Aqidah Islamiyah Kita Diusik Al Ustadz Dzulqarnain!!!
Allah Ta’ala berfirman:
فَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنِ افْتَرَى عَلَى اللهِ كَذِبًا لِيُضِلَّ النَّاسَ بِغَيْرِ عِلْمٍ إِنَّ اللهَ لا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
“Maka siapakah yang lebih zhalim dari orang yang membuat-buat kedustaan terhadap Allah untuk menyesatkan manusia tanpa pengetahuan?! Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zhalim.” (QS. Al-An’am: 144)
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
ألا لا يمنعن رجلا هيبة الناس أن يقول بحق إذا علمهث
“Janganlah kamu terhalang rasa segan kepada manusia untuk menyatakan kebenaran manakala ia telah mengetahui kebenaran itu” (Sunan Ibnu Majah, Kitabul Fitan, hadits no.4007, berkata Asy Syaikh Al Albani: shahih)
Pembaca rahimakumullah,
Dalam file dauroh Bali yang disebarluaskan di internet, ada pertanyaan menarik diajukan kepada Al Ustadz Dzulqarnain hadahullah yang terkait langsung dengan aqidah penting di dalam agama Hindu/Budha yakni hukum karma/karmaphala. Silakan simak jawaban beliau yang sangat menakjubkan….
Apakah hukum karma itu memang ada?
Hukum karma dimaklumi ya dalam bahasa Indonesia, dalam pengertian kita. Seorang berbuat kejelekan, ada seseorang dia juga mendapatkan akibat yang semisalnya. Nah hal yang semacam ini mungkin saja ada sebab dia adalah bentuk dari siksaan, bentuk dari pembalasan, iya, bentuk dari pembalasan. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menyebutkan bahwa pembalasannya itu sangatlah berat. Di dalam berbagai ayat diterangkan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala, iya, memberikan balasan kepada orang yang berbuat dosa sesuai dengan amalannya masing-masing….(kemudian beliau membawakan ayat dan hadits untuk menguatkan fatwanya di atas)
Berikut link bukti suaranya:
http://www.4shared.com/mp3/j4YPBuX1/hukum_karma_mungkin_saja_ada.html
Pembaca rahimakumullah,
Sesungguhnya istilah hukum karma/karmaphala tidaklah dikenal dalam syari’at Islam karena istilah yang demikian ini adalah istilah di dalam ideologi pokok/keyakinan/aqidah agama dharma. Oleh karena itu tidak selayaknya kita bertaqlid mengaminkan kesimpulan beliau bahwa hukum karma diakui keabsahannya oleh Islam (sebagaimana dalil-dalil ayat dan hadits yang dibawakan dan difatwakan oleh Al Ustadz) kecuali setelah kita mengetahui secara ilmiyah hakekat hukum karma itu sendiri.
Allah Ta’ala berfirman:
وَلا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولا
“Dan janganlah engkau mengikuti apa yang engkau tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggung jawaban.” (QS. Al-Isra’: 36)
Maka kami akan membawakan definisi dan kedudukan penting aqidah hukum karma dalam pandangan pemiliknya (Hindu dan Budha) agar seorang muslim yang mencintai Allah Ta’ala dan RasulNya Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan memiliki kecemburuan terhadap Dienul Islam bisa membandingkannya dengan tindakan gegabah dan (maaf) ngawur serta sembrono yang mengaitkan keyakinan batil dan sesat tersebut dengan dienul Islam yang sempurna. Maha Suci Allah dari apa yang dikatakannya.
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإسْلامَ دِينًا
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.” (Al Maidah: 3)
إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الإسْلامُ
“Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam.“ (Ali Imran:19)
Pertama,
Hukum karma/karmaphala adalah rukun iman di dalam agama Hindu. Berikut referensi resmi dari agama Hindu:
(Diarsipkan di: http://www.4shared.com/photo/KjrTBQBv/Panca_Sradha_01.html)
Bukti referensi lainnya:
(Diarsipkan di: http://www.4shared.com/photo/AvwmVAtA/Panca_Sradha_02.html)
Kedua,
Hukum Karma/Karmaphala memiliki pengertian yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan apa yang diklaimkan dasar hukumnya (secara dusta) oleh Al Ustadz Dzulqarnain hadahullah di dalam Al Qur’an dan hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, laa min qarib wa laa min ba’id, tidak dari dekat, tidak pula dari jauh (meminjam istilah beliau ketika ditanya tentang Zaitun).
Simak referensi resmi dari agama Hindu di bawah ini:
“PENJELASAN TENTANG KARMA
Berbeda dengan sebagian agama yang mengajarkan tentang “Takdir Tuhan” -dimana kehidupan kita di masa lalu, masa kini dan masa yang akan datang ditentukan oleh takdir Tuhan-, agama-agama dharma [Hindu, Buddha dan Jain] mengajarkan yang berbeda, yaitu “Hukum Karma“.
Kadang ada kesalahpahaman bahwa hukum karma sama dengan “nasib”, bahkan “suratan takdir Tuhan” [berarti semuanya ditentukan Tuhan]. Perlu diketahui bahwa dalam hukum karma tidaklah demikian, “suratan takdir” ini ditulis sendiri oleh diri kita sendiri. Kitalah yang mendesain nasib kita, bukan oleh Brahman, Dewa-Dewi ataupun pihak lain. Dalam ajaran Hindu, Brahman atau Purusha memang diyakini sebagai penyebab utama, tetapi dalam hal ini Brahman sebenarnya hanya “pengamat / saksi abadi“.
Karma berarti “perbuatan / tindakan”. Hukum karma adalah hukum semesta sebab-akibat, dimana setiap tindakan kita akan membuahkan hasil tindakan atau buah karma [karma-phala]. Yang berarti apapun yang terjadi pada diri kita di masa lalu, masa kini dan masa yang akan datang, ditentukan sepenuhnya oleh tindakan diri kita sendiri. Tanpa ada intervensi dari Brahman, Dewa-Dewi ataupun pihak lain. Dan yang dimaksud dengan “tindakan” itu adalah pikiran, perkataan, dan perbuatan kita sendiri….” (http://peradah-semarang.blogspot.com/2011/05/hukum-karma.html)
Dan berikut penjelasan dari pihak agama Buddha:
“secara singkat,
karma (Pali: Kamma) berarti “perbuatan”,
yang dalam arti umum meliputi semua jenis kehendak dan maksud perbuatan, yang baik maupun yang buruk, lahir atau bathin dengan pikiran kata-kata atau tindakan.
Makna yang luas dan sebenarnya dari Kamma, ialah semua kehendak atau keinginan dengan tidak membeda-bedakan apakah kehendak atau keinginan itu baik (bermoral) atau buruk (tidak bermoral)
Sebagian masyarakat akan menyandarkan jawaban atas segala keadaan yang terjadi, baik atau buruk, kepada Tuhan.
Namun agama Buddha menyangkal ciri ketuhanan seperti itu;… Selama berabad-abad, doktrin agama Buddha tentang karma, telah sering disalah-artikan sebagai paham deterministik/takdir.” (http://id.answers.yahoo.com/question/index?qid=20081119011055AAlf70V)
Lebih tegas lagi:
“Ajaran Buddha tidak mengajarkan paham “takdir”, juga tidak mengajarkan paham “bebas kehendak”, tapi suatu ‘kehendak-berprasyarat’” (idem)
Dari sejak awal menjelaskan, Hindu,Buddha dan Jain sudah menyatakan dengan tegas perbedaannya dengan dienul Islam (berbeda 180% dengan sikap Al Ustadz Dzulqarnain yang malah mencarikan pembenaran dengan ayat dan hadits untuk mendukung keabsahan hukum karma dalam pandangan Islam). Nampak jelas bahwa hukum karma sama sekali tidak terkait dengan taqdir Allah Ta’ala. Demikian pulakah keyakinan seorang muslim ya ustadz?!
Aqidah batil hukum karma semacam di atas tidaklah ada kaitannya sedikitpun, laa min qarib wa laa min ba’id (tidak dari dekat, tidak pula dari jauh) dengan ayat dan hadits yang diklaim (secara dusta!) oleh Al Ustadz Dzulqarnain untuk mendukung pendapatnya!
Allah Ta’ala berfirman:
إِنَّا كُلَّ شَيْءٍ خَلَقْنَاهُ بِقَدَرٍ.
“Sesungguhnya segala sesuatu Kami ciptakan dengan takdir.” (QS. Al-Qomar: 49)
Allah Ta’ala juga berfirman:
وَخَلَقَ كُلَّ شَيْءٍ فَقَدَّرَهُ تَقْدِيرًا.
“Dan Dialah yang menciptakan segala sesuatu lalu menetapkan takdirnya dengan sebenar-benarnya.” (QS. Al-Furqan: 2)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:
كُلُّ شَىْءٍ بِقَدَرٍ حَتَّى الْعَجْزُ وَالْكَيْسُ.
“Segala sesuatu telah ditakdirkan, sampai kelemahan dan kecerdasan.”[1]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:
إِنَّ اللهَ خَلَقَ لِلْجَنَّةِ أَهْلًا خَلَقَهُمْ لَهَا وَهُمْ فِي أَصْلَابِ آبَائِهِمْ وَخَلَقَ لِلنَّارِ أَهْلًا خَلَقَهُمْ لَهَا وَهُمْ فِي أَصْلَابِ آبَائِهِمْ.
“Sesungguhnya Allah telah menciptakan (menetapkan/menakdirkan) siapa saja yang akan masuk surga ketika mereka masih di tulang sulbi ayah-ayah mereka, dan Dia telah menciptakan (menetapkan/menakdirkan) siapa saja yang akan masuk neraka ketika mereka masih di tulang sulbi ayah-ayah mereka.”[2]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:
مَا مِنْكُمْ مِنْ نَفْسٍ إِلَّا وَقَدْ عُلِمَ مَنْزِلُهَا مِنْ الْجَنَّةِ وَالنَّارِ.
“Tidak ada seorang jiwapun diantara kalian kecuali telah diketahui (oleh Allah karena Dia yang menetapkan) tempat tinggalnya di surga atau di neraka.”[3]
Ubadah bin Ash-Shamit berkata kepada anaknya: “Wahai anakku, engkau tidak akan merasakan lezatnya hakekat iman hingga engkau mengetahui (meyakini) bahwa apa yang telah ditetapkan akan menimpa dirimu tidak akan mungkin meleset darimu dan apa yang telah ditetapkan tidak akan menimpamu tidak akan mungkin mengenai dirimu. Saya telah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:
إِنَّ أَوَّلَ مَا خَلَقَ اللهُ الْقَلَمَ فَقَالَ لَهُ: اكْتُبْ! قَالَ: رَبِّ وَمَاذَا أَكْتُبُ؟ قَالَ: اكْتُبْ مَقَادِيرَ كُلِّ شَىْءٍ حَتَّى تَقُومَ السَّاعَةُ!
“Sesungguhnya makhluk yang pertama kali Allah ciptakan adalah pena, lalu Dia berfirman kepadanya, “Tulislah!” Pena bertanya, “Wahai Rabbku, apa yang harus aku tulis?” Allah menjawab, “Tulislah takdir segala sesuatu hingga hari kiamat!”
Lalu Ubadah berkata: “Barangsiapa yang mati dalam keadaan meyakini selain ini maka dia bukan termasuk dariku.”[4]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:
يَا أَبَا هُرَيْرَةَ قَدْ جَفَّ الْقَلَمُ بِمَا أَنْتَ لاَق.
“Wahai Abu Hurairah, pena takdir telah kering mencatat apa saja yang akan engkau jumpai.”[5]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:
إِنَّ الرَّجُلَ لَيَعْمَلُ عَمَلَ أَهْلِ الْجَنَّةِ فيما يَبْدُو لِلنَّاسِ وَهُوَ مِنْ أَهْلِ النَّارِ، وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَعْمَلُ عَمَلَ أَهْلِ النَّارِ فِيما يَبْدُو لِلنَّاسِ وَهْوَ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ.
“Sesungguhnya benar-benar ada seorang hamba yang melakukan perbuatan penduduk surga berdasarkan apa yang terlihat oleh manusia, padahal dia telah ditakdirkan menjadi penduduk neraka. Dan sesungguhnya benar-benar ada seorang hamba yang melakukan perbuatan penduduk neraka berdasarkan apa yang terlihat oleh manusia, padahal dia telah ditakdirkan menjadi penduduk surga.”[6]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:
إِنَّ الْغُلَام الَّذِي قَتَلَهُ الْخَضِر طُبِعَ كَافِرًا , وَلَوْ عَاشَ لَأَرْهَقَ أَبَوَيْهِ طُغْيَانًا وَكُفْرًا.
“Sesungguhnya anak muda yang dibunuh oleh Khidhir memang telah ditetapkan menjadi orang kafir, seandainya dia berumur panjang pasti dia akan menyeret kedua orang tuanya kepada sikap melampaui batas dan kekafiran.”[7]
Lalu dimana kesesuaian hukum karma yang Al Ustadz Dzulqarnain hadahullah klaim dengan ayat dan hadits yang paduka bawakan ya ustadz?!
Allah Ta’ala berfirman:
وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنِ افْتَرَى عَلَى اللهِ كَذِبًا (٢١)
“Dan siapakah yang lebih zhalim dari orang yang membuat-buat kedustaan terhadap Allah.” (QS. Al-An’am: 21)
Allah Ta’ala berfirman:
قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالإثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَنْ تُشْرِكُوا بِاللهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لا تَعْلَمُونَ (٣٣)
“Katakanlah: Rabbku hanya mengharamkan perbuatan yang keji baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, mengharamkan kalian mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (Dia mengharamkan) kalian mengada-adakan kedustaan terhadap Allah dengan sesuatu yang tidak kalian ketahui.” (QS. Al-A’raf: 33)
Allah Ta’ala berfirman:
أَلَمْ يُؤْخَذْ عَلَيْهِمْ مِيثَاقُ الْكِتَابِ أَنْ لا يَقُولُوا عَلَى اللهِ إِلا الْحَقَّ وَدَرَسُوا مَا فِيهِ وَالدَّارُ الآخِرَةُ خَيْرٌ لِلَّذِينَ يَتَّقُونَ أَفَلا تَعْقِلُونَ (١٦٩)
“Bukankah Perjanjian Taurat sudah diambil dari mereka; yaitu bahwa mereka tidak akan mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar, dan mereka juga telah mempelajari apa yang tersebut di dalamnya?! Dan negeri akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa, maka tidakkah kalian mengerti?” (QS. Al-A’raf: 169)
Allah Ta’ala berfirman:
قُلْ إِنَّ الَّذِينَ يَفْتَرُونَ عَلَى اللهِ الْكَذِبَ لا يُفْلِحُونَ (٦٩) مَتَاعٌ فِي الدُّنْيَا ثُمَّ إِلَيْنَا مَرْجِعُهُمْ ثُمَّ نُذِيقُهُمُ الْعَذَابَ الشَّدِيدَ بِمَا كَانُوا يَكْفُرُونَ (٧٠)
“Katakanlah: “Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kedustaan terhadap Allah tidak beruntung. Itu hanya akan menghasilkan kesenangan sementara di dunia, kemudian hanya kepada Kami-lah mereka kembali, kemudian Kami akan merasakan kepada mereka siksaan yang berat disebabkan kekafiran mereka.” (QS. Yunus: 69-70)
Allah Ta’ala berfirman:
وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنِ افْتَرَى عَلَى اللَّهِ كَذِبًا أُولَئِكَ يُعْرَضُونَ عَلَى رَبِّهِمْ وَيَقُولُ الأشْهَادُ هَؤُلاءِ الَّذِينَ كَذَبُوا عَلَى رَبِّهِمْ أَلا لَعْنَةُ اللَّهِ عَلَى الظَّالِمِينَ (١٨)
“Dan siapakah yang lebih zhalim dari orang yang membuat-buat kedustaan terhadap Allah?! Mereka itu akan dihadapkan kepada Rabb mereka dan para saksi akan berkata: “Orang-orang Inilah yang telah berdusta terhadap Rabb mereka.” Ingatlah, kutukan Allah ditimpakan atas orang-orang yang zhalim itu.” (QS. Huud: 18)
Ketiga,
Hukum karma (dalam Buddha/Hindu) tidak seperti yang digambarkan oleh Al Ustadz Dzulqarnain hanya terkait dengan kejelekan saja (ini adalah contoh lain kejahilan beliau terhadap apa yang sedang beliau bicarakan):
”Seorang berbuat kejelekan, ada seseorang dia akan mendapatkan akibat yang semisal. Nah hal yang semacam ini mungkin saja ada sebab dia adalah bentuk dari siksaan, bentuk dari pembalasan, iya, bentuk dari pembalasan. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menyebutkan bahwa pembalasannya itu sangatlah berat.” tetapi juga bisa bermakna karma yang baik (yang kesemuanya sama sekali tidak terkait dengan pembalasan/hukuman atau pahala dari Allah) :
“Kamma(bahasa Pali) atau Karma (bahasa Sansekerta) artinya perbuatan. Kamma atau Karma adalah suatu perbuatan yang dapat membuahkan hasil, dimana perbuatan baik akan menghasilkan kebahagiaan dan sebaliknya perbuatan jahat juga akan menghasilkan penderitaan atau kesedihan bagi pembuatnya.” (http://artikelbuddhist.com/2011/05/hukum-karma.html)
“Dalam kegiatan sehari-hari kita sering mendengar kata “Karma”. Panggunaan kata “Karma” ini pada umumnya ditujukan untuk manggambarkan hal-hal yang tidak baik; karma selalu dihubungkan dengan karma buruk. Padahal sebetulnya karma bukan hanya karma buruk tetapi juga ada karma baik….Konsep yang menganggap bahwa karma selalu karma buruk dan sebagai satu-satunya penyebab kejadian ini dapat dikatakan sebagai suatu pandangan yang salah dan merupakan kelemahan terhadap penjelasan hukum karma.” (http://artikelbuddhist.com/2011/06/hukum-karma-oleh-yang-mulia-bhikkhu-uttamo-mahathera.html)
“Hukum karma sama sekali bukan tentang hukuman atau hadiah [pahala] dari Tuhan, tapi tentang tindakan kita sendiri beserta seluruh konsekuensinya. Kalau kita sombong, maka yang akan datang kepada kita adalah kebencian. Kalau kita penuh kebaikan, maka yang akan datang kepada kita adalah simpati dan pertolongan. Kalau kita menyakiti, maka kita akan disakiti. Kalau kita penuh kesabaran, maka yang akan datang kepada kita adalah simpati dan kasih sayang. Kalau kita banyak mengambil kebahagiaan orang, maka kita juga akan banyak mengambil penderitaan, dll.” (http://peradah-semarang.blogspot.com/2011/05/hukum-karma.html)
Nampak jelas bahwa hukum karma murni tentang tindakan kita sendiri beserta seluruh konsekuensinya dan sama sekali bukan tentang hukuman atau hadiah [pahala] dari Allah.
Dari celah mana Al Ustadz bisa melegalkan keyakinan batil hukum karma semacam ini dengan ayat dan hadits yang Al Ustadz bawakan?
Allah Ta’ala berfirman:
وَلا تَقُولُوا لِمَا تَصِفُ أَلْسِنَتُكُمُ الْكَذِبَ هَذَا حَلالٌ وَهَذَا حَرَامٌ لِتَفْتَرُوا عَلَى اللهِ الْكَذِبَ إِنَّ الَّذِينَ يَفْتَرُونَ عَلَى اللهِ الْكَذِبَ لا يُفْلِحُونَ (١١٦)مَتَاعٌ قَلِيلٌ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ (١١٧)
“Dan janganlah engkau mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta, “Ini halal dan ini haram”, untuk mengada-adakan kedustaan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kedustaan terhadap Allah tidak akan beruntung. Itu adalah kesenangan yang sedikit dan bagi mereka azab yang pedih.” (QS. An-Nahl: 116-117)
Allah Ta’ala berfirman:
وَيْلَكُمْ لا تَفْتَرُوا عَلَى اللهِ كَذِبًا فَيُسْحِتَكُمْ بِعَذَابٍ وَقَدْ خَابَ مَنِ افْتَرَى (٦١)
“Celakalah kalian, janganlah kalian mengada-adakan kedustaan terhadap Allah sehingga Dia membinasakan kamu dengan adzab, dan sesungguhnya telah merugilah orang yang mengada-adakan kedustaan.” (QS. Thaha: 61)
Allah Ta’ala berfirman:
وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ تَرَى الَّذِينَ كَذَبُوا عَلَى اللهِ وُجُوهُهُمْ مُسْوَدَّةٌ أَلَيْسَ فِي جَهَنَّمَ مَثْوًى لِلْمُتَكَبِّرِينَ (٦٠)
“Dan pada hari kiamat engkau akan melihat orang-orang yang mengadakan kedustaan terhadap Allah, muka mereka menjadi hitam. Bukankah dalam neraka Jahannam itu ada tempat bagi orang-orang yang menyombongkan diri?” (QS. Az-Zumar: 60)
[Catatan penting: Silakan pembaca perhatikan bahwa dalam hal keyakinan/aqidah yang dengannya terkait masalah besar tentang adzab dan nikmat, jannah dan neraka beliau begitu ringannya berfatwa “mungkin saja ada…” Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un]
Ke-empat,
Di dalam keyakinan agama Hindu, hukum karma yang dialami seseorang memiliki keterkaitan erat dengan rukun iman Hindu yang lain, menitis/reinkarnasi dari kehidupan sebelumnya, sekarang dan kelahirannya pada masa yang akan datang:
“KARMA-PHALA [BUAH KARMA]
Berdasarkan rentang waktu, ada tiga jenis karma-phala yang didasarkan atas waktu dari buah karma itu matang dan kita terima, yaitu :
1. Sancita Karmaphala [karma masa lalu] – tindakan yang kita lakukan di masa lalu atau kehidupan [kelahiran] sebelumnya, yang buah karma-nya [karma-phala] baru matang dan kita terima di saat ini atau di kehidupan [kelahiran] sekarang.
2. Prarabda Karmaphala [karma saat ini] – tindakan yang kita lakukan di saat ini, yang buah karma-nya [karma-phala] matang dan kita terima di saat ini juga.
3. Kriyamana Karmaphala [karma masa depan] – tindakan yang kita lakukan di saat ini, yang buah karma-nya [karma-phala] baru matang dan kita terima di masa depan atau di kehidupan [kelahiran] berikutnya.” (idem)
Demikiankah ya ustadz kesesuaian ayat dan hadits yang paduka bawakan dalam mendukung keyakinan batil hukum karma?
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu beliau berkata, “Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
إِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مِنْ رِضْوَانِ اللهِ, لاَ يُلْقِيْ لَهَا بَالاً؛ يَرْفَعُ اللهُ بِهَا دَرَجَاتٍ, وَإِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مِنْ سَخَطِ اللهِ, لاَ يُلْقِيْ لَهَا بَالاً؛ يَهْوِيْ بِهَا فِيْ جَهَنَّمَ.
“Sesungguhnya benar-benar ada seorang hamba yang mengucapkan suatu perkataan yang diridhai Allah, sedangkan dia tidak memperhatikannya, padahal dengan sebab itu Allah meninggikannya beberapa derajat. Dan sesungguhnya benar-benar ada seorang hamba yang mengucapkan suatu perkataan yang dimurkai Allah, sedangkan dia tidak memperhatikannya, padahal dengan sebab itu dia terjatuh ke dalam neraka Jahannam.”[8]
Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu beliau berkata, “Saya mendengar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
إِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مَا يَتَبَيَّنُ فِيْهَا؛ يَزِلُّ بِهَا فِيْ النَّارِ, أَبْعَدَ مِمَّا بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ.
“Seorang hamba benar-benar mengatakan sebuah kata tanpa dia pikirkan baik buruknya, dengan sebab itu dia tergelincir kedalam neraka yang lebih jauh dari jarak antara timur dan barat.”[9]
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu beliau berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
إِنَّ الرَّجُلَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَة, لاَ يَرَى بِهَا بَأْسًا؛ يَهْوِيْ بِهَا سَبْعِيْنَ خَرِيْفًا فِيْ النَّارِ.
“Sesungguhnya seseorang benar-benar mengatakan sebuah perkataan yang dia memandang bahwa itu tidak mengapa, padahal dengan sebab itu dia tergelincir kedalam neraka sejauh 70 tahun perjalanan.”[10]
Dari Bilal bin Harits Al-Muzaniy Radhiyallahu ‘Anhu beliau berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
إِنَّ الرَّجُلَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مِنْ رِضْوَانِ اللهِ تَعَالَى, مَا يَظُنُّ أَنْ تَبْلُغَ مَا بَلَغَتْ؛ فَيَكْتُبُ اللهُ لَهُ بِهَا رِضْوَانَهُ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ. إِنَّ الرَّجُلَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مِنْ سَخَطِ اللهِ تَعَالَى, مَا يَظُنُّ أَنْ تَبْلُغَ مَا بَلَغَتْ؛ يَكْتُبُ اللهُ عَلَيْهِ بِهَا سَخَطَهُ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ.
“Sesungguhnya seseorang benar-benar ada yang mengatakan sebuah kata yang diridhai Allah yang dia tidak menyangka sejauh mana akibat ucapan itu, maka Allah menulis keridhaan-Nya bagi orang tersebut sampai Hari Kiamat dengan sebab ucapan itu, dan sungguh seseorang benar-benar ada yang mengatakan sebuah kata yang dimurkai Allah yang dia tidak menyangka sejauh mana akibat ucapan itu, maka Allah menulis kemurkaan-Nya atas orang tersebut sampai Hari Kiamat dengan sebab ucapan itu.”[11]
Abu Bakr Radhiyallahu ‘Anhu berkata: “Langit yang mana yang akan menaungiku dan bumi yang mana yang akan kujadikan pijakan jika aku berani mengatakan tentang kitab Allah tanpa ilmu.”[12]
Ke-lima,
Bagaimana pula karma yang diterima dalam masa kelahiran berikutnya jika seseorang itu melakukan kedurhakaan/perbuatan jahat dalam pandangan agama Buddha?
Berikut contoh dan akibatnya:
“Pancanantariya-kamma, yaitu 5 perbuatan durhaka.
1. Membunuh ayah
2. Membunuh ibu
3. Membunuh seorang Arahat
4. Melukai seorang Buddha
5. Memecah belah Sangha
Mereka yang melakukan salah satu dari 5 perbuatan durhaka di atas, setelah meninggal akan lahir di alam Apaya (duka/rendah), yaitu alam neraka, binatang, setan dan raksasa.” (http://artikelbuddhist.com/2011/05/hukum-karma.html)
Di madrasah mana ya ustadz seorang muslim diajari aqidah reinkarnasi (terlahir pada kehidupan berikutnya) bahwa manusia akan berubah karmanya terlahir di alam binatang, setan dan raksasa jika melakukan perbuatan-perbuatan di atas?! Allahul musta’an.
Sebaliknya, jika dia melakukan karma yang “baik” seperti meditasi:
“Kusala-garuka-kamma. Adalah perbuatan “bermutu”, yaitu dengan bermeditasi, hingga mencapai tingkat kesadaran jhana. Ia akan dilahirkan di alam sorga atau lapisan kesadaran yang tinggi, yang berbentuk atau tanpa bentuk (16 rupa-bhumi dan 4 arupa-bhumi)” (http://artikelbuddhist.com/2011/05/hukum-karma.html)
Dari penjelasan singkat berbagai uraian tentang hukum karma semacam di atas, bagaimana mungkin seorang muslim yang lurus dalam memahami Kitabullah dan Sunnah, memiliki aqidah tauhid yang kokoh lagi bersih akan berani bersikap gegabah dengan mengaitkan keyakinan batil dan sesat tentang hukum karma-reinkarnasi dengan dienul Islam yang suci dan sempurna?! Dan bahkan mencarikan pembenaran dan keabsahannya dengan ayat Al Qur’an dan Sunnah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam?!
Firman Allah Ta’ala:
وَلا تَلْبِسُوا الْحَقَّ بِالْبَاطِلِ وَتَكْتُمُوا الْحَقَّ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ (٤٢)
“Dan janganlah kamu campur adukkan yang hak dengan yang batil dan janganlah kamu sembunyikan yang hak itu, sedang kamu mengetahui.” (QS. Al Baqarah: 42)
Maka selayaknya bagi kita semuanya untuk berbicara sebatas apa yang diketahuinya saja agar tidak menjadi sesat dan menyesatkan saudara-saudaranya yang lain.
Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘Anhu berkata: “Wahai manusia, siapa diantara kalian yang mengetahui sesuatu silahkan dia berbicara, dan barangsiapa yang tidak mengetahui maka hendaklah dia mengatakan terhadap perkara yang tidak dia ketahui itu, “Wallahu a’lam.” Karena sesungguhnya termasuk ilmu yang dimiliki seseorang adalah ketika dia mengatakan terhadap perkara yang tidak dia ketahui itu, “Wallahu a’lam.”[13]
Al-Qasim bin Muhammad Rahimahullah berkata: “Wahai penduduk Iraq, demi Allah, kami tidak mengetahui banyak dari apa yang kalian tanyakan kepada kami, dan sungguh seseorang hidup dalam keadaan tidak mengetahui kecuali apa yang Allah wajibkan atasnya, hal itu lebih baik baginya dibandingkan jika dia berani lancang mengatakan atas nama Allah dan Rasul-Nya dengan hal-hal yang tidak dia ketahui.”[14]
Ibnu ‘Aun Rahimahullah berkata: “Saya pernah berada di sisi Al-Qasim bin Muhammad ketika ada seseorang datang kepada beliau untuk menanyakan sesuatu. Maka Al-Qasim menjawab, “Saya tidak bisa menjawabnya.” Maka orang itu pun berkata, “Saya ditunjukkan agar pergi kepada anda dan saya tidak mengenal selain anda.” Al-Qasim menjawab, “Engkau jangan melihat panjangnya janggutku dan jangan pula memandang banyaknya manusia yang ada di sekelilingku. Demi Allah, saya tidak bisa menjawabnya.” Lalu ada seorang yang telah tua dari Quraisy yang berkata, “Wahai anak saudaraku, tetapilah sifat ini. Demi Allah, saya tidak melihat engkau lebih cerdas di sebuah majelis dibandingkan engkau pada hari ini.” Lalu Al-Qasim berkata, “Demi Allah, sungguh lidahku dipotong lebih saya sukai dibandingkan saya berbicara dengan sesuatu yang tidak aku ketahui.”[15]
Ayyub As-Sikhtiyany Rahimahullah berkata: “Suatu hari manusia banyak mendatangi Al-Qasim bin Muhammad di Mina, maka mereka pun menjadikannya sebagai kesempatan untuk bertanya kepada beliau. Namun beliau menjawab, “Saya tidak mengetahui.” Lalu beliau berkata, “Demi Allah, kami tidak mengetahui setiap yang kalian tanyakan kepada kami, seandainya kami mengetahui maka kami tidak akan menyembunyikannya dari kalian dan tidak halal bagi kami untuk menyembunyikannya dari kalian.”[16]
Abdurrahman bin Mahdy Rahimahullah berkata: “Suatu hari kami pernah ada di sisi Malik bin Anas ketika ada seseorang yang datang kepada beliau seraya berkata, “Wahai Abu Abdillah, saya datang kepada anda dari tempat yang jauhnya 6 bulan perjalanan, penduduk negeriku membebani saya dengan sebuah masalah yang ingin saya tanyakan kepada anda.” Malik menjawab, “Bertanyalah!” Maka orang itu menanyakan sebuah masalah kepada beliau, lalu beliau menjawab: “Saya tidak bisa menjawabnya.” Maka terdiamlah orang itu, seakan-akan dia merasa telah datang kepada orang yang mengetahui segala sesuatu. Lalu dia berkata, “Apa yang akan saya katakan kepada penduduk negeriku jika aku kembali kepada mereka?!” Beliau menjawab, “Katakan kepada mereka: “Malik mengatakan, “Saya tidak bisa menjawab.”[17]
Uqbah bin Muslim Rahimahullah berkata: “Saya menyertai Ibnu Umar selama 34 bulan, maka sering kali ketika ditanya dia mengatakan, “Saya tidak tahu.” Lalu beliau menoleh kepada saya seraya bertanya, “Tahukah engkau apa yang dimaukan oleh mereka?! Mereka ingin menjadikan punggung-punggung kita sebagai jembatan bagi mereka menuju Jahannam.”[18]
Abu Dawud Rahimahullah berkata: “Ucapan seseorang dalam perkara yang tidak dia ketahui, “Saya tidak tahu” merupakan separoh ilmu.”[19]
Abu Adz-Dzayyal Rahimahullah berkata: “Belajarlah untuk mengatakan, “Saya tidak tahu.” Karena jika engkau mengatakan, “Saya tidak tahu” maka manusia akan mengajarimu hingga engkau tahu. Tetapi jika engkau mengatakan, “Saya tahu” maka mereka akan terus menanayaimu hingga engkau tidak tahu.”[20]
Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu berkata: “Sesungguhnya siapa saja yang berfatwa (menjawab) tentang segala sesuatu yang ditanyakan oleh manusia kepadanya adalah orang gila.”[21]
Sufyan bin Uyainah Rahimahullah berkata: “Manusia yang paling berani berfatwa adalah yang paling sedikit ilmunya diantara mereka.”[22]
Kesimpulan
Adalah wajib bagi Al Ustadz Dzulqarnain untuk menarik kembali pernyataannya yang menyesatkan tersebut (apalagi hal ini terkait dengan masalah aqidah), berlepas diri dari aqidah hukum karma untuk kemudian rujuk, bertaubat dan menegaskan kepada umat bahwa aqidah batil hukum karma tidaklah memiliki landasan hukum (apapun!) di dalam syari’at Islam dan syari’at Islam sama sekali tidak memiliki keterkaitan (apapun!) dengan kebatilan aqidah hukum karma, laa min qarib wa laa min ba’id.
Ingatlah ya ustadz bahwa…
Saudara yang sejati adalah yang berkata benar kepadamu
Dan bukanlah orang yang selalu membenarkan perkataanmu
Wallahu a’lam.
(Malang, Kamis dini hari, 7 Rabi’ul Akhir 1433H bertepatan dengan tanggal 1 Maret 2012 – BERSAMBUNG, Insya Allah)
Keterangan:
Pada edisi updetan (02/03/’12) ini kami sengaja menghilangkan kesaksian Bpk. A. Aziz (mualaf) dan menggantinya dengan referensi langsung dari pihak/sumber agama Hindu agar bukti keterangan tersebut bisa lebih obyektif berasal dari kesaksian agama Hindu sendiri.
Firman Allah Ta’ala:
وَشَهِدَ شَاهِدٌ مِنْ أَهْلِهَا (٢٦)
“Dan seorang saksi dari keluarga wanita itu memberikan kesaksiannya” (QS. Yusuf:26)
Catatan Kaki:
[1] HR. Muslim no. 2655.
[2] HR. Muslim no. 2662.
[3] HR. Muslim no. 2647.
[4] HR. Abu Dawud no. 4700.
[5] HR. Al-Bukhary no. 5067.
[6] HR. Al-Bukhary no. 2742 dan Muslim no. 112.
[7] HR. Muslim no. 2661.
[8] HR. Al-Bukhary (6113).
[9] HR. Al-Bukhary (6112) dan Muslim (2988).
[10] HR. At-Tirmidzy, Ibnu Majah dan Al-Hakim. Asy-Syaikh Al-Albany menilainya shahih di dalam Shahih Al-Jami’ (1618), dan di dalam As-Silsilah Ash-Shahihah (540).
[11] HR. Malik, Ahmad, At-Tirmidzy, Ibnu Majah, Ibnu Hibban, dan Al-Hakim. Asy-Syaikh Al-Albany menilainya shahih di dalam Shahih Al-Jami’ (1619), As-Silsilah Ash-Shahihah (888), dan di dalam Shahih At-Targhib wa At-Tarhib (2878).
[12] Shahih Jami’ Bayanil Ilmi wa Fadhlih hal. 309.
[13] HR. Al-Bukhary no. 4693 dan Muslim no. 2798.
[14] Shahih Jami’ Bayanil Ilmi wa Fadhlih hal. 310.
[15] Shahih Jami’ Bayanil Ilmi wa Fadhlih hal. 310.
[16] Shahih Jami’ Bayanil Ilmi wa Fadhlih hal. 310.
[17] Shahih Jami’ Bayanil Ilmi wa Fadhlih hal. 310-311.
[18] Shahih Jami’ Bayanil Ilmi wa Fadhlih hal. 312.
[19] Shahih Jami’ Bayanil Ilmi wa Fadhlih hal. 312.
[20] Shahih Jami’ Bayanil Ilmi wa Fadhlih hal. 312.
[21] Shahih Jami’ Bayanil Ilmi wa Fadhlih hal. 312.
[22] Shahih Jami’ Bayanil Ilmi wa Fadhlih hal. 312.
Download file dalam bentuk:
http://www.4shared.com/office/GuK3WaK6/AL_USTADZ_DZULQARNAIN__AQIDAH_.html
http://www.4shared.com/office/3M0-o0fY/AL_USTADZ_DZULQARNAIN__AQIDAH_.html
Artikel terkait:
Baarakallahufiik ya akhi semoga Allah selalu menjagamu
Memalukan benar-benar sangat memalukan.. bagaimana mungkin hukum karma itu ada dalam ajaran Islam, yang orang Indonesia paling awwam-pun meyakini hukum karma tidak ada dalam ajaran Islam dan bukan berasal dari ajaran Islam.
انّا للہ و انّا الیہ راجعون
Bismillah
Benar hukum karma tidak ada dalam Islam, dan sangat disayangkan ada seorang da’i yang mencoba membela kesalahan beliau ini. hukum karma bagaimana pun juga bukan dari Islam, dan hukum karma sendiri sangat bertentangan dengan ajaran Islam.