jalan Aun bin Abi Juhaifah dari ayahnya dia berkata:

لَعَنَ النَّبِيُّ r الْوَاشِمَةَ وَالْمُسْتَوْشِمَةَ وَآكِلَ الرِّبَا وَمُوكِلَهُ وَنَهَى عَنْ ثَمَنِ الْكَلْبِ وَكَسْبِ الْبَغِيِّ وَلَعَنَ الْمُصَوِّرِينَ.

“Nabi shallallahu ‘alaihi was salam melaknat wanita yang mentato, wanita yang meminta tato, pemakan riba dan yang mewakilkannya, dan beliau melarang jual beli anjing dan hasil melacur, serta melaknat para pembuat gambar.” (HR. Al-Bukhary no. 4357)

Juga berdasarkan riwayat Al-Bukhary dari jalan Ibrahim bin Sa’ad Al-Qurasy dari Az-Zuhry dari Al-Qasim dari Aisyah radhiyallahu ‘anha dia berkata: “Nabi masuk menemuiku ketika di rumah ada bergambar, maka wajah beliau berubah lalu beliau mengambil tirai kemudian merusaknya. Kemudian beliau bersabda:

إِنَّ مِنْ أَشَدِّ النَّاسِ عَذَابًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ الَّذِيْنَ يُصَوِّرُوْنَ هَذِهِ الصُّوَرَ.

“Sesungguhnya termasuk manusia yang paling keras siksaannya pada hari kiamat nanti adalah orang-orang yang suka menggambar gambar-gambar ini.” (HR. Al-Bukhary no. 6109)

Jadi, Ar-Rasul shallallahu ‘alaihi was salam memutlakkan pengharaman atas perbuatan semua orang yang menggambar, sehingga menggambar dengan tangan dan alat termasuk yang diharamkan tanpa ada perbedaan.

Al-Allamah Al-Albany rahimahullah berkata: “Gambar bergerak (dengan televisi atau video) lebih besar dosanya dibandingkan yang diam, karena penyerupaan terhadap penciptaan Allah padanya lebih besar.[2]

Ketiga: Sebagian masayikh yang mulia ketika muncul di televisi untuk tujuan forum ilmiah, saya sebutkan kepadanya keharaman perbuatan ini, maka beliau berkata kepada saya: Apakah cermin diharamkan?[3] Saya katakan kepada syaikh yang mulia tersebut: Ini merupakan qiyas (menyamakan) pada kasus yang ada perbedaan, hal itu karena gambar yang nampak pada cermin adalah gambar pantulan, dia tidak bisa tetap di cermin dengan peran tangan seperti dengan memberi warna dan membentuk. Adapun gambar lain yaitu film atau fotografi seperti yang disebut orang sifatnya membuat permanen gambar makhluk yang bernyawa di atas kertas atau ditampilkan dengan menetapkannya dulu, bukan bersifat pantulan seperti cermin. Jadi padanya terjadi perbuatan menggambar seperti mencuci film, mewarnai dan membentuk. Inilah menggambar yang diharamkan itu tanpa ada perbedaan antara yang menggunakan tangan dan yang menggunakan alat. Maka syaikh yang mulia tersebut diam tanpa mendebat.

Keempat: Ucapan mereka bahwa gambar televisi atau fotografi adalah ciptaan Allah sendiri, ini merupakan kesalahan. Karena tanpa diragukan lagi itu merupakan perbuatan menggambar dan menyaingi ciptaan Allah dan tidak bisa diqiyaskan dengan gambar cermin, sebagaimana dijelaskan pada bantahan ketiga. Tidakkah engkau melihat bahwa gambar-gambar tersebut tidak bisa berbicara, tidak makan dan tidak minum, sebagaimana Ibrahim ‘alahis salam berkata:

يَا أَبَتِ لِمَ تَعْبُدُ مَا لا يَسْمَعُ وَلا يُبْصِرُ وَلا يُغْنِي عَنْكَ شَيْئاً[مريم: 42]

“Wahai ayahku, mengapa engkau menyembah sesuatu yang tidak bisa mendengar, tidak bisa melihat, dan tidak berguna bagimu sedikitpun.” (QS. Maryam: 42)

Jadi, gambar-gambar tersebut tidak bisa mendengar, tidak bisa melihat, dan tidak bisa berbicara, lalu bagaimana bisa dikatakan bahwa itu adalah dzat ciptaan Allah?!

Maka tunjukkan sebuah gambar yang dibuat dengan alat kepada orang yang bisa bersikap adil dari mereka, dan katakan kepadanya: “Apakah ini gambar atau dzat ciptaan Allah?” Jika dia menjawab bahwa itu adalah gambar, maka tanyalah dia: “Haram atau boleh?” Jika dia menjawab boleh seperti gambar cermin, maka sampaikan hujjah kepadanya sebagaimana pada bantahan ketiga yang telah lalu.

Kelima: Ucapan mereka: Gambar dengan alat tidak boleh dikatakan haram karena alat yang membuatnya. Ini adalah ucapan yang salah, karena sesungguhnya alat di sini merupakan sarana untuk melakukan sesuatu yang diharamkan, dia tidak berfungsi kecuali dijalankan oleh orang, misalnya pena dan pewarna. Jadi, sebagaimana tidak boleh seseorang mengatakan bahwa yang melukis gambar-gambar makhluk yang bernyawa adalah pensil lukis, karena yang memegang adalah pelukis, demikian juga alat yang dipegang oleh orang yang mengambil gambar. Siapakah yang memfungsikannya hingga bisa mengambil gambar? Dan siapakah yang menjadikannya bekerja mengarah kepada manusia untuk mengambil gambar mereka, lalu bekerja dengan memasukkan dan mengeluarkannya hingga menjadi gambar? Al-Allamah Al-Albany telah membuat permisalan bagi mereka dengan pabrik boneka yang membuat patung. Maka, apakah seseorang akan ada yang mengatakan: “Alatlah yang memahat lalu membentuk gambar?!” Tidaklah ucapan ini kecuali seperti akal-akalan orang-orang Yahudi.

Keenam: Sesungguhnya mengambil gambar dengan alat adalah termasuk akal-akalan yang diharamkan untuk membolehkan membuat gambar. Jadi, mereka mengambil gambar dan mengatakan: Alatlah yang menggambar. Mereka juga mengatakan: Ini tidak lain kecuali seperti cermin, ini bukan zat ciptaan Allah… dan seterusnya. Adapun seorang ulama yang mencapai tingkatan mujtahid maka dia mendapatkan udzur.

An-Nasa’iy telah meriwayatkan di dalam Sunan-nya dengan sanad shahih dari jalan Ibnu Muhariz,[4] dia meriwayatkan hadits dari salah seorang shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi was salam dari Nabi shallallahu ‘alaihi was salam beliau bersabda:

يَشْرَبُ نَاسٌ مِنْ أُمَّتِي الْخَمْرَ يُسَمُّونَهَا بِغَيْرِ اسْمِهَا.

“Akan ada manusia dari umatku yang meminum khamer dan mereka menamakannya bukan dengan namanya.” (HR. An-Nasa’iy no. 5676)

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata di dalam catatan kaki Sunan Abu Dawud pada masalah hilah: “Juga telah diriwayatkan oleh Ibnu Baththah dan yang lainnya dengan sanad hasan dari Abu Hurairah bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi was salam bersabda:

لَا تَرْتَكِبُوْا مَا ارْتَكَبَ الْيَهُوْدُ فَتَسْتَحِلُّوْا مَحَارِمَ اللهِ بِأَدْنَى الْحِيَلِ.

“Janganlah kalian melakukan apa yang dilakukan oleh Yahudi sehingga kalian berusaha menghalalkan apa-apa yang Allah haramkan dengan akal-akalan yang rendah.”

Dan sanadnya termasuk yang dinilai shahih oleh At-Tirmidzy. Juga Nabi shallallahu ‘alaihi was salam telah bersabda:

لَعَنَ اللهُ الْيَهُوْدَ حُرِّمَتْ عَلَيْهِمْ الشُّحُوْمُ فَجَمَّلُوْهَا وَبَاعُوْهَا وَأَكَلُوْا أَثْمَانهَا.

“Allah telah melaknat Yahudi, ketika lemak diharamkan atas mereka, maka mereka menjadikannya sebagai minyak lalu mereka jual kemudian mereka makan hasil penjualannya.”

Maksud mereka menjadikannya minyak yaitu mencairkannya dan mencampurnya, mereka lakukan hal itu agar nama lemak hilang darinya dan muncul nama baru untuknya yaitu wadak. Dan hal itu tidak berguna untuk dijadikan akal-akalan, karena pengharaman mengikuti hakekat dan hakekat tidak akan berubah dengan berubahnya nama. Seperti riba, pengharamannya mengikuti makna dan hakekatnya, jadi tidak akan hilang keharamannya dengan perubahan nama dengan bentuk jual beli, sebagaimana pengharaman lemak tetap berlaku walaupun namanya diubah dengan bentuk pencairan, dan alhamdulillah ini adalah perkara yang jelas.

Alasan lain, sesungguhnya Yahudi tidak memanfaatkan lemak itu sendiri, mereka hanya memanfaatkan harga penjualannya. Maka siapapun yang hanya memperhatikan bentuk-bentuk akad dan lafazh-lafazhnya tanpa mengetahui tujuan dan hakekatnya, hendaknya dia tetap komitmen untuk meyakini keharamannya, karena Allah Ta’ala tidak menyebutkan nash yang menunjukkan keharaman hasil penjualan, tetapi hanya menyebutkan haramnya lemak dan ketika melaknat mereka itu karena mereka menganggap halal hasil penjualannya. Walaupun Allah tidak menyebutkan nash yang menunjukkan keharamannya, hal itu telah menunjukkan bahwa yang wajib adalah memperhatikan tujuan, walaupun sarana-sarana yang mengantarkannya berbeda-beda, dan hal itu juga menunjukkan konsekwensi jangan sampai yang menjadi tujuan adalah sesuatu itu sendiri dan tidak pula sesuatu itu namun telah dirubah bentuknya.

Yang semisal dengan ini seperti dengan mengatakan: Jangan mendekati harta anak yatim, lalu engkau jual harta itu dan engkau makan sebagai penggantinya! Atau dengan mengatakan: Jangan minum khamer, lalu engkau ganti namanya dan engkau meminumnya! Atau dengan mengatakan: Jangan berzina dengan wanita ini, lalu engkau melakukan akad sewa (atau seperti dengan nikah mut’ah -pent) dan engkau katakan, “Saya hanya bermaksud mencukupi kebutuhannya!” Dan yang semisalnya.

Para ulama mengatakan: Prinsip ini – yaitu haramnya upaya mengakali yang mengandung pembolehan hal-hal yang diharamkan oleh Allah atau menggugurkan sesuatu yang Allah wajibkan – memiliki lebih dari seratus dalil. Dan telah pasti shahihnya bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi was salam:

لَعَنَ الْمُحَلِّلَ وَالْمُحَلَّلَ لَهُ.

“Melaknat orang yang berusaha menghalalkan (agar seorang wanita bisa menikah kembali dengan suami sebelumnya setelah thalaq ketiga) dan juga pihak yang diusahakan.”

Padahal orang yang melakukannya dengan akad nikah yang sah, tetapi dilaknat karena tujuannya adalah menghalalkan (agar wanita yang dinikahinya bisa menikah lagi dengan suaminya yang sebelumnya), bukan karena ingin benar-benar menikah. Dan telah shahih riwayat dari para shahabat bahwa mereka menyebutnya sebagai pezina, dan mereka tidak melihat kepada bentuk akad nikahnya.” – selesai perkataan Ibnul Qayyim –

Ketujuh: Ucapan mereka bahwa mengambil gambar di televisi untuk ceramah terdapat maslahat dakwah padanya, ini bertentangan dengan perkataan sebagian ulama ushul yang menyatakan:

أَيُّ مَصْلَحَةٍ تُخَالِفُ الشَّرِيْعَةَ فَهِيَ مَصْلَحَةٌ مُلْغَاةٌ.

“Maslahat apapun, jika itu menyelisihi syariat, maka itu merupakan maslahat yang dibatalkan.”

Misalnya berobat dengan sesuatu yang diharamkan, berobat merupakan maslahat, hanya saja tatkala berobatnya dengan sesuatu yang diharamkan, maka maslahat tersebut dibatalkan. Hal ini berdasarkan riwayat Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu secara mauquf:

إِنَّ اللهَ لَمْ يَجْعَلْ شِفَاءَكُمْ فِيمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ.

“Sesungguhnya Allah tidak menjadikan obat untuk kalian pada hal-hal yang Dia haramkan atas kalian.”

Dan di dalam hadits disebutkan:

إِنَّ اللهَ خَلَقَ الدَّاءَ وَالدَّوَاءَ فَتَدَاوُوْا وَلَا تَتَدَاوُوْا بِحَرَامٍ.

“Sesungguhnya Allah menciptakan penyakit dan obatnya, maka berobatlah dan jangan berobat dengan sesuatu yang diharamkan!” (Ash-Shahihah no. 1633. Sanad yang pertama shahih dan yang kedua hasan, sebagaimana yang disebutkan oleh Al-Albany)

Kedelapan: Ucapan mereka bahwa mengambil gambar masayikh dengan tujuan dakwah mereka sesuatu yang sifatnya darurat adalah salah, bahkan paling puncaknya hanya dikatakan sebagai maslahat, sedangkan maslahat yang menyelisihi syariat maka dibatalkan sebagaimana baru saja dijelaskan.

Kesembilan: Tidak bisa dikatakan: Ketika bangkai dibolehkan karena darurat agar bisa tetap hidup, demikian pula mengambil gambar dibolehkan untuk dakwah.

Syaikhul Islam berkata sebagaimana disebutkan di dalam Al-Fatawa yang maknanya: “Jika berobat dengan sesuatu yang diharamkan yang ada kemungkinan bisa mendapatkan kesembuhan tetap tidak boleh dilakukan, karena itu berarti mendahulukan sesuatu yang sifatnya masih mungkin atas sesuatu yang pasti keharamannya. Adapun makan bagi orang yang lapar yang terpaksa karena takut mati maka yakin itu sebagai sebab bertahan hidup, jadi antara keduanya jelas berbeda.”[5]

Demikian juga mengambil gambar masayikh adalah perkara yang haram dengan meyakinkan pengharamannya. Adapun dakwah mereka kepada manusia mengandung kemungkinan diterima seperti sifat obat, sehingga tidak boleh mengambil gambar mereka karena hal itu berarti mendahulukan sesuatu yang sifatnya masih mungkin atas sesuatu yang pasti keharamannya.

Seandainya kita katakan bahwa orang-orang yang didakwahi dari para pemirsa adalah orang-orang yang sakit, tentu kita akan katakan pada pengambilan gambar para dai seperti yang kita katakan pada obat, sebagaimana yang dikatakan oleh Abdullah bin Mas’ud: Sesungguhnya Allah tidak menjadikan obat untuk kalian pada hal-hal yang Dia haramkan atas kalian.

Kesepuluh: Sesungguhnya banyak dijumpai sarana pengganti untuk menyebarkan dakwah, seperti majalah ilmiyah tanpa gambar, internet, surat-surat pribadi yang tertulis maupun lewat HP (sms/mms/email -pent), radio Al-Qur’an, buku-buku saku maupun kitab-kitab, buletin, khutbah-khutbah Jum’at, ceramah di masjid-masjid, berkunjung dan selainnya. Maka, kenapa hal-hal yang mubah ini ditinggalkan padahal sangat banyak hanya karena sesuatu yang haram?! Yaitu mengambil gambar yang pelakunya terlaknat.

Kesebelas: Saya pernah mengatakan kepada guru saya Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan: “Mengapa sebagian ulama membolehkan tampilnya masayikh di televisi?” Maka beliau menjawab yang maknanya kurang lebih: “Karena maslahat.”[6] Maka saya katakan kepada beliau: “Sesungguhnya awal syirik yang muncul di muka bumi adalah karena alasan maslahat. Yaitu waswas syetan terhadap kaum Nuh yang kurang lebih maknanya, ‘Buatlah patung-patung bagi orang-orang saleh kalian setelah kematian mereka agar kalian bisa mengingat ibadah mereka dan meneladani mereka.’ Ini merupakan maslahat, tetapi dibatalkan dan hakekatnya adalah bid’ah. Namun mereka melakukannya hingga patung-patung itu disembah.

Hal itu berdasarkan apa yang diriwayatkan oleh Al-Bukhary di dalam Shahih-nya dari jalan Ibnu Juraij dari Atha’ dari Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma:

صَارَتْ الْأَوْثَانُ الَّتِي كَانَتْ فِيْ قَوْمِ نُوْحٍ فِي الْعَرَبِ بَعْدُ. أَمَّا وَدٌّ كَانَتْ لِكَلْبٍ بِدَوْمَةِ الْجَنْدَلِ، وَأَمَّا سُوَاعٌ كَانَتْ لِهُذَيْلٍ، وَأَمَّا يَغُوْثُ فَكَانَتْ لِمُرَادٍ ثُمَّ لِبَنِيْ غُطَيْفٍ بِالْجَوْفِ عِنْدَ سَبَإٍ، وَأَمَّا يَعُوْقُ فَكَانَتْ لِهَمْدَانَ، وَأَمَّا نَسْرٌ فَكَانَتْ لِحِمْيَرَ لِآلِ ذِيْ الْكَلَاعِ. أَسْمَاءُ رِجَالٍ صَالِحِيْنَ مِنْ قَوْمِ نُوحٍ. فَلَمَّا هَلَكُوْا أَوْحَى الشَّيْطَانُ إِلَى قَوْمِهِمْ أَنْ انْصِبُوْا إِلَى مَجَالِسِهِمْ الَّتِيْ كَانُوا يَجْلِسُوْنَ أَنْصَابًا وَسَمُّوهَا بِأَسْمَائِهِمْ. فَفَعَلُوْا فَلَمْ تُعْبَدْ، حَتَّى إِذَا هَلَكَ أُوْلَئِكَ وَتَنَسَّخَ الْعِلْمُ عُبِدَتْ.

“Berhala-berhala yang dahulu ada di kaum Nuh jatuh ke tangan orang-orang Arab. Adapun Wadd adalah milik kabilah Kalb di daerah Daumatul Jandal, semetara Suwa’ adalah milik kabilah Hudzail, sementara Yaghuts milik kabilah Murad yang kemudian menjadi milik bani Ghuthaif di daerah Jauf di wilayah Saba’, sedangkan Ya’uq milik kabilah Hamdan dan berhala Nasr milik kabilah Himyar dari keluarga Dzul Kala’. Itu adalah nama-nama orang-orang shalih dari kaum Nuh. Ketika mereka mati, syetan membisikkan kepada kaum mereka agar membuat patung di majelis yang biasa mereka adakan dan agar menamakannya dengan nama-nama mereka. Mereka pun melakukannya dan ketika itu patung-patung itu belum di sembah. Ketika generasi mereka berahir dan ilmu telah dilupakan ahirnya patung-patung itu di sembah.”

MAKA ASY-SYAIKH SHALIH AL-FAUZAN HAFIZHAHULLAH SEPAKAT SERAYA BERKATA: “ALLAHUL MUSTA’AN, ALLAHUL MUSTA’AN.

SAYA SEBUTKAN JUGA SYUBHAT-SYUBHAT MEREKA KEPADA BELIAU, MAKA BELIAU MENJAWAB: “ITU SEMUA SALAH.” DAN BELIAU -SEMOGA ALLAH MENINGGIKAN DERAJAT BELIAU- KOMITMEN UNTUK TIDAK TAMPIL LAGI LAYAR TELEVISI, KECUALI YANG DILAKUKAN OLEH SEBAGIAN STASIUN TELEVISI TANPA SEIZIN BELIAU.

Kedua belas: Asy-Syaikh Al-Allamah Al-Albany rahimahullah menyebutkan bahwa mengambil gambar masayikh di televisi dan tampilnya mereka merupakan sarana yang bisa menyebabkan riya’. Beliau mengatakan: “Dengan tampilnya seakan-akan dia mengatakan, ‘Lihatlah, ini lho saya!”[7] Mungkin Asy-Syaikh mengkhususkan televisi sebagai sarana riya -dimana beliau sendiri melarang tampil di televisi walaupun untuk ceramah dan semisalnya- karena jiwa orang-orang awam sebagaimana telah diketahui akan memperhatikan siapa yang akan tampil di televisi dan akan memandangnya dengan pandangan khusus yang menunjukkan pemuliaan, wallahu a’lam.

Dan termasuk yang melarang sarana-sarana yang bisa mengantarkan kepada riya’ adalah imam dunia di masanya, yaitu Ahmad bin Hanbal. Beliau berpendapat bahwa memegang tempat tinta bagi seorang penuntut ilmu di hadapan manusia merupakan riya’, maksud beliau sarana yang bisa menyeret kepadanya.

Ketigabelas: Sesungguhnya Allah tidak ditaati dengan cara didurhakai. Jadi, menggambar merupakan maksiat, maka bagaimana mungkin tergambar ketaatan kepada Allah dengan cara melakukan kemaksiatan tersebut?! Syaikhul Islam berkata sebagaimana disebutkan di dalam Majmu’ Al-Fatawa: “Sesungguhnya Allah tidaklah mengharamkan sesuatu kecuali padanya terdapat kerusakan yang lebih dominan dibandingkan maslahatnya, sebagaimana Allah mengharamkan khamer karena dosanya lebih besar dibandingkan manfaatnya, dan diharamkan berobat dengan khamer walaupun padanya terdapat maslahat, tetapi dibatalkan sebagaimana telah lalu penjelasannya.”

Keempatbelas: Ketika seorang penanya diutus kepada Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah dengan mengatakan yang kurang lebih maknanya[8] sebagai berikut: “Kami bersama-sama menggunakan sorbus[9] maka jika bagiannya yang memabukkan diletakkan di kepala kami maka kami jadi teringat untuk berdzikir dan hal itu menjadi mudah bagi kami,[10] maka orang yang menggunakannya akan dikenai hukuman hadd terhadap peminum khamer?”

Beliau menjawab: “Ya, dikenai hukuman hadd peminum khamer…” hingga perkataan beliau: “Dan celaka bagi penanya, apakah dia menyangka bahwa Allah mengharamkan sesuatu padahal padanya ada manfaatnya?!”[11] Maka kita katakan kepada para masayikh yang diambil gambarnya: “Semoga Allah memberi hidayah kepada kami dan kalian, apakah kalian menyangka bahwa Allah mengharamkan menggambar dengan sekeras-kerasnya sampai-sampai Nabi shallallahu ‘alaihi was salam bersabda:

أَشَدُّ النَّاسِ عَذَابًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ الَّذِينَ يُضَاهُوْنَ بِخَلْقِ اللهِ.

“Manusia yang paling keras siksaannya pada hari kiamat nanti adalah orang-orang yang suka menandingi ciptaan Allah.” (HR. Bukhari no. 5954 -pent)

Lalu Dia menjadikan manfaat yang rajih pada sesuatu yang Dia haramkan kemudian digunakan untuk mendakwahkan agama Allah, padahal diterimanya dakwah sifatnya hanya mungkin, sedangkan pengharaman menggambar sifatnya meyakinkan, dan tidak bisa disamakan dengan memakan bangkai (ketika terpaksa) yang biasanya bisa untuk bertahan hidup.

Bagaimana cara kalian memutuskan masalah, padahal berobat dengan sesuatu yang diharamkan hukumnya haram dan maslahatnya dibatalkan. Dan sebagaimana perkataan Ibnu Taimiyyah, syariat ini datang membawa hal-hal yang semisal,[12] sehingga tidak boleh membedakan dua hal yang semisal sebagimana tidak boleh menyatukan dua hal yang berlawanan.

Kelima belas: Jika ada seseorang mengatakan: Tapi kan sebagian ulama ada yang membolehkannya! Kita katakan kepada mereka: Di sana ada juga para ulama yang mengharamkannya, maka kenapa kalian menjadikan ulama kalian sebagai hujjah untuk membantah ulama kami?! Padahal Rabb kita telah berfirman:

وَمَا اخْتَلَفْتُمْ فِيْهِ مِنْ شَيْءٍ فَحُكْمُهُ إِلَى اللهِ. [الشورى: 10]

“Dan apapun yang kalian perselisihkan maka hukumnya dikembalikan kepada Allah.” (QS. Asy-Syura: 10)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: Jika para ulama berbeda pendapat, jangan menjadikan pendapat sebagian mereka sebagai hujjah untuk membantah ulama yang lain kecuali dengan dalil-dalil syariat.

Keenam belas: Alasan yang mereka sebutkan untuk membolehkan mengambil gambar ceramah ilmiyah para masayikh, seandainya alasan ini diterima maka akan membuka pintu perkara-perkara yang diharamkan dan bid’ah-bid’ah dengan selebar-lebarnya. Maka, wajib atas mereka untuk melarang menggunakannya sebagai alasan, walaupun sebagai tindakan preventif (pencegahan). Karena muncul orang suka berdusta dengan dalih untuk maslahat dakwah, juga ada yang mencukur jenggotnya dengan dalih untuk maslahat dakwah seperti yang dilakukan oleh Amr Khalid Al-Mishry, bahkan ada yang membuat sandiwara dengan dalih untuk maslahat dakwah. Dan ini sebagaimana yang dikatakan oleh sebagian ulama: “Janganlah engkau melakukan penakwilan-penakwilan yang rusak!”

Ketujuh belas: Apa bedanya orang yang berdusta untuk maslahat dakwah dengan dalih bahwa dusta diperbolehkan pada tiga keadaan, diantaranya untuk memperbaiki hubungan, dengan orang yang mengambil gambar untuk tujuan dakwah dengan dalih boneka Aisyah?![13]

Maka jika hal itu telah jelas, hendaklah para dai berpaling kepada sarana-sarana yang Allah perbolehkan, seperti radio, majalah ilmiah, kaset, risalah dan yang lainnya, karena banyak jenisnya walhamdulillah. Dan hendaklah mereka meninggalkan perlombaan dengan orang-orang jahat dalam bermaksiat terhadap Rabb mereka dengan cara mengambil gambar yang menjadi sebab munculnya kesyirikan di muka bumi dengan dalih untuk maslahat.

Kemudian, sesungguhnya pembicaraan kami ini ditujukan kepada siapa saja yang mengetahui al-Haq, namun nekat melakukan penakwilan-penakwilan yang dia ketahui itu bathil. Adapun para ulama, maka cukup bagi kita untuk memberikan udzur bagi mereka dengan risalah Syaikhul Islam “Raf’ul Malam anil Aimmatil A’lam, wallahul musta’an.

SYUBHAT-SYUBHAT DAN BANTAHANNYA[14]

1)      Jika ada yang mengatakan: Yang berbeda pendapat dengan engkau di sini adalah para masayikh dan para penuntut ilmu, jadi mereka bukan orang awam sehingga perhatikan perbedaan ini. Maka, judul makalah Anda “Tidak mentaati Allah dengan cara bermaksiat kepada-Nya” adalah judul yang salah. Karena mereka tidak terima sedikit pun kepada Anda dengan menyatakan bahwa ini (mengambil gambar menggambar -pent) adalah maksiat.

Jawabannya: Telah saya sebutkan bahwa sesungguhnya pembicaraan saya ini ditujukan kepada orang yang melakukan penakwilan-penakwilan rusak. Dan telah muncul di berbagai stasiun televisi orang yang suka mencela para ulama. Adapun para masayikh, maka cukup bagi kita untuk memberikan udzur bagi mereka dengan risalah Syaikhul Islam “Raf’ul Malam anil Aimmatil A’lam

Dan bukan keharusan jika seseorang menyelisihi seorang ulama lalu tidak boleh dimutlakkan lafazh maksiat terhadap pendapatnya, perhatikan baik-baik semoga Allah memberimu hidayah. Contohnya Abu Hanifah berpendapat bahwa aqiqah termasuk perkara-perkara jahiliyah. Maka Ibnu Qudamah membantahnya dengan mengatakan: “Ini menunjukkan sedikitnya pengetahuan beliau tentang riwayat hadits.” Padahal terdapat riwayat shahih yang menunjukkan bahwa itu termasuk As-Sunnah. Jadi, perkataan beliau merupakan maksiat tanpa diragukan lagi. Namun tidak mengharuskan mencela beliau karena beliau memiliki alat (seorang mujtahid -pent) sebagimana yang telah saya sebutkan di tengah-tengah pembicaraan saya ini.

Para pengikut madzhab Malik membolehkan makan daging hewan buas, padahal ini merupakan maksiat. Dan seandainya kita menghitung pendapat yang salah semacam ini, niscaya akan banyak kita dapatkan.

Dan sebagai contoh terakhir; Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah mengatakan: Aurat wanita di hadapan wanita adalah dari pusar hingga lutut. Pendapat beliau ini bertentangan dengan ayat dalam surat An-Nuur. Sampai Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan berkata: “Saya cari-cari asal pendapat ini, namun saya tidak mendapatinya ada asalnya.

Saya katakan: Asy-Syaikh (Ibnu Baz) rahimahullah mendapatkan udzur dan tidak harus menyalahkan dengan menyatakan bahwa beliau terburu-buru (dalam berfatwa -pent). Tinggalkan tuduhan-tuduhan itu jika tidak dibangun di atas hujjah, karena itu hanya omong kosong.

Dan saya ingatkan bahwa Ibnu Abdil Barr berkata: Tidak berdalil dengan perselisihan kecuali orang yang bodoh.

syubhat halabiyun firanda.

Gambar 6. Screenshot syubhat berdalih dengan adanya khilaf tanpa membedakan antara yang kuat dari yang lemah

Saya juga berharap engkau tidak berpendapat bolehnya mengambil kedua-duanya (dua pendapat yang diperselisihkan -pent), karena sesungguhnya ini kebiasaan Al-Ikhwanul Muslimun, juga meremehkan dan tidak membedakan antara perselisihan yang lemah dan yang kuat.

2)      Jika ada yang berkata: Sesungguhnya masalah ini termasuk masalah masyhur yang diperselisihkan di masa ini, maka sepantasnya mentarjih salah satu dari dua pendapat ini dengan dalil, tanpa perkataan yang mencela pihak lain, karena masing-masing tidak lepas dari satu (jika salah -pent) atau dua (jika benar) pahala.

Jawabannya: Saya katakan:

وَلَيْسَ كُلُّ خِلافٍ جَاءَ مُعْتَبَرٌ              إِلَّا مَا كَانَ لَهُ حَظٌّ مِنْ النَّظَرِ.

Tidak semua perbedaan pendapat yang muncul itu teranggap

Kecuali yang memang layak untuk diperhatikan

Dan saya telah menyebutkan bahwa pembicaraan ini saya tujukan kepada orang yang melakukan penakwilan-penakwilan yang rusak dan bukan kepada para ulama yang mulia, dan telah saya jelaskan bahwa cukup bagi dengan risalah Raf’ul Malam.

Sedangkan perkataanmu: Tarjih dengan dalil maka telah saya rajihkan. Jadi, atas dasar apa merasa goncang terhadap pengingkaran saya kepada orang yang melakukan penakwilan-penakwilan yang rusak yang diketahui bahwa itu bathil dan berdalih untuk membelanya dengan sisi-sisi pendalilan yang rusak pula?!

3)      Jika ada yang mengatakan: Diharamkannya menggambar adalah dalam rangka tindakan preventif, dan sesuatu yang dilarang karena tindakan preventif boleh dilakukan jika maslahat yang lebih dominan terealisasi. Oleh karena itulah syariat mengizinkan mainan dengan boneka bagi anak-anak perempuan, lalu bagaimana dengan perkara yang berkaitan dengan dakwah kepada tauhid atau dasar-dasar Islam?

Jawabannya: Apa dalil dari klaim ini bahwa menggambar dilarang karena dalam rangka tindakan preventif saja? Sesungguhnya alasan ini yang memungkinkan lebih tepatnya adalah sebagai salah satu dari alasan-alasan lain yang ada. Alasan yang kedua adalah menandingi penciptaan Allah sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi was salam meriwayatkan dari Rabb-nya (hadits qudsi):

وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنْ ذَهَبَ يَخْلُقُ كَخَلْقِيْ، فَلْيَخْلُقُوْا حَبَّةً وَليَخْلُقُوْا ذَرَّةً.

 “Siapakah yang lebih zhalim daripada orang yang mencipta seperti ciptaan-Ku. Coba mereka menciptakan biji dan hendaklah mereka menciptakan jagung (jika mereka memang mampu)!” (HR. Bukhari no. 5953 -pent)

Dan seandainya engkau perhatikan dengan seksama dan engkau tidak terburu-buru, niscaya engkau akan mengambil dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi was salam yang telah bersabda:

أَشَدُّ النَّاسِ عَذَابًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ الَّذِيْنَ يُضاهُوْنَ بِخَلْقِ اللهِ.

“Manusia yang paling keras siksaannya pada hari kiamat adalah orang-orang yang suka menandingi ciptaan Allah.” (HR. Bukhari no. 5954 -pent)

Jadi alasan yang lain adalah meniru-niru penciptaan Allah, dan ini lebih besar lagi dosanya.

4)      Jika ada yang mengatakan: “Apa yang dilarang oleh syariat, boleh dilakukan untuk maslahat jika termasuk tindakan preventif.”

Jawaban: Butuh pembahasan rinci sebelum engkau berbicara lebih jauh, karena sesungguhnya hal itu berlaku jika maslahat lebih dominan, adapun jika maslahatnya tidak dominan maka tidak berlaku dan ketika itu dinamakan maslahat yang dibatalkan. Misalnya mencukur jenggot dilarang karena merupakan bentuk tasaybbuh (meniru-niru) orang-orang musyrik, maka apakah boleh mencukurnya dengan dalih untuk maslahat dakwah? Jadi tolong pembicaraan dalam masalah tersebut didudukkan dengan jelas dulu. Bahkan bisa dikatakan hal ini juga tergambar pada shalat di Masjid Nabawi padahal di dalamnya ada kuburan, padahal shalat di Masjid Nabawi pahalanya seribu kali lipat, ini jika kita anggap bahwa Masjid tersebut di dalamnya masih ada kuburannya dan kuburannya tidak keluar dari masjid walaupun telah diberi dinding pembatas. Dan maslahat yang mana yang diraih pada menggambar yang diharamkan karena lebih dari satu alasan, padahal sarana-sarana dakwah yang lain baik yang berupa tulisan maupun audio sangat banyak?! Apalagi menggambar diharamkan juga karena alasan menandingi ciptaan Allah sebagaimana yang telah kami sebutkan, maka perhatikanlah dengan baik.

Kemudian, sebagaimana yang dipahami dari perkataan Al-Hulaimy sesungguhnya boneka Aisyah tidak ada keharusan berbentuk memiliki kepala seperti yang ada pada hari ini[15] sehingga qiyas tidak tepat digunakan -semoga Allah memberimu hidayah-, jadi bagaimana sebuah alasan yang dia sendiri masih diperselisihkan asalnya engkau jadikan sebagai alasan untuk membatalkan hukum?! Apakah hal ini boleh menurut ulama ahli ushul?! Jadi, bentuk gambar-gambar itu masih diperselisihkan sehingga harus dibuang alasan berdasarkan kaedah: “Syariat jika melarang sesuatu dan mengecualikan, kita hanya boleh melakukan pada sesuatu yang dikecualikan hingga nampak alasan yang tidak ada perselisihan padanya atau dalil yang menunjukkan bisa dibuangnya alasan tersebut.” Oleh karena itulah ketika dusta diharamkan dan dikecualikan tiga macam dusta, tidak halal bagi Al-Ikhwan Al-Muslimun untuk membuang alasan dengan menyatakan: “Dusta boleh untuk maslahat.”

Syariat juga datang dengan hal-hal yang semisal, sehingga dua hal yang semisal tidak boleh dibedakan hukumnya. Jadi apa bedanya antara masalah berdusta dengan menggambar yang diharamkan?!

Dan saya telah menyebutkan bahwa syariat tidak mungkin mengharamkan sesuatu yang padanya terdapat maslahat[16] sebagimana penjelasan Ibnu Taimiyyah kecuali dengan alasan yang tidak diperselisihkan, dan manakah alasan itu kalau ada?

5)      Jika ada yang mengatakan: Perkataan Anda bahwa Asy-Syaikh Al-Albany mengharamkan tampil di televisi bagi para dai secara mutlak tidaklah benar, bahkan beliau membolehkan untuk mengajar yang tidak bisa dilakukan kecuali dengan melihat, seperti manasik haji dan umrah, apalagi ada masayikh yang membolehkan menggambar secara mutlak seperti Al-Luhaidan, Ibnu Utsaimin, Ibnu Mani’ dan masayikh lain.

Jawabannya: Ini merupakan kesalahan Anda, karena sesungguhnya saya mendengar -pendengaran saya tidak salah insyaAllah beliau melarang tampilnya para dai untuk ceramah dan semisalnya. Adapun tentang haji saya tidak mendengarnya. Dan seandainya beliau memang mengatakannya maka perkataan beliau terbatas pada yang beliau anggap boleh,[17] tidak termasuk yang kita permasalahkan yang telah beliau larang dan beliau mengatakan: Itu merupakan sarana yang menyeret kepada riya’. Yaitu tampilnya para masayikh di televisi. Beliau menjelaskan: “Dengan tampilnya seakan-akan dia mengatakan, ‘Lihatlah, ini lho saya! sebagaimana beliau juga menganggapnya sebagai gambar.

Dan saya mendengar dan mengetahui bahwa beliau membedakan tampil (di telivisi) untuk ceramah (terlarang) dengan mengambil gambar untuk tujuan selainnya karena maslahat. Dan kesalahan ini muncul karena engkau tidak mendengar beliau membedakan. Dan orang yang hafal menjadi hujjah bagi yang tidak hafal.

Adapun tentang masayikh yang membolehkan, maka ini sebagaimana perkataan Ibnu Taimiyyah: “Janganlah pendapat seorang ulama dijadikan hujjah untuk menyalahkan ulama lain kecuali dengan dalil-dalil syariat.

Al-Allamah Ibnu Utsaimin berkata: “Tidak perlu istikharah kecuali orang yang ragu-ragu.” Padahal nash hadits menyatakan: “Jika salah seorang diantara kalian ingin melakukan sebuah perkara…” dan tidak menyebutkan jika ragu-ragu, jadi alasannya bukan karena ragu-ragu, tetapi karena tidak mengetahui akibat. Lalu apakah engkau akan tetap mengatakan: “Jika orang orang yang beristikharah ragu-ragu?! Beliau rahimahullah juga berkata bahwa kepala dari sebuah gambar itu jika tetap ada maka tidak mengapa, padahal Ar-Rasul shallallahu alaihi was salam bersabda:

اَلصُّوْرَةٌ الرَّأْسُ، فَإِذَا قُطِعَ الرَّأْسُ فَلاَ صُوْرَةٌ.

“Gambar itu adalah kepala, jika kepalanya dihilangkan maka tidak lagi disebut gambar.” (As-Silsilah Ash-Shahihah no. 1921 -pent)

Maksudnya jika tinggal badan saja. Adapun kepala maka perkataan beliau menunjukkan hanya membatasi padanya saja, jadi yang maksud dari kepala adalah jika dia lenyap dari badan maka badan tidak dinamakan sebagai gambar dan nama gambar tetap melekat pada kepala.

(Pernyataan Al Allamah Ibnu Utsaimin rahimahullah yang dimaksud adalah ketika beliau menjelaskan hadits dalam riwayat Bukhari no.63 yang artinya “Orang yang menggambar pada hari kiamat nanti akan diperintah untuk meniupkan ruh ke gambar-gambar yang dibuatnya di dunia padahal dia tidak akan mampu melakukannya”: “Hadits ini menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan menggambar adalah menggambar jasad secara sempurna, atas dasar ini kalau seseorang menggambar kepala saja tanpa badan atau badan saja tanpa kepala maka yang nampak adalah boleh. Dan hal itu dikuatkan dengan apa yang telah lalu dari hadits yang menyebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi was salam bersabda (artinya) “perintahkanlah untuk memotong kepala patung” dan beliau tidak mengatakan perintahkanlah untuk menghancurkannya, hanya saja menggambar kepala saja saya masih ragu-ragu mengenai hukumnya. Adapun menggambar bagian badan yang lain tanpa kepala maka itu seperti menggambar pohon, saya tidak ragu lagi tentangnya.” Al Qaulul Mufid Syarah Kitabut Tauhid, Juz 2, hal.281, cetakan 1, terbitan Darul Aqidah, th.1425H – pent.)

Beliau juga berkata: “Orang yang berumrah boleh melakukan thawaf wada’.”[18] Padahal hadits tentang ini riwayatnya mungkar. Karena pertanyaan di dalam hadits Ya’la bin Umayyah[19] adalah tentang larangan-larangan ihram, dan bukan tentang manasik hingga bisa dijadikan dalil.

TUJUAN DI SINI BUKANLAH UNTUK MENAMPAKKAN KESALAHAN, TETAPI HANYA UNTUK MENJELASKAN BAHWA PARA ULAMA BISA SALAH DAN BISA BENAR SEHINGGA JANGANLAH PENDAPAT SEORANG ULAMA DIJADIKAN HUJJAH UNTUK MENYALAHKAN ULAMA LAIN KECUALI DENGAN DALIL-DALIL SYARIAT.

6)      Jika ada yang menyatakan: “Perkataan Anda bahwa perbedaan antara video dan cermin adalah kalau gambar cermin sifatnya tidak tetap, apakah perbedaan ini berpengaruh pada hukum, maksudnya apakah syariat mengaitkan pengharaman dengan tetap atau tidaknya gambar. Atas dasar ini mengharuskan Anda untuk membolehkan gambar yang disiarkan lewat udara secara langsung karena itu sifatnya tidak tetap.”

Jawabannya: Memang, Al-Allamah Al-Albany mengatakan bahwa gambar yang disiarkan lewat udara secara langsung adalah seperti cermin, yaitu cermin sementara karena temporer dan tidak tetap, dia hanyalah menjadi gambar tetap -menurut beliau- jika direkam sehingga menjadi gambar yang diharamkan, maka perhatikanlah baik-baik!

Kaum Nuh dibinasakan disebabkan gambar-gambar yang tetap, lalu syetan menghiasi perbuatan mereka sehingga gambar-gambar itu disembah. Adapun gambar di atas air atau di cermin maka tidak seperti itu sifatnya. Yang disertakan hukumnya adalah CCTV yang dipasang di pintu rumah untuk memantau orang yang masuk. Ini menurut beliau seperti cermin sehingga tidak mengapa. Tetapi orang-orang itu di stasiun-stasiun televisi merekamnya sehingga menjadi gambar-gambar yang sifatnya tidak sama yang ada pada cermin, jadi tidak bisa diqiyaskan.

Sebagaimana dimaklumi pada proses temporer yang cepat yang sifatnya pantulan bagi gambar bernyawa dan juga gambar yang sifatnya tidak tetap pada cermin, dimaklumi pula siaran langsung menurut Asy-Syaikh Al-Albany, karena mengqiyaskan dengan syarat tidak terekam dalam kaset, sebagaimana dikatakan pada gambar cermin yang gambar pantulannya yang berwarna sifatnya tidak tetap. Jadi menyalahkan Asy-Syaikh dari sisi ini karena menganggap pengambilan gambar lewat udara yang melewati beberapa tahapan adalah pengambilan gambar yang sifatnya tetap, ini merupakan  kesalahan, jadi perhatikanlah dengan baik-baik.

Dan jika Asy-Syaikh Al-Albany mengetahui bahwa ceramah beliau akan direkam dan menjadi gambar tetap, maka sudah sepantasnya beliau menolak karena hal itu termasuk membantu menggambar yang diharamkan. Hanya saja ada udzur bagi ulama yang melakukannya sebagaimana yang telah kami sebutkan alasannya sebagaimana hal itu telah diketahui, kecuali seseorang yang suka mendebat dengan kebathilan.

7)      Jika ada yang mengatakan: Anda mengatakan bahwa gambar video langsung adalah seperti cermin menurut Asy-Syaikh Al-Albany, tetapi saya tidak menerima pendapat Anda jika gambar video bukan perbuatan menandingi ciptaan Allah karena Anda sendiri mengatakan bahwa gambar cermin bukan perbuatan menandingi ciptaan Allah, padahal gambar video tidak berbeda dengan gambar cermin.

Jawabannya: Semoga Allah memberimu hidayah, di sana ada perbedaan yang tidak diingkari oleh seorang pun, yaitu bahwa gambar cermin tidak tetap sifatnya sedangkan gambar video tetap sifatnya. Dan kaum Nuh telah dibinasakan dengan gambar-gambar yang sifatnya tetap lalu syetan menghiasi perbuatan buruk mereka kemudian gambar-gambar itu disembah. Dan saya katakan: tidak ada sama sekali seorang ulama pun yang menyatakan bahwa gambar cermin adalah gambar yang haram hingga engkau menganggap itu sebagai bentuk menandingi ciptaan Allah. Yang bisa dilarang karena alasan menandingi ciptaan Allah adalah gambar-gambar yang diharamkan yang sifatnya telah dijelaskan, sama saja yang dilukis dengan tangan atau yang menggunakan alat. Dan Al-Allamah Al-Albany telah menyebutkan bahwa gambar yang dibuat dengan alat lebih besar keharamannya dibandingkan dengan yang dilukis menggunakan tangan, karena lebih besar bentuk menandingi ciptaan Allah. Renungkanlah dengan baik-baik!

Dan gambar cermin dimaklumi berdasarkan pendapat semua ulama sehingga tidak sepantasnya memperselisihkannya, maka bagaimana bisa diqiyaskan dengan gambar yang sifatnya tetap dengan alat?! Yang bisa itu diqiyaskan dengan gambar yang sifat tetapnya tidak pernah terkumpul, sebagaimana hal itu yang dilakukan oleh Asy-Syaikh Al-Albany rahimahullah, jadi ini yang lebih dekat kepada kebenaran.

Dan perbedaan antara menandingi ciptaan Allah dengan cara menggambar menggunakan tangan dan alat dengan pantulan yang tidak dinamakan menggambar dan tidak pula disebut menandingi ciptaan Allah sangat jelas dan terang. Yang pertama disebut menggambar, sedangkan yang kedua hanya pantulan dan tidak terjadi pengambilan gambar. Oleh karena itu saya katakan: di sana terdapat hubungan erat yang tidak terpisahkan antara menggambar dan menandingi ciptaan Allah, kalau tidak demikian maka jika kita katakan bahwa berdiri di hadapan cermin merupakan perbuatan menandingi ciptaan Allah, niscaya kita menyelisihi ijma’ ummat ini. Jadi gambar cermin hanya pantulan dan tidak ditahan dengan pengambilan gambar yang diharamkan, sehingga sangat beda antara keduanya. Dan jika dianggap sama, niscaya orang yang berdiri di depan cermin berhak mendapatkan ancaman dengan hadits:

إِنَّ أَصْحَابِ هَذِهِ الصُّوَرَ يُعَذَّبُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يُقَالُ لَهُمْ أَحْيُوا مَا خَلَقْتُمْ.

“Sesungguhnya orang-orang yang membuat gambar-gambar akan disiksa pada hari kiamat. Akan dikatakan kepada mereka, “Hidupkanlah apa yang kalian ciptakan.” (HR. Al-Bukhary no. 5961 dan Muslim no. 2017 -pent)

Dan balasan itu sesuatu dengan jenis amal, ketika dia menandingi ciptaan Allah maka dia disiksa dengan perintah yang mustahil untuk dilakukan.

Hanya saja jika pantulan yang dihasilkan cermin dibentuk sedemikian rupa, diberi warna dan dijelaskan tanda-tandanya dengan tangan sebagaimana yang terjadi pada perbuatan menggambar dengan tangan atau dengan alat[20] berupa mewarnai dan mangafdruk, maka hal itu dinamakan tindakan menandingi ciptaan Allah.

Dan cermin itu walaupun pantulannya dinamakan gambar, namun tidak mengharuskan diharamkan. Hal ini seperti sabda Rasulullah shallallahu alaihi was salam:

إِنَّ أَوَّلَ زُمْرَةٍ يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ عَلَى صُوْرَةِ الْقَمَرِ لَيْلَةَ الْبَدْرِ.

“Sesungguhnya rombongan pertama yang masuk ke jannah wajah mereka seperti bulan di malam purnama…” (HR. Muslim no. 2834 -pent)

8)    Jika ada yang mengatakan: Anda menyatakan bahwa menggambar membutuhkan proses afdruk dan lainnya. Maka jawabannya dari beberapa sisi:

Pertama: Sesungguhnya gambar digital tidak membutuhkan proses afdruk sama sekali dan juga tidak membutuhkan proses lain, dia bisa langsung menyimpan gambar Anda di kamera.

Kedua: Sebagaimana Asy-Syaikh Al-Albany rahimahullah mengatakan dan Anda wahai Syaikh Mahir menyepakatinya bahwa siaran langsung merupakan cermin bertingkat, maka demikian pula kamera adalah cermin bertingkat.

Kami jawab: Siapa yang ingin mengqiyaskan kamera dan televisi dengan cermin maka sesungguhnya dia ingin mengumpulkan dua hal yang berbeda. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah: “Syariat ini datang membawa hal-hal yang semisal, sehingga tidak membedakan dua hal yang semisal sebagimana syariat juga tidak mengumpulkan dua hal yang berbeda.”[21] Dan ini merupakan qiyas pada sesuatu yang ada perbedaannya. Maka janganlah kebenaran terancukan bagi Anda dengan kebathilan wahai pembaca yang mulia.

Jadi yang ada pada cermin adalah gambar pantulan. Adapun kamera dan televisi maka gambarnya bersifat tetap pada kertas dan kaset (atau memori lainnya -pent) dan bisa disatukan dalm satu file kapan saja bisa ditayangkan di televisi yang merekamnya. Seperti kertas yang diatur sedemikian rupa gambar bernyawa di atasnya dengan warna yang tidak kelihatan, kemudian ditambahkan pada zat-zat kimia sehingga akan nampak kapan saja dia dicampurkan padanya. Maka dengan itulah cara menayangkan apa yang telah digambar dan itu merupakan perbuatan menggambar dan menandingi ciptaan Allah. Sedangkan gambar cermin adalah pantulan dan bukan menandingi ciptaan Allah, dan mengqiyaskannya adalah pada sesuatu yang berbeda.[22]

والله أعلم والحمد لله رب العالمين والعاقبة للمتقين.

والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته…

Ditulis oleh: Abu Abdillah Mahir bin Zhafir bin Abdillah Al-Qahthany

Semoga Allah mengampuninya dan kedua orang tuanya

http://www.ajurry.com/research/Do3at-TV.zip

 http://www.al-sunan.org/vb/showthread.php?t=208

 http://www.el-houda.org/showthread.php?t=581&page=4

[1] Dan ini merupakan pendapat jumhur ulama.

[2] Demikian juga pendapat Asy-Syaikh Al-Fauzan.

[3] Beliau ingin mengqiyaskan gambar televisi dengan gambar cermin, dan inilah yang dinamakan oleh manusia -semoga Allah mengampuni mereka- dengan “menahan bayangan” dengan berdalih bahwa ini bukan membuat gambar. Ini bukan gambar, hanya menahan bayangan. Jadi, mereka tidak membedakan antara gambar tersebut dengan gambar cermin.

[4] Saya (Asy-Syaikh Mahir Al-Qahthany) katakan: Ibnu Muhairiz tidak disebutkan oleh Al-Hafizh (Ibnu Hajar) sebagai seorang mudallis. Al-Albany berkata: “Shahih.”

[5] Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah ditanya: Bolehkah berobat dengan khamer?

Beliau menjawab: Berobat dengan khamer haram hukumnya berdasarkan nash Rasulullah shallallahu ‘alaihi was salam dan jumhur ulama berpendapat demikian. Telah tetap dari beliau di dalam kitab Ash-Shahih bahwa beliau ditanya tentang khamer yang digunakan untuk obat, maka beliau menjawab:

‏إِنَّهَا دَاءٌ وَلَيْسَتْ بِدَوَاءِ.‏

“Sesungguhnya itu adalah penyakit dan bukan obat.” (HR. Muslim no. 1984 dengan lafazh mudzakkar -pent)

Dan di dalam kitab As-Sunan disebutkan dari beliau bahwa beliau melarang berobat dengan sesuatu yang buruk (Abu Dawud no. 3870 dan Al-Albany menilainya shahih, juga diriwayatkan oleh At-Tirmidzy dan Ibnu Majah -pent). Dan Ibnu Mas’ud berkata: “Sesungguhnya Allah tidak menjadikan obat untuk kalian pada hal-hal yang Dia haramkan atas kalian.” Dan Ibnu Hibban meriwayatkan di dalam Shahih-nya dari Nabi shallallahu alaihi was salam beliau bersabda:

‏إِنَّ اللهَ لَمْ يَجْعَلْ شِفَاءَ أُمَّتِّي فِيْمَا حَرَّمَ عَلَيْهَا.

“Sesungguhnya Allah tidak menjadikan kesembuhan umatku pada apa-apa yang Dia haramkan atas mereka.”

Dan di dalam As-Sunan disebutkan bahwa beliau ditanya tentang katak yang digunakan untuk obat, maka beliau melarangnya (Abu Dawud no. 3871 dan Al-Albany menilainya shahih) dan beliau bersabda:

إَنَّ نَقِيْقَهَا تَسْبِيْحٌ.‏

“Sesungguhnya suaranya adalah tasbih.”

Dan hukumnya tidaklah sama seperti orang yang terpaksa makan bangkai, karena dengannya tujuan pasti tercapai. Sementara dia tidak mendapatkan ganti selainnya, dan memakan bangkai dalam kondisi seperti ini hukumnya wajib. Barangsiapa yang terpaksa harus memakan bangkai namun dia tidak mau memakannya hingga menyebabkan dia mati, maka dia masuk neraka. Sedangkan berobat di sini tidak diketahui kesembuhannya secara pasti dan dia tidak harus berobat dengan obat ini, bahkan Allah Ta’ala menyembuhkan seorang hamba dengan sebab yang banyak. Berobat sendiri hukumnya tidak wajib menurut jumhur ulama, sehingga tidak bisa ini diqiyaskan dengan itu, wallahu a’lam. -selesai perkataan Ibnu Taimiyyah dari kitab Al-Janaiz dalam Majmu’ Al-Fatawa- (Juz 24/147-148 – pent)

[6] Bukan berati saya sepakat dengan jawaban beliau tersebut, jadi mohon diperhatikan.

[7] Silsilah Al-Huda wan Nuur, kaset no. 619 menit ke 55.

[8] Majmu Al-Fatawa, kitab Al-Hudud.

[9] Sejenis ganja.

[10] Dan ini merupakan maslahat yang sebatas dugaan saja dan belum pasti terwujud, jadi tolong diperhatikan baik-baik.

[11] Maksudnya adalah manfaatnya yang dominan.

[12] Lihat Majmu’ Al-Fatawa 34/129 (- pent)

[13] Padahal Al-Halimy sendiri berpendapat bahwa tidak ada keharusan kepala yang ada pada boneka Aisyah dibentuk persis seperti kepala manusia. (Sunan Al-Baihaqy 10/220 sebagaimana disebutkan oleh Dr. Muna Al-Qasim di: http://islamtoday.net/nawafeth/artshow-86-13127.htm – pent)

(Al-Halimy adalah Abu Abdillah Al-Husain bin Al-Hasan bin Muhammad bin Halim Al-Bukhary Asy-Syafi’iy. Lahir tahun 338 H, ada yang mengatakan di Jurjan dan ada juga yang mengatakan di Bukhara. Beliau wafat pada tahun 403 H. Lihat di: Siyar A’lamin Nubala’ 17/232 – pent)

[14] Ini merupakan bantahan terhadap syubhat-syubhat Asy-Syua’iby yang berusaha membantah makalah ini.

(Dia adalah Abdul Karim bin Ahmad Asy-Syua’iby. Bantahan penulis di sini bisa dilihat di: http://www.sahab.net/forums/index.php?showtopic=40060 dan http://www.sahab.net/forums/index.php?showtopic=40276 atau di http://www.al-sunna.net/articles/file.php?id=2915 – pent)

[15] Seperti yang dinamakan dengan Barby dan semisalnya.

[16] Maksudnya maslahat yang lebih dominan.

[17] Yaitu maslahat yang mendesak.

[18] Lihat Asy-Syarhul Mumti’ 7/398 dan http://www.ibnothaimeen.com/all/noor/article_5299.shtml. (- pent)

[19] HR. Al-Bukhary no. 1789. (- pent)

[20] Dari sisi proses afdruk dan yang lainnya yang mencapai 11 proses sebagaimana yang dikatakan oleh Asy-Syaikh Al-Albany rahimahullah.

[21] Lihat Majmu’ Al-Fatawa 34/129 (- pent)

 [22] Sampai di sini habislah syubhat-syubhat ini yang dilontarkan oleh sebagian pihak yang membantah makalah ini di sahab.net, dan sebagiannya telah dihapus karena ada yang diulang dengan berbagai model namun maknanya sama, adapun yang maknanya berbeda maka kami bawakan, walillahilhamdu.

 

FATWA ASY SYAIKH SHALIH AL FAUZAN HAFIZHAHULLAH

Penanya: Banyak manusia yang melemparkan syubhat bahwa banyak dai di masa ini sebelumnya mereka berpendapat haramnya mengambil gambar, namun sekarang sebagian mereka berpendapat secara mutlak bahwasanya hal itu boleh pada segala jenis gambar. Apa sebab dari hal itu – semoga Allah memberi Anda taufik -?

Asy-Syaikh: Kami katakan; bukan hujjah kecuali pada perkataan Ar-Rasul shallallahu ‘alaihi was salam. Adapun siapa saja yang menyelisihi dalil maka dia bukan hujjah, sama saja dia termasuk dai atau selain mereka, kita menuntutnya untuk membawakan dalil.

Penanya: Muncul banyak pertanyaan bahwa Anda ketika muncul sebuah makalah di surat kabar, muncul juga gambar Anda bersama makalah ini, demikian juga ketika Anda menyampaikan ceramah di beberapa stasiun televisi. Apakah ini menunjukkan bahwa Anda berpendapat bolehnya mengambil gambar?

Asy-Syaikh: Ini bukan dalil, saya tidak menyuruh mereka dan tidak pula meminta mereka, tetapi merekalah yang datang. Mereka mengambil gambar Asy-Syaikh Ibnu Baz padahal beliau mengharamkan hal ini, dan orang yang melakukannya merubahnya sedemikan rupa. Mereka mengambil gambar beliau di berbagai pertemuan dan di berbagai acara. Ini dosanya yang menanggung mereka. Adapun kami, maka kami tidak ridha dan kami tidak menyuruh mereka, dan mereka juga tidak meminta pendapat kami dalam hal tersebut, na’am.

Sumber: Fatwa Asy-Syaikh Al-Fauzan di website beliau no. 7396.

 

Penanya: Beberapa kali muncul gambar Anda di beberapa surat kabar, dan saya telah menghubungi surat kabar ini dan saya nasehati dan saya beritahu mereka bahwa Anda tidak ridha terhadap perkara ini karena berpendapat bahwa gambar haram dengan segala jenisnya kecuali yang sifatnya darurat. Lalu mereka menjawab bahwa seandainya beliau tidak ridha, pasti akan menghubungi atau menulis dan bahwasanya pendapat Asy-Syaikh tidak demikian. Bagaimana pendapat Anda semoga Allah menjaga Anda -?

Asy-Syaikh: Tidak, saya tidak mengetahui semua perkara, ini merupakan tanggung jawab mereka sendiri, dosanya yang menanggung mereka. Gambar tersebut diambil dari saya tanpa saya sadari, diambil ketika saya berjalan di sebuah tempat. Mereka juga telah mengambil gambar orang yang lebih mulia dari saya yaitu Asy-Syaikh Ibnu Baz dan mereka menampakkan gambar beliau padahal beliau mencela dan mengharamkan dan menulis kepada surat kabar: “Kalian jangan menampilkan gambar saya!” Namun mereka tetap saja memasang gambar beliau, sehingga dosanya mereka yang menanggung.

 

Penanya: Apakah menyiarkan ulang acara-acara keagamaan yang disiarkan langsung dengan suara dan gambar melalui media televisi setelah menyimpannya diperbolehkan atau termasuk perbuatan mengambil gambar yang diharamkan?

Asy-Syaikh: Ini menjadi tanggung jawab yang menyiarkannya dan menyimpannya, tanggung jawab mereka, na’am.

Suara bisa didownload di:

http://goo.gl/FcqQP  atau http://goo.gl/EQdPP atau di sini

Transkripnya diposting di:

http://www.albaidha.net/vb/showthread.php?t=42386

FATWA TERKINI ASY-SYAIKH AL-FAUZAN

Penanya: Apakah hukum mengambil gambar dengan kamera video, khususnya digunakan untuk dakwah di jalan Allah, mendorong dan memotivasi manusia untuk melakukan sedekah dan infak, atau menjelaskan apa yang dilakukan oleh musuh-musuh (orang-orang kafir) berupa berbagai macam gangguan terhadap kaum muslimin, sehingga kaum muslimin dibangkitkan perhatian mereka ketika menyaksikan gambar tersebut?

Asy-Syaikh: Tidak boleh selamanya, dakwah kepada agama Allah telah berjalan sejak masa Ar-Rasul shallallahu ‘alaihi was salam dan para rasul sebelum beliau dan tidak digunakan sesuatu yang haram padanya dan tidak pula dengan sarana yang haram, maksud saya sarana yang haram tidak boleh digunakan dan dikatakan: “Ini untuk mendakwahkan agama Allah Azza wa Jalla.” Na’am.

 

Syarh Qurratul Uyunil Muwahhiddin kaset ke 54 menit 1:05:46 hingga 1:06:23. Bisa didownload di: http://www.alfawzan.af.org.sa/sites/default/files/qrat_54.mp3

 

Demikianlah sikap jelas para ulama Ahlussunnah, Bin Baz dan Al Albany rahimahumallah serta Al Fauzan hafizhahullah terkait gambar, video atau kemunculan mereka di TV yang dijadikan dalih pembolehan oleh sebagian pihak serta bantahan terhadap syubhat-syubhat yang melingkupinya. Sesuaikah dengan apa yang dipromosikan oleh Halabiyun Firanda??!

tudingan jahat firanda

Gambar 7. Siapa yang manhajnya tidak sesuai dengan para ulama kibar wahai Halabiyun?

Bagaimana halnya jika siaran langsung televisi dan video orang-orang yang sesat lagi menyimpang yang malah dijajakan oleh Rodja kepada umat dengan melabelinya sebagai RadiO Dakwah ahlus sunnah wal JAmaa’ah?? Apakah “tuduhan” ini hanya sebatas dugaan dan prasangka wahai Halabiyun Firanda? Dan siapkah anda  – wahai Ahlussunnah – menjalin kompromi dengan dakwah Halabiyunnya? Siapkah anda berishlah dengan mereka??

dusta firanda mengajak jujur

Gambar 8. Screenshot sosok sentral Rodja, Al Halaby Al Mubtadi’ secara resmi “disembunyikan” di depan Al Allamah Al Fauzan tetapi Halabiyun Firanda dengan penuh percaya diri menulis: “Saya mengajak kita bersama untuk bersikap jujur…”, juga “saya ingin kejujuran antum!!!” Kok bisa??

Sesungguhnya wahai saudaraku rahimani wa rahimakumullah, Firanda sang dedengkot Rodja TIDAKLAH MEMILIKI KESIAPAN DAN KEBERANIAN untuk berterus terang mengaku di hadapan Al Allamah Al Fauzan hafizhahullah bahwa dia dan barisan Rodjanya adalah para pendukung sengit dakwah Ali Hasan Al Halaby Al Mubtadi’ yang telah ditahdzir oleh Al Lajnah Ad Daimah, maka dari sisi kebenaran yang mana anda sekalian wahai SALAFY akan siap mencabut kebenaran bukti-bukti penyimpangan Rodja, menghapus dan menyembunyikan fakta kesesatan mereka dari pandangan umat karena GONCANG setelah membaca seruan untuk berdamai dari Al Allamah Al Fauzan hafizhahullah??!

tawar menawar ala politik dagang sapi

Gambar 9. Screenshot kesiapan untuk mencabut kebenaran tulisannya asal Halabiyun Firanda…kok bisa?

Duhai….

Semoga Allah Ta’ala melindungi kita semua dari tipu daya para pengekor hawa nafsu, baik yang tampak maupun  yang tersembunyi, amin.

Catatan Penting:

Untuk menutup celah fitnah bagi Turatsiyun Sururiyun Halabiyun agar jangan lari dari medan ilmiyah dengan memilih melemparkan syubhat bahwa Asy Syaikh Mahir Al Qahthany bukanlah ulama yang ma’ruf di negeri Saudi maka kami sertakan pula di sini tazkiyah dari 2 ulama senior Ahlussunnah yaitu tazkiyah dari Asy Syaikh Rabi’ bin Hadi Al Madkhaly dan Asy Syaikh Shalih Al Fauzan kepada beliau, hafizhahumullah.

Tazkiyah Asy Syaikh Rabi kepada Syaikh Mahir Al Qahthany

Gambar 10. Scan tulisan tangan tazkiyah  Asy Syaikh Rabi’ kepada Asy Syaikh Mahir Al Qahthany, hafizhahumallah

Tazkiyah Asy Syaikh Shalih Al Fauzan kepada Syaikh Mahir Al Qahthany

Gambar 11. Scan tulisan tangan  tazkiyah  Asy Syaikh Al Fauzan kepada Asy Syaikh Mahir Al Qahthany,  hafizhahumallah

Tazkiyah Asy Syaikh Shalih Al Fauzan kepada Syaikh Mahir Al Qahthany dengan kop resmi

Gambar 12. Tazkiyah dengan kop surat resmi dari Asy Syaikh Al Fauzan kepada Asy Syaikh Mahir Al Qahthany,  hafizhahumallah

Bisa jadi setelah membaca tulisan ini saudara Halabiyun Firanda hadahullah terketuk hatinya untuk mau membantu menerjemahkan tazkiyah kedua masyayikh senior di atas sebagai sebuah ikhtiar agar tidak ada lagi saudara-saudaranya yang terkecoh menganggap bahwa Asy Syaikh Mahir Al Qahthany bukanlah ulama yang ma’ruf dikenal keilmuannya di negeri Saudi hanya karena nama beliau tidak ditulis di dalam makalahnya.

(Bersambung, pada Parodi Rodja berikutnya, insya Allah).

Baca! Artikel terkait:

Asy Syaikh Muhammad bin Hadi al Madkhali Menjawab Fitnah dan Tuduhan Halabiyyun

Parodi Rodja (Bag.6): Caldok Firanda (Dedengkot Halabiyun Rodja) Lindungi ‘Ar’ur yang Sesat

Parodi Rodja (Bagian 5): Situs Tukpencarialhaq di Tahdzir Syaikh Shalih As Suhaimy!

Parodi Rodja (Bagian 4): Loker Team Keroyokan

Parodi Rodja (Bagian 3): Wallahi Kamu Adalah Pendusta Licik Wahai Firanda!!!

Hukum Gambar Sebagai Alat Bukti

Parodi Rodja (Bagian 2) Al Lajnah Ad Daimah Tidak Mencabut Bantahannya Terhadap Al Halaby

Parodi Rodja Go.Liat Cs Geli.At

 

 

One thought on “Parodi Rodja (Bagian 7): Ada Apa Dengan Rodja TV?

  1. jazakallah khair, syukron atas artikelnya, membuka mata saya….semoga tetep istiqamah akh….

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *