Orang Awam Lebih Mudah Tersesat Wahai Ustadz! (Bag. 1)

Bismillahirrohmanirrohim. o

Orang Awam Lebih Mudah Tersesat Wahai Ustadz!

Bagian. 1

(Menjawab Kaidah Terbalik: “Orang Awam Boleh Menikmati Rodja, Adapun Penuntut Ilmu Maka Tidak Boleh)

tank terbalik.

الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه ومَنْ سار على نهجه إلى يوم الدين؛ أما بعد:

Sesungguhnya sebagian manusia berpendapat bahwa tidak boleh berbicara dengan orang-orang awam dan para penuntut ilmu pemula dengan tema membantah tokoh-tokoh mubtadi’ dan menjelaskan penyimpangan manhaj mereka. Dia menganggap bahwa masalah-masalah seperti ini akan menjadi fitnah bagi mereka dan akan menyebabkan mereka lari dari menerima kebenaran dan dari orang-orang yang membawanya. Dia berdalil dengan atsar Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu anhu dalam Shahih Muslim yang menyatakan:

مَا أَنْتَ بِمُحَدِّثٍ قَوْماً حَدِيثاً لاَ تَبْلُغُهُ عُقُولُهُمْ إِلاَّ كَانَ لِبَعْضِهِمْ فِتْنَةً

“Tidaklah engkau berbicara dengan suatu kaum dengan sebuah pembicaraan yang akal mereka tidak mampu memahaminya kecuali hal itu akan menyebabkan fitnah pada sebagian mereka.”

Bahkan dia mengklaim bahwa bukan termasuk syariat dan bukan termasuk hikmah serta bukan termasuk perkara yang diterima oleh akal sehat, yaitu sikap seorang penuntut ilmu yang mentahdzir salah seorang tokoh mubtadi’ di majelis-majelis yang dihadiri oleh orang-orang awam. Atau dia meyakini bahwa membicarakan masalah-masalah seperti ini di hadapan mereka bertentangan dengan jalan yang ditempuh para ulama rabbani yang sifat mereka adalah mengajari manusia dengan mendahulukan ilmu yang ringan sebelum ilmu yang berat. Atau hal itu bertentangan dengan prinsip berjenjang dalam mengajari dan mendakwahi manusia ke jalan Allah, dengan dalih bahwa akal orang-orang awam dan para pemula di masa ini tidak mampu memahami pembicaraan seperti ini.

kaidah terbalik

Gambar Syubhat yang laris di pasaran. Awam boleh “menikmati” Rodja, adapun penuntut ilmu (yang sudah bisa menimbang antara yang hak dan yang bathil) maka ditahdzir dari radio ini.

Ini merupakan pemahaman yang salah dan peletakan kaedah yang jauh dari manhaj salafus shalih yang akan menyeret kepada akibat-akibat yang buruk, jadi sepantasnyalah untuk mewaspadai dan berhati-hati darinya.

Yang wajib dilakukan adalah hendaknya penuntut ilmu dan para dai salafiyun memperingatkan orang-orang awam dari bahaya ahlul bid’ah dan sesatnya manhaj mereka. Dan jika perkaranya menuntut untuk menyebutkan nama-nama para ahlul bid’ah itu, atau kebathilan tidak akan diketahui oleh manusia dengan jelas kecuali dengan menjelaskan nama-nama mereka, maka mereka harus disebutkan dengan menunjuk hidung. Dan bukan termasuk sikap hikmah ketika seorang penuntut ilmu atau seorang dai salafy melihat orang awam atau orang yang baru belajar bolak-balik ke majelis-majelis ahlu bid’ah atau menyaksikan dan mendengar ceramah mereka atau menghadiri pelajaran-pelajaran dan khutbah mereka atau menelaah dan membaca kitab-kitab dan makalah mereka, lalu tidak memperingatkan orang awam tersebut dari bahaya mereka dengan menyebutkan nama mereka dan tidak pula menjelaskan penyimpangan-penyimpangan mereka kepadanya, dengan dalih bahwa dia sekarang sedang mengajarinya tauhid dan sunnah serta ilmu-ilmu syariat yang lainnya, dan pada tahapan ini dia tidak ingin menyibukkannya dengan masalah-masalah tahdzir, bantahan serta celaan terhadap orang-orang yang menyelisihi dalil.

Maka, apa yang akan bisa dilakukan oleh dai salafy semacam ini jika ahlul bid’ah menerkam orang awam tersebut di awal perjalanannya sebelum dia akan sampai bersamanya ke masalah-masalah yang besar?! Berapa banyak perkara seperti ini terjadi pada kehidupan nyata yang menimpa manusia di zaman ini?!

Semoga Allah merahmati salah seorang salaf yang mengatakan:

إِذَا رَأَيْت الشَّابَّ أَوَّلَ مَا يَنْشَأُ مَعَ أَهْلِ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ فَأَرْجِهْ وَإِذَا رَأَيْته مَعَ أَهْلِ الْبِدَع فَايئَسْ مِنْهُ فَإِنَّ الشَّابَّ عَلَى أَوَّلِ نُشُوئِهِ.

“Jika engkau melihat seorang pemuda di awal pertumbuhannya dia bersama Ahlus Sunnah maka harapkanlah kebaikannya, dan jika engkau melihatnya bersama ahli bid’ah maka putuslah harapanmu dari kebaikannya, karena sesungguhnya seorang pemuda itu sangat dipengaruhi oleh awal masa pertumbuhannya.”

Atsar ini disebutkan oleh Ibnu Muflih di dalam Al-Adab Asy-Syar’iyyah (3/577 –pent) dari Al-Imam Ahmad dan disebutkan oleh Ibnu Baththah (Al-Ibanah Ash-Shughra hal. 133 no. 92 –pent) dari Amr bin Qais Al-Mula’i.

Jadi, memperingatkan orang-orang awam dan para penuntut ilmu pemula dari kejahatan tokoh-tokoh mubtadi’ yang seringnya mempengaruhi mereka, melalui saluran-saluran televisi atau pelajaran-pelajaran, khutbah-khutbah dan berbagai kitab yang tersebar di keseharian mereka, ini merupakan kewajiban atas para dai dan penuntut ilmu.

Adapun dengan kita menutup rapat-rapat pintu tahdzir dari kejahatan para tokoh mubtadi’ terhadap orang-orang awam dan para pemula, dengan dalih mendidik mereka dengan mendahulukan ilmu yang ringan sebelum ilmu yang berat, maka ini merupakan perkara yang tidak diterima oleh syariat dan akal sehat. Karena orang-orang awam dan para pemula mereka adalah pihak yang pertama dan paling banyak yang terpengaruh dengan ahlul bid’ah, dan mereka ini merupalan sasaran dakwah dan buruan ahlu bid’ah itu. Adapun para penuntut ilmu maka mereka bisa membedakan antara kebenaran dan kebathilan. Jadi, bagaimana bisa dibenarkan bahwa membicarakan kejahatan ahlu bid’ah hanya terbatas bagi para ulama dan penuntut ilmu?!

Sikap hikmah yang dipahami dengan benar dalam hal tersebut adalah dengan memilih kesempatan yang tepat untuk menyampaikan tahdzir dan penjelasan semacam ini dan dengan memilih cara yang terbaik sehingga tidak terjadi apa yang dikhawatirkan berupa sikap berpaling dan lari dari kebenaran.

Di sana tidak ada kontradiksi antara metode berjenjang dalam dakwah dan mengajari dengan membicarkan kejahatan tokoh-tokoh ahlu bid’ah dan penyimpangan mereka serta bantahan terhadap mereka. Jadi, sebagaimana berjenjang dalam dakwah dan mengajari adalah merupakan perkara yang dituntut secara syariat dan jelas itu merupakan sikap hikmah, demikian juga memperingatkan orang-orang awam dan para pemula dari kejahatan tokoh-tokoh ahli bid’ah yang seringnya mempengaruhi mereka pada sebuah tahapan, adalah merupakan perkara yang dituntut secara syariat dan itu merupakan sikap hikmah juga.

Asy-Syaikh Rabi’ hafizhahullah ditanya sebagaimana disebutkan di Majmu’ Kutub wa Rasail wa Fatawa (1/218): Bagaimana cara terbaik yang ditempuh seorang salafy dalam mengajari orang-orang awam tentang perkara-perkara agama mereka, khususnya yang berkaitan dengan masalah-masalah manhaj, misalnya jika dia ingin memperingatkan mereka dari bahaya seseorang atau jamaah. Bagaimana jalan yang harus ditempuh bersama mereka untuk mengajari perkara-perkara ini, karena orang-orang awam bisa lari dari masalah-masalah seperti ini?

Beliau menjawab:

الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه ومن اتبع هداه؛ أما بعد:

Sesungguhnya wajib atas para pembawa ilmu yaitu para ulama dan para penuntut ilmu yang sudah matang ilmunya untuk mengajari manusia dan menyampaikan kepada mereka risalah Allah azza wa jalla di berbagai madrasah, kampus, masjid, forum dan media-media yang sesuai syariat, karena di sana ada media-media yang diharamkan. Ada media-media yang sesuai syariat yang jika seorang muslim mampu menggunakannya dengan baik maka wajib memanfaatkannya untuk menyebarkan dakwah Allah Tabaraka wa Ta’ala, karena para ulama adalah pewaris para nabi.

Para nabi adalah orang-orang yang menyeru kepada agama Allah Ta’ala, Allah mengutus mereka untuk mengajak manusia agar mentauhidkan-Nya dan beriman kepada-Nya dan kepada hal-hal yang Allah wajibkan untuk mengimaninya yaitu beriman kepada para rasul, malaikat, kitab-kitab, surga dan neraka serta hal-hal yang berkaitan dengan keduanya berupa kebangkitan, dikumpulkan kepada Allah, adzab kubur, melewati shirath dan perkara lainnya yang berkaitan dengan akidah. Dan dakwah serta mengajari secara rinci dilakukan sesuai kemampuan. Orang-orang awam dipahamkan secara rinci sesuai kemampuan, karena perkara-perkara ini yang saya sebutkan sekarang ini merupakan prinsip pokok yang agung dan wajib yang mana seseorang tidak dianggap beriman kecuali dengannya sehingga perkara-perkara ini harus ditanamkan. Kemudian shalat dengan rinciannya hingga manusia mengetahui bagaimana mereka beribadah kepada Rabb mereka dan menegakkan rukun Islam yang kedua yang agung ini, karena rukun pertama adalah syahadat. Lalu mengajari mereka tentang zakat, puasa dan haji. Lalu tentang hal-hal yang diharamkan seperti zina, perbuatan keji, minum khamer, membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah kecuali yang dilakukan dengan alasan yang benar, serta hal-hal yang diharamkan lainnya yang wajib atas seorang muslim untuk menjauhinya. Demikian juga haramnya ghibah, namimah dan semua dosa-dosa besar yang diperingatkan oleh Allah Tabaraka wa Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu alaihi wassalam yang Allah sebutkan dalam Kitab-Nya dan disebutkan oleh Rasul-Nya. Banyak dari perkara-perkara tersebut yang diketahui oleh orang-orang tertentu dan orang-orang awam. Hanya saja ketika seseorang menyampaikan kepada mereka dengan ilmu dan terperinci serta membawakan dalil-dalilnya, maka hal itu akan menambah ilmu manusia sehingga akan menguat ketakwaan dan perasaan selalu diawasi oleh Allah Tabaraka wa Ta’ala.

Kemudian di sela-sela ta’lim ini jika ada kebutuhan untuk memperingatkan bahaya bid’ah maka hendaknya dilakukan secara global. Dan jika di sana ada orang yang semangat menyebarkan berbagai bid’ah dan kesesatan, maka hendaknya menyebutkan bid’ah-bid’ah ini dan menyandarkannya kepada orang yang mengatakannya serta membantahnya dengan ilmu dan hikmah, bukan bertujuan melampiaskan kebencian atau mencela manusia atau membuat kekacauan, karena tujuan-tujuan buruk ini bisa merubah amal ini menjadi kemaksiatan. Jadi seseorang mendekatkan diri kepada Allah Tabaraka wa Ta’ala dengan nasehat dan tahdzir yang dia lakukan ini, dia maksudkan dengannya untuk mengharapkan wajah Allah serta menjaga manusia dari berbagai bahaya yang akan menimpa mereka pada agama mereka serta ancaman kemurkaan Allah di dunia dan akherat. Tujuan dia seperti ini merupakan tujuan mulia yang dengannya dia mengharapkan wajah Allah dan memberi manfaat manusia serta menjauhkan mereka dari keburukan dan hal-hal yang membahayakan agama serta dunia mereka.

Jadi cara dan metode itu berbeda-beda pada satu orang dengan yang lainnya, dan setiap kejadian ada pembicaraannya sebagaimana ungkapan manusia. Orang yang hadir melihat apa yang tidak dilihat oleh orang yang tidak hadir, dan perbedaan situasi dan kondisi akan mengajari manusia bagaimana dia harus berbicara dengan tepat dan bagaimana dia mengatasi berbagai masalah seperti ini. Jadi di sana tidak ada cetakan baku dan tidak ada bentuk yang paten yang terus seperti itu sepanjang hidup seseorang yang selalu dia gunakan. Tetapi hal itu adalah karunia dari Allah serta anugerah dari Rabb kita Subhanahu wa Ta’ala yang Dia berikan taufik itu kepada hamba yang dikehendakinya yang dengannya Allah menjadikannya bermanfaat bagi manusia.

Seorang dai apakah dia seorang imam masjid atau selainnya hendaklah selalu berusaha mengingat firman Allah Ta’ala:

ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ.

“Serulah ke jalan Rabbmu dengn cara yang hikmah dan nasehat yang baik serta bantahlah mereka dengan cara yang terbaik.” (QS. An-Nahl: 125)

Ayat ini menunjukkan sisi dari sisi-sisi dakwah kepada agama Allah Tabaraka wa Ta’ala, bahkan menunjukkan prinsip-prinsip dakwah, sehingga hendaknya seorang muslim senantiasa meletakkannya di hadapan kedua matanya yang dengannya dia menangani berbagai permasalahan, memberi manfaat manusia serta membawa mereka kepada agama Allah yang benar. Ini yang saya katakan sebagai jawaban atas pertanyaan ini.”

Asy-Syaikh Rabi’ hafizhahullah juga berkata sebagaimana disebutkan di Majmu’ Kutub wa Rasail wa Fatawa 14/282-283: “Manusia banyak yang membaca kitab-kitab yang berisi pemikiran menyimpang, perpustakaan-perpustakaan penuh dengan kitab-kitab sesat dan bid’ah dan mereka tidak berbicara dengan cara semacam ini. Maka tatkala manusia memiliki perhatian kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah serta di atas pemahaman salafus shalih dan mereka menjumpai kitab-kitab yang memperingatkan mereka tentang bahaya bid’ah dan kesesatan, ada yang mengatakan: “Jangan menyibukkan dengan hal-hal ini, jangan sibukkan diri kalian dengan hal-hal ini, jangan tinggalkan ilmu!” Padahal bantahan-bantahan ini termasuk ilmu, yaitu mengetahui mana petunjuk dan mana kesesatan serta bagaimana membedakan yang baik dari yang buruk. Demi Allah, ini merupakan ilmu yang menjaga seorang hamba, sebagaimana yang dikatakan oleh Hudzaifah radhiyallahu anhu:

كَانَ النَّاسُ يَسْأَلُونَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الخَيْرِ، وَكُنْتُ أَسْأَلُهُ عَنِ الشَّرِّ مَخَافَةَ أَنْ يُدْرِكَنِي.

“Para shahabat dahulu seringnya bertanya kepada Rasulullah tentang kebaikan, sedangkan saya banyak bertanya kepada beliau tentang keburukan karena khawatir akan menimpaku.” (HR. Al-Bukhary no. 3606 dan Muslim no. 1847 –pent)

Jadi harus mengetahui kitab-kitab ahlu bid’ah dan orang-orang sesat, yaitu melalui kitab-kitab yang membantahnya. Kalau tidak demikian maka sesungguhnya tidaklah banyak para pemuda yang menyimpang kecuali ketika mereka kehilangan kitab-kitab bantahan semacam ini yang akan menjaga mereka. Jadi kitab-kitab bantahan ini padanya terdapat usaha penjagaan para pemuda dari kesesatan.

Dan saya buatkan permisalan bagi seseorang yang mendidik namun tidak membentengi dan tidak membuat perlindungan bagi para pemuda, seperti seseorang yang menanam lalu tanamannya dirusak oleh hewan, hama, rubah dan lainnya. Ternyata sebabnya karena tidak ada pagar dan tidak ada penjagaan, yaitu berupa tahdzir terhadap bid’ah, sehingga manusia pun tersesat.

Oleh karena inilah para salaf berhasil hingga batas yang jauh ketika mereka menggunakan metode tahdzir terhadap ahlu bid’ah, mereka berhasil menjaga di atas As-Sunnah wal Jama’ah. Namun tatkala pagar ini dirobohkan dan perhatian untuk melindungi masyarakat sunni melemah, yaitu dengan cara memerangi ahli bid’ah, maka ahlu bid’ah pun memerangi mereka sehingga berhasil melemahkan kekuatan mereka, lalu bertebaranlah kuburan-kuburan yang disembah dan berbagai khurufat serta yang lainnya.

Di sini di negeri ini (Arab Saudi –pent) dahulu terdapat perlindungan yang baik dari kejahatan ahlu bid’ah. Lalu datanglah mereka dengan pakaian sunnah lalu menipu kita dan mereka tidak mendapati ada perlindungan sehingga mereka berhasil merampas para pemuda kita.

Kitab-kitab bantahan ini siapa yang menginginkan kebenaran, demi Allah dia akan membacanya dan dia akan menjumpainya padanya penjelasan perbedaan antara yang hak dan yang bathil. Dan ketika itu dia akan mendapati perlindungan dan penjagaan dari berbagai penyakit ini. Dan sebagaimana kita memberi anak-anak kita makanan dan menjaga mereka dari berbagai penyakit dengan perhatian yang sangat, maka demikian pula wajib atas kita untuk memperhatikan akal anak-anak kita dengan menjaganya, memperingatkannya dan mendidiknya agar mampu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk.”

Asy-Syaikh Rabi’ ditanya sebagaimana disebutkan dalam Majmu’ Kutub wa Rasail wa Fatawa 14/277-278: Apakah boleh bagi kami para penuntut ilmu untuk diam terhadap mubtadi’ dan mendidik para penuntut ilmu dan para pemuda di atas manhaj salaf tanpa menyebutkan nama-nama para mubtadi’?

Beliau menjawab: “Demi Allah, mereka disebutkan sifat-sifatnya, dan disebutkan nama-nama mereka jika memang dibutuhkan. Jika si fulan berusaha meraih kedudukan dan kepemimpinan terhadap umat dan para pemuda dan dia bisa menyeret mereka kepada kebathilan maka boleh disebutkan namanya. Jika perlu menyebutkan namanya maka wajib untuk menyebutkan namanya.

Mumpung kita sedang berbicara masalah ini, kebetulan ada contoh salah seorang salafy di Mesir yang mengajari dengan penyampaian yang sifatnya umum sehingga manusia tidak paham. Kemudian dia mulai menyebutkan contoh dengan menyebutkan kelompok-kelompok dan individu-individu tertentu. Maka manusia bertanya: “Wahai Syaikh, kenapa Anda tidak mengajar kami dengan metode seperti ini sejak awal?!” Dia menjawab: “Saya dulu memberi kalian pelajaran yang banyak dan saya katakan demikian demikian, namun ada yang mengatakan, ‘Demi Allah, kami tidak paham.’ Kita telah mempelajari kitab yang membahas berbagai kelompok dan madzhab dan menghafalnya dengan baik, namun para penulisnya tidak menyebutkan kelompok-kelompok yang ada di masa ini seperti Jamaah Tabligh, Al-Ikhwan Al-Muslimun dan yang lainnya, sehingga kita tidak menganggap mereka sebagai mubtadi’, sampai kita menelaah dan mempelajari keadaan mereka, maka kita melihat mendesaknya untuk menyebutkan nama mereka.”

Jadi alhamdulillah para masayikh yang mereka dahulu hanya diam mereka telah berani menyebutkan secara terang-terangan nama para mubtadi’ itu. Ini merupakan kewajiban, yaitu jika tidak ada bahaya padanya maka tidak mengapa. Dan tidak ada alasan untuk menyebutkan nama mereka jika menimbulkan bahaya. Mereka terus berusaha menarik para pemuda agar mengikuti mereka, bahkan berhasil mengambil tokoh-tokoh pemuda, bahkan mereka memerangi Ahlus Sunnah. Jadi wajib menyebut nama mereka dan tidak ada kemuliaan bagi mereka. Mereka sampai ada yang mengatakan, ‘Wahai Ibnu Utsaimin, engkau dan para pengikutmu akan ke neraka Jahim kekal abadi selama-lamanya.’ Inilah penilaian mereka terhadap para ulama, mereka menganggap para ulama kafir. Mereka adalah Khawarij yang keterlaluan sikap keras mereka. Kita memohon keselamatan kepada Allah.”

BERSAMBUNG INSYA ALLAH

Ditulis oleh:

Abu Mu’adz Ra-id Alu Thahir

21 Syawal 1433 H bertepatan dengan 9 September 2012

Sumber:

http://www.sahab.net/forums/index.php?showtopic=132056

 

 

 

 

One thought on “Orang Awam Lebih Mudah Tersesat Wahai Ustadz! (Bag. 1)

  1. Bismillaahirrohmaanirrohoiym.

    Hadiah untuk mereka yang sok netral dengan mengatakan: “Ga usah ribut-ribut, jangan menyibukkan dengan yang kayak gitu, mereka juga bolak-balik ke Ulama, mereka lebih tau dari antum, sibukkan diri antum dengan belajar”. Saya katakan: Saya belajar/menyibukkan diri saya dengan SEMUA ilmu, termasuk ilmu amar ma’ruf nahi munkar dan ilmu al wala wal baro. Bukankah al wala wal baro itu ilmu? Bukankah ilmu itu harus diamalkan? Bukankah orang-orang yang AWAM tentang syubhat akan lebih mudah terkena syubhat ketika mendengarkan radrod dibandingkan dengan orang-orang yang paham? Yang digelari ustadz saja bisa terkena syubhat, APALAGI yang awam.

    Copas dari artikel di atas:
    “Asy-Syaikh Rabi’ hafizhahullah juga berkata sebagaimana disebutkan di Majmu’ Kutub wa Rasail wa Fatawa 14/282-283: “Manusia banyak yang membaca kitab-kitab yang berisi pemikiran menyimpang, perpustakaan-perpustakaan penuh dengan kitab-kitab sesat dan bid’ah dan mereka tidak berbicara dengan cara semacam ini. Maka tatkala manusia memiliki perhatian kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah serta di atas pemahaman salafus shalih dan mereka menjumpai kitab-kitab yang memperingatkan mereka tentang bahaya bid’ah dan kesesatan, ada yang mengatakan: “Jangan menyibukkan dengan hal-hal ini, jangan sibukkan diri kalian dengan hal-hal ini, jangan tinggalkan ilmu!” Padahal bantahan-bantahan ini termasuk ilmu, yaitu mengetahui mana petunjuk dan mana kesesatan serta bagaimana membedakan yang baik dari yang buruk. Demi Allah, ini merupakan ilmu yang menjaga seorang hamba,…..”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *