Mendudukkan Syubhat “Khilafiyah Ijtihadiyah” (Bag.5): Menolak Jarh Mufassar Berarti Meniadakan Jarh wa Ta’dil

Bismillahirrohmanirrohim. o

Menjawab Lagi Syubhat Jafar Salih & “Atasan”nya

[Menolak Jarh Mufassar Berarti Meniadakan Jarh wa Ta’dil]

Syubhat khilafiyah 05

الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه ومن والاه أما بعد

Pengantar

Untuk membela, menta’dil, melindungi orang-orang yang menyimpang, syubhat yang berulangkali dilontarkannya adalah jarh wat ta’dil merupakan persoalan ijtihadiyah sehingga bukan menjadi alasan untuk berpecahbelah/bermusuhan…Sampaipun merembet pada pembelaannya terhadap Ali Hasan Al Halabi beserta para pendukung dakwahnya mulai dari bentuk bahasanya yang halus tersamar sampai dalam bentuknya yang terang benderang…

Badrusalam, seorang dedengkot Rodja corong mubtadi’ sekelas Ali Hasan Al Halaby tanpa ragu dia katakan sebagai Salafy Murni!!

Js menghasung dukungan di fb abu ahmad siraj

Gambar 1. Ust. Badru Salafy murni. Fitnah pemikiran (sesat) Ali Hasan bukan alasan untuk berpecah-belah dan bermusuhan.

Perhatikanlah omongan syubhat di atas, bukankah pemikiran sesat yang dia sebarluaskan itu dan kemudian dibela-bela oleh para pengekornya secara otomatis merupakan ikrar permusuhan dan peperangan terhadap manhaj dakwah yang haq?? Dan bukannya orang-orang yang berupaya membela ahlul haq dan istiqamah di atas al haq yang malah dia cap memecahbelah.

Lihatlah bagaimana dia sedang berupaya keras menggambarkan kepada umat bahwa perseteruan, peperangan antara Ahlul Haq dengan Ahlul Bathil hanyalah sebuah soalan ijtihadi yang tidak selayaknya menjadi sebab saling bermusuhan dan tidak adanya keharusan baginya untuk mengikuti jarh terhadap ahlul bathil/corongnya.

ucapan aneh kesesatan ali hasan bkn alasan utk memusuhi

Gambar 2. Fitnah Ali Hasan Al Halaby jangan dijadikan alasan untuk saling memusuhi. Rivalitas diantara asatidzah mantan LJ dengan asatidzah Rodja(?????????????!).

Perhatikan ya ihwah bagaimana orang jahat ini berupaya mengelabui dan menipu pembacanya. Apakah Al Lajnah Ad Daimah, Al Allamah Al Fauzan yang mentahdzir Al Halaby Syaikhnya Rodja adalah tergolong sebagai asatidzah mantan LJ? Apakah Asy Syaikh Rabi’, Asy Syaikh Muhammad Bazmul, Asy Syaikh ‘Ubaid Al Jabiry, Asy Syaikh Ahmad Bazmul dan para penuntut ilmu lainnya dari kalangan Salafiyin yang membongkar dan memperingatkan umat dari kesesatan-kesesatan Ali Hasan Al Halaby hanyalah merupakan para ulama yang terkait dengan mantan LJ? Apakah anda sadar dengan pembonsaian dan pengerdilan permasalahan kejahatan dan kesesatan Ali Hasan Al Mubtadi’ yang mendunia hanya sebatas rivalitas antara asatidzah mantan LJ dengan asatidzah Rodja? Adakah orang-orang yang masih dikaruniai akal sehat bisa menerima pemahamannya yang miring di atas?

Apakah merupakan bagian dari keadilannya manakala dia mengilzam/memaksa Salafiyin agar menjadikan masalah ini sebatas soalan ilmiyah saja dan jangan dijadikan alasan untuk saling memusuhi sementara dirinya membebaskan hawa nafsunya meluapkan berbagai cercaan dan serangan jahatnya terhadap Ahlussunnah dan para da’inya dengan bahasa yang jahat lagi keji?

gb12

Gambar 3. Screenshot cercaan khabits Jafar Salih, Jamaah Tahdzir menggembosi dakwah tauhid, berdiri satu barisan dengan Iblis-Iblis. Dusta atas nama ulama-pun dilakukan (Parodi Rodja Go.Liat Cs Geli.At)

Apakah merupakan bagian dari kedalaman ilmunya manakala dia mengilzam/memaksa Salafiyin agar menjadikan masalah ini sebatas soalan ilmiyah saja dan jangan dijadikan alasan untuk saling memusuhi sementara dirinya membebaskan Halabiyun memuntahkan permusuhan dan kebencian kesumatnya terhadap Masyayikh Ahlussunnah?

terus berkibar bendera perang halabiyun0

Gambar 4. Genderang Perang ditabuh bertalu-talu oleh Halabiyun. Cercaan dan tuduhan-tuduhan jahat lagi keji ‘Azmi Al Jawabirah-Kulalsalafiyeen kepada Asy Syaikh Rabi’ dan Asy Syaikh ‘Ubaid hafizhahumallah dan si Khabits Jafar Salih Penyokong Rodja berteriak kepada Salafiyun “Jangan dijadikan alasan untuk memusuhi”

Sungguh ini semua adalah tawaran jual beli yang sangat jelek dan rusak wahai pegadang syubhat!!

Lalu apa yang dia petik dari bantahan-bantahan berlembar-lembar, tahdzir serta peringatan keras para masyayikh Ahlussunnah dan penuntut ilmu dari kalangan Salafiyun terhadap pemikiran sesat yang diusung dan ditebarkan oleh Ali Hasan Al Halaby Al Mubtadi’ dan dibela-bela serta dipuji oleh para pengekornya jika dengan seenaknya orang ini – tanpa selembarpun membawa data bantahan ilmiyah terhadap tahdziran di atas – nyelonong datang sambil berteriak ini adalah perkara ijtihadiyah dan jangan dijadikan alasan untuk memusuhi? Lalu dikemanakan pembelaan dan kedekatan Ali Hasan Al Halaby terhadap takfiriyun dan para dedengkot kesesatan semisal As Surkati, ‘Ar’ur, Abu Ishaq Al Huwainy, Muhammad Hassan, Al Maghrawy serta Abul Hasan Al Ma’riby? Bukankah ini juga merupakan soalan ijtihadiyah (bagimu) sebagai alasan untuk menutup mata dari berbagai bukti kesesatan mereka demi membebaskan diri (baca:menolak) dari menerima rincian bantahan terhadap berbagai kesesatannya?

siapa bilang cap hizby hanya karena soal rodja

Gambar 5. Bentuk pengelabuan sejarah, seolah-olah cap sururi hizby hanyalah terkait soal fitnah Ali Hasan (dan Rodja). Dimana engkau sembunyikan sejarah Al Irsyad Tengaran bersama Abdurrahman Abdul Khaliq, Syarif Hazza’, Yusuf Ba’isa, Abu Nida’ dkk? Dimana engkau lipat sejarah Al Sofwa Al Muntada As Surury? Dimana engkau kubur sejarah Hizbul Irsyad? JAS MERAH, JAfar Salih MEnipu sejaRAH.

Link Sejarah, Buku Putih 1 Membantah Tuduhan Menjawab Tantangan: http://goo.gl/SYjnG

Mengingat kembali tahdzir Syaikh Shalih As Suhaimy terhadap situs Kulalsalafiyin, corong besar Ali Hasan Al Mubtadi’ dkk. pada makalah yang telah lalu:

Baca Situs Tukpencarialhaq di Tahdzir Syaikh Shalih As Suhaimy!

Saatnya sekarang kita membaca uraian Al Imam Al Albany rahimahullah dan penjelasan Abu Al-Barra’ Samir Al-Maghriby:

Al-Imam Al-Albany rahimahullah berkata di dalam Silsilah Al-Ahadits Adh-Dha’ifah (7/283):

“Jadi riwayat ini muaranya kepada Abu Hanifah. Al-Hafizh Al-Jauraqy telah mengisyaratkan hal tersebut setelah hadits ini dan mengatakan: “Abu Hanifah haditsnya matruk (ditinggalkan).” Dan siapa yang ingin mengetahui lebih luas perkataan para imam huffazh, hendaklah merujuk yang telah disebutkan setelah hadits no. 458. Ketika itu engkau akan mengetahui seberapa jauh sikap fanatik Ibnu At-Tarkumany setelah membawakan riwayat ini di dalam Al-Jauhar An-Naqy: “Walaupun mereka melemahkan riwayat ini karena adanya Abu Hanifah, beliau walaupun sebagian orang mencelanya, namun banyak yang menilainya tsiqah. Ibnu Hibban telah meriwayatkan haditsnya di Shahih-nya dan Al-Hakim menjadikannya sebagai syahid di dalam Al-Mustadrak. Dan orang semisal beliau yang kuat agamanya, sikap wara’ dan keilmuannya, tidaklah menodai beliau ucapan mereka.”

Saya (Al-Albany) katakan: Ini merupakan pengingkaran terhadap ilmu jarh wa ta’dil karena fanatik terhadap Al-Imam (Abu Hanifah). Karena jarh (dalam riwayat) tidaklah memperhatikan agama agama, wara’ dan keilmuan pihak yang dijarh, tetapi hanya memperhatikan kekuatan hafalan dan dhabt-nya di dalam riwayat-riwayatnya setelah dipastikan keadilannya. Dan tidak ada keraguan pada diri saya tentang keadilan beliau. Tetapi dhabt dan hafalan adalah sesuatu yang lain, dan perkara ini tidak dikenal pada diri Al-Imam rahimahullah, bahkan yang diketahui adalah kebalikannya (tidak kuat hafalan dan dhabt-nya).

Termasuk sikap fanatik dan memutar balikkan fakta adalah dengan dia mengisyaratkan yang menganggap sedikit para ulama yang mengkritik beliau dengan ucapannya: “Sebagian mereka” dan “Banyak yang menilai tsiqah.” Padahal hakekatnya benar-benar bertolak belakang, sebagaimana yang telah saya sebutkan baru saja setelah hadits tersebut di atas.

Adapun ucapannya: “Al-Hakim menjadikannya sebagai syahid di dalam Al-Mustadrak” maka jika ini benar justru menjadi bukti yang menyalahkannya dan tidak mendukungnya, karena menjadikan seorang perawi sebagai syahid (isytihad) tidak sama dengan menjadikannya sebagai hujjah (ihtijaj), sebagaimana hal ini telah dijelaskan di dalam ilmu yang mulia ini (ilmu hadits).

Sedangkan ucapannya: “Ibnu Hibban telah meriwayatkan haditsnya di Shahih-nya” maka ini diselipkan dalam bantahan kritikan saya, kalaupun benar maka itu sebagai syahid dan bukan sebagai hujjah. Dalilnya adalah karena Ibnu Hibban tidak menyebutkan nama beliau (Abu Hanifah) di dalam kitabnya yaitu Ats-Tsiqat, padahal Ibnu Hibban terkenal bermudah-mudahan di dalam menentukan syaratnya di dalam kitabnya tersebut sebagaimana hal itu diketahui oleh para ulama kritikus hadits. Bahkan keadaannya adalah sebaliknya di mana Ibnu Hibban menyebutkan beliau di dalam kitabnya yang lain yaitu Al-Majruhun min Al-Muhadditsin wa Adh-Dhu’afa’ wa Al-Matrukin. Ibnu Hibban sangat keras di dalam menilai kelemahan beliau (di dalam ilmu dan riwayat hadits). Diantara yang dia katakan: “Beliau (Abu Hanifah) seorang yang suka berdebat, terkenal sifat wara’nya, namun ilmu hadits bukan merupakan keahliannya. Beliau meriwayatkan 130 hadits dengan sanadnya, tidak ada riwayatnya di dunia ini selain itu. Namun beliau salah pada 120 hadits. Ada yang terbolak-balik sanadnya atau merubah matannya dalam keadaan beliau tidak mengetahuinya. Maka tatkala kesalahan beliau lebih banyak dibandingkan benarnya, beliaupun layak untuk ditinggalkan sebagai hujjah di dalam riwayat-riwayat hadits.”

Oleh karena inilah muhaqqiq kitab ini (Al-Jauhar An-Naqy karya Ibnu At-Tarkumany)  memberi catatan sebanyak 3 halaman yang penuh dengan pemutar balikan fakta dan berhujjah dengan perkataan para imam yang tidak shahih dan justru berpaling dari perkataan-perkataan mereka yang pasti kebenarannya dari mereka tentang Al-Imam rahimahullah. Dan menggunakan perkataan para imam yang mengkritik beliau yang dilakukan oleh orang-orang yang fanatik kepada beliau adalah seperti peribahasa “Dia melemparku dengan penyakitnya lalu kabur.” (Selesai perkataan Asy-Syaikh Al-Albany rahimahullah)

Saya (Abu Al-Barra’ Samir Al-Maghriby) katakan:

Pada perkataan Asy-Syaikh (Al-Albany) terdapat dua hal yang saya cermati:

Pertama: Apa hukum orang yang menolak kaidah-kaidah jarh wa ta’dil? Apakah dia tidak menjadi mubtadi’?

Kedua: Hanafiyah (pengikut Abu Hanifah) menolak kaidah-kaidah jarh wa ta’dil hanyalah jika perkaranya ada hubungannya dengan para imam mereka, berbeda dengan orang-orang mumayyi’ yang memperhatikan kaidah-kaidah umum ketika menolak ilmu jarh wa ta’dil.

Seperti perkataan mereka: “Tidak ada keharusan menerima jarh.”

Juga perkataan mereka: “Perbedaan kita di dalam menilai orang lain janganlah menjadikan perselisihan di antara kita.”

Duhai, jika jarh mufassar (kritikan ilmiyah yang rinci dan detail) tidak memiliki konsekuensi, maka apa gunanya rincian ilmiyahnya?!

Lalu ketika itu apa bedanya antara jarh mubham (yang tidak jelas) dengan jarh mufassar?!

Di mana kedudukan kaidah: “Jarh mufassar dari orang yang diakui keilmuannya didahulukan atas ta’dil yang global?!”

Apa faedah kaidah-kaidah jarh wa ta’dil kalau perkaranya hanya menjadi permainan dan hawa nafsu?!

Dan di sini ada pertanyaan-pertanyaan penting kepada orang-orang yang mengatakan: “Tidak ada keharusan untuk menerima jarh” dan “Masalah jarh wa ta’dil sifatnya ijtihadiyah”:

bukan alasan untuk bermusuhan

Gambar 6. Spesialis Penangkar syubhat sebarluaskan ranjau-ranjau syubhat jahatnya kepada umat. Jangan salahkan kalau menurut kami “mereka salafy”…Ijtihadiyah.. Yang keliru adalah mengilzam orang lain sependapat dengannya dalam perkara ini (baca: Tidak ada keharusan untuk menerima jarh)

Apakah pengkafiran terhadap Jahmiyah dan Rafidhah serta vonis mubtadi’ terhadap Al-Ikhwanul Muslimun, Jama’ah Tabligh, Asy’ariyah, Maturidiyah dan selainnya adalah masalah ijtihadiyah dan tidak ada keharusan untuk menerimanya?!

Jika mereka menjawab: “Tidak.” Maka berarti mereka telah membatalkan perkataan mereka bahwa tidak ada keharusan untuk menerima jarh, karena semua ini masuk dalam masalah jarh wa ta’dil.

Jika mereka menjawab: “Ya.” Maka jauhilah sikap lembek mereka dan berarti mereka adalah orang-orang yang menyia-nyiakan agama ini.

Dan di sini ada pertanyaan lain: Apakah tabdi’ terhadap Quthbiyun, Haddadiyun, Al-Jafary, Al-Qaradhawy, Asy-Sya’rawy dan para dai selain mereka merupakan masalah ijtihadiyah?!

Jika mereka menjawab: “Tidak.” Maka berarti mereka telah membatalkan pemutlakan mereka bahwa masalah jarh wa ta’dil adalah masalah ijtihadiyah dan tidak harus menerima jarh, dan kita tuntut mereka untuk menyebutkan syarat-syarat yang membedakan antara jarh yang harus diterima dengan jarh yang tidak harus diterima, agar kita bisa mengharuskan mereka untuk menerimanya dengan syarat-syarat yang mereka sebutkan itu.

Masih ada pertanyaan lain: Apakah ta’dil dari Al-Imam Al-Albany, Al-Imam Ibnu Baz dan Al-Imam Ibnu Utsaimin adalah masalah ijtihadiyah?

Jika mereka menjawab: “Tidak.” Berarti mereka mengharuskan manusia untuk menerima ta’dil mereka.

Maka sebagaimana di sana ada ta’dil yang harus diterima, berarti di sana ada juga jarh yang harus diterima.

Pertanyaan terakhir: Apakah ta’dil terhadap Al-Halaby, (Abdullah) Asy-Syarikah, (Salim) Ath-Thawil dan selain mereka adalah masalah ijtihadiyah?

Jika mereka menjawab: “Tidak.” Maka berarti mereka telah membatalkan pemutlakan mereka bahwa masalah jarh wa ta’dil adalah masalah ijtihadiyah.

Dan jika mereka menjawab: “Ya.” Maka mereka tidak bisa mengharuskan kita untuk menerima ta’dil terhadap salah seorang pun dari mereka.

هذا وصل اللهم على محمد وعلى آله وصحبه وسلم.

Abu Al-Barra’ Samir Al-Maghriby

Sumber:

http://www.albaidha.net/vb/showthread.php?t=41080

http://www.alwaraqat.net/showthread.php?7324

http://www.sahab.net/forums/index.php?showtopic=132130

 

 

 

 

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *