Asy Syaikh Abdullah bin Abdurrahim Al Bukhary
PERTANYAAN: Sebagian penuntut ilmu meragukan keahlian sebagian ulama yang menyibukkan diri dengan jarh wa ta’dil di zaman ini dan mereka mencontohkan guru kita Al-Allamah Asy-Syaikh Rabi’ hafizhahullah.
JAWAB: Yang jelas upaya meragukan keahlian sebagian ulama dalam hal ini sudah sejak lama dilakukan, jadi pandangan tidak hanya tertuju pada nukilan-nukilan tentang para ulama di masa ini saja, dan kita telah menjawab tentang pihak yang ingin menutup pintu bantahan terhadap ahlul ahwa’ yang dilakukan oleh orang-orang di masa ini, dan ini merupakan salah satu pintu jarh wa ta’dil terhadap ahlul ahwa’. Dan kita katakan: pintu ini tidak mungkin ditutup, kita telah terangkan dan jelaskan sehingga saya rasa telah mencukupi.
Tetapi masalah meragukan kemampuan ulama, apakah engkau termasuk orang yang pantas melemparkan keraguan?! Lihatlah dirimu, semoga Allah merahmati orang yang tahu diri.
Telah saya katakan pada sebuah masalah zhalim yang pelakunya telah berbuat jahat yang mana orang-orang yang mengatakannya termasuk orang-orang yang berbicara di masa ini, yaitu pernyataan bahwa ulama terbagi beberapa macam: sebagian ulama ada yang mutasyaddid (terlalu keras) dan yang lain muta’aqqil (cerdas). Seingat saya masalah ini telah kita jawab pada pelajaran Syarh Nukhbatul Fikr.
Bahkan sebagian mereka ada yang keterlaluan hingga salah seorang dari mereka ada yang mensifati dengan lafazh mundafi’, sedangkan yang lain disifati muta’aqqil. Padahal di dalam ilmu jarh wa ta’dil tidak ada istilah mundafi’ dan muta’aqqil, karena mundafi’ maknanya menunjukkan kegilaan, kengawuran, tidak punya ilmu, tidak bisa berpikir panjang dan seterusnya. Adapun istilah muta’aqqil juga tidak ada.
Ulama jarh wa ta’dil sejak masa salaf hingga sekarang mereka semua adalah orang-orang yang berakal, mereka memiliki akal sehat dan agama yang kuat yang menghalangi mereka untuk menilai manusia dengan hawa nafsu, tanpa klarifikasi dan tanpa mempelajari duduk perkaranya.
Apakah engkau ahli untuk melakukan penilaian semacam ini, tanpa memandang si fulan atau alan apakah engkau ahli untuk melakukan penilaian semacam ini?! Apakah engkau mengetahui sebab-sebab untuk memberikan penilaian dan bagaimana cara menilainya?! Untuk menilai bahwa si fulan mutasyaddid, si fulan tidak ahli, si fulan ahli, apakah engkau termasuk ahlinya? Atau engkau hanya bermodal tanpa ilmu tentangnya?!
Allah Jalla wa Azza telah melarang hal tersebut dengan firman-Nya:
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ.
“Janganlah engkau mengikuti hal-hal yang engkau tidak memiliki ilmunya.” (QS. Al-Isra’: 36)
Takutlah kepada Allah, seorang hamba harus bertakwa kepada Allah Jalla wa Azza.
Katakanlah kepadaku dengan penuh kejujuran, keadaan beliau sebagai salah seorang tokoh ulama, dan beliau memang pembawa bendera jarh wa ta’dil di zaman ini yaitu Asy-Syaikh Rabi’, jika beliau berpendapat lalu pendapat beliau diselisihi oleh ulama yang lain, maka kita kembali kepada kaedah. Kaedah-kaedah ini sudah kita pelajari ataukah belum?! Ataukah itu semua cuma sekedar tulisan saja?!
Beda masalahnya jika orang yang memandang masalah ini dia menganggap bahwa pintu ini (masalah jarh wa ta’dil) telah ditutup. Maka terhadap orang ini kita katakan:
جَنَتْ عَلَى نَفْسِهَا بَرَاقِشُ
“Ini adalah permisalan orang Arab yang dibuat bagi orang yang melakukan perbuatan yang akibat buruknya menimpa dirinya sendiri.” Lihat: Al-Qamus Al-Muhith 1/585. (pent)
Adapun jika dia meyakini bahwa pintu ini tidak tertutup dan tetap ada, dan memang inilah yang benar bahwasanya dia akan tetap ada hingga Allah mewarisi bumi dan apa yang ada di atasnya (kiamat –pent).
Sebail-baik bukti dan saksi bahwa MANHAJ INI AKAN TETAP ADA, YAITU MEMBICARAKAN, MENJELASKAN, MENTAHDZIR DAN MEMBANTAH DENGAN ILMU DAN KEADILAN, adalah hadits tentang Dajjal yang akan keluar di akhir zaman, KETIKA ITU ADA SEORANG PEMUDA DARI PENDUDUK MADINAH YANG MENTAHDZIRNYA dengan mengatakan:
أَشْهَدُ أَنَّكَ الدَّجَّالُ الَّذِي حَدَّثَنَا عَنْكَ رَسُولُ اللهِ حَدِيثَهُ.
“Aku bersaksi bahwa engkau adalah Dajjal yang diceritakan kepada kami oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi was sallam.”[1]
Jadi jika beliau diselisihi maka dilihat penyelisihan ini, apakah hujjah bersama pihak yang menyelisihi ataukah bersama Asy-Syaikh atau pada pihak lain?! Qiyaskan hal ini pada semua semua pihak yang berbicara jika dia adalah orang yang ahli!
Adapun dengan kita mengabaikan begitu saja kaedah-kaedah ini, dan di sini saya ingin katakan, mengulangi, menambahkan dan ini telah saya tegaskan di banyak kesempatan: banyak sekali para penuntut ilmu datang dari negerinya dalam keadaan dia di atas As-Sunnah murni, namun tidak lama setelah dia pergi ke sebagian negeri dan sebagian provinsi diantaranya Madinah misalnya, tiba-tiba beberapa waktu kemudian dia menjadi orang sakit (hatinya –pent) karena banyaknya orang-orang yang berpenyakit dan banyaknya orang-orang yang membuat orang lain menjadi sakit.
Bukan hanya pada bab ini saja atau pada masalah ini saja, tetapi pada banyak permasalahan. Padahal para dokter yang bisa menangani penyakit-penyakit ini banyak. Hanya saja masalahnya mereka tidak mencari pengobatan dan tidak berusaha mengobati penyakitnya, akhirnya engkau lihat dia tetap sakit dan bertambah parah sakitnya serta membawa pulang penyakitnya ke negerinya.
Yang jelas saya katakan kepadamu: Berapakah jumlah orang-orang yang dibantah oleh Asy-Syaikh, apakah sepuluh atau dua puluh atau tiga puluh misalnya?! Seandainya engkau hitung engkau tidak akan mampu menambah lebih dari jumlah jari kedua tanganmu atau lebih sedikit atau kurang sedikit, bandingkan dengan usia beliau yang panjang yang telah mencapai sekitar delapan puluh tahun, semoga Allah selalu menjaga beliau.
Berapakah jumlah orang-orang yang beliau benar di dalam membantah mereka?!
Berapakah jumlah orang-orang yang beliau diselisihi di dalam membantah mereka?!
Saya tanya, anggaplah jumlah mereka adalah sepuluh atau dua puluh, berapakah jumlah orang-orang yang beliau benar di dalam membantah dan memperingatkan umat dari bahaya mereka?!
Sebagihan ulama dahulu ada yang diam pada masa fitnah Iraq dan Shaddam (Husain) mencaplok Kuwait, sebagian mereka diam dan sebagian lainnya takut untuk berbicara. Maka bangkitlah Asy-Syaikh dan selain beliau yaitu guru kami Al-Allamah Asy-Syaikh Muhammad Aman rahimahullah serta para ulama yang lain untuk berbicara lantang dan menjelaskan sikap yang tepat. Dalam keadaan sebagian ulama lain diam tidak berbicara. Kemudian jelaslah bagi manusia benarnya apa yang dikatakan dan dperingatkan oleh para ulama yang berani berbicara tersebut.
Wallahi wabillahi wa tallahi (semuanya sumpah –pent) seandainya Allah tidak menjadikan mereka berani menjelaskan kejahatan kelompok tersebut (Khawarij –pent) yang telah keluar dari As-Sunnah, demi Allah saya dan engkau tidak akan mampu belajar di masjid ini, karena pasti Shaddam telah menghalalkan dan menjajah negeri ini (Saudi Arabia –pent) dan melakukan kerusakan di muka bumi.
Tetapi Allah Azza wa Jalla menampakkan dan menetapkan keutamaan bagi para ulama tersebut setelah taufiq-Nya, mereka pun menampakkan kebenaran dan menjelaskan dalam rangka melaksanakan kewajiban agama tanpa mengharapkan kepentingan dunia, dan seandainya mereka menginginkan niscaya mereka akan mendapatkan jabatan dunia yang paling tinggi.
Ketika itu manusia menyerang para ulama tersebut dengan menggunakan satu busur baik dari dalam maupun dari luar negeri. Namun semua itu tidak membuat mereka mencabut fatwa mereka yang benar. Bahkan mereka meletakkan jiwa-jiwa mereka di tangan mereka. Semoga Allah merahmati yang telah wafat dari mereka dan menjaga yang masih hidup.
Maksud dari penjelasan ini –baarakallahu fiikum – adalah bahwasanya fatwa mereka telah benar dan manusia mengambil fatwa tersebut, maka mengapa sikap ini tidak dipuji dan tidak diakui jasa orang-orang yang memiliki keutamaan itu?!
Para ulama tersebut telah mentahdzir sekian banyak orang, bukankah demikian?! Akhirnya manusia pun mengetahui kesesatan mereka.
Maka keadaan seorang ulama yang disetujui ketika mentahdzir sekian banyak orang dan diselisihi pada sebagian kecil, kalau dibandingkan dengan yang disepakati apakah ini kemudian menjadi sebab dibuangnya perkataan ulama yang lainnya?! Dan seperti ini bukanlah timbangan menilai kebenaran, karena hujjah dan dalil adalah yang menjadi hakim.
Perkara ini telah kita jelaskan ketika kita membicarakan permasalahan bahwa pembicaraan dalam bab ini (jarh wa ta’dil –pent) dibangun di atas ijtihad, apa yang dimaksud dengan ijtihad, bagaimana cara menilai dalam masalah ini? Kalian masih ingat? Pembicaraan ini sama dengan yang telah kita bicarakan, tidak ada yang lain dan kita tidak taklid kepada seorang pun.
Perkataan kita bahwa seseorang tidak boleh ditaklidi walaupun telah tua umurnya atau masih muda, maksudnya bukan berarti tidak memuliakan dan tidak menghargai, namun tidak pula mengkultuskan serta bertameng di belakang sebagian orang-orang yang memiliki keutamaan yang pendapatnya menyelisihi kebenaran.
Telah kita jelaskan bahwa Al-Imam Ahmad telah mentazkiyah sebagian perawi yang tertuduh kemudian beliau rujuk kepada pendapat ulama yang keilmuannya di bawah beliau. Demikian juga Syu’bah telah memuji sebagian mereka namun diselisihi oleh ulama yang lain. Ini semua tidak menjadi celaan bagi Al-Imam Syu’bah dan tidak pula bagi Al-Imam Ahmad serta pihak lain yang berbicara.
Jadi ini adalah seperti perkataan seorang penyair:
شِنْشَنَةٌ أَعْرِفُهَا مِنْ أَخْزَمِ
Ini adalah sifat yang aku ketahui dari Akhzam[2]
Atau seperti yang saya ibaratkan: orang-orang yang sakit banyak namun lebih banyak lagi orang-orang membuat orang lain sakit.
Wa laa haula wa laa quwwata illa billah.
Kita memohon kepada Allah Jalla wa Alla agar mengokohkan kami dan kalian di atas Islam dan As-Sunnah serta menolong kami dan kalian menghadapi keterasingan ini.
وَصَلَّى اللهُ وَسَلَّمَ وَبَارَكَ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ.
Ditranskrip oleh Abu Ubaidah Munjid bin Fadhl Al-Haddad
Sabtu, 20 Ramadhan 1432 H
http://www.sahab.net/forums/index.php?showtopic=122663
Link Audio:
atau bisa di download di sini
[1] Lafazh hadits ini yang sesuai dengan yang nukilkan oleh pentranskrip yaitu di dalam Shahihul Bukhary no. 1882. Jadi sengaja tidak kami terjemahkan dari lafazh Asy-Syaikh Abdullah Al-Bukhary. (pent)
[2] Abu Akhzam adalah kakek dari Hatim bin Abdillah bin Sa’ad bin Al-Hasyraj bin Akhzam bin Abi Akhzam. Akhzam dikenal anak yang durhaka. Ketika dia mati dia meninggalkan anak yang banyak lalu mereka melukai Abu Akhzam hingga berdarah, lalu dia mengatakan hal ini. Wallahu a’lam. Lihat: Tahdzibul Lughah 7/100. (pent)
[3] Tanya jawab ditranskrip dari pelajaran Syarh Dhawabith Al-Jarh wat Ta’dil kaset ke-12.
Potongan suaranya bisa juga didownload pada link lain di internet dengan kata kunci atau judul:
الرد على من شكك في أهلية الشيخ ربيع في الجرح والتعديل