Mengingkari Kesalahan Walaupun…

bismillahirrohmanirrohim

Mengingkari Kesalahan

Walaupun

Yang Mengatakannya Tidak Memaksudkannya

updated 14 Muharram 1434 H/ 28 November 2012 M

Terkadang sebagian orang ketika membela orang yang mengatakan ucapan yang salah akan mempertanyakan: “Kamu percaya dia meyakininya?!” Atau kalimat semakna: ”Kita telah mengenal keilmuannya, tidak mungkin dia meyakininya!” Atau ucapan semisal: “Dia tidak memaksudkannya demikian!”

Benarkah sikap seperti itu?! Lalu bagaimana manhaj Ahlus Sunnah wal Jamaah membimbing kita dalam masalah semacam ini?! Berikut penjelasan para ulama berupa nukilan yang dibawakan oleh Asy-Syaikh Ahmad Bazmul hafizhahullah dari perkataan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah ketika Asy-Syaikh Ahmad membantah Syaikh Falah Mandakar hafizhahullah yang membela Salim Ath-Thawil dan Abdullah Asy-Syarikah dengan alasan bahwa bantahan terhadap mereka ini dikarenakan salah faham terhadap ucapan mereka saja yang sebenarnya tidak dimaksudkan demikian.

Asy-Syaikh Al-Albany rahimahullah berkata di dalam kaset Fatawa Jiddah no 33 menit ke-37 detik 16 hingga menit ke-39 detik 21:

Jangan sekali-kali engkau mengatakan ucapan yang dengannya engkau akan mencari-cari alasan untuk membenarkannya di hadapan manusia. Seringkali manusia mengatakan,

والله أنا قصدت كذا! 

Demi Allah, saya tidak memaksudkan demikian”.

Ya akhi, maksudmu ada di dalam hatimu, tidak ada yang mengetahuinya kecuali Rabbmu. Tetapi engkau harus memilih ungkapan yang baik bagi maksudmu dengan lafazhmu!

Tidakkah engkau mendengar hadits tentang pengingkaran Ar-Rasul ‘alahis salam yang sangat keras terhadap seorang shahabat yang mendengar nasehat Nabi shallallahu ‘alaihi was salam lalu dia bangkit untuk menunjukkan ketundukan, ittiba’ dan ketaatannya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi was salam dengan mengatakan, ‘Terserah apa yang dikehendaki oleh Allah dan apa yang Anda kehendaki wahai Rasulullah.’

Maka beliau shallallahu ‘alaihi was salam bersabda:

أَجَعَلْتَنِي لله نِدًّا قُلْ مَا شَاءَ اللهُ وَحْدَهُ!

“Apakah engkau menjadikan diriku sebagai tandingan bagi Allah, katakanlah: Terserah apa yang dikehendaki oleh Allah saja?!”[1]

Apakah kalian menganggap bahwa shahabat ini memaksudkan dengan ucapan yang dia sampaikan kepada Nabinya dengan mengatakan, ‘Terserah apa yang dikehendaki oleh Allah dan apa yang Anda kehendaki wahai Rasulullah.’ Yaitu ingin menjadikan beliau sebagai sekutu bagi Allah?!!

Rasulullah shallallahu ‘alaihi was salam tidak merasa aman dengan yakin kecuali beliau berusaha lari menghindari syirik. Jadi, kenapa Rasulullah shallallahu ‘alaihi was salam sangat keras di dalam mengingkari shahabat tersebut dengan ungkapan yang sangat keras ini, yaitu: “Apakah engkau menjadikan diriku sebagai tandingan bagi Allah, katakanlah: Terserah apa yang dikehendaki oleh Allah saja?!”

Jika demikian, tidak sepantasnya kalian membolehkan kesalahan-kesalahan lafazh dengan (alasan-pent) benarnya maksud hati kalian! Niat yang baik ini tidak membolehkan kesalahan-kesalahan lafazh. Jadi wajib atas kita jika kita berbicara hendaklah ucapan kita sesuai dengan maksud baik kita, dan jangan sampai ucapan kita buruk walaupun maksud kita baik. Bahkan wajib lafazh itu sesuai dengan yang ada di dalam hati!”

(Transkrip oleh Asy-Syaikh Dr. Ahmad Bazmul hafizhahullah)

Sumber:

http://www.albaidha.net/vb/showthread.php?t=42892

 http://bayenahsalaf.com/vb/showthread.php?t=12374

 www.alwaraqat.net/showthread.php?t=10489

 Suara Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah bisa didownload di:

http://goo.gl/1jj3s atau http://goo.gl/3IkDN  atau http://goo.gl/QqZTa

Tasyabbuh Terlarang Walaupun Pelakunya Tidak Meniatkannya.

Lebih khusus lagi adalah masalah sikap menyerupai orang kafir, tasyabbuh. Penyelisihan terhadap orang-orang kafir adalah sesuatu yang memang disyariatkan oleh Allah Ta’ala dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam. Bagaimana jika ada sebagian orang yang berbuat demikian bukanlah bermaksud untuk bertasyabbuh dengan orang kafir?

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata di dalam Iqtidha’ Ash-Shirath Al-Mustaqim hal. 263:

As Shiroth Al Mustaqim 1

“Telah dijelaskan bahwa apa yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya kepada kita berupa sikap menyelisihi mereka (orang-orang kafir) adalah perkara yang disyariatkan, sama saja apakah hal itu dengan perbuatan yang pelakunya memaksudkannya untuk tasyabbuh dengan mereka atau dia tidak memaksudkannya. Demikian juga apa yang dilarang berupa sikap tasyabbuh dengan mereka mencakup apa yang engkau maksudkan sebagai sikap tasyabbuh dengan mereka atau yang tidak engkau maksudkan. Karena kebanyakan dari perbuatan-perbuatan ini tidak dimaksudkan oleh kaum Muslimun sebagai bentuk tasyabbuh dengan mereka ketika melakukannya, bahkan pada sebagian perbuatan-perbuatan tersebut ada yang tidak tergambar maksud untuk tasyabbuh dengan mereka, seperti memutihkan rambut dan memanjangkan kumis serta yang semisalnya.”

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah mengomentari pernyataan Ibnu Taimiyyah rahimahullah di atas:

Syaikh Utsaimin

Ini juga merupakan masalah yang wajib untuk diingatkan, yaitu bahwasanya sebagian manusia ketika menyebutkan tasyabbuh dengan orang-orang kafir dia mengatakan, ‘Saya tidak bermaksud tasyabbuh.’ Padahal tasyabbuh terjadi, sama saja apakah engkau memaksudkan atau tidak. Selama tasyabbuh telah terjadi maka tidak ada bedanya apakah seseorang meniatkannya atau tidak, sebagaimana yang dikatakan oleh Asy-Syaikh (Ibnu Taimiyyah rahimahullah).”-selesai penukilan-

File suara beliau bisa didownload di:

http://goo.gl/j736S atau http://goo.gl/5y4Al atau http://goo.gl/EapHy

Demikianlah penjelasan para ulama dalam masalah ini perintah untuk menyelisihi orang-orang kafir baik dalam masalah ucapan, perbuatan, pakaian, dan semua perkara mereka yang tidak disyari’atkan bagi kita. Jadi menyelisihi orang-orang kafir adalah syari’at yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya, maka bagaimana keadaannya jika ayat suci Al-Qur’an yang diturunkan oleh Dzat Yang Maha Suci lagi Maha Mulia dan hadits mulia yang dibawa oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam sengaja dijadikan sebagai dalih pembenar salah satu istilah yang menjadi ciri khusus keyakinan milik orang-orang kafir penyembah berhala (baik dia maksudkan ataupun tidak)?

Kami tutup makalah ini dengan sebagian nasehat dan harapan dari Asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali hafizhahullah kepada para pemuda:

فلا نَجعلُ طلابناً عند الشباب كالصُّمّ البّكم الذين لا يعقلون ، و لا نريد أن نجعلَ منهم دُمىً لا يتحركون إلاَّ بتحريك مَن أراد تحريكهم ، لا نريد هذا و لا ذاك ، نريد احترام العلماء و تقديرهم و معرفة حقَّهم ، و نريد أيضاً مِن الشباب أن يكونَ شباباً ذكياً مُدركاً

“…Jadi kita tidak menjadikan para penuntut ilmu kita di mata para pemuda seperti orang yang bisu dan tuli yang tidak bisa memahami. Dan kita tidak ingin menjadikan diantara mereka itu sebagai boneka yang tidak bergerak kecuali jika digerakkan oleh orang yang ingin menggerakkan mereka. Kita tidak menginginkan hal ini dan tidak ingin pula hal itu. Kita menginginkan mereka memuliakan para ulama, menghormati mereka dan menghormati hak mereka dan kita juga menginginkan agar para pemuda menjadi pemuda yang cerdas dan paham…”

Sumber: http://www.sahab.net/forums/index.php?showtopic=131972

[1] Lihat Silsilah Ash-Shahihah 1/216. (pent)

.

Baca artikel terkait:

Hanan Bahanan Overload Bag.3

Antara Karma Islami dan Tatanama Iblis

Mufti Karma Dalam Sangkar Pembelaan

Al Ustadz Dzulqarnain dan Aqidah Batil Hukum Karma

2 thoughts on “Mengingkari Kesalahan Walaupun…

  1. Dalam menyikapi sebuah masalah seluruh pihak (siapapun dia dan setinggi apapun kedudukan dan ilmunya) wajib menilai dengan timbangan ilmu agar dia tidak menzhalimi salah satu pihak. Jangan karena yang berbicara adalah orang yang dianggap rendah serta merta ditolak walaupun dia membawa hujjah, dan jangan membela orang semata-mata karena kemasyhurannya, karena yang menjadi penilaian adalah dalil dan bukan orangnya.
    Asy-Syaikh Rabi’ bin Hady Al-Madkhaly hafizhahullah berkata sebagaimana disebutkan di dalam Fatawa fil Aqidah wal Manhaj (1/22): “Seorang ulama sendiri tidak boleh berbicara kecuali dengan kebenaran, hujjah serta sikap adil dan tidak boleh berbicara atas nama agama Allah tanpa ilmu. Seorang penuntut ilmu pun demikian, perkara-perkara yang tidak dia ketahui dia tidak boleh berbicara padanya.”
    Maka apakah setelah ini akan ada orang yang kedudukannya di bawah ulama akan berani berbicara ngawur dan membabi buta dalam membela salah satu pihak tanpa mau melihat dalil pihak-pihak yang berselisih, padahal dia tidak tahu duduk permasalahannya. Allahul Musta’an wa laa haula wa laa quwwata illa billah.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *