Agama Seseorang Dikenal Dari Agama Teman Dekatnya

Agama Seseorang Dikenal Dari Agama Teman Dekatnya
Pengantar:
Allah Ta’ala berfirman:
“Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan mungkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu” (Al-Maidah:79).


Demikianlah, akhlak buruk dan jelek dari Yahudi yang Allah Ta’ala abadikan di dalam Al-Qur’anul Karim sebagai ibrah dan peringatan bagi kita semua untuk menjauhi dan menyelisihi jejak langkah mereka.
Saudaraku rahimakumullah,
Telah datang corong-corongnya di mana umat dibikin takut untuk menyuarakan kebenaran dan mengungkapkan bukti-bukti kesesatan tokoh-tokoh pujaannya. Label haddadi, ekstrem dan ghuluw siap mereka lekatkan bagi siapa saja yang “nekat” untuk menyingkap penyimpangan tokoh-tokoh idolanya serta kehizbiyyahan organisasi demokrasinya.
Dan sebaliknya….

Firanda berkata:
“Anggaplah bahwa yayasan tersebut memang merupakan yayasan hizbi, namun yang tidak diragukan lagi bahwasanya permasalahan bermu’amalah dengan ahlul bid’ah secara umum di zaman ini merupakan permasalahan ijtihadiah yang kembali pada kaedah “menimbang antara kemaslahatan dan kemudhorotan” yang diperoleh dari mu’amalah tersebut”
Firanda lagi-lagi menegaskan:
“Sebagaimana telah penulis katakan bahwa hukum bermu’amalah dengan ahlul bid’ah secara umum di zaman ini merupakan perkara ijtihadiah yang kembalinya pada menimbang antara masalahat dan mudhorot (yaitu menimbang antara menta’lif (mengambil hati) mereka atau menghajr mereka).” (Sekali Lagi, ed-3, Abusalxx)
Tentu saja komentar hebohnya: “Apakah engkau saja yang berijtihad sedangkan saudara-saudaramu yang mengambil dana tidak berijtihad dalam mengambil langkah mereka??”[0]
Komentar:
Apakah Firanda tidak menyadari dampak luar biasa dari pernyataannya ini? Sebuah pernyataan yang masih sangat umum yang harus bagi dirinya untuk memberikan penjelasan lebih lanjut secara detail batasan dan rinciannya!? Siapakah yang berhak menimbang maslahat dan mudharatnya bergaul bersama Ahlul Bid’ah? Apakah seluruh kaum muslimin bisa berhujjah dengan “potongan” fatwa ini dalam bermua’amalah dengan ahlul bid’ah sebagaimana pernyataannya yang masih sangat umum ini? Apakah Firanda dan kawan-kawannya sudah memenuhi syarat untuk menimbang maslahat dan mudharatnya? Dalam konteks apa “potongan” fatwa ini dibicarakan?
Jika tidak ada rincian, kriteria ataupun batasan seperti tulisannya ini, niscaya dirinya bagaikan seorang “mufti’ yang menyerahkan seekor kuda liar kepada setiap kaum muslimin untuk mengendarainya tanpa menyertakan tali kekangnya!!
Maka apakah Firanda tidak menyadari bahwa dirinya sedang bermain-main dengan mempertaruhkan keselamatan manhaj kaum muslimin di bibir-bibir jurang kebinasaan fitnah dan syubhat ahlul bid’ah? Inikah bukti kasih sayangnya serta kelembutan dakwahnya kepada umat?!
Apakah Firanda tidak menyadari bahwa dirinya –sadar ataupun tidak- sedang “mengajak” agar kaum muslimin bermudah-mudah dalam bermuamalah dengan ahlul bid’ah?
Kenapa anda bermuamalah dengan gembong-gembong Syi’ah, murabbi Ikhwanul Muslimin, pimpinan Jama’ah Tabligh atau tokoh-tokoh bid’ah lainnya? Apakah antum tidak merasa takut akan syubhat mereka yang menyambar-nyambar sementara hati kita begitu lemahnya?
Ya akhi, jadilah manusia kebal manhaj! Bukankah bermuamalah dengan ahlul bid’ah adalah masalah ijtihadiyah?! Kenapa antum permasalahkan khilaf seperti ini? Lipat saja permasalahan ini dan masukkan dana kemaslahatannya ke saku-saku kalian! Apakah engkau saja yang berijtihad sedangkan saudara-saudaramu yang mengambil dana tidak berijtihad dalam mengambil langkah mereka??
Kalau memang bermanfaat, kenapa tidak? Bukankah “kalkulator” di tangan yang akan menentukan mana diantara maslahat dan mudharat yang lebih dominan dari muamalah ini?
Pertanyaan berikutnya, apakah hukumnya sama antara ahlul bid’ah dengan ahlul maksiat? Kita tanyakan demikian karena sudah masyhur perbedaannya bahwa “bid’ah itu lebih dicintai iblis daripada maksiat”.
Orang yang berbuat maksiat merasa bahwa perbuatannya tersebut melanggar syari’at Allah sehingga masih bisa diharapkan taubatnya, adapun pelaku kebid’ahan (apalagi ahlul bid’ahnya!) bahkan mereka merasa sedang mendekatkan diri kepada Allah dengan sebaik-baik ibadah, kapan kita mengharapkan taubatnya?!
Hal ini kita pertanyakan dengan tegas kepada Firanda, sebab dirinya telah menyamaratakan hukum bersikap kepada Ahlul Bid’ah dengan hukum bersikap kepada Ahlul maksiat dan bahkan qaul Ibnu Taimiyah yang ditujukan untuk menyikapi pelaku kemaksiatan telah digunakannya untuk menyikapi Ahli bid’ah[1]!!
Dan bahkan Al-Imam Asy-Syatibi rahimahullah telah mengibaratkan bahwa ahlul bid’ah adalah bagaikan anjing yang menyerbarkan virus penyakit anjing gila! Apakah demikian dengan ahlul maksiat wahai Firanda?
Na’am, salafush shaleh benar-benar telah membedakan antara bahayanya ahlul bid’ah dengan ahlul maksiat!!
Maka dibalik upaya-upaya gencar dalam melonggarkan tali ikatan al-wala’ wal bara’ fil Islam, upaya sistematis untuk memandulkan kecemburuan agama dari para penyesat dan penyimpang (dan tentunya para pembesar hizbi penyesat tersebut telah memberikan imbal budi dengan menggelari mereka ini sebagai “Salafi Haraki” atau “Salafi Tulen tanpa embel-embel Yamani” atau “Salafi Moderat” serta gelar berbunga-bunga lainnya. Tidakkah anda merasakan keanehan manhajnya? Motivasi apa sehingga gembong-gembong Ikhwani sampai memberikan “pujian’ kepada “Salafi” seperti ini? Tidak hanya berkutat untuk membahas bahwa pembagian nama-nama seperti ini adalah pengkotak-kotakan yang tidak ada nash dan hujjah sama sekali tetapi yang tidak kalah pentingnya adalah kenapa harakiyyun sejahat Ikhwanul Muslimin sampai memberikan pujian berbunga-bunga seperti ini? Sementara yang lainnya diberi gelar-gelar yang sangat jelek, Salafi ekstrem, Salafi radikal dst).
Dalam masa-masa fitnah seperti ini, kita merasa sangat perlu untuk menunjukkan bukti bahwa Salafush Shaleh benar-benar tidak merasa aman bermuamalah dengan ahlul bid’ah dan ahwa’! Dan di sinilah letak “kelebihan” Firanda dan komunitasnya!
“Al-Imam Al-Barbahari rahimahullah berkata:
“Kalau engkau melihat seseorang duduk bersama pengikut hawa nafsu, maka peringatkan dia dan beritahukan kepadanya. Selanjutnya, kalau dia masih duduk bersamanya setelah tahu, maka jauhilah dia sebab dia juga pengikut hawa nafsu.” [2]
Beliau rahimahullah berkata: “Ketahuilah bahwa semua hawa itu hina, dan hawa itu mengajak untuk mempergunakan pedang” [3]
Beliau berkata: “Kalau engkau melihat seseorang yang rendah jalan dan pendapatnya, fasiq, jahat, pelaku maksiat dan dzalim, sedangkan dia Ahlus Sunnah, maka bertemanlah dengannya dan duduklah bersamanya, sebab kemaksiatannya itu tidak akan memudharatkanmu[4]. Sedangkan kalau engkau melihat seorang yang ahli ibadah yang bersungguh-sungguh, meninggalkan urusan duniawi, dan terus-menerus dalam ibadah tetapi dia ahli ahwa’, maka janganlah engkau duduk bersamanya, jangan dengar kalimatnya, dan jangan berjalan bersamanya di jalan. Sebab SAYA TIDAK MERASA AMAN BAHWA ENGKAU AKAN MEMANDANG INDAH JALANNYA SEHINGGA ENGKAUPUN BINASA BERSAMANYA.”
Yunus bin ‘Ubaid melihat anaknya sedang keluar dari tempat pelaku bid’ah. Maka dia berkata: “Wahai anakku, dari mana engkau keluar?”
Anaknya menjawab, “Dari tempat ‘Amr bin ‘Ubaid”
Dia berkata: “Wahai anakku, lebih ringan bagiku untuk melihatmu keluar dari tempat banci daripada melihatmu menemuinya dengan mendengarkan ucapan pengikut bid’ah.” [5]
Al-Barbahari memberikan komentar terhadap ucapan Yunus bin ‘Ubaid: “Tidakkah engkau tahu, bahwa Yunus sudah mengetahui betapa tempat banci itu tidak akan menyesatkan anaknya dari diennya, sedangkan ahli bid’ah akan menyesatkannya sampai membuat kafir?! Maka waspadailah, khususnya orang yang ada di zamanmu dan lihat di mana majelismu. Dari siapa engkau mendengarnya? Dan siapa temanmu?”[6] (Sallus Suyuf, Syaikh Tsaqil bin Shalfiq Al Qasimi dengan perantara “Hujjah Atas Pengekor Hawa dan Pengkhianat Sunnah”, Pustaka Al Haura, Mei 2006, hal.28-29)
“Oleh karena itu, dahulu Salaf menamakan ahli bid’ah dan penyimpang yang melenceng dari Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai pengikut hawa. Mereka menyambut apa yang mereka suka dan menolak apa yang mereka tidak suka dengan hawa mereka saja tanpa hidayah dari Allah.”[7]
…Tidak mau menerima ucapan apa saja yang membantah atau mengritik para da’i atau tokohnya, lantas menganggap kalimat ini sebagai bagian dari kedengkian dan bukan nasehat untuk sesama muslim. Atau karena mereka mengikuti kaidah “Saling mencela antara dua orang yang usahanya sama adalah tertolak, karena mereka sedang bersaing”. Oleh karena itu mereka menuduh niat (orang yang memberikan nasehat) dan menjauhkan diri dari perintah Allah untuk berhusnudzdzan. Ini pada satu sisi.
Dan di sisi lainnya, mereka mematikan salah satu asas pokok dalam Islam (yakni membantah orang yang menyelisihi nash), serta mereka lupa atau pura-pura lupa bahwa jarh yang menyebutkan alasannya bisa diterima dan mesti didahulukan daripada pujian.
…Apa yang kami sebutkan hanyalah setetes dari begitu melimpahnya langkah orang-orang yang menyimpang dan mengikuti hawa. Semuanya dibuat-buat untuk membantah al-haq, menghalangi dari jalan Allah, dan berupaya memadamkan cahaya al-haq dan jalan salafush shaleh. Akan tetapi bagaimana mungkin tujuan mereka ini akan tercapai? Perang itu bergantian pemenangnya, namun akhir kemenangan adalah milik ahli iman dan ittiba’.
Orang yang bahagia adalah orang yang menjadi pedang terhunus menyerang ahli hawa dan bid’ah. Jika babak yang dimenangkan oleh ahli hawa itu hanya sesaat, ketahuilah bahwa babak yang dimenangkan oleh ahli haq hingga hari kiamat. Allah selalu menang dengan keputusan-Nya, akan tetapi kebanyakan manusia tidak tahu.
Hendaklah setiap sunni tahu bahwa wajib untuk senantiasa hunusan pedang dan tikaman tombaknya diarahkan kepada setan dan para pengikutnya (pengikut hawa nafsu dan bid’ah), supaya dia tidak menjadi tawanan mereka.
Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah berkata: “Jika seorang hamba melemahkan setan di keenam langkah ini, maka setan akan menggerakkan partainya dari golongan manusia dan jin untuk menyerangnya dengan berbagai gangguan: takfir, tuduhan sesat, tuduhan bid’ah, menakut-nakuti orang darinya, berusaha melemahkan dan melengserkannya untuk membuat kocar-kacir konsentrasinya, dan setan sibuk memerangi pikirannya agar orang-orang tidak mendapatkan waktu untuk mengambil manfaat darinya, dengan usaha yang sangat gigih menggerakkan ahli bathil dari setan-setan jin dan manusia menyerang hamba tersebut, tidak berhenti dan tidak kenal lelah. Ketika itu hamba mukmin akan memakai baju perang dan tidak akan menanggalkannya hingga menemui kematian. Kapan saja dia menanggalkannya, maka dia akan ditawan atau terkena serangan. Dia harus terus berjihad sampai bertemu dengan Allah”[8]

SALAFUSH SHALEH MENILAI SESEORANG
DENGAN MELIHAT TEMAN DEKATNYA

148. Abu Qilabah berkata :
[ Qaatalallahu! Semoga Allah binasakan penyair yang mengucapkan syair :
Janganlah bertanya siapa dia tapi tanyakan siapa temannya
Karena setiap orang akan meniru temannya ]
Saya katakan : “Ucapan Abu Qilabah (Qaatalallahu) ini adalah ungkapan yang menunjukkan kekagumannya dengan bait syair tersebut dan ini adalah syairnya Ady bin Zaid Al Abadiy.”
Al Ashma’iy berkata : “Saya belum pernah menemukan satu bait syair yang paling menyerupai As Sunnah selain ucapan Ady ini.”

149. Abu Hurairah berkata, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda :
“(Agama) seseorang (dikenal) dari agama temannya maka perhatikanlah siapa temanmu.” (As Shahihah 927)

150. Ibnu Mas’ud berkata :
“Nilailah seseorang itu dengan siapa ia berteman karena seorang Muslim akan mengikuti Muslim yang lain dan seorang fajir akan mengikuti orang fajir yang lainnya.” (Al Ibanah 2/477 nomor 502 dan Syarhus Sunnah Al Baghawi 13/70)

151. Dan ia berkata :
“Seseorang itu akan berjalan dan berteman dengan orang yang dicintainya dan mempunyai sifat seperti dirinya.” (Al Ibanah 2/476 nomor 499)

152. Beliau melanjutkan :
“Nilailah seseorang itu dengan temannya sebab sesungguhnya seseorang tidak akan berteman kecuali dengan orang yang mengagumkannya (karena seperti dia).” (Al Ibanah 2/477 nomor 501)

153. Abu Darda mengatakan :
“Tanda keilmuan seseorang (dilihat) dari jalan yang ditempuhnya, tempat masuknya, dan majelisnya.” (Al Ibanah 2/464 nomor 459-460)

154. Yahya bin Abi Katsir mengatakan, Nabi Sulaiman bin Daud Alaihis Salam bersabda: “Jangan menetapkan penilaian terhadap seseorang sampai kamu memperhatikan siapa yang menjadi temannya.” (Al Ibanah 2/480 nomor 514)

155. Musa bin Uqbah Ash Shuriy tiba di Baghdad dan hal ini disampaikan kepada Imam Ahmad bin Hanbal lalu beliau berkata :
“Perhatikan dimana ia singgah dan kepada siapa dia berkunjung.” (Al Ibanah 2/479-480 nomor 511)

156. Qatadah berkata :
“Sesungguhnya kami, demi Allah belum pernah melihat seseorang menjadikan teman buat dirinya kecuali yang memang menyerupai dia maka bertemanlah dengan orang-orang yang shalih dari hamba-hamba Allah agar kamu digolongkan dengan mereka atau menjadi seperti mereka.” (Al Ibanah 2/477 nomor 500)

157. Syu’bah berkata, aku dapati tulisan dalam catatanku (menyatakan) bahwasanya seseorang akan berteman dengan orang yang ia sukai. (Al Ibanah 2/452 nomor 419-420)

158. Al Auza’iy berkata :
“Siapa yang menyembunyikan bid’ahnya dari kita tidak akan dapat menyembunyikan persahabatannya.” (Al Ibanah 2/476 nomor 498)

159. Al A’masy mengatakan :
“Biasanya Salafus Shalih tidak menanyakan (keadaan) seseorang sesudah (mengetahui) tiga hal yaitu jalannya, tempat masuknya, dan teman-temannya.” (Al Ibanah 2/476 nomor 498)

160. Ayyub As Sikhtiyani diundang untuk memandikan jenazah kemudian beliau berangkat bersama beberapa orang. Ketika penutup wajah jenazah itu disingkapkan beliau segera mengenalinya dan berkata :
“Kemarilah—kepada—temanmu ini, saya tidak akan memandikannya karena saya pernah melihatnya berjalan dengan seorang ahli bid’ah.” (Al Ibanah 2/478 nomor 503)

161. Abdullah bin Mas’ud berkata :
“Nilailah tanah ini dengan nama-namanya dan nilailah seorang teman dengan siapa ia berteman.” (Al Ibanah 2/479 nomor 509-510)

162. Muhammad bin Abdullah Al Ghalabiy mengatakan :
“Ahli bid’ah itu akan menyembunyikan segala sesuatu kecuali persatuan dan persahabatan (di antara mereka).” (Al Ibanah 1/205 nomor 44 dan 2/482 nomor 518)

163. Mu’adz bin Mu’adz berkata kepada Yahya bin Sa’id :
“Hai Abu Yahya, seseorang walaupun dia menyembunyikan pemikirannya tidak akan tersembunyi hal itu pada anaknya tidak pula pada teman-temannya atau teman duduknya.”

164. Amru bin Qais Al Mulaiy berkata :
“Jika kamu lihat seorang pemuda tumbuh bersama Ahli Sunnah wal Jamaah harapkanlah dia dan bila ia tumbuh bersama ahli bid’ah berputus-asalah kamu dari (mengharap kebaikan)nya. Karena pemuda itu bergantung di atas apa yang pertama kali ia tumbuh dan dibentuk.” (Al Ibanah 1/205 nomor 44 dan 2/482 nomor 518)

165. Ia—juga—mengatakan :
“Seorang pemuda itu benar-benar akan berkembang maka jika ia lebih mementingkan duduk dengan Ahli Ilmu ia akan selamat dan jika ia condong kepada yang lain ia akan celaka.”

166. Ibnu Aun mengatakan :
“Siapa pun yang duduk dengan ahli bid’ah ia lebih berbahaya bagi kami dibanding ahli bid’ah itu sendiri.” (Al Ibanah 2/273 nomor 486)

167. Ketika Sufyan Ats Tsaury datang ke Bashrah melihat keadaan Ar Rabi’ bin Shabiih dan kedudukannya di tengah ummat, Yahya bin Sa’id Al Qaththan berkata : “Ia bertanya apa madzhabnya?”
Mereka menjawab bahwa madzhabnya tidak lain adalah As Sunnah, ia berkata lagi : “Siapa teman baiknya?”
Mereka menjawab : “Qadary.”
Beliau berkata : “Berarti ia seorang Qadariy.” (Al Ibanah 2/453 nomor 421)
Ibnu Baththah berkata : [ Semoga Allah merahmati Sufyan Ats Tsauri, ia sungguh telah berbicara dengan Al Hikmah maka alangkah tepat ucapannya itu dan ia juga telah berkata dengan ilmu yang sesuai dengan Al Quran dan As Sunnah serta apa-apa yang sesuai dengan hikmah, realita, dan pemahaman Ahli Bashirah, Allah berfirman :
“Hai orang-orang yang beriman, jangan kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang bukan golonganmu (sebab) mereka senantiasa menimbulkan bahaya bagi kamu dan mereka senang dengan apa yang menyusahkanmu.” (QS. Ali Imran : 118)

168. Imam Abu Daud As Sijistaniy berkata, saya berkata kepada Imam Abu Abdillah Ahmad bin Hanbal (jika) saya melihat seorang Sunniy bersama ahli bid’ah apakah saya tinggalkan ucapannya?
Beliau menjawab : “Tidak. Sebelum kamu terangkan kepadanya bahwa orang yang kamu lihat bersamanya itu adalah ahli bid’ah. Maka jika ia menjauhinya, tetaplah bicara dengannya dan jika tidak mau gabungkan saja dengannya (anggap saja ia ahli bid’ah). Ibnu Mas’ud pernah berkata, seseorang itu (dinilai) siapa teman dekatnya.” (Thabaqat Hanabilah 1/160 no 216)

169. Ibnu Taimiyyah mengatakan :
“Dan siapa yang selalu berprasangka baik terhadap mereka (ahli bid’ah)—dan mengaku belum mengetahui keadaan mereka—kenalkanlah ahli bid’ah itu padanya maka jika ia telah mengenalnya namun tidak menampakkan penolakan terhadap mereka, gabungkanlah ia bersama mereka dan anggaplah ia dari kalangan mereka juga.” (Al Majmu’ 2/133)

170. Utbah Al Ghulam berkata :
“Barangsiapa yang tidak bersama kami maka dia adalah lawan kami.” (Al Ibanah 2/437 nomor 487)

171. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda :
“Ruh-ruh itu adalah juga sepasukan tentara maka yang saling mengenal akan bergabung dan yang tidak mengenal akan berselisih.” (HR. Al Bukhary 3158 dan Muslim 2638)

172. Al Fudlail bin Iyyadl mengomentari hadits ini dengan berkata :
“Tidak mungkin seorang Sunniy akan berbasa-basi kepada ahli bid’ah kecuali jika ia dari kalangan munafiq.” (Lihat Ar Rad Alal Mubtadi’ah li Ibni Al Banna)

173. Ibnu Mas’ud berkata :
“Jika seorang Mukmin memasuki mesjid yang di dalamnya berkumpul 100 orang dan yang muslim hanya satu ia tentu akan masuk ke dalamnya lalu duduk di dekatnya dan jika seorang munafiq memasuki mesjid yang di dalamnya berkumpul 100 orang dan hanya terdapat satu orang munafiq juga ia akan tetap masuk dan duduk di dekatnya.”

174. Hammad bin Zaid mengatakan, Yunus berkata kepadaku :
“Hai Hammad, sesungguhnya jika saya melihat seorang pemuda berada di atas perkara yang mungkar saya tetap tidak akan berputus-asa mengharapkan kebaikannya kecuali bila saya melihatnya duduk bersama ahli bid’ah maka ketika itu saya tahu kalau dia binasa.” (Al Kifayah 91, Syarh Ilal At Tirmidzy 1/349)

175. Ahmad bin Hanbal berkata :
“Jika kamu melihat seorang pemuda tumbuh bersama Ahli Sunnah wal Jamaah maka harapkanlah (kebaikannya) dan jika kamu lihat dia tumbuh bersama ahli bid’ah maka berputus-asalah kamu dari (mengharap kebaikan)nya. Karena sesungguhnya pemuda itu tergantung di atas apa ia pertama kali tumbuh.” (Al Adabus Syari’ah Ibnu Muflih 3/77)

176. Dlamrah bin Rabi’ah berkata, (saya mendengar) dari Ibnu Syaudzab Al Khurasaniy berkata :
“Sesungguhnya di antara kenikmatan yang Allah berikan kepada para pemuda ialah ketika ia beribadah dan bersaudara dengan seorang Ahli Sunnah. Dan ia akan bergabung bersamanya di atas As Sunnah.” (Al Ibanah 1/205 nomor 43 dan Ash Shughra 133 nomor 91 dan Al Lalikai 1/60 nomor 31)

177. Dari Abdullah bin Syaudzab dari Ayyub ia berkata :
“Termasuk kenikmatan bagi seorang pemuda dan orang-orang non Arab ialah jika Allah menurunkan taufiq kepada mereka untuk mengikuti orang yang berilmu di kalangan Ahli Sunnah.” (Al Lalikai 1/60 nomor 30)

(Sumber : Kilauan Mutiara Hikmah Dari Nasihat Salaful Ummah, terjemah dari kitab Lamudduril Mantsur minal Qaulil Ma’tsur, karya Syaikh Abu Abdillah Jamal bin Furaihan Al Haritsi. Diterjemahkan oleh Ustadz Idral Harits, Pengantar Ustadz Muhammad Umar As Sewwed. http://www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=597)

Footnote:
[0] Peringatan Penting! “Ketahuilah bahwa membatasi permasalahan kemaslahatan dengan urusan tertentu merupakan perkara yang sangat sulit sekali. Terkadang seseorang mempersepsikan bahwa hal itu bis membawa maslahat tetapi kenyataannya tidak demikian. Untuk itu seseorang yang memiliki otoritas dalam menentukan bahwa sesuatu itu merupakan maslahat atau tidak, hendaknya yng memiliki kemampuan untuk berijtihad. Mereka adalah orang-orang yang telah mencapai tingkat kemampuan dalam keadilan dan ilmu (baca:bashirah) serta tentunya cerdas dalam memahami dan mengaplikasikan hukum-hukum syari’at dan maslahat keduniaan. Untuk menentukan  sesuatu itu membawa kebaikan dibutuhkan sikap kehati-hatian yang lebih, terutama saat menghendaki sesuatu masalah tersebut menjadi sesuatu yang mengandung kemaslahatan. Harus ada pula sikap keras yang memperingatkan dominasi hawa nafsu, karena hawa nafsu itu seringkali mengemas kerusakan dengan tampilan maslahat (baik). Maka banyak manusia yang lantas terkecoh, seakan sesuatu itu bakal membawa manfaat ternyata malah menuai kemudharatan yang lebih besar” (Mashadiru at-Tasyri’ al-Islami, Khalaf, hal.8)
[1] Di bawah judul: “Sikap Lemah Lembut kepada AHLI BID’AH Terkadang Lebih Bermanfaat daripada Sikap Keras”, Firanda menjelaskan:
“Bisa jadi sikap lemah lembut kepada ahli bid’ah lebih bermanfaat dibandingkan sikap keras, sebagaimana perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah, “Apabila orang yang dihajr, begitu juga orang lain, tidak berhenti dari KEMAKSIATANNYA (perhatikan! Sengaja kami cetak dengan huruf kapital-pen), bahkan semakin menjadi-jadi, dan pelaku hajr juga lemah kondisinya, di mana mudharat yang timbul lebih besar daripada maslahat, maka hajr tidaklah disyari’atkan…”(Lerai…, hal.153)
[2] Syarhus Sunnah, Al-Barbahari, 121.
[3] ibid
[4] Maksudnya: membandingkannya dengan pelaku bid’ah. Duduk dengan pelaku maksiat yang fasiq dari kalangan ahlus sunnah tetapi menjauhi hawa nafsu dan bid’ah, tidaklah menyeret kepada bid’ah dan hawa. Berbeda dengan duduk bersama pelaku hawa dan bid’ah, dia akan menyeret kepada hawa nafsu dan bid’ah.
Oleh karena itu, Imam Asy-Syatibi berkata: “Permasalahan 22: Penjelasannya: Sesungguhnya penyakit gigitan anjing gila mempunyai keserupaan dengan penyakit menular, sebab asal virusnya ada pada anjing. Ketika anjing itu menggigit seseorang, jadilah orang itu seperti anjing tersebut. Kebanyakannya tidak bias sembuh darinya sampai binasa. Maka demikian pulalah ahli bid’ah. Jika dia telah memindahkan pendapat dan syubhatnya kepada seseorang, orang tersebut akan sangat sulit terbebas dari pengaruh buruknya. Bahkan bisa jadi dia menjadi pengikutnya atau tertancap keraguan di hatinya yang dia upayakan untuk menyembuhkan diri darinya namun dia tidak sanggup.
Ini berbeda dengan berbagai kemaksiatan lainnya. Pelaku maksiat tersebut tidak memudharatkannya dan kebanyakannya tidak akan mempengaruhinya, kecuali kalau bergaul lama dan sering menyaksikan kemaksiatannya. Telah tersebut dalam atsar apa yang menunjukkan makna ini. SESUNGGUHNYA SALAFUSH SHALEH MELARANG DARI DUDUK DAN BERBICARA DENGAN MEREKA, SERTA BERSIKAP TEGAS TERHADAP MEREKA” (Al-I’tisham, hal.46)
Komentar:
Subhanallah, demikianlah sikap tegas salafush shaleh terhadap ahlul bid’ah dan demikian pula sikap lembut Firanda terhadap mereka! Dan bahkan Firanda telah membantah secara tegas sikap salafush shaleh yang dinukil oleh Imam Syatibi rahimahullah di atas dengan tulisannya: “Pertanyaan yang patut kita renungkan, berapa banyak ahli bid’ah dan hizbiyyin –baik dari kalangan ikhwani, tablighi, maupun haraki- yang sadar dan kembali kepada sunnah disebabkan hajr dari seorang ahlus sunnah? Ataukah yang terjadi justru mereka semakin jauh dari sunnah dan semakin menjadi-jadi? Tentunya kita semua mengetahui jawabannya.” (Lerai…, hal.154)
Nampaknya, Imam Syatibi dan salafush shaleh rahimahumullah jami’an harus belajar lagi cara berdakwah lemah lembut kepada Firanda dan teman-temannya. Kenapa? Agar tidak ditinggal lari oleh ahlul bid’ah wal hizbiyyah, Allahu yahdik!
[5] Syarhus Sunnah, 123.
[6] ibid
[7] Fatawa Ibnu Taimiyah, 4/189-190
[8] Bada’i’ut Tafsir. 5/58, Tafsir Surah An-Nas; ibid, hal.44-48

Sumber: oleh Abdul Hadi: fakta.info.tm