Orang Awam Lebih Mudah Tersesat Wahai Ustadz! (Bag. 3)

Bismillahirrohmanirrohim. o

Orang Awam Lebih Mudah Tersesat Wahai Ustadz!

Bagian. 3

(Menjawab Kaidah Terbalik: “Orang Awam Boleh Menikmati Rodja, Adapun Penuntut Ilmu Maka Tidak Boleh)

kaidah terbalik

الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه ومَنْ سار على نهجه إلى يوم الدين؛ أما بعد:

Ini adalah pertemuan ketiga untuk menuntaskan tulisan Al Akh Abu Mu’adz Ra-id Alu Thahir yang diposting oleh situs Sahab as Salafiyah. Kita akan menuntaskannya walaupun ada yang murka karena merasa (ya MERASA, bahasa perasaan saja tentunya yang menjadi hujjah dan dalil laba-labanya) orang yang dia puji dan kagumi “dikuliti” kaidahnya yang terbalik karena menjadikan orang awam sebagai “tumbal” tampilan dakwah “hikmah”nya dimata umat. Karena sesungguhnya – dengan prasangka baik kita tentu saja -, si pemilik kaidah inipun tidak akan ridha jika sanak keluarganya yang awam digiring dan dijerembabkan oleh orang lain pada lubang-lubang hizbiyyah dan kesesatan atas nama nasehat sampai pada taraf mereka jatuh menggandrunginya, memuji-muji dan mengelu-elukan para da’inya dan sulit untuk menerima nasehat yang menjelaskan hakekat penyimpangannya (Allahul musta’an, mushibah ini benar-benar telah terjadi pada orang tua salah satu ikhwah karena awalnya menerima fatwa orang awam boleh “menikmati” Rodja!!) dalam keadaan Asy Syaikh Rabi’ hafizhahullah (sebagaimana yang telah dijelaskan oleh asatidzah) telah mentahdzir orang awam dari Radio Hizbiyyah Halabiyah itu. Sehingga, bagaimana mungkin Ahlussunnah “dipaksa” untuk ridha dengan apa yang dia sendiri tidak akan meridhainya jika hal itu terjadi pada keluarganya atau orang dekatnya?! Maka silakan murka orang yang murka karena sesungguhnya Al Haq lebih besar dari kita dan lebih layak untuk kita tunduk kepadanya….

***

3. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata sebagaimana disebutkan di dalam Majmu’ul Fatawa 28/231, “Semisal para tokoh bid’ah dari orang-orang yang memiliki keyakinan-keyakinan atau ibadah-ibadah yang menyelisihi Al-Kitab dan As-Sunnah, maka menjelaskan keadaan mereka dan memperingatkan ummat dari kejahatan mereka merupakan perkara yang wajib berdasarkan kesepakatan kaum Muslimin. Sampai Ahmad bin Hanbal pernah ditanya, ‘Seseorang berpuasa, mengerjakan shalat dan i’tikaf lebih Anda sukai ataukah orang yang menjelaskan kesesatan ahlu bid’ah?’ Beliau menjawab, ‘Jika seseorang mengerjakan shalat dan i’tikaf maka kebaikannya hanya untuk dirinya sendiri, sedangkan jika dia menjelaskan kesesatan ahlu bid’ah maka kebaikannya juga untuk kaum Muslimin, dan ini lebih utama.”

Jadi menjelaskan keadaan ahli bid’ah dan memperingatkan ummat –yang masih belajar dan orang-orang awam– dari kejahatan mereka merupakan perkara yang wajib berdasarkan kesepakatan kaum Muslimin, maka mana orang yang mengklaim bahwa hal ini bukan termasuk perkara yang sesuai syariat, akal dan hikmah?!

Beliau juga berkata di dalam Dar’ut Ta’arudh Bainal Aqli wan Naqli 1/283, “Asy-Syaikh Abul Hasan berkata, ‘Asy-Syaikh Abu Hamid Al-Isfarainy adalah orang yang sangat keras mengingkari Al-Baqilany dan orang-orang yang suka ilmu kalam (filsafat –pent), para imam dari madzhab Asy-Syafi’iy senantiasa bersikap keras dan tidak mau menganggap beliau sebagai pengikut Al-Asy’ariy dan mereka berlepas diri dari madzhab yang pernah ditanamkan oleh Al-Asy’ariy serta memperingatkan murid-murid mereka dan orang-orang yang mereka cintai agar tidak berdekatan dengannya. Hal ini berdasarkan apa yang pernah saya dengar dari beberapa masyayikh dan para imam, diantaranya Al-Hafizh Al-Mu’taman bin Ahmad bin Ali As-Sajy. Mereka mengatakan, ‘Kami mendengar beberapa masyayikh yang terpercaya berkata, ‘Asy-Syaikh Abu Hamid Ahmad bin Abi Thahir Al-Isfarainy merupakan salah seorang imam yang telah memenuhi bumi dengan ilmu dan murid yang banyak. Jika beliau pergi ke masjid pada hari Jum’at di sebuah daerah Karaj (sekarang Georgia –pent) menuju masjid jami’ Al-Manshur maka beliau terlebih dahulu masuk ke tempat mengikat unta yang terkenal dengan nama Az-Zauzy yang berhadapan dengan masjid dan beliau menghadap kepada semua yang hadir sambil berkata, ‘Persaksikanlah, saya menyatakan bahwa Al-Qur’an adalah kalamullah dan bukan makhluq, sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Imam Ibnu Hanbal dan bukan seperti yang dikatakan oleh Al-Baqilany.’ Hal itu berulang hingga beberapa Jum’at. Maka ada yang bertanya kenapa demikian, beliau menjawab, ‘Agar berita menyebar di kalangan manusia dan orang-orang saleh serta ke seluruh penduduk negeri, bahwasanya saya berlepas diri dari keyakinan mereka –yang beliau maksud adalah Asy’ariyah– dan saya juga berlepas diri dari madzhab Abu Bakr Al-Baqilany, karena ada beberapa orang asing yang belajar menemui Al-Baqilany secara diam-diam lalu mereka terfitnah dengan madzhabnya, lalu pasti setelah mereka kembali ke negerinya maka mereka menampakkan madzhab mereka, lalu ada yang menyangka bahwa mereka mempelajarinya dariku sebelum mendatanginya, padahal saya tidak pernah mengatakan, dan saya berlepas diri dari madzhab Al-Baqilany dan akidahnya.’ Asy-Syaikh Abul Hasan Al-Karajy berkata, ‘Saya pernah mendengar guru saya yaitu Al-Imam Abu Manshur Al-Faqih Al-Asbahany berkata, ‘Saya mendengar guru kami Al-Imam Abu Bakr Az-Zadzaqany bercerita, ‘Saya pernah berada di sebuah pelajaran yang disampaikan oleh Asy-Syaikh Abu Hamid Al-Isfarainy, beliau melarang para muridnya dari mempelajari ilmu kalam dan agar tidak mendatangi Al-Baqilany, lalu sampai kepada beliau bahwa ada sebagian dari murid-muridnya yang belajar ilmu kalam secara diam-diam kepada Al-Baqilany, beliau menyangka saya bersama mereka dan termasuk mereka… hingga Asy-Syaikh Abu Hamid berkata kepadaku, ‘Wahai anakku, telah sampai berita kepadaku bahwa engkau masuk menemui orang itu –yang beliau maksud adalah Al-Baqilany– maka jangan sekali-kali engkau mendatanginya lagi karena sesungguhnya dia adalah seorang mubtadi’ yang mengajak manusia kepada kesesatan, kalau engkau tidak mengikuti nasehatku maka engkau jangan menghadiri majelisku!’ Maka saya (Az-Zadzaqany –pent) katakan, ‘Saya berlindung kepada Allah dari isu tersebut dan saya bertaubat kepada-Nya, dan juga persaksikanlah bahwa saya tidak pernah mendatanginya.’

Asy-Syaikh Abul Hasan berkata, ‘Saya mendengar Al-Faqih Al-Imam Abu Manshur Sa’ad bin Ali Al-Ijly berkata, ‘Saya mendengar masyayikh dan para imam di Baghdad yang seingat saya salah seorang dari mereka adalah Abu Ishaq Asy-Syairazy, mereka mengatakan, ‘Abu Bakr Al-Baqilany pernah keluar menuju kamar mandi dengan memakai penutup wajah karena takut kepada Asy-Syaikh Abu Hamid Al-Isfarainy.’

Abul Hasan berkata, ‘Sikap keras Asy-Syaikh Abu Hamid terhadap orang-orang yang mendalami ilmu kalam telah dikenal sampai-sampai beliau membedakan mana ushul fikih Asy-Syafi’iy dan mana ushul fikih Al-Asy’ary. Dan Abu Bakr Az-Zadzaqany telah memberinya tanda dari penjelasan beliau dan saya memiliki catatannya. Dengan catatan itu pula Asy-Syaikh Abu Ishaq Asy-Syairazy mencontohnya di dalam kedua kitabnya yaitu Al-Lam’u dan At-Tabshirah, sampai jika ada sebuah pendapat Al-Asy’ary yang kebetulan sesuai pada satu sisi dengan pendapat di madzhab kami maka beliau menjelaskan dengan mengatakan, ‘Ini adalah pendapat salah seorang dari madzhab kami dengan Asy’ariyah berpendapat demikian juga.’ Beliau tidak menganggap Asy’ariyah sebagai pengikut madzhab Asy-Syafi’iy. Para ulama pengikut madzhab Asy-Syafi’iy tidak ridha dengan mereka dan mazdhab mereka dalam ushul fikih, apalagi dalam ushuluddin.’

Saya (Ibnu Taimiyyah) katakan: Apa yang dinukil dari Asy-Syaikh Abu Hamid dan para ulama madzhab Asy-Syafi’iy seperti beliau yang memiliki keutamaan ini perkaranya telah dikenal di dalam kitab-kitab mereka yang berisi tentang ushul fikih dan selainnya.” –selesai nukilan dari perkataan Syaikhul Islam rahimahullah–

Saya katakan: Ini Al-Imam Abu Hamid Al-Isfarainy rahimahullah beliau dahulu sering mentahdzir Abu Bakr Al-Baqilany di beberapa Jum’at YANG BELIAU SAMPAIKAN KEPADA ORANG-ORANG YANG ADA DI TEMPAT MENGIKAT UNTA DI MASJID JAMI’ AL-MANSHUR, PADAHAL TIDAK DIRAGUKAN LAGI BAHWA SEBAGIAN MEREKA ADA YANG MASIH AWAM. Maka mana orang yang mengingkari penyebutan sebagian tokoh-tokoh fitnah dan para penyeru kebathilan di atas mimbar dalam rangka memperingatkan manusia dari kejahatan mereka, dan menganggap hal ini termasuk perbuatan orang-orang yang berlebihan?!

4. Al-Hafizh Ibnu Rajab rahimahullah berkata di dalam muqaddimah kitab Al-Farqu baina An-Nashihah wat Ta’yir, “Ketahuilah bahwasanya menyebutkan keadaan seseorang dengan hal-hal yang tidak disukainya adalah haram hukumnya jika semata-mata bertujuan untuk mencela, menghina dan merendahkan. Adapun jika padanya terdapat maslahat bagi kaum Muslimin secara umum dan secara khusus bagi sebagian mereka, dan tujuannya adalah agar tercapainya maslahat tersebut, maka hal ini tidak haram, bahkan dianjurkan. Dan para ulama ahli hadits telah menjelaskan masalah ini di kitab-kitab mereka yang bertemakan jarh wa ta’dil. Mereka juga membedakan antara menjelaskan aib para periwayat hadits dengan ghibah dan mereka membantah siapa saja yang menganggap kedua hal ini sama, yaitu sebagian orang-orang yang hanya ahli beribadah dan selain mereka yang ilmunya sedikit. Dan tidak ada perbedaan antara kritikan terhadap para periwayat hadits dengan upaya membedakan siapa yang diterima riwayatnya dan siapa yang tidak diterima dari mereka, serta upaya menjelaskan kesalahan siapa saja yang salah di dalam memahami makna Al-Kitab dan As-Sunnah serta menafsirkannya dengan yang tidak semestinya dan memegangi pendapat yang tidak layak untuk dipegangi. Semua ini dalam rangka memperingatkan manusia agar tidak mengikuti kesalahannya, dan para ulama juga telah berijma’ tentang bolehnya semua itu.”

5. Al-Lajnah Ad-Daimah (Asy-Syaikh Ibnu Baz rahimahullah, Asy-Syaikh Abdul Aziz Alus Syaikh hafizhahullah, Asy-Syaikh Abdullah bin Ghudayyan rahimahullah dan Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah) pernah ditanya sebagaimana disebutkan dalam Fatwa Al-Lajnah Ad-Daimah 12/98-99 pertanyaan no. 3: “Bagaimana tinjuan syariat terhadap perbuatan mencari-cari kesalahan para ulama dengan dalih memperingatkan dari ketergelinciran mereka dan agar manusia tidak menolehnya? Perlu diketahui bahwa hal ini dilakukan oleh para penuntut ilmu dan mereka menyampaikan tahdzir di hadapan orang-orang awam serta terkadang yang mereka tahdzir adalah para ulama yang mulia, seperti As-Suyuthy dengan alasan bahwa beliau adalah pengikut Asy’ariyah, dan selain beliau masih banyak?”

Jawaban para ulama tersebut: “Para ulama tidak terjaga (tidak ma’shum) dari kesalahan, sebagaimana disebutkan di dalam hadits:

إِذَا اجْتَهَدَ الْحَاكِمُ فَأَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ، وَإِذَا اجْتَهَدَ فَأَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ وَاحِدٌ

“Jika seorang hakim berijtihad lalu benar maka dia mendapatkan dua pahala, namun jika dia berijtihad lalu salah maka dia mendapatkan satu pahala saja.” (Muttafaqun alaih –pent)

Dan hal itu tidak akan mengurangi kemuliaan mereka selama tujuan mereka adalah ingin meraih kebenaran, dan tidak boleh mencela kehormatan mereka karena adanya kesalahan itu. Adapun menjelaskan kebenaran dan mengingatkan kesalahan maka wajib hukumnya, namun disertai dengan memuliakan para ulama dan mengakui keutamaan mereka. Kecuali jika orang yang salah tersebut adalah seorang mubtadi’ atau orang yang akidahnya menyimpang, maka dia ditahdzir orangnya jika masih hidup, dan ditahdzir kitab-kitabnya yang padanya dia melakukan kesalahan, agar orang-orang bodoh tidak terpengaruh dengannya. Terlebih lagi jika dia adalah seorang dai penyeru kesesatan, karena sesungguhnya ini termasuk upaya menjelaskan kebenaran dan menasehati manusia. Dan tujuannya bukan untuk mencela pribadi-pribadi mereka. Adapun para ulama besar seperti As-Suyuthy dan selain beliau maka dijelaskan kesalahan-kesalahan mereka namun tetap boleh mengambil faedah dari ilmu mereka, dan mereka memiliki berbagai keutamaan yang bisa menutupi kesalahan-kesalahan mereka. Tetapi sebuah kesalahan tetap tidak diterima dari mereka ataupun dari selain mereka.”

6. Al-Allamah Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah pernah ditanya sebagaimana disebutkan di dalam Al-Ajwibah Al-Mufidah an As-ilatil Manahij Al-Jadidah hal. 131: “Apakah para ulama wajib menjelaskan bahaya berpartai, berpecah belah dan berkelompok-kelompok KEPADA PARA PEMUDA DAN ORANG-ORANG AWAM?”

Beliau menjawab: “Ya, wajib menjelaskan bahaya berpartai, berpecah belah dan berkelompok-kelompok, agar manusia mengerti. Karena orang-orang awam pun bisa tertipu. Berapa banyak orang-orang awam yang tertipu dengan sebagian kelompok karena mereka menganggapnya di atas kebenaran. Jadi wajib atas kita untuk menjelaskan kepada manusia – baik yang belajar ataupun orang-orang awam – tentang bahaya partai-partai dan kelompok-kelompok. Karena jika para ulama diam maka manusia akan mengatakan, ‘Para ulama mengerti masalah ini namun mereka saja diam.” Maka dari pintu inilah kesesatan itu akan masuk, sehingga wajib menjelaskan ketika muncul perkara-perkara seperti ini. Dan bahaya yang dikhawatirkan akan menimpa orang-orang awam lebih besar dibandingkan terhadap orang-orang yang belajar. Karena orang-orang awam dengan diamnya para ulama maka mereka akan menyangka bahwa hal inilah yang benar.”

Beliau juga pernah ditanya sebagaimana disebutkan dalam Al-Muntaqa min Fatawa Asy-Syaikh Al-Fauzan: “Telah menyebar sikap wara’ dusta diantara para pemuda, yaitu mereka jika mendengar orang-orang yang menyampaikan nasehat dari kalangan para penuntut ilmu atau ulama dengan cara mentahdzir bid’ah dan orang-orangnya serta manhaj dan hakekat mereka dan membantah mereka serta menyebutkan nama-nama sebagian mereka walaupun telah meninggal karena ada manusia yang tertipu dengannya, dan semua itu dalam rangka membela agama ini serta menyingkap orang-orang yang memakai pakaian palsu dan menyusup di barisan ummat ini untuk menyebarkan perpecahan dan permusuhan di tengah-tengah mereka, ada pihak-pihak yang mengklaim bahwa itu termasuk ghibah yang diharamkan. Maka bagaimana pendapat Anda tentang masalah ini?”

Beliau menjawab: “Boleh mengingatkan kesalahan dan penyimpangan serta menjelaskannya kepada manusia, dan jika perkaranya membutuhkan untuk menyebutkan nama orang-orangnya agar manusia tidak tertipu dengan mereka, terlebih lagi orang-orang yang memiliki penyimpangan pemikiran atau manhaj dan mereka ini dikenal luas oleh manusia dan manusia berbaik sangka kepada mereka, maka tidak mengapa disebutkan nama-nama mereka dan mentahdzir mereka. Dan para ulama telah membahas dalam ilmu jarh wa ta’dil, mereka menyebutkan para perawi dan kritikan-kritikan terhadap mereka bukan dalam rangka menjatuhkan pribadi mereka, tetapi hanya dalam rangka menasehati ummat agar jangan sampai mengambil dari mereka perkara-perkara yang padanya terdapat kejahatan terhadap agama atau kedustaan atas nama Rasulullah shallallahu alaihi was sallam. Jadi kaedahnya: yang pertama hendaklah kesalahannya diingatkan tanpa menyebutkan nama orangnya jika akan mengakibatkan madharat atau tidak ada faedahnya dengan menyebutkannya. Adapun jika perkaranya membutuhkan untuk menyebutkan namanya dengan jelas dalam rangka memperingatkan manusia darinya, maka ini termasuk nasehat bagi Allah, kitab-Nya, rasul-Nya, para pemimpin kaum muslimin serta mereka semua secara umum. Terlebih lagi jika orang-orang tersebut terkenal di masyarakat dan mereka berbaik sangka kepadanya serta tertipu dengan kaset-kaset dan kitab-kitabnya, maka wajib mentahdzirnya di hadapan manusia. Karena sikap dia akan menimbulkan madharat kepada manusia. Jadi wajib menyingkap hakekatnya, bukan dalam rangka ingin mencela atau melampiaskan kemarahan, tetapi semata-mata bertujuan menyampaikan nasehat bagi Allah, kitab-Nya, rasul-Nya, para pemimpin kaum muslimin serta mereka semua secara umum.”

7. Al-Allamah Asy-Syaikh Rabi’ hafizhahullah ditanya sebagaimana di dalam kaset Mu’amalah Ahlil Bida’: “Bagaimana pendapat Anda tentang seseorang yang menganggap tidak ada gunanya mendengar bantahan-bantahan, dan ketika dia ditanya tentang sebab dari pendapatnya itu maka dia beralasan, ‘Yang bertanya kepadaku tentang hal itu adalah orang yang masih awam yang membaca Al-Qur’an saja tidak lancar’, maka bagaimana komentar Anda – baarakallahu fiikum –?

Beliau menjawab: “Jika dia orang yang masih awam maka diajari akidah dan diperingatkan dari ahli bid’ah. Orang-orang awam sekarang mereka telah menjadi pasukan ahli bid’ah sehingga wajib mentahdzir mereka… katakan kepadanya, ‘Si fulan memiliki berbagai bid’ah ini dan itu, kalau engkau mendengarkan ucapannya maka hal itu akan membahayakanmu.’ Jadi manusia jangan belajar kepadanya dan jangan pula mendengarkan kaset-kasetnya serta hendaklah mereka mewaspadai ucapannya. Maksudnya orang awam butuh kepada orang yang memperingatkannya dan mengingatkannya dengan kaedah: ‘Sesungguhnya ilmu ini adalah agama, maka telitilah dari siapa kalian mengambil agama kalian.’ Sekarang ini orang-orang awam menjadi sasaran para ahli bid’ah, kok justru ada yang mengatakan kepadamu: ‘Jangan biarkan mereka membaca kitab-kitab tentang bantahan!’ Ini tidak benar, tidak benar, hal ini akan menyebabkan mereka tersesat.” (Lihat: Fatawa wa Majmu’ur Rasail Asy-Syaikh Rabi’ 14/273)

Ini yang ingin saya jelaskan pada makalah yang saya segerakan ini. Dan saya memohon kepada Allah Tabaraka wa Ta’ala agar memberikan kita pemahaman yang benar, keikhlasan, ketepatan dan adil dalam perkataan, perbuatan, penilaian dan sikap kita, serta mengokohkan kita di atas kebenaran dan petunjuk dan memberikan kita husnul khatimah.

Ditulis oleh:

Abu Mu’adz Ra-id Alu Thahir

21 Syawal 1433 H bertepatan dengan 9 September 2012

Sumber:

http://www.sahab.net/forums/index.php?showtopic=132056

 

Baca artikel sebelumnya:

Orang Awam Lebih Mudah Tersesat Wahai Ustadz! (Bag. 2)

Orang Awam Lebih Mudah Tersesat Wahai Ustadz! (Bag. 1)

 

 

 

 

 

 

 

One thought on “Orang Awam Lebih Mudah Tersesat Wahai Ustadz! (Bag. 3)

  1. BISMILLAAHIRROHMAANIRROHIYM

    Ada pertanyaan: Awam bukan salafiyyin mendengar TV Rodja? Ada yang menjawab: Tidak usah dikomentari, jangan dianjurkan dan tidak pula dilarang. Saya katakan: Salafiyyin Ahlussunnah punya BUUANYAK radio internet yang bisa diakses, file-file audio yang bisa diunduh, rekaman-rekaman kajian yang bisa dipesan dari tasjilat-tasjilat. Apakah antum tidak punya ilmu sedikitpun tentang kesesatan da’i-da’i/syaikhnya Rodja? Takutlah kepada Allah!!! Sampaikanlah meskipun hanya 1 ayat!!! KOMENTARILAH meskipun hanya 1 dalil!!! Kenapa tidak usah dikomentari??? Tidak usah da’wah??? Tidak usah amar ma’ruf nahi munkar??? Mana al wala wal baro??? Berikan/pinjamkan orang tersebut CD-CD/buku-buku/majalah-majalah Asy-Syari’ah serta majalah-majalah yang semisal tentang aqidah dan manhaj salaf. Sampaikan juga secara global tentang syubhat sururi dan fatwa-fatwa Masyaikh yang terkait. Ajaklah orang awam tersebut kepada manhaj salaf. Yang paham aja bisa kena syubhat APALAGI AWAM.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *