AJAKAN BERLEMAH LEMBUT KEPADA AHLI BID’AH,
APA MAUNYA ATAU MAU APANYA?
KELICIKAN DAKWAHNYA ATAU DAKWAH KELICIKANNYA?
Selintas Fakta Dakwah Hizbiyyah!!
PARA PESERTA KONGRES AKHIRNYA TELAH DIBAI’AT OLEH AHMAD SOERKATI DENGAN MENYATAKAN AKAN TUNDUK KEPADA SETIAP KEPUTUSAN YANG AKAN DIKELUARKAN OLEH HOOFDKWARTIER, BAIK SESUAI MAUPUN TIDAK SESUAI DENGAN KEHENDAK HATI MASING-MASING. HOOFDKWARTIER TERDIRI DARI S. AHMAD SOERKATI SEBAGAI KETUA, AWAB ALBARQIE SEBAGAI SEKRETARIS, ABDULLAH BADJEREI, UMAR NAJI, DAN UMAR HUBEISH SEBAGAI ANGGOTA”
(Sumber: Al-Irsyad Mengisi Sejarah Bangsa, hal.61 dan 142, H. Hussein Badjerei, juga: Jan 10, 05 | 11:00 am, AHMAD SOERKATI (4), www.alirsyad.or.id_comments.php_id_P684_0_13_0_C.htm)
Saya (Syaikh DR. Shalih As-Suhaimi Hafidhahullah-pen) berkata:
”Dan termasuk dari penyebab-penyebab kehancuran dan perpecahan di tengah-tengah jama’ah-jama’ah ini, karena mereka menyeru kepada tiap orang untuk bergabung di bawah bendera mereka untuk membai’at seseorang atau individu-individu di atas satu cara bahkan di atas banyak cara. Kadang-kadang perkara inilah yang menjadikan umat ini berpartai-partai atau berkelompok-kelompok (bahkan-peny) sampai ke negara yang sedikit penduduk Muslimnya. Mereka menjadikan umat yang satu menjadi beberapa golongan bahkan bersikap ghuluw (perhatikan wahai Abdurrahman Al-Kadzab pernyataan Syaikh, siapa yang terbukti ghuluw?-peny) dalam masalah ini, hingga masing-masing dari mereka mengambil bai’at dari pengikut-pengikut mereka, bahkan membai’at orang ayng tidak dikenal DENGAN BERTOPENG DI BAWAH DAKWAH KEPADA ALLAH. ITULAH YANG DISEBUT DAKWAH KEPADA INDIVIDU-INDIVIDU (DAKWAH HIZBIYYAH) DAN INI PULA SEBAGAI DASAR HIZBIYYAH, MEREKA BERWALA’ (LOYALITAS) DAN BERJALAN DI ATAS TITIAN HIZBIYYAH!”(Manhaj As-Salaf fi Al-Aqidah wa Atsaruhu fi Wihdati al-Muslimin, bab tentang “Bai’at dalam Pandangan Hizbiyyun”)
Kalau diantara pembaca ada yang bertanya, “Kenapa penjelasan Syaikh Shalih Suhaimi hafidhahullah yang dibawakan untuk menunjukkan bukti kebatilan bai’at dakwah As-Surkati?”
Maka kita katakan, karena Muhammad Arifin Badri memiliki hubungan baik dengan beliau hafidhahullah dan sangat mungkin Syaikh Shalih Suhaimi dilobinya (atas permintaan dan pendanaan Irsyadi liar Chalid Bawazeer) untuk datang dalam acara daurah Irsyadiyun liar bersama masyayikh Madinah. Dan kita sangat berharap agar Muhammad Arifin MEMILIKI KEBERANIAN untuk menceritakan SECARA TERBUKA DAN JUJUR SERTA APA ADANYA bahwa As-Surkati adalah penerus dakwah PAN Islamisme/Wihdatul Firqah Jamaluddin Al-Afghani Ar-Rafidhi Al-Masuni! Penerus dakwah Muhammad Abduh Al-Mishri! Karena Surkati bersahabat dengan pejabat penjajah kafir Belanda yang sedang menjajah negeri ini dan bahkan menjadi Syaikh mereka!! Karena As-Surkati mendirikan Al-Irsyadnya berlandaskan lotrenya penjajah kafir Belanda yang ditadahnya!! Dan karena As-Surkati bersama Al-Irsyadnya benar-benar telah melakukan bai’at hizbiyyah sebagaimana peringatan dan penjelasan Syaikh Shalih Suhaimi hafidhahullah di atas!
Apakah semua ini merupakan kesalahan “biasa”? Dan apakah Muhammad Arifin memiliki keberanian untuk “mengkhianati’ dakwah Irsyadnya Chalid Bawazeer dengan menjelaskannya kepada para masyayikh Madinah?!
Tampaknya masa lalu Syaikh Abdul Wahhab Al-‘Aqil hafidhahullah telah mengetahui posisi Muhammad Arifin dalam “pertikaian ini”, apakah dia tetap berhadapan dengan “atsar” dakwahnya Syarif Hazza’ Al-Mishri dan Yusuf Ba’isa ataukah justru telah “membelot’ dan bergabung dengan “atsar dakwah” mereka?! Kita sama-sama menunggu dan menyaksikannya. Haihata. Haihata…
Dan tidakkah anda sadari bahwa kita semua (oleh Abu Salma) “disuruh” untuk merujuk pada tulisan Umar Naji jika ingin mengetahui sejarah perjuangan As-Surkati padahal Umar Naji ini adalah salah satu anggota HOOFDKWARTIER di mana Irsyadiyyun dibai’at oleh Surkati untuk tunduk kepada SETIAP KEPUTUSAN YANG AKAN DIKELUARKAN OLEH HOOFDKWARTIER!! Haihata, haihata, kaum muslimin nak hendak digiringnya ke lubang-lubang kebinasaan dakwah hizbiyyah Irsyadiyyahnya?!!
Bahayanya Bergaul Dengan Ahli Bid’ah
& Fitnahnya Bermuamalah Dengan Mereka
Risalah ini hanyalah kami tujukan kepada saudara-saudaraku yang masih “merasa miskin akan ilmunya” yang tidak merasa malu untuk mengakuinya, yang masih memiliki rasa takut akan terkikisnya iman bahkan tercerabutnya agama mereka akibat fitnah bergaul dan bermuamalah dengan Ahli Bid’ah, bukan semata pelaku kebid’ahan yang awan apalagi pelaku kemaksiatan karena kejahilan mereka akan dien ini; tetapi sekali lagi kami tegaskan betapa bahayanya bergaul dan bermuama’ah dengan ahlul ahwa’ dan Ahli bid’ah!!
Jangan anda menyangka bahwa “kesimpulan” ini berangkat dari penulis secara pribadi, tidak bahkan Salafush Shaleh benar-benar telah memperingatkan betapa bahayanya bergaul dengan Ahli bid’ah!! Hal ini harus kami tekankan karena ada upaya-upaya licik yakni sikap tegas kita terhadap corong-corong kesesatan telah dimanipulasi dengan mengesankan “kengerian” kepada umat bahwa kita bersikap kasar dan bengis kepada seluruh umat Islam!! Dan sebaliknya mereka menyerukan untuk bersikap lembut terhadap Ahli Bid’ah!! Kelicikan dalam berdakwah dan berdakwah dengan kelicikan seperti ini tidaklah samar bagi mereka yang mau memahami permasalahan ini…
Dengan batasan ini, jelaslah bahwa risalah ini sama sekali bukan kami tujukan untuk orang-orang yang merasa aman aqidah dan manhajnya bergaul dan bermuamalah dengan Ahli Bid’ah atau bahkan kepada orang yang menyerukan untuk bermuamalah dan berlemah lembut dengan mereka. Tidak, sekali-kali tidak.
Saudaraku rahimakumullah…
Sesungguhnya iman itu adalah harta kita yang paling berharga, jauh dan jauh lebih berharga daripada harta kemaslahatan yang kita kejar di dunia ini. Sementara hati kita sangatlah lemah, mudah terpengaruh oleh bisikan-bisikan syubhat syaithan dan balatentaranya baik dari kalangan jin maupun manusia.
Betapa berbahanya mereka (ahli bid’ah dan ahli ahwa’) sampai-sampai Al-Imam Ibnu Qayyin rahimahullah telah berjanji kepada Allah (untuk melindungi kaum muslimin) dengan membela dien-Nya, berjihad memerangi ahli hawa dan ahli bid’ah serta membongkar kedok keburukannya di hadapan semua makhluk (walaupun akan senantiasa ada diantara manusia yang akan menuduh beliau rahimahullah sebagai sosok manusia yang kasar, kejam dan bengis lagi tak berperasaan). Beliau berkata:
Sungguh saya akan berjihad memerangi musuh-Mu
selama Engkau masih menghidupkanku
Saya akan menjadikan penyerangan terhadap mereka sebagai kebiasaanku
Saya akan bongkar di hadapan semua makhluk
Saya akan memotong tiang kolong mereka dengan lisanku
Saya akan membuka rahasia mereka yang tersembunyi bagi orang-orang dha’if dari makhluk-Mu disertai penjelasan
Saya akan memburu mereka sampai di mana mereka berhenti
Walaupun sampai ke padang sahara yang paling sunyi
Saya akan merajam mereka dengan cahaya hidayah
Perajaman murid dengan semerbak bunga
Saya akan senantiasa mengawasi siasat mereka
Saya akan berada di depan mereka di semua tempat
Sungguh saya akan jadikan daging dan darah mereka
di hari kemenangan-Mu sebagai korban terbesar
Saya akan membawa banyak pasukan untuk menyerang mereka
Yang tidak akan lari menghadapi gelombang pasukan besar
Tentara-tentara dua wahyu, fithrah, akal dan penukilan yang shahih
Sehingga jelas bagi orang yang berakal
Siapa yang lebih utama berdasarkan akal dan dalil nyata
Saya sungguh empati pada Allah, Rasul-Nya
Kitab-Nya, dan semua syari’at iman
Kalau Rabb menghendaki itu maka akan terjadi dengan kekuatan-Nya
Kalau Dia tidak kehendaki maka semua urusan di tangan Ar-Rahman[1]
Demikianlah, hari berganti hari, bulan berganti bulan, tahun dan abad, umat telah semakin jauh dari masa kemurniannya, sampailah kita dimasa fitnah datang tiada henti, bid’ah dan sunnah sulit lagi dibedakan kaum muslimin awam, kejahilan merajalela, keberanian semakin mengemuka dan berlemah lembut terhadap ahli bid’ah menjadi manhaj primadona. Warisan salaful ummah? Hanyalah kisah masa lalu semata…kuno, kasar dan tidak sesuai lagi dengan fiqhul waqi’ zaman yang ada….Naudzubillah.
Inilah kisah masa lalu Salaful Ummah dan semoga bagi saudara-saudaraku yang merasa takut akan terkikisnya iman dari dadanya dapat menjadikannya sebagai uswah dan teladan dalam menyikapi fitnah yang ada.
Semoga anda jangan sampai terkecoh oleh kelicikan dakwahnya dan dakwah kelicikannya bahwa Salaful Ummah dikesankan sebagai sosok-sosok manusia yang “anti sosial”, kasar, tidak memiliki kelembutan dalam berdakwah, tidak berperasaan terhadap ahli bid’ah. Dan bahkan “menakut-nakuti” umat dengan bersikap miring terhadap “buku-buku yang memuat fatwa keras para imam tanpa bimbingan para ulama sehingga menerapkan fatwa tersebut pada setiap ahli bid’ah yang ditemui. Diantara akibat membaca buku-buku tersebut, banyak dari saudara-saudara kita akan menyangka bahwa para salaf kehidupannya penuh dengan kekerasan dalam membantah ahli bid’ah tanpa memandang situasi dan kondisi” (Lerai…, hal.176-177).
Subhanallah, hanya untuk memuluskan “dakwah lemah lembutnya terhadap ahli bid’ah” Firanda sampai tega bersikap miring seperti ini? Ketegasan Salaful ummah akan bahayanya ahli bid’ah YANG DISUSUN OLEH MASYAYIKH SALAFIYYIN hanya akan menghasilkan para pembaca yang menyangka bahwa “para salaf kehidupannya penuh dengan kekerasan dalam membantah ahli bid’ah tanpa memandang situasi dan kondisi?” Apakah Firanda tidak menyadari bahwa ucapannya ini (secara tidak langsung) juga mengandung celaan terhadap para masyayikh saat ini yang mengumpulkan riwayat-riwayat sikap a’immah ahlussunnah terhadap ahli bid’ah dan menuliskannya dalam buku-buku mereka? Bahwa buku-buku masyayikh tersebut sangat dikuatirkan akan menghasilkan generasi yang tidak tahu situasi dan kondisi, generasi membabi buta dan kasar karena “fatwa-fatwa keras para salaf terhadap ahli bid’ah” yang mereka nukilkan? Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.
Sungguh, kalaulah bukan Salaful ummah yang menjadi uswah kita, maka kepada siapa lagi kita beruswah? Apakah Firanda tidak menyadari fitnah besar yang ditimbulkan oleh bukunya? Betapa umat digiring untuk menyangka bahwa para salaf bermudah-mudah dalam bergaul dan bermuamalah dengan ahli bid’ah?!! Betapa orang HANYA selevel thalibul ilmi sekalipun sudah bisa berijtihad sebagaimana dirinya dan teman-temannya berijtihad[2]! Buku Firanda hanyalah menimbulkan kesan buruk bahwa para salaf berlemah lembut terhadap ahli bid’ah dan sikap tegas para salaf itu sendiri terhadap ahli bid’ah hanya akan menghasilkan generasi kasar dan haddadiyyin yang tidak tahu situasi dan kondisi!! Siapakah yang lebih tahu situasi dan kondisi? Tentu saja hanyalah Firanda dan kawan-kawan seperjuangannya. Wallahul musta’an.
Na’am, mereka akan berkata bahwa iman kami kuat dan insya Allah tidaklah terpengaruh oleh syubhat-syubhat mereka dan justru muamalah kami dengan mereka adalah upaya untuk mendakwahi mereka dan menyeru mereka untuk bermanhaj salaf dan ini adalah kesempatan emas yang tidak boleh disia-siakan! Atau ucapan (syubhat yang sangat berbahaya!):
“karena itu merupakan perkara yang aneh apabila ada seorang da’i bermanhaj salaf diberi kesempatan untuk berdakwah di tempat hizbiyyin namun ia malah meninggalkan kesempatan emas ini. Semestinya jika ada kesempatan emas terbuka untuk menampakkan kebenaran di hadapan hizbiyyin maka jangan sampai disia-siakan. Lebih aneh lagi sikap sebagian orang yang mentahdzir saudaranya yang berkesempatan dakwah di lingkungan ahli bid’ah. Merupakan perkara yang menggelikan kalau kita hanya berharap ahli bid’ah di zaman ini datang menemui kita dan ikut mendengarkan pengajian kita. Bukankah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dan para nabi lainnya mendatangi tempat-tempat kesyirikan untuk menyampaikan kebenaran? Mereka tidak hanya diam di masjid menunggu orang-orang musyrik datang mendengarkan kebenaran yang mereka sampaikan.” (Lerai…, hal.142)
Apakah kriterianya sehingga seseorang layak dikatakan sebagai ahli bid’ah?
Firanda sendiri yang menjelaskan: “…ada dua persyaratan agar seseorang dikatakan sebagai ahli bid’ah:
1.Ia bukanlah seorang mujtahid, namun seorang pengikut hawa nafsu
2.Berbuat bid’ah merupakan kebiasaannya.
Karena itu, tidaklah heran jika sosok “pahlawan kesiangan” seperti ini tidak akan pernah menyia-nyiakan “kesempatan emas’ untuk berdakwah di lingkungan ahli bid’ah[3]! Dan bahkan menyerukan untuk BERSIKAP LEMAH LEMBUT TERHADAP AHLI BID’AH DENGAN MENUKIL PERNYATAAN SYAIKHUL ISLAM IBNU TAIMIYAH RAHIMAHULLAH TERHADAP PELAKU KEMAKSIATAN!!
Uraian di bawah ini akan membuktikan bahwa salafush shaleh (di sisi Firanda dan orang yang sejenis dengannya!) tidak lebih dari sosok-sosok manusia yang melakukan perkara-perkara yang aneh, takut dengan syubhat ahli bid’ah sehingga menyia-nyiakan kesempatan emas untuk mendakwahi ahli bid’ah di sarang mereka!
Kalau Firanda berkata: “Bukankah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dan para nabi lainnya mendatangi tempat-tempat kesyirikan untuk menyampaikan kebenaran? Mereka tidak hanya diam di masjid menunggu orang-orang musyrik datang mendengarkan kebenaran yang mereka sampaikan.”
Kitapun bisa berkata kepadanya: “Bukankah Salafush shaleh adalah teladan kita? Bukankah salafush shaleh adalah sosok-sosok manusia yang terbaik aqidah dan manhajnya? Lalu kenapa mereka sama sekali tidak merasa aman bergaul dan berhubungan dengan ahlul bid’ah? Apakah engkau wahai Firanda lebih tahu fiqhul waqi’ daripada salafush shaleh? Ini mirip dengan cara-cara hizbiyyin…
Di sinilah letak kelebihan rasa aman Firanda dibandingkan salafush shaleh!
Kalau Firanda berkata: “Kalau maslahatnya lebih besar daripada mudharatnya, kenapa tidak?”
Kita katakan: “Tetapi…kami (yang miskin ini) belum pernah menemukan satu riwayatpun bahwa kemaslahatan dana di sisi salafush shaleh memiliki bobot yang lebih berat daripada kebobrokan manhaj!? Bisakah Firanda mencontohkannya?”
Berapa banyak ahli bid’ah yang justru semakin bersemangat dengan kebid’ahannya karena sikap lemah lembut Firanda terhadap mereka? Berapa banyak ahli bid’ah dari kalangan hizbiyyin yang merasa senasib seperjuangan dengan komunitas anda karena mengetahui “fiqhul waqi’” bahwa sumber dana kemaslahatan mereka dan sumber dana kemaslahatan kelompok Firanda ternyata berasal dari sumber dana yang sama?! Dan berapa banyak Ahlus Sunnah yang merasa sakit karena justru Firanda bisa bersikap lebih ganas terhadap Ahlus Sunnah itu sendiri dibandingkan sikap lemah lembutnya terhadap ahli bid’ah sedana kemaslahatan yang sekarang ini gencar dipromosikannya?
Yang jelas, karya Syaikh Abdul Muhsin Al-Abbad yang sering mereka nukil berjudul Rifqan Ahlas Sunnah bi Ahli Sunnah dan bukan Rifqan Ahlas Sunnah bi Ahli Bid’ah!
Sungguh sangat aneh bahwa yayasan “Ahlussunnah” semacam Ihya’ At-Turats yang gencar dipromosikan Firanda kepada umat ternyata tidak hanya dapat merangkul kelompok-kelompok hizbiyyah semacam Ikhwanul Muflisin, Syi’ah dan bahkan Takfiri sekalipun yang memerangi Ahlussunnah dan membantu dakwahnya tetapi juga dapat merangkul “Ahlussunnah” dan membantu dakwahnya serta para da’inya!! Aneh…tetapi FAKTA NYATA di depan mata!
Apakah Engkau Saja Yang Berijtihad Sedangkan Saudara-Saudaramu Yang Mengambil Dana Tidak Berijtihad Dalam Mengambil Langkah Mereka??
Kita tanyakan kepada Firanda:
Apakah mendatangkan da’i fitnah Abdurrahman Abdul Khaliq ke Pesantren Al-Irsyad Tengaran juga merupakan hasil ijtihad kalian?
Apakah pembelaan Abdurrahman Abdul Khaliq terhadap Yusuf Al-Qaradhawi serta senyum kemenangan ustadz-ustadz seniormu di acara tersebut juga merupakan bagian dari ijtihad mereka?
Apakah kedatangan Syarif Hazza’ dan penghinaannya terhadap Syaikh Al-Albani rahimahullah serta keluarga dan murid beliau juga merupakan hasil ijtihad kalian?
Apalah daurah yang diadakannya untuk membantah dan menghina kitab Al-Quthbiyyah Hiyal Fitnah Fa’rifuha juga merupakan hasil kemaslahatan ijtihad kalian?
Apakah penerjemahan dan penyebaran selebaran keji Abdurrazzaq AsSyaiji murid Kibar Ihya’ At-Turats (Abdurrahman Abdul Khaliq) juga hasil ijtihad kalian?
Ataukah ketika semua “hasil ijtihad’ para mujtahid itu terjadi dirimu wahai Firanda belum terlahir di dunia dakwah ini?
Kalau demikian keadaannya, tentulah engkau harus bertabayyun langsung kepada Muhammad Arifin sebagai salah satu saksi hidup “ijtihad-ijtihad” di atas, apakah semua kisah “ijtihad” di atas hanyalah dongeng yang tidak nyata alias fitnah atau justru kisah nyata yang berupaya dihapus dan dilupakan dari ingatan Muhammad Arifin Badri!!
Apakah pemecatan ustadz Abu Mas’ud, Muhammad Ridwan, Ibnu Yunus, Ahmad Izza juga hasil dari ijtihad kalian?
Apakah mendistribusikan majalah Al-Bayan juga hasil ijtihad kalian?
Apakah bergabungnya ustadz-ustadz senior anda dengan para da’i Ikhwanul Muslimin serta Wahdah Islamiyyah dengan mendatangkan gembong Sururi internasional dalam Daurah Haramain juga hasil ijtihad kalian?
Apakah komentar-komentar miring ustadz-ustadz senior, dirimu serta teman-temanmu terhadap Syaikh Rabi’ hafidhahullah juga merupakan hasil ijtihad kalian?!
Apakah ucapan keji terhadap karya para ulama “Pada Dasarnya Adalah Barang-Barang Yang Pasif yang kami tidak bisa bertanya dan bertabayyun secara langsung, hanya sebatas kepada kitab dan kaset” juga hasil ijtihad Abu Nida’ pakar proposal proyek Ihya’ At-Turats?
Haihata, haihata kita tahu Firanda telah “berijtihad” bahwa manfaat dananya lebih besar daripada mudharatnya!! Kenapa tidak?
Fitnahnya Bermajelis Dengan Ahli Bid’ah
Memperingatkan manusia dari bahaya para penyimpang, bid’ah dan hawa merupakan salah satu asas dien kita untuk menjaga syaria’t yang mulia dam membentengi kaum muslimin dari aqidah rusak dan hawa nafsu yang menghinakan.
Allah yang Maha Bijak lagi Maha Berilmu telah menjelaskan perkara yang agung ini:
“Dan apabila kamu melihat orang-orang yang memperolok-olokkkan ayat-ayat kami, maka tinggalkanlah mereka hingga mereka membicarakan pembicaraan yang lain. Dan jika setan menjadikan kamu lupa (akan larangan ini), maka janganlah kamu duduk bersama orang-orang yang dzalim itu sesudah teringat (akan larangan itu)” (QS. Al-An’am:68)
Asy-Syaukani rahimahullah mengatakan: “Maknanya: Apabila kamu melihat orang-orang yang membicarakan ayat-ayat Kami dengan mendustakan, membantah, dan memperolok-olokkan maka tinggalkanlah mereka. Jangan duduk bersama mereka untuk mendengarkan kemungkaran yang besar ini, sampai mereka membicarakan pembicaraan yang lain. Allah memerintahkan Nabi untuk berpaling dari perkumpulan-perkumpulan yang di dalamnya ayat-ayat Allah dihinakan sampai suatu batas mereka membicarakan pembicaraan lain.
Di dalam ayat ini ada nasehat bagi orang yang bersikap toleran terhadap perkumpulan bid’ah yang mengubah Kalamullah, mempermainkan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, serta menyesuaikannya dengan hawanya yang menyesatkan dan bid’ahnya yang mengacaukan. Karena apabila dia tidak sanggup mengingkari mereka dan mengubah keadaan mereka, maka minimal tindakan yang harus dia lakukan adalah meninggalkan majelis mereka. Ini gampang dan tidak sulit. Boleh jadi kehadirannya bersama mereka akan mereka jadikan dalih (berupa) syubhat yang dilontarkan kepada orang umum (sekalipun dia sendiri tidak turut campur tangan dalam keburukan mereka) sehingga kehadirannya itu mengundang kemudharatan, lebih dari sekedar mendengarkan kemungkaran.”[4] Apakah Firanda menyadari fitnah yang ditimbulkan akibat kehadirannya di sarang “penyamun” demi meraih kesempatan emasnya? Seruannya akan menjadi legalitas bagi kaum muslimin untuk bermudah-mudah dalam bergaul dan bermuamalah bersama ahli bid’ah tanpa menggubris bahayanya mereka!! Bukankah Firanda lebih menonjolkan manfaat dan kemaslahatannya bergaul bersama ahli bid’ah dan SAMA SEKALI TIDAK MEMPERINGATKAN BETAPA AHLI BID’AH sangatlah berbahaya bagi kaum muslimin karena “kelihaian” mereka dalam mencampuradukkan antara kebenaran dengan kebathilan!! Bukankah Firanda juga tidak memperingatkan umat bahwa ahli bid’ah memiliki hobi dan kesenangan untuk menyembunyikan nash-nash yang menyelisihi kebid’ahannya?
Kalau Firanda dalam buku emasnya hal.153 menunjukkan sikap Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah yang TERKADANG bersikap lemah lembut pada sebagian pelaku kemaksiatan (dan bukan ahli bid’ah), maka kita ingin menunjukkan bahwa Ibnu Taimiyah rahimahullah juga telah memperingatkan kepada umat bahwa KESERINGAN ahli bid’ah adalah bersikap licik dan khianat terhadap Islam dan kaum muslimin!!
Berkata Syaikhul Islam rahimahullah:
“Adapun bid’ah yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah yang oleh pengikutnya dinamakan dengan istilah kalamamiyaah (mantiq) dan aqliyaah (rasionalisme), falsafiyaah (filsafat), dzauqiyaah, wajdiyaah, haqaaiq dan selain itu, di dalamnya mesti mencampuradukkan antara kebenaran dengan kebathilan dan menyembunyikan al-haq itu sendiri. Perkara nyata ini dapat diketahui oleh setiap orang yang mau memperhatikan. Tidak kita jumpai seorang ahli bid’ah-pun kecuali dia mesti senang menyembunyikan nash-nash yang menyelisihinya, membenci nash tersebut serta membenci penampakan dan periwayatannya, enggan membicarakannya dan tidak menyukai orang yang mengamalkannya sebagaimana dikatakan oleh ulama salaf: “Tidaklah seorang ahli bid’ah melakukan kebid’ahan melainkan telah dicabut manisnya sebuah hadits Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dari hatinya”. Kemudian ucapannya yang menentang nash-nash akan mengharuskan dirinya untuk mencampuradukkan antara kebenaran dengan kebathilan, dengan sebab lafadz-lafadz global dan samar yang dikatakannya” [5]
Na’am, Firanda bagaikan seorang “mufti” Ihya’ At-Turats yang menyerahkan kepada seluruh kaum muslimin untuk bebas mengendarai kuda liar hasil khilafiyah ijtihadiyahnya tanpa menyerahkan tali kekangnya!! Ini adalah situasi dan kondisi yang sangat berbahaya!! Bukankah seruan muamalah ijtihadiyah dan berlemah lembut terhadap ahli bid’ah tidak disertakan pula peringatan Firanda bahwa diantara barisan ahli bid’ah telah menyusup kaum munafikin dan zindiq?!
Jika Firanda “enggan” menyertakannya (demi kelancaran dakwah lemah lembutnya terhadap ahli bid’ah), maka walhamdulillah bahwa Ibnu Taimiyyah rahimahullah telah memperingatkan:
“…barangsiapa memperhatikan hal ini, maka dia akan mengetahui bahwa mayoritas pengikut hawa nafsu dan ahli bid’ah kadangkala adalah seorang mukmin jahil yang tersesat dari petunjuk yang telah dibawa oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dan terkadang seorang munafik zindiq yang menampakkan lawan atau kebalikan dari apa yang ada di dalam hatinya [6]”.
Sekali lagi Ibnu Taimiyah rahimahullah menegaskan:
“Telah diketahui bersama bahwa mayoritas ahli bid’ah adalah orang-orang munafik dengan keminafikan yang besar. Mereka adalah orang-orang kafir yang ada di tempat paling bawah dari neraka. Betapa banyak kaum zindiq dan munafik ada dalam tubuh Rafidhah, Jahmiyah dan selain mereka. Bahkan cikal bakal bid’ah ini adalah kaum munafiq zindiq yang sumber kezindiqan mereka adalah kaum shabiun dan musyrikin. Mereka kufur dalam bathinnya. Barangsiapa telah mengetahi keadaannya (kekufurannya dengan jelas) maka dapat dinyatakan bahwa orang tersebut kafir pada dhahirnya juga [7]”.
Perhatikan wahai Firanda ucapan Syaikhul Islam di bawah ini:
Setelah membahas orang-orang yang dikafirkan karena kebathilannya (dari berbagai macam firqah seperti Jahmiyah, Rafidhah, dan Qadariyah) Syaikhul Islam rahimahullah menyatakan penyebab kekafiran mereka sebagai berikut:
“Diantara mereka ada suatu kaum yang tidak mengerti pemahaman ahlussunnah wal jama’ah padahal itu adalah wajib bagi mereka. Yang lainnya, hanya mengerti sebagiannya saja, dan apa yang mereka ketahui kadang tidak disampaikan kepada kaum muslimin yang lain bahkan mereka sembunyikan, tidak menghalangi perbuatan bid’ah dan ahli bid’ah serta tidak memberikan sanksi kepada mereka. Bahkan diantara mereka adalah orang-orang yang mengerti dan mempunyai ilmu tetapi justru mencela siapa yang membicarakan sunnah dengan celaan yang sangat jelek tanpa mau menengok bahwa yang disampaikan terdapat dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah serta kesepakatan para ulama, sedangkan yang dinyatakan oleh ahli bid’ah dan kelompok sesat tersebut atau aneka ragam pemahaman dalam madzhab-madzhab mereka adalah keluar dari rel ijtihad yang diperbolehkan bahkan menyelisihi Al-Qur’an, As-Sunnah dan kesepakatan para ulama [8]”.
Kita berbaik sangka bahwa Firanda telah mengetahui ijma’ salafush shaleh dalam bersikap tegas terhadap ahli bid’ah. Dan kita pun berbaik sangka bahwa Firanda sangat mengerti akan makar-makar busuk dan jahat yang dilakukan ahli bid’ah (termasuk di dalamnya kaum zindiq dan munafikin) dalam menyesatkan umat! Lalu apa sebenarnya tujuan yang diinginkannya dengan bersikap miring terhadap Ahlussunnah yang bersikap tegas kepada ahli bid’ah sebagai sikap yang aneh dan menggelikan untuk kemudian menonjol-nonjolkan permasalahan bermuamalah dengan ahli bid’ah adalah permasalahan ijtihadiyah dan terkadang dituntut untuk bersikap lemah lembut terhadap mereka, sementara bahaya ahli bid’ah itu sendiri sama sekali tidak disinggung dan diperingatkannya?!
Contoh lain, bukankah Ihya’ At-Turats telah melakukan berbagai kebid’ahan yang sangat mengerikan dan fatal? Bagaimana mereka menyeru untuk memprotes para penguasa muslim! Bekerjasama dengan Syi’ah dan kelompok-kelompok Hizbiyyah!! Dan sekarang anda melihat bahwa Abdurrahman Abdul Khaliq dan seluruh pejabat teras Ihya’nya akan bisa tersenyum lega ketika digugat oleh Salafiyyin seputar muamalah Ihya’ dengan kelompok-kelompok menyimpang di atas. Bukankah para pejabat teras Ihya’ akan cukup berkata, “Bukankah Firanda As-Soronji Al-Andunisi telah menegaskan dalam buku emasnya bahwa muamalah yang kami lakukan hanyalah permasalahan ijtihadiyah yang sama sekali tidak pantas kalian ributkan!!”
Walaupun Firanda tidak akan mungkin menceritakan bahwa lebih dari sepuluh tahun dakwah “lemah lembut” yang didemonstrasikan oleh para ustadz seniornya telah dijalani, ternyata Ihya’ At-Turats masih tetap memerangi Salafiyyin dan dakwahnya!! Padahal Firanda sudah berpeluh-peluh menyusun bukunya dengan menegaskan bahwa kelemahlembutan adalah wasilah terbesar keberhasilan dakwahnya!! Kenapa demikian, dana kemaslahatan Ihya’ tidak akan mungkin diberikan kepada orang-orang yang bersikap keras kepada mereka!! Jadi tidak ada pilihan lain bagi Firanda dan komunitasnya kecuali harus berlemah-lembut kepada Ihya’!! Entah Ihya’ mau rujuk kepada al-haq ataukah tidak tetapi yang terpenting adalah harus lemah lembut kepadanya!! Kalau Ihya’ sudah insyaf, tentulah para masyayikh Kuwait tidak perlu terus mentahdzir dan memperingatkan umat akan bahayanya Ihya’ At-Turats sampai hari ini!!
Pertanyaan yang patut kita renungkan, berapa banyak ahli bid’ah dan kelompok hizbiyyah yang tidak sadar dan tidak kembali kepada Sunnah bahkan terus-menerus di atas penyimpangannya disebabkan kelemahlembutan “para da’i” yang mengaku Ahlussunnah? Ataukah yang terjadi justru mereka semakin jauh dari sunnah dan semakin menjadi-jadi?! Betapa tidak, justru karena kelompok-kelompok bid’ah tersebut tahu benar bahwa “para da’i” itu benar-benar sangat membutuhkan dana kemaslahatan mereka!! Bagi orang yang mampu memahami situasi dan kondisi para fuqara wal masakin seperti ini (tanpa dia harus membaca terlebih dahulu fatwa-fatwa keras para salaf) tentulah akan dengan mudah menilai bahwa fuqara wal masakin itulah yang HARUS bersikap lemah lembut kepada donaturnya dan bukan donaturnya yang dituntut sebaliknya karena mereka telah mengetahui situasi dan kondisi di berbagai belahan dunia bahwa kaum muslimin benar-benar dicabik-cabik oleh dana kemaslahatan donatur mereka!! Cukuplah “peperangan” yang terjadi sampai hari ini antara Salafiyyin dan masyayikh di Kuwait melawan Ihya’ At-Turats sebagai buktinya!!
Lalu apa maunya Firanda ataukah Firanda mau apanya dibalik dakwah lemah lembut yang diteriakkannya?! Bukti kelicikan dakwahnya ataukah dakwah kelicikannya?!
“Fatwa-Fatwa Keras Para Salaf “ Terhadap Ahli Bid’ah Adalah Bukti Pembelaannya Terhadap Dien & Upaya Melindungi Agama Kaum Muslimin
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Aku berwasiat kepada kalian untuk bertakwa kepada Allah dan mendengar serta taat (kepada pemerintah Islam) walaupun yang memimpin kalian adalah seorang hamba sahaya dari negeri Habasyah. Sesungguhnya barangsiapa hidup sesudahku niscaya dia akan melihat banyak perselisihan maka wajib atas kalian berpegang dengan sunnahku dan sunnah khulafaur rasyidin yang mendapat petunjuk sesudahku. Berpeganglah kalian dengannya dan gigitlah ia dengan gigi gerahammu, serta jauhilah oleh kalian perkara agama yang diada-adakan, karena semua yang baru dalam agama adalah bid’ah dan semua bid’ah adalah sesat” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi, Dzahabi dan Hakim dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahihul Jami’ nomor 2549)
Sufyan Ats Tsauri menyatakan :
“Bid’ah itu lebih disukai oleh iblis daripada maksiat, karena maksiat itu adakah perkara yang pelakunya masih dapat diharapkan bertaubat darinya, sedangkan bid’ah tidak dapat diharapkan pelakunya bertaubat darinya.”
Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid dalam Al Muntaqa An Nafis, halaman 36 : “Atsar ini diriwayatkan oleh Ibnu Ja’d dalam musnad-nya riwayat ke-1885.”
Al Fudlail bin ‘Iyadl menyatakan :
“Apabila engkau melihat seorang ahlul bid’ah berjalan di suatu jalan, maka ambillah jalan lain. Dan tidak akan diangkat amalan ahlul bid’ah ke hadapan Allah Yang Maha Mulia. Barangsiapa membantu ahlul bid’ah (pada amalan bid’ah, pent.), maka sungguh dia telah membantu kehancuran Islam.” (Riwayat Abu Nu’aim. 8/102-104 dari Al Muntaqa An Nafis. Halaman 26-27)
Selanjutnya beliau mengatakan pula :
“Barangsiapa menikahkan saudara perempuannya dengan ahlul bid’ah, maka berarti dia telah memutuskan silaturahim dengannya dan barangsiapa duduk bersama ahlul bid’ah, maka ia tidak diberi hikmah. Dan apabila Allah Yang Maha Mulia mengetahui dari seorang lelaki bahwa dia membenci ahlul bid’ah, aku berharap Allah akan mengampuni dosanya.”
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda :
“Seseorang itu di atas agama orang yang dicintainya, maka hendaklah setiap orang dari kalian melihat siapa yang menjadi kekasihnya.”
Dakwah ini tidak pernah berhenti dan tidak akan mati sejak Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam sampai hari ini. Dunia tidak pernah kosong dari ulama Ahlus Sunnah dengan dakwah sunnahnya ini sejak zaman para shahabat sampai hari ini, hingga mereka diberi julukan : “Penegak sunnah penghancur bid’ah, pedang sunnah dan ular bagi ahlul bid’ah, pembela sunnah dan pemberantas bid’ah dan lain-lain.” Kebencian terhadap ahlul bid’ah adalah merupakan ciri khas bagi Ahlus Sunnah, sebagaimana yang dikatakan oleh Abu Bakar bin Ayyasy ketika dia ditanya : “Siapakah seorang sunni (Ahlus Sunnah)?” Beliau menjawab : “Seorang yang jika disebut Al Ahwa’ (aliran-aliran bid’ah), dia tidak marah (seperti marahnya) karena itu!” (Al I’tisham 1/118 oleh Imam Asy Syathibi). Untuk lebih jelasnya kita simak ucapan Abu Utsman Ash Shabuni, murid Imam Hakim yang dijuluki dengan “Pedang sunnah dan ular bagi ahlul bid’ah” oleh Syaikh Abdul Ghafir Al Farisy, juga mendapatkan pujian dari Imam Dzahabi dan Baihaqi. Beliau berkata : “Salah satu ciri Ahlus Sunnah adalah kecintaan mereka kepada para imam sunnah, ulamanya, para penolong, serta wali-walinya, dan kebencian mereka kepada para tokoh ahli bid’ah.”
Kemudian setelah beliau memberikan contoh ulama yang mengatakan : “Barangsiapa cinta kepada fulan dan fulan, maka dia Ahlus Sunnah.” Beliau menambahkan beberapa ulama Ahlul Hadits di jamannya dan berkata : “Yang mencintai mereka adalah Ahlus Sunnah.” Setelah itu dalam point ke 175 berkata :
“Mereka bersepakat bersama dengan itu semua atas ucapan untuk keras terhadap ahlul bid’ah, merendahkan, menghinakan, menjauhkan, memutuskan hubungan dengan mereka, menjauhi mereka, tidak berteman dan bergaul dengan mereka dan mendekatkan diri kepada Allah dengan menghindar dan memboikot mereka.” (Aqidatus Salaf Ash Haabil Hadits halaman 123)
Imam Al-Ajurri rahimahullah meriwayatkan dengan sanadnya sampai Sulaiman bin Yasar yang berkata: “Sesungguhnya ada seseorang dari bani Tamim bernama Shabigh bin ‘Asal datang ke Madinah membawa beberapa kitab, lalu diapun bertanya tentang ayat-ayat mutasyabih. Berita itu sampai ke telinga Umar radhiyallahu ‘anhu. Beliau mengutus utusan untuk menjemputnya (sementara beliau telah menyiapkan tangkai-tangkai kurma). Tatkala dia sudah masuk lalu duduk, Umar berkata kepadanya.”Siapa kamu?” Dia menjawab, “Saya hamba Allah, Shabigh”. Umar berkata, “Sedangkan saya hamba Allah, Umar”. Lalu beliau mendekatinya dan memukulnya dengan pelepah itu. Beliau terus memukulnya hingga membuatnya terluka dan darah mengalir di wajahnya. Diapun berkata: “Cukup wahai Amirul Mukminin, demi Allah hilang apa yang tadinya ada di kepalaku” [9]
Dan Al-Lalika’i rahimahullah meriwayatkan dengan sanadnya sampai Qathn bin Ka’b yang berkata: “Saya mendengarkan seseorang dari bani ‘Ajal yang dipanggil Fulan bin Zar’ah menceritakan dari ayahnya: Saya melihat Shabigh bin ‘Asal di Bashrah seolah dia unta berkudis. Setiap kali dia mendatangi perkumpulan maka mereka semua berdiri meninggalkannya. Apabila dia duduk bergabung dengan suatu kaum yang tidak mengenalnya, maka perkumpulan lain akan meneriaki: “Residivis yang pernah dihukum Amirul Mukminin” [10]
Demikian juga Khalifah yang lurus, Ali bin Abi Thalib yang mengutus Ibnu Abbas untuk berdiskusi dengan Khawarij, lalu beliau memerangi mereka yang tidak kembali rujuk. Beliau katakan: “Akan datang suatu kaum yang mendebat kalian, maka bantahlah mereka dengan sunnah, Ahli Sunnah paling berilmu tentang Kitabullah” [11]
Para shahabat radhiyallahu ‘anhum juga telah menempuh jalan yang sama, demikian pula tabi’in dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik dari para imam ulama kaum muslimin (apakah kisah-kisah di atas merupakan bukti fatwa-fatwa kasar mereka atakuha justru bentuk kasih sayang mereka dalam melindungi kaum muslimin dari pemahaman-pemahaman sesat ahli bid’ah yang berusaha ditancapkan ke dada-dada kaum muslimin? Sungguh jelek sekali ucapan yang keluar dari mulut-mulut mereka! Adakah diantara Salaful Ummah yang mengajari kaum muslimin agar bersikap membabi buta tanpa melihat situasi dan kondisi?-pen).
Al-Lalika’i berkata: “Konteks kalimat yang diriwayatkan dari Nabi tentang larangan berdiskusi dengan ahli bid’ah berdebat, berbicara, atau mendengarkan ucapannya yang bid’ah dan akalnya yang busuk”. Lalu beliau menyebutkan hadits-hadits yang menerangkan azas yang agung ini.
Diantaranya adalah hadits yang diriwayatkan dari Mujahid yang berkata: “Dikatakan kepada Ibnu Umar, “Sesungguhnya Najdah mengatakan demikian dan demikian.” Maka beliau tidak mau mendengarkannya karena tidak suka akan tertanam sesuatu di hatinya” [12].
Dari Fudhail bin Iyadh yang berkata: “Janganlah kalian bermajelis dengan ahli hawa, jangan berdebat dengan mereka dan jangan mendengarkan mereka” [13].
Dari Umar bin Abdil Aziz yang berkata: “Kalau kamu melihat suatu kaum yang berbisik-bisik tentang urusan dien mereka tanpa mau melibatkan orang umum, maka ketahuilah bahwa sesungguhnya mereka itu sedang merencanakan kesesatan” [14].
Dari Ibrahim: “Tidak ada pelanggaran ghibah dalam membicarakan pelaku bid’ah” [15]
Abdullah bin ‘Aun rahimahullah berkata: “Siapa yang duduk bersama Ahli bid’ah, dia lebih berbahaya bagi kami daripada ahli bid’ah itu sendiri” [16].
Asy-Syaikh Abu Utsman Ismail Ash-Shabuni rahimahullah menjelaskan cara ahli hadits dalam membenci ahli bid’ah: ”Mereka membenci ahli bid’ah yang membuat perkara baru dalam dienul Islam yang tidak berasal dari Islam. Mereka tidak menyukainya, tidak berteman dengannya, dan tidak mau mendengar kebatilannya yang jika ia (sampai) melewati telinga dan tertanam di qalbu maka akan memudharatkan dan memunculkan was-was yang buruk [17]”. Tentang itu Allah Ta’ala turunkan firman-Nya:
“Dan apabila kamu melihat orang-orang yang memperolok-olokkan ayat-ayat kami, maka tinggalkanlah mereka hingga mereka membicarakan pembicaraan yang lain. Dan jika setan menjadikan kamu lupa (akan larangan ini), maka janganlah kamu duduk bersama orang-orang yang dzalim itu sesudah teringat (akan larangan itu)” (QS. Al-An’am:68) [18]
Beliau juga mengatakan untuk menjelaskan tanda-tanda Ahlussunnah: “Dan mereka bersepakat dalam pendapat untuk bersikap keras terhadap ahli bid’ah, menghinakan, mengusir, tidak berteman, dan tidak bergaul dengan mereka serta bertaqarrub kepada Allah dengan meninggalkan mereka [19].
Belia juga mengatakan: “Janganlah saudaraku sekalian (hafidhahumullah) terpedaya dengan jumlah komunitas ahli bid’ah. Karena banyaknya jumlah mereka dan sedikitnya jumlah ahli haq merupakan tanda dekatnya hari kebenaran. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Sesungguhnya termasuk tanda hari kiamat dan dekatnya ialah kurangnya ilmu dan banyaknya kejahilan”
Ilmu adalah sunnah dan kejahilan adalah bid’ah. Beliau bersabda:
“Sesungguhnya iman benar-benar akan kembali ke Madinah sebagaimana ular kembali ke sarangnya” [20]
Ibnu Wadhdhah menceritakan bukan hanya dari satu sumber, bahwa Asad bin Musa menulis surat kepada Asad bin Al-Farat:
“Ketahuilah wahai saudaraku, sesungguhnya yang memotivasi diriku untuk menulis surat kepadamu adalah apa yang diingkari penduduk negerimu berupa kebajikan yang Allah berikan untukmu yaitu sikapmu yang tepat terhadap manusia, baiknya keadaanmu yang engkau tampakkan berupa sunnah, aibmu dalam pandangan ahli bid’ah, seringnya engkau menyebut mereka, seranganmu terhadap mereka sehingga Allah menghinakan mereka karenanya dan mereka bersembunyi karena bid’ahnya. Berbahagialah wahai saudaraku dengan pahala Allah. Dan nilailah ini sebagai kebajikanmu yang lebih afdhal daripada shalat, puasa, haji dan jihad. Bagaimanakah perbandingan semua amalan itu dibandingkan dengan menegakkan Kitabullah dan menghidupkan sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam? Sungguh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:
“Siapa yang menghidupkan sesuatu dari sunnahku, pasti saya dan dia di surga seperti ini”, sambil beliau merapatkan dua jarinya
Beliau bersabda:
“Penyeru manapun yang mengajak ini (sunnah) lantas diikuti, maka dia mendapatkan pahala semisal pahala orang yang mengikutinya hingga hari kiamat”
Maka siapakah yang sanggup mengikuti ini dengan amalannya wahai saudaraku?
Juga disebutkan:
“Sesungguhnya Allah mempunyai wali yang menghancurkan setiap bid’ah yang hendak memudharatkan Islam. Wali itu membongkar tanda-tandanya”
Maka kumpulkanlah fadhilah kekayaan besar ini wahai saudaraku. Jadilah kelompoknya karena sesungguhnya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Mu’adz radhiyallahu ‘anhu tatkala mengutusnya ke Yaman dalam wasiat beliau:
“Bahwa Allah memberi hidayah kepada satu orang dengan sebab dirimu itu lebih baik bagimu daripada begini dan begitu” [21]…
Raihlah itu. Ajaklah kepada sunnah sampai engkau mempunyai orang-orang sehati yang menggantikan posisimu jika terjadi sesuatu. Mereka akan menjadi para imam setelahmu hingga engkau mendapatkan pahalanya sampai hari kiamat, sebagaimana yang disebutkan oleh atsar.
Maka beramallah dengan ilmu dan niat baik. Denganmu Allah akan membantah ahli bid’ah dan penyimpang yang kebingungan sehingga engkau menjadi pengganti Nabimu. Hidupkanlah Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya, sebab sesungguhnya engkau tidak akan sanggup bertemu Allah dengan membawa amalan lain yang sebesar itu” [22]
Atsar-atsar ini dan selainnya yang masih banyak dari salaf umat Islam, tersebar dalam kandungan kitab-kitab. Semuanya memberitahukan sikap salafush shaleh bahwa tidak ada bermuka manis atau bersikap hangat untuk ahli bid’ah dan hawa! [23]
Bahkan salafush shalih tidak pernah tertipu dengan kezuhudan penyimpangan, keindahan kalimatnya, rajinnya membaca, seringnya memberikan nasehat, dan lain-lain selama mereka tidak berada di atas Sunnah nabawiyah dan jalan salaf. Bagaimana mungkin mereka akan tertipu sedangkan di sisi mereka ada hadits Nabi mereka Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam tatkala mengabarkan keadaan Khawarij pada para shahabat, betapa giat ibadahnya dan betapa zuhudnya mereka dan para shahabat akan memandang sedikit shalat mereka dibandingkan shalatnya Khawarij, demikian pula puasanya. Akan tetapi pengabaran beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam ini disampaikan dalam konteks larangan, celaan dan agar tidak terpedaya (dan bukan sebagai bentuk pujian beliau terhadap Khawarij!).
Hendaklah kita bertaqwa kepada Allah, wahai saudaraku. Jangan mengkhianati Allah, Rasulullah, Al-Qur’an dan kaum muslimin. Jangan kita menipu orang awam. Jangan mengukur urusan apapun semata-mata hanya dengan perasaan kita, sebab dienullah sangat terang benderang, malamnya sebagaimana siangnya, tidak akan ada yang menyimpang darinya sepeninggal beliau shalallalahu ‘alaihi wa sallam melainkan orang yang pasti binasa.
Allah telah menyempurnakan dien-Nya, termasuk dalam hal ini ialah jalan dakwah. Ini merupakan perkara tauqifi, harus atas petunjuk Al-Qur’an dan As-Sunnah berdasarkan pemahaman salafush shalih. Sedangkan apa yang tidak sesuai dengannya, maka ia adalah bid’ah dan kesesatan, sekalipun namanya dipoles dengan apa saja dan biarpun memaerkan berjuta dalih.
Kaum Khawarij, tatkala mereka menyimpang dalam persoalan pemerintah, mereka mengatakan kalimat yang haq namun memaksudkannya untuk kebathilan. Oleh karena itu Ali radhiyallahu ‘anhu memerangi mereka karena mereka menjalankan manhaj bid’ah yang tidak pernah dicontohkan Nabi tanpa Ali berkata: “Sesungguhnya asas aqidah mereka telah benar. Maka selanjutnya boleh saja mereka menyelisihi, serta perbuatan mereka ini hanyalah disebabkan semangat ghirah dalam membela dienul Islam. Perbedaan kita hanyalah perbedaan sarana.” Tidak!! Tetapi para shahabat semuanya sepakat untuk memerangi mereka dan memperingatkan kejahatan mereka.
Akan tetapi, sebenarnya di balik semua (dalih-dalih pembelaan) ini ada rencana yang sangat berbahaya, yaitu meruntuhkan semua yang diajarkan salafush shaleh. Mereka hendak melahirkan pemahaman pada pikiran manusia bahwa perselisihan manhaj itu boleh, tidak ada masalah, hanya sekedar perbedaan sarana, cara dan perbedaan dalam soal meraih keutamaan.
Demikian juga hal itu adalah upaya untuk mementahkan sendi-sendi al-wala’ wal bara’ dalam menyikapi ahli bid’ah dan berusaha menghapus manhaj salaf di dalam memperingatkan umat dari bahaya ahli hawa dan ahli bid’ah!![24]
Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata:
“Seorang mubtadi’ dengan kebid’ahannya yang nyata harus diboikot. Termasuk tindakan yang disyariatkan ialah meninggalkannya sampai mau bertaubat dari kebid’ahannya. Diantaranya juga adalah jenazahnya tidak dishalati oleh kaum muslmin agar menjadi pelajaran bagi orang yang sejalan dengan pemikirannya dan menyeru kepada bid’ah tersebut. Diantara para ulama yang memerintahkan seperti ini yaitu: Malik bin Anas rahimahullah, Ahmad bin Hanbal rahimahullah, dan selain keduanya”[25]
Al-Imam Al-Baghawi rahimahullah berkata:
“Para shahabat, tabi’in, pengikut mereka, serta para ulama sunnah telah sepakat atas hal ini, yakni memusuhi ahli bid’ah dan meninggalkan mereka” [26]
Berikutnya terdapat sanksi bagi orang yang membantu dan membela ahli bid’ah sebagaimana disebutkan dalam kitab Manhaj An-Naqd (hal.152-153] dan Dar’u Taaarudhil Aql wan naql (hal.171-173].
Dan sekarang kita perhatikan lagi wahai saudaraku ucapan salah seorang “mujtahid” Ihya’ At-Turats yang berkata:
“Karena itu merupakan perkara yang aneh apabila ada seorang da’i bermanhaj salaf diberi kesempatan untuk berdakwah di tempat hizbiyyin namun ia malah meninggalkan kesempatan emas ini. Semestinya jika ada kesempatan emas terbuka untuk menampakkan kebenaran di hadapan hizbiyyin maka jangan sampai disia-siakan. Lebih aneh lagi sikap sebagian orang yang mentahdzir saudaranya yang berkesempatan dakwah di lingkungan ahli bid’ah. Merupakan perkara yang menggelikan kalau kita hanya berharap ahli bid’ah di zaman ini datang menemui kita dan ikut mendengarkan pengajian kita. Bukankah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dan para nabi lainnya mendatangi tempat-tempat kesyirikan untuk menyampaikan kebenaran? Mereka tidak hanya diam di masjid menunggu orang-orang musyrik datang mendengarkan kebenaran yang mereka sampaikan.” (Lerai…, hal.142) Dan untuk memperkuat statemen tersebut, tidak tanggung-tanggung dinukilkannya pula ucapan Syaikh Abdurrazzaq Al-Abbad hafihadhullah mengenai uslub dakwah secara umum:
“Oleh karena itu, sikap lembut merupakan wasilah terbesar dalam keberhasilan dakwah”
Kita katakan:
Demikiankah caramu dalam beristidlal wahai Firanda? Engkau ingin menekankan sebuah pembahasan khusus tentang sikap yang tepat terhadap Ahli bid’ah dan untuk memuluskan ajakan “lemah lembutmu” terhadap ahli bid’ah tersebut engkau gunakan dalil dalam berdakwah yang bersifat umum? Haihata, haihata…
Jika demikian keadaannya bukankah engkau secara tidak langsung telah mementahkan dan mengelak dari ijma’ salaful ummah yang disampaikan oleh Al-Imam Al-Baghawi rahimahullah?! Bukankah ini mirip dengan cara-cara hizbiyyin wahai Firanda dalam menolak ijma’ salaful ummah mengenai sikap keras dan kebencian mereka terhadap ahli bid’ah?! Apakah engkau ingin mengatakan bahwa fatwa-fatwa kasar para salaf (dari kalangan shahabat, tabi’in, serta para imam yang mengikuti jejak langkah mereka dalam bersikap kepada ahli bid’ah adalah orang-orang yang kasar dan tidak tahu situasi dan kondisi?! Orang-orang yang menyia-nyiakan kesempatan emas karena mereka radhiyallahu anhum ajmain telah meninggalkan begitu saja ahli bid’ah dan bahkan membenci mereka?!
Sekali lagi dan sekali lagi, nampaknya para shahabat, tabi’in dan para imam Ahlussunnah serta Salafiyyin secara umum yang istiqamah mengikuti dan meneladani jejak langkah mereka haruslah belajar lagi agar bisa berdakwah lemah lembut kepada paduka Firanda agar tidak menyia-nyiakan kesempatan emas yang ada di depan mata!! Allahu yahdik.
Wallahu a’lam.
Footnote:
[1] Nuniyyah Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah bi Syarh Khalil Harras (1/429)
[2] Ingat ucapan dahsyat “mujtahid” ini: “Apakah engkau saja yang berijtihad sedangkan saudara-saudaramu yang mengambil dana tidak berijtihad dalam mengambil langkah mereka??”
[3] Definisi Firanda mengenai ahli bid’ah di atas masih sangat “permukaan”, lebih jelas:
“Imam Asy Syathibi rahimahullah menerangkan definisi ahlul bid’ah wal firqah dan Ahlus Sunnah wal Jamaah di dalam kitab beliau Al I’tisham jilid I halaman 212 : “Sesungguhnya lafadh ahlul ahwa’ dan ahlul bid’ah adalah lafadh/sebutan yang hanya diberikan bagi orang-orang yang membuat bid’ah dan mengutamakan syariat hawa nafsunya serta berupaya mengambil pengertian hukum dan membela syariat tersebut dan juga mencari dalil untuk menunjukkan syariat itu dalam pandangan mereka, sehingga mereka menganggap orang yang menyelisihi mereka sebagai orang yang menyelisihi kebenaran dan menjadikan sebagai syubhat (kaidah-kaidah yang rancu). Mereka itu sebagai pola pikir dan hujjah untuk mendebat siapa saja yang menyelisihinya. Hal sebagaimana kita memberi gelar bagi kelompok-kelompok sesat seperti Mu’tazilah, Qadariyah, Murji’ah, Khawarij, Bathiniyah, dan yang semisal dengan mereka, sebagai gelar bagi siapa saja yang menjalankan perbuatan-perbuatan demi aliran-aliran tersebut dalam berupaya mencari pembenaran bagi alirannya yang sesat dan membelanya. Demikian pula lafadh Ahlus Sunnah adalah lafadh bagi orang yang membela sunnah dan orang yang mengambil hukum sesuai dengannya dan berupaya melindunginya dari kerusakan.” Dalam konteks ini ahlul bid’ah itu adalah orang-orang yang benar-benar mengetahui apa yang sedang diikuti dan dijalaninya. Dia mengetahui apa yang sedang diperjuangkan dan didakwahkannya.
Adapun mengenai orang-orang awam, Imam Asy Syathibi menerangkan : “Berbeda halnya dengan orang-orang awam yang mereka hanya mengikuti ulama mereka karena ulama mereka mewajibkan untuk mengikuti apa saja yang ditetapkan bagi mereka. Maka dengan keadaan mereka seperti ini tidaklah mereka ini pada hakikatnya mengikuti perkara yang syubhat (tersamar) dan tidak pula mereka mengikuti hawa nafsu, mereka hanya mengikuti apa saja yang diucapkan kepada mereka, apapun ucapan itu. Dengan demikian istilah ahlul bid’ah tidak diberikan kepada orang awam seperti ini sampai mereka mendalami pandangan-pandangan bid’ah itu kemudian menganggap baik dan buruk segala sesuatu dengan pandangan-pandangan tersebut.
Dengan demikian berarti lafadh ahlul ahwa’ dan ahlul bid’ah itu menunjukkan satu pengertian yaitu siapa saja yang menegakkan bid’ah dan memenangkannya atas yang lain. Adapun orang-orang yang lalai (tidak mengerti tentang hal itu) dan orang-orang yang menempuh jalan yang dibentangkan oleh para pemimpin mereka dengan semata-mata ber-taqlid tanpa mengetahui apa yang diikuti, maka mereka yang demikian tidak dianggap sebagai ahlul bid’ah. Maka hakikat sesungguhnya terdapat dua golongan dalam perkara ini yaitu :
a.Orang yang dianggap ahlul bid’ah.
b.Orang yang hanya mengikuti ahlul bid’ah.
Sehingga orang yang hanya semata mengikuti ahlul bid’ah tidak tergolong dalam pengertian ahlul bid’ah ketika ia semata-mata hanya ikut-ikutan, karena ia dalam kategori hukum orang yang ikut. Sedangkan ahlul bid’ah itu adalah orang yang membuat bid’ah atau orang yang mencari dalil untuk menunjukkan kebenaran bid’ah yang baru dibuat itu. Sama saja bagi kami, apakah pengambilan dalil dengan cara yang khusus yaitu dengan ilmu dalam membela ahlul bid’ah ini, atau dengan cara pengambilan dalil orang awam kemudian dia pegang dengan membabi buta pemahaman bid’ah itu dan tidak menoleh kepada kebenaran. Mereka semua adalah ahlul bid’ah.” Demikian keterangan Asy Syathibi dalam Al I’tisham, jilid I halaman 213-216, saya nukil secara ringkas.
Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa ahlul bid’ah terdiri dua golongan :
a.Tokoh-tokoh yang membangun pola pikir bid’ah dan para ilmuwan yang membela bid’ah tersebut.
b.Orang awam yang membela bid’ah secara membabi buta tanpa melihat kebenaran.
Terhadap golongan kedua ini harus disampaikan ilmu dan hujjah dengan sabar dan lengkap, barulah kemudian diyakini bahwa orang tersebut adalah ahlul bid’ah atau bukan. Dengan demikian tidak dapat dipastikan pula bahwa orang yang berkata, berbuat, dan berkeyakinan bid’ah itu sebagai ahlul bid’ah, karena kadang-kadang sebagian ulama juga mempunyai perkataan, perbuatan, dan keyakinan bid’ah. Dengan keterangan di atas tidaklah ulama tersebut dianggap ahlul bid’ah sampai ada keterangan yang lengkap dari ulama lain tentang kebid’ahan ulama tersebut atau dianggap sebagai ahlul bid’ah, tetapi perkataan, perbuatan, dan keyakinan bid’ah itu harus dibantah, dibenci, dan dijauhkan dari umat walaupun yang menyatakan, melakukan, dan meyakininya itu adalah Ahlus Sunnah.” (Membantah Tuduhan…, hal.10-12)
Pernyataan Imam Syathibi rahimahullah di atas sangatlah penting untuk disertakan karena menunjukkan bukti bahwa “fatwa-fatwa keras’ para ulama sebagaimana tuduhan miring Firanda di atas ternyata juga diberikan penjelasan panjang lebar agar umat tidak mudah mempercayai ucapan; “para salaf kehidupannya penuh dengan kekerasan dalam membantah ahli bid’ah tanpa memandang situasi dan kondisi!” Bahwa para salaf ternyata juga mengajari dan membedakan cara bersikap terhadap ahli bid’ah dan terhadap kaum yang awam!!
[4] Fathul Qadir, 2/122
[5] Dar’u Ta’arudhul Aql wan Naql (1/221)
[6] Majmu’ Fatawa, 28/434-435
[7] Majmu’ Fatawa, 12/497
[8] Majmu’ Fatawa, 12/467
[9] Asy-Syari’ah, 73.
[10] Syarh Ushul I’tiqad Ahli Sunnah, 4/636
[11] ibid, 1/123
[12] ibid, 1/122
[13] ibid, 1/131
[14] ibid, 1/135
[15] ibid, 1/140
[16] ibid, Al-Ibanah, 2/473
[17] Lihatlah wahai saudaraku rahimakumullah betapa takut dan sangat berhati-hatinya para a’immah kita untuk bermuamalah dan bergaul dengan ahli bid’ah dan bandingkan dengan Firanda dan orang-orang yang sejenis dengannya yang sedemikian beraninya serta sangat berambisi untuk tidak menyia-nyiakan kesempatan emas untuk berdakwah di sarang ahli bid’ah Dan bahkan mencibir sikap para da’i yang tidak mau mengambil kesempatan emas ini sebagai sebuah tindakan yang aneh dan menggelikan!! Kalau memang benar ucapanmu bahwa hal ini adalah KESEMPATAN EMAS wahai Firanda lalu kenapa sampai para a’immah kita melewatkan saja emas imitasimu ini? Dan sebaliknya malah memperingatkan dengan keras: “Mereka tidak menyukainya, tidak berteman dengannya, dan tidak mau mendengar kebatilannya yang jika ia (sampai) melewati telinga dan tertanam di qalbu maka akan memudharatkan dan memunculkan was-was yang buruk”.
Haihata, haihata tampaknya emas yang Firanda cari benar-benar emas (baca:dana kemaslahatan) sungguhan! Maka tentu saja emas tersebut tidak akan mungkin masuk ke telinga apalagi tertanam di qalbu kecuali dimasukkan secara paksa atau dengan bantuan dokter ahli bedah!!
Ini adalah ghalabatudh-dhan karena buku Firanda tidaklah disusun kecuali untuk membela tambang emas kemaslahatan Ihya’ At-Turats Al-Kuwaiti!!
[18] Aqidah Ashhabil Hadits, 100
[19] ibid, 112.
Lihatlah wahai saudaraku rahimakumullah, salafush shaleh sampai-sampai menegaskan bahwa salah satu cara bertaqarrub kepada Allah adalah dengan cara meninggalkan ahli bid’ah!! Sementara Firanda justru mencibir para da’i yang tidak mau berdakwah di sarang penyamun sebagai sikap yang aneh dan bahkan menggelikan!! Jadilah engkau pahlawan kesiangan wahai Firanda setelah dirimu berani mengikrarkan diri sebagai mujtahid kesiangan!! Dan kita semua akan melihat, berapa banyak ahli bid’ah yang akan engkau rangkul dengan kelembutanmu!! Cukup bagi kami yang miskin-miskin ini teladan salaful ummah, cukuplah hinaan mereka terhadap ahli bid’ah dan kami tidak akan pernah setitikpun berupaya mengangkat derajat hina mereka di sisi umat! Apalagi mencibir sikap keras para da’i yang memperingatkan bahaya ahli bid’ah sebagai sikap yang tidak tahu situasi dan kondisi. Sebenarnya permasalahan sikap lembut kepada ahli bid’ah TERKADANG LEBIH BERMANFAAT daripada sikap keras seperti judul kesimpulan keenamnya tidak akan berkepanjangan jika Firanda mencukupkan diri penekanannya terhadap kalimat TERKADANG yang artinya Firanda mengakui bahwa KESERINGANNYA/SEBAGIAN BESARNYA ADALAH BERSIKAP KERAS TERHADAP Ahli bid’ah. Tetapi permasalahan ini menjadi besar karena sikapnya yang sarat nuansa menyalahkan kepada para da’i yang bersikap keras terhadap ahli bid’ah (padahal secara tersirat Firanda sendiri mengakui bahwa mayoritas Salafush shaleh bersikap keras terhadap Ahli Bid’ah!), (tetapi) pengakuan tersirat ini menjadi tidak berarti sama sekali karena dicibirnya (sikap keras terhadap ahli bid’ah) sebagai menyia-nyiakan kesempatan emas untuk berdakwah di sarang ahli bid’ah dan ini adalah sikap yang aneh di sisinya!! Bahkan dia tegaskan dengan syubhat jahatnya: “Merupakan perkara yang menggelikan kalau kita hanya berharap ahli bid’ah di zaman ini datang menemui kita dan ikut mendengarkan pengajian kita. Bukankah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dan para nabi lainnya mendatangi tempat-tempat kesyirikan untuk menyampaikan kebenaran? Mereka tidak hanya diam di masjid menunggu orang-orang musyrik datang mendengarkan kebenaran yang mereka sampaikan.”
Ya Subhanallah, kalau memang ini semua (berdakwah di lingkungan ahli bid’ah) adalah kesempatan emas yang tidak layak untuk disia-siakan oleh seorang da’I yang bermanhaj salaf, kenapa kesempatan emas ini dilewati begitu saja oleh salaful ummah dan justru yang mereka tekankan dan tegaskan adalah menunjukkan sikap benci terhadap kebid’ahan dan ahlinya?! Menerangkan betapa berbahayanya mereka bagi agama kaum muslimin?! Kenapa sampai ditekankan oleh salaful ummah bahwa meninggalkan ahli bid’ah adalah bentuk taqarrub kepada Allah Ta’ala?! Haihata, haihata, tampaknya salafush shaleh harus belajar lagi bersikap bijaksana dan lemah lembut kepada Firanda dan teman-temannya!! Ataukah salafush shaleh tidak mengetahui riwayat bahwa “Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dan para nabi lainnya juga mendatangi tempat-tempat kesyirikan untuk menyampaikan kebenaran? Mereka tidak hanya diam di masjid menunggu orang-orang musyrik datang mendengarkan kebenaran yang mereka sampaikan.” (Lerai…, hal.142) ?
Kalau demikian dugaan “sesat” mereka maka hal ini secara tidak langsung telah menuduh salafush shaleh tidak mengetahui fiqhul waqi’, telah menuduh para salaf berfatwa dan bersikap kasar terhadap ahli bid’ah dan tidak tahu situasi dan kondisi!! Sekali lagi, ini mirip dengan cara-cara hizbiyyin yang menolak fatwa para salaf dan menuduh Salafush shaleh tidak paham dengan realita yang ada!! Allahu yahdik.
[20] Aqidah Ashhabil Hadits, 113. Hadits dikeluarkan oleh Bukhari, Muslim dan selainnya.
[21] Saudaraku rahimakumullah, jangan anda merasa berkecil hati dan rendah diri walaupun dihina dan direndahkan sebagai manusia-manusia mengherankan yang menggelikan karena menyia-nyiakan kesempatan emas untuk berdakwah di lingkungan ahli bid’ah!! Sayangilah iman dan (sekali lagi) iman kalian! Allah dan Rasul-Nya tidaklah menuntut diri-diri kita untuk menjadi para pahlawan kesiangan dengan bermajelis dan bergaul bersama ahli bid’ah. Sesungguhnya ahli bid’ah itu memiliki akal-akal yang busuk dan syubhat-syubhat yang membinasakan sementara iman kita begitu lemahnya. Lindungi dan lindungi iman ini, satu-satunya harta yang paling berharga di akhirat kelak. Jangan anda pertaruhkan demi ambisi hanya agar tidak dikatakan menyia-nyiakan kesempatan emas!! Ini adalah godaan nafsu yang sangat berbahaya!!(peny)
[22] Al-I’tisham, Asy-Syathibi, 25
[23] Nyatalah bahwa ketika Firanda membahas bersikap lemah lembut terhadap ahli bid’ah dengan menukil ucapan Syaikh Abdurrazzaq hafidhahullah: “Oleh karena itu, sikap lembut merupakan wasilah terbesar dalam keberhasilan dakwah” dalam bukunya hal.154 adalah kalimat haq yang tidak dikehendakinya kecuali kebathilan, karena dominansi sikap salafush shaleh adalah bersikap keras dan tegas terhadap ahli bid’ah! Bahkan ditegaskan bahwa ciri khas ahlussunnah adalah membenci ahli bid’ah! Firanda berusaha mengkhianati tulisannya sendiri yang berjudul “Sikap Lemah Lembut kepada Ahli Bid’ah TERKADANG Lebih bermanfaat daripada Sikap Keras(Lerai…, hal.153)” !!
Bagaimana mungkin dibelokkannya permasalahan khusus TERKADANG tentang AHLI BID’AH…untuk kemudian disimpulkan menjadi permasalahan dakwah secara umum bahwa SIKAP LEMBUT merupakan WASILAH TERBESAR keberhasilan dakwah?! Inikah “trik-trik” dalam berdakwah wahai Firanda? Luar biasa yang diluar kebiasaan. Belum selesai…
Suatu sikap yang sangat aneh dan bahkan memilukan adalah cara beristidlal yang ditempuh oleh Firanda yang membawakan riwayat Ibnu Qayyim rahimahullah ketika MENGISAHKAN KABAR KEMATIAN (sengaja kami cetak dengan huruf kapital) salah seorang musuh besar Ibnu Taimiyyah kepada beliau:
“…Suatu hari aku mendatanginya dengan menyatakan bahwa aku membawa kabar gembira tentang kematian salah seorang musuh besarnya yang paling keras penentangan serta permusuhannya, dan yang paling sering menyakiti beliau (footnote Firanda: Ibnu Taimiyah adalah salah seorang pengibar utama bendera Ahlus Sunnah di zamannya, sehingga tidak ada yang membenci beliau melainkan ahli bid’ah atau pendengki. Namun perhatikanlah bagaimana sikap Ibnu Taimiyah dalam menghadapi musuhnya. Duhai, sekiranya orang-orang yang sering mengutip pendapat dan pemikiran beliau juga mau mengikuti sikap beliau dalam hal ini…), maka beliaupun menghardik dan mengingkari perbuatanku, kemudian beristirja’ (yaitu mengucapkan: Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un). Selanjutnya beliau bangkit dan menuju rumah musuhnya yang meninggal tersebut. Beliau menta’ziyah (membesarkan hati) keluarganya. Lalu beliau berkata, “Anggaplah aku di sisi kalian seperti halnya dia (musuh beliau yang meninggal) di sisi kalian. Tidak ada satupun yang kalian butuhkan melainkan aku akan berusaha membantu kalian,” atau perkataan yang semisal ini. Merekapun sangat gembira, mendo’akan beliau dan menganggap hal ini sangat bernilai di sisi mereka. Semoga Allah merahmati dan meridhai beliau”(Lihat Madarijus Saalikin (II/345)
Demikianlah Firanda mengisahkan “sikap Ibnu Taimiyah dalam menghadapi musuhnya” dalam buku emasnya (Lerai…, hal.178-179).
Komentar:
Ini adalah bukti lain betapa licik dakwah halusnya dan betapa halus dakwah liciknya! Apakah tidak ada pembaca yang menyadari kelihaiannya berlemah lembut terhadap ahli bid’ah dengan berlindung di belakang nama besar Ibnu Qayyim dan Syaikhul Islam rahimahumallah?
Kisah KABAR KEMATIAN musuh besar Syaikhul Islam disulap Firanda menjadi “SIKAP IBNU TAIMIYAH DALAM MENGHADAPI MUSUHNYA”!!
Kisah Ibnu Qayyim rahimahullah yang menunjukkan betapa empatinya Syaikhul Islam dalam MENGAMBIL HATI DAN MENUNJUKKAN KEPEDULIAN TERHADAP NASIB KELUARGA MUSUH BESAR BELIAU YANG MENINGGAL disulap Firanda menjadi “SIKAP IBNU TAIMIYAH DALAM MENGHADAPI MUSUHNYA”!!
Demi apa wahai ikhwah sekalian Firanda beristidlal dengan cara khianat yang sangat memalukan sekaligus memilukan seperti ini? Tidaklah mungkin kami tega mengatakan bahwa mahasiswa Universitas Islam Madinah rangking atas dalam seleksi program Master sekaliber Firanda ternyata adalah orang yang (maaf) bodoh dalam beristidlal!! Demi legalitas untuk berlemah lembut terhadap ahli bid’ah!! Sekali lagi bahwa permasalahan ini tidak akan menjadi fatal jika Firanda hanya menegaskan bahwa memang tidak semua ahli bid’ah harus disikapi dengan keras, terkadang ada yang memang lebih tepat disikapi dengan lembut. Tetapi permasalahan ini menjadi PARAH karena cara-cara licik yang digunakannya!! Dan inilah cara Firanda dalam membela para seniornya yang telah kita buktikan bahwa mereka benar-benar bergaul dan bermuamalah dengan ahli bid’ah dari kalangan hizbiyyin dan bahkan mengunjungi markas besar mereka!! Na’am inilah kelihaian Firanda dalam menetralisir bukti-bukti kejahatan seniornya! Kelicikannya dalam berdakwah ataukah berdakwah dalam kelicikannya?
[24] Lebih lengkap lihat Sallus Suyuf, Syaikh Tsaqil bin Shalfiq Al-Qasimi Adz-Dzufairi, hal. 126, 142-149, Daar Ibn Atsiir, 1995 M, Jahra’, Kuwait
[25] Lihat Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah, jilid 24 halaman 292
[26] Lihat Syarhus Sunnah 1/227