Kode Etik – Adab Dalam Mengajukan Sebuah Fatwa

Bismillahirrohmanirrohim. o

Kode Etik – Adab Dalam Mengajukan Sebuah Fatwa

(Benarkah Mencari Kebenaran & Pembenaran Beda-Beda Tipis?)

Syarah Ushul Min Ilmil Ushul

(Asy-Syaikh Al ‘Allamah Muhammad bin Sholih Al-Utsaimin rahimahullah)

qouluhu

  • Beberapa perkara dan rambu-rambu yang harus diperhatikan dalam mengajukan sebuah fatwa.

Hendaklah seseorang yang meminta fatwa tersebut mengajukan pertanyaannya dalam rangka mencari Al-Haq untuk kemudian dia mengamalkannya, bukan dalam rangka mencari-cari keringanan

Syarah ( Penjelasan) :

kode etik dalam mengajukan fatwa 1

Dan betapa langkanya tujuan seperti di atas pada kebanyakan orang yang mengajukan fatwa – bukan sebagian besar dari mereka – didapati banyak diantara manusia dengan permintaan fatwanya, mereka tidaklah menginginkan Al-Haq untuk kemudian mengamalkannya, namun mereka hanyalah menginginkan hal-hal yang dilarang darinya, seperti dalam rangka mencari-cari keringanan dan yang serupa dengan itu, dan –perbuatan- yang seperti ini adalah Harom.

Maka yang wajib bagi seseorang peminta fatwa untuk dia itu menjadi seolah-olah seorang pesakitan yang mengharap kesembuhan, memaksudkan dengan –pertanyaannya – itu untuk sampai kepada Al-Haq untuk kemudian mengamalkannya bukan dalam rangka mencari-cari keringanan yang terdapat pada kebanyakan manusia.

kode etik dalam mengajukan fatwa 2

Maka akan kau dapati sebagian manusia, apabila meminta fatwa kepada seorang alim yang dia percaya pendapatnya dan dia menilai bahwa sang alim tersebut lebih dekat kepada kebenaran (pendapatnya) daripada yang selainnya, akan tetapi di dalam hal fatwa – yang dia pertanyakan- adalah keras (baca : kokoh), menyelisihi hawa nafsu sang penanya, maka berkatalah si penanya – pada dirinya- “Agama ini mudah dan perselisihan itu adalah rahmat”, maka dia pergi kepada seorang alim yang lain, maka apabila sang alim tersebut memberikan kepadanya fatwa sebagaimana fatwa yang difatwakan oleh sang alim sebelumnya maka si penanya mengulanginya lagi –mencari sang alim lain untuk ditanya dengan pertanyaan yang serupa tapi sama- begitulah… hingga dia sampai kepada seseorang yang  akan memberinya sebuah fatwa sebagaimana yang diinginkannya, maka kemudian dia akan berkata “ inilah yang Haq karena agama ini mudah dan penyelisihan terhadap yang lain tidaklah memudaratkan, karena perselisihan itu adalah rahmat. Oleh karena itu engkau akan dapati orang-orang yang mencari-cari keringanan dalam fatwa, mereka mengambil pendapat salah seorang alim pada setiap apa yang mencocoki hawa nafsu mereka dan mereka tidaklah mengambil setiap pendapat yang menyelisihi hawa nafsu mereka.

Maka jadilah engkau akan mendapati dia percaya terhadap seorang alim tersebut dan mengambil pendapatnya, maka apabila sang alim tersebut berfatwa terhadap sesuatu yang menyelisihi hawa nafsunya, dia akan berkata “ini keras / terlalu kaku dan dia terlalu keras”

kode etik dalam mengajukan fatwa 3

Aku katakan (Asy Syaikh Al-Utsaimin-pent.) : sesungguhnya inilah gaya/model orang-orang yang tidak mengikuti petunjuk, bahkan dia mengikuti hawa nafsu dan bermain-main dengan agama Allah, dan sungguh ulama telah berkata “ sesungguhnya barangsiapa yang meminta fatwa kepada seorang alim yang dirujuk/ditetapi apa yang telah difatwakannya maka harom bagi dia untuk bertanya/meminta fatwa dalam kasus yang sama kepada seorang alim yang lain. Dan sebagian ulama telah menghikayatkan yang demikian itu sebagai suatu  Ijma’.

kode etik dalam mengajukan fatwa 4

Yang demikian itu dikarenakan orang tersebut apabila dia bertanya kepada seorang alim yang dirujuk/ditetapi apa yang telah difatwakannya, maka sesungguhnya dia telah menjadikan fatwa sang alim tersebut sebagai syariat Allah[1].  Maka apabila kemudian dia membandingkan fatwa sang alim tersebut kepada seorang alim yang lain, maka seakan-akan dia tidaklah menginginkan untuk mengikuti petunjuk, sesungguhnya dia hanyalah ingin mengikuti hawa nafsu.

Dan ulama telah menetapkan bahwasanya barangsiapa yang mencari-cari keringanan –dalam fatwa – maka dia telah fasik yaitu keluar dari penilaian adil/terpercaya kepada penilaian fasik[2].  Bahkan sebagian ulama mengungkapkannya dengan ungkapan sebagai berikut “barangsiapa yang mencari-cari keringanan –dalam fatwa- maka dia telah menjadi zindiq”, dikarenakan dia tidaklah beribadah kepada Allah dengan hidayahNya melainkan dengan hawa nafsunya. – selesai penukilan –

Segores Pena :

 Maka dimanakah sikap adil dan bijak suatu kaum tatkala mereka mendatangi Ulama Kibar di suatu negeri memperjuangkan sesuatu yang sebenarnya tak layak sama sekali untuk diperjuangkan dan mendapati sebuah jawaban yang kurang memuaskan kemudian setelah melalui proses ta’wil dan tahrif kesana kemari dan sedikit dipaksakan terbanglah kafilah dagang tersebut ke negeri lainnya mencoba meminta fatwa dengan redaksi yang lebih indah kepada ulama Ahlussunnah lainnya, kemudian tak pula mendapat jawaban yang semestinya, bahkan dinasehatkan untuk mengajukan persoalan tersebut kepada Ulama Kibar yang baru saja ditinggalkannya agar mendapatkan jawaban yang terbimbing. Seiring dengan waktu,  berlanjutlah perjuangannya dengan mendatangkan ulama yang lain lagi, mengajukan pertanyaan kepadanya, yang lagi-lagi serupa tapi lagi-lagi sama (syubhatnya), memoles dan mengemas rapi pertanyaan demi pertanyaan, sungguh itu adalah sebuah sikap yang sedikit tak beradab dan sedikit kurang beretika. Allahul musta’an.

Begitulah…. Hukmun ala syai’in far’un an tashowwurihi…… Hukum atas sesuatu itu adalah cabang dari penggambaran permasalahan..

Catatan Kaki (pent):

[1] (فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لا تَعْلَمُونَ (٤٣

“Maka bertanyalah kepada para ulama jika kalian tidak mengetahui.” (QS. An-Nahl: 43)

[2] يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ (٦)

“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (QS. Al Hujurat 6)

Bersambung…. Insya Allah

[ Ibn Abi Iyaas ]

 

 

 

2 thoughts on “Kode Etik – Adab Dalam Mengajukan Sebuah Fatwa

  1. “ sesungguhnya barangsiapa yang meminta fatwa kepada seorang alim yang dirujuk/ditetapi apa yang telah difatwakannya maka harom bagi dia untuk bertanya/meminta fatwa dalam kasus yang sama kepada seorang alim yang lain”(Copas dari atas). Bagaimana dengan orang orang yang katanya alim dan bergelar al fadhil bertanya kesana kemari tentang RODJA, contohnya ke syaikh robi’, setelah dari syaikh robi’ tidak puas, ke syaikh Muhammad al Imam, masih pula tidak puas, terus mengajukan lagi ke syaikh Sholeh fauzan dengan qorina yang berbeda-beda tetapi tujuannya ya tetap mengarahkan bahwa sikapnya selama ini thd RODJA yang bersama al halabi, al Arifi-nya itu telah benar, sesuai dengan manhaj salaf?!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *