Penjelasan dan Bimbingan Seputar Kekeliruan dan Penyimpangan Yang Muncul Dari ‘Abdul Hadi Al-‘Umairi

Bismillahirrohmanirrohim. o

PENJELASAN & BIMBINGAN SEPUTAR KEKELIRUAN DAN PENYIMPANGAN ‘ABDUL HADI AL-‘UMAIRI

PENJELASAN DAN BIMBINGAN SEPUTAR KEKELIRUAN DAN PENYIMPANGAN YANG MUNCUL DARI ‘ABDUL HADI AL-‘UMAIRI

Abdul Hamid al-Hadhabi

updated

 

Segala puji bagi Allah. Shalawat dan salam semoga selalu terlimpah kepada Rasulullah, keluarga, dan shahabat beliau seluruhnya. Amma ba’du:

Sungguh saya telah mendengar dan membaca sebuah pernyataan yang telah tersebar bahkan sampai ke penjuru ufuk dari milik saudara kami ‘Abdul Hadi al-‘Umairi, seorang pengajar di Ma’hadil Haram al-Makki. Pernyataannya ini mengandung ucapan mungkar dan dusta dalam mencela para ‘ulama dari guru-guru kami yang mulia yang kami menganggap mereka -dan Allah lah yang mencukupinya- sebagai generasi salaf yang masih tersisa, semisal al-‘allamah Rabi’ bin Hadi, ‘Ubaid al-Jabiri, dan ‘Abdullah al-Bukhari hafizhahumullah.

Selain itu, pernyataannya juga mengandung pembelaan terhadap Muhammad al-Imam, sebagaimana juga mengandung sebagian kaedah yang rusak – sepertinya kami akan menyendirikannya pada bagian tersendiri-.

Sungguh saya sudah berulang kali menasehatinya supaya dia bertaubat kepada Allah dari berbagai perkara yang telah muncul darinya, tidak menceburkan diri ke dalam masalah-masalah yang lebih besar kadarnya dari dirinya, dan supaya memberikan busur itu kepada orang yang telah merautnya dan semoga Allah merahmati seorang yang mengerti kadar dirinya.

Namun ia enggan kecuali tetap keras kepala dan menentang dengan kebatilan. Maka saya ingin menjelaskan sebagian ucapannya yang melenceng dari kebenaran pada masalah tersebut.

Mudahan-mudahan dengan itu Allah menuliskan ganjaran bagi kami. Dia lah yang maha menolong dan maha kuasa atas semua itu. Saya katakan dengan meminta pertolongan kepada Allah subhanahu wa ta’ala:

Dia (‘Abdul Hadi al ‘Umairi) semoga Allah memberinya petunjuk berkata: “Adapun salaf beliau (yaitu Muhammad al-Imam) dalam watsiqah ini adalah apa yang terjadi dalam perjanjian Hudaibiyah antara Rasulullah shallallahu ‘alaihi was salam dengan orang-orang kafir Quraisy.”

1] Saya katakan: Watsiqah yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam yang didukung penuh dengan wahyu dari Rabb-nya, terhitung sebagai kemenangan yang telah dijelaskan langsung dengan persaksian Rabb semesta alam. Sedangkan watsiqah yang ditandatangani oleh Muhammad al-Imam berisikan kekufuran yang menjijikkan, kesesatan yang nyata, dan kedustaan yang tersingkap. Buktinya adalah apa yang ada pada watsiqah fajir berdosa tersebut bersama dengan kaum Rafidhah zindik:

“Kami semuanya adalah orang-orang muslim, Rabb kami satu, Kitab kami satu, Nabi kami satu, dan musuh kami satu, meskipun kami berbeda dalam detail-detail masalah furu’.” Selesai penukilan.

Apakah setelah kekufuran yang sangat gamblang yang ada dalam watsiqah ini, kemudian ditetapkan bahwa salafnya adalah Nabi shallallahu ‘alaihi was salam? Demi Allah, sungguh ini benar-benar perkara yang sangat besar dan kesalahan yang teramat fatal. Sangat dikhawatirkan orang yang mengucapkannya ini dari kerugian yang amat jelas.

Sayangilah dirimu dan jangan engkau binasakan.
Sungguh para guru kita yang mulia seperti asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi, ‘Ubaid al-Jabiri, Abdullah al-Bukhari, dan selain mereka telah menjelaskan kekufuran dan kesesatan yang ada dalam watsiqah tersebut.

2] Termasuk kedustaan yang sangat gamblang adalah menyerupakan perkara-perkara yang ada dalam watsiqah ini dengan perjanjian yang telah dilakukan antara Nabi shallallahu ‘alaihi was salam dengan kaum Quraisy. Perjanjian (Hudaibiyah) tersebut bersih dari beragam perkara yang terkandung di dalam watsiqah rafidhah ini. Rasulullah shallallahi ‘alaihi was salam tidak pernah mengatakan: “Kami semuanya adalah orang-orang muslim,” “Rabb kami satu,” “kitab kami satu,” maupun “musuh kami satu.”
Ini supaya diketahui oleh para pembaca sekalian bahwa para masyayaikh tidaklah menentang perjanjiannya, tetapi mereka mengingkari isi kandungan yang ada dalam watsiqah tersebut dari berbagai kesesatan yang nyata.

Dia (Abdul Hadi al Umairi) hadahullah berkata:

“Saya tidak sependapat dengan kandungan yang terdapat di dalam watsiqah tersebut dari berbagai perkara yang termasuk dari ushul perselisihan di antara kita dan mereka, maka kami tidak berharap (asy-syaikh -Muhammad al-Imam – ) melakukannya. Namun seorang yang tangannya di atas api tidalah sama seperti seorang yang tangannya di atas air, dan keterpaksaan saudaramu itu bukanlah suatu keberanian.”

1] Saya katakan: anda telah membenturkan antara kebenaran dan fakta. Anda mengatakan bahwa salaf orang ini dalam watsiqah tersebut adalah Nabi shallallahu ‘alaihi was salam dalam peristiwa shulh Hudaibiyah, namun kemudian anda bertingkah kontradiktif dan menetapkan bahwa watsiqah yang ditandatangani oleh Muhammad al-Imam terdapat perkara-perkara yang termasuk dari ushul (pokok) perselisihan, tetapi mengapa anda tidak menjelaskan sesuatu darinya kepada para pembaca? Saya tidak tahu, apakah karena jahil atau pura-pura jahil.

2] Bila anda tidak sependapat dengan kandungan yang terdapat di dalam watsiqah tersebut, lalu mengapa anda menentang pengingkaran para masyayaikh terhadap watsiqah tersebut?
Mengapa anda ridha dengan perjanjian ini dan menyebutnya dengan ash-shulhu ar-rasyid (perjanjian damai yang terbimbing) [1]?

Sungguh anda telah membela mati-matian Muhammad al-Imam bahwa ia melakukannya karena terpaksa. Padahal yang telah mendustakan dakwamu ini ialah dia sendiri (Muhammad al-Imam) ketika dia menjelaskan bahwa dirinya tidaklah terpaksa menandatangani watsiqah kufur, zhalim, lagi jahat tersebut, tidak dari dekat, tidak pula dari jauh. Bahkan dirinya siap untuk membatalkan watsiqah tersebut kapan saja dia inginkan, dimana ia mengatakan: “Ketahuilah, sesungguhnya perkara tersebut tetap berada di tanganku, segala puji bagi Allah. Tidak ada seorangpun memiliki jalan untuk memaksaku kecuali dengan kebenaran. Kapan saja kebenaran itu datang, maka kita semua harus tunduk di bawah kebenaran. Kita semua tunduk di bawah kebenaran. Kita semua hamba-hamba Allah, bukan hamba seorangpun. Kita bukan budak seorangpun.” Selesai penukilan darinya.

Apakah anda telah melihat tambatan kuda yang sudah anda lalaikan ataukah anda pura-pura lalai tentang tahdzir para ‘ulama darinya? Ketahuilah, itulah sikap keras kepala dan terus menerus di atas kebatilan.

Dia (‘Abdul Hadi al-‘Umairi) hadahullah berkata:

Saya berharap para masyayaikh yang berbicara tentang Muhammad al-Imam untuk menilik keadaannya. Termasuk hal yang aneh bahwa apa yang datang dalam perjanjian hudaibiyah dan penjelasan yang disampaikan oleh al-‘Allamah Rabi’ bin Hadi al-Madkhali hafizhahullah persis sesuai dengan keadaan ahlis sunnah di Yaman, lantas mengapa mereka tidak memberi udzur? Ataukah mereka mengatakannya tergesa-gesa?

Saya berharap kepada mereka apabila melihat ucapanku ini berseberangan dengan apa yang dikatakan oleh al-‘Allamah asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi hafizhahullah, maka jelaskanlah kepadaku.

Saya memperingatkan dengan Allah setiap insan yang berbicara tentang seseorang tanpa kesabaran dan tanpa kroscek kebenaran setiap perkara, sedangkan lisan itu akibatnya sangatlah besar di sisi para ‘ulama.

Adapun para penuntut ilmu, maka saya nasehatkan agar mereka memberikan udzur kepada asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdillah al-Imam dan jangan mengharamkan diri-diri mereka dari kebaikan yang ada di Ma’bar.

Hendaklah mereka terus dalam menuntut dan menghimpun ilmu dan jangan menceburkan diri ke dalam masalah ini hanya karena ucapan sebagian para ‘ulama.”

Saya katakan: Termasuk ushul yang telah ditetapkan -di sisi ahlus sunnah- bahwa celaan terhadap ‘ulama yang berjalan di atas sunnah termasuk dari ciri ahlu bid’ah dan orang-orang sesat. Bahkan dahulu salaf rahimahullah menganggap seseorang termasuk dari ahli bid’ah hanya karena celaan mereka terhadap para ‘ulama sunnah. Dan berita-berita tentang itu tidaklah terbilang banyaknya.

Di antaranya adalah apa yang dikatakan oleh Abu Hatim rahimahillah:

“Ciri ahli bid’ah adalah terjatuh dalam mencela ahlul atsar.” [2]

Berkata al-Imam Abu ‘Utsman ash-Shabuni:

“Ciri-ciri bid’ah atas pelakunya sangatlah jelas. Namun ciri dan tanda yang paling jelas ialah kerasnya permusuhan mereka terhadap para pembawa hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi was salam serta perendahan dan penghinaan mereka kepadanya.” [3]

As-Safarini berkata:

“Dan kita tidak sedang menyebutkan manaqib ahli hadits karena manaqib mereka sudahlah masyhur, karyanya sangatlah banyak, dan keutamaannya melimpah. Barang siapa meremehkan mereka, maka dia adalah orang hina lagi kekurangan. Dan barang siapa marah kepada mereka, maka dia termasuk pasukan Iblis yang mundur.” [4]

Dan anda telah menuduh para syaikh yang mulia, asy-Syaikh Rabi’, ‘Ubaid al-Jabiri, dan ‘Abdullah al-Bukhari bahwa mereka tergesa-gesa dan bahwa perkara-perkara tersebut di sisi mereka tidaklah diperiksa dengan cermat. Dan hal itu dikarenakan mereka tidak melihat sebagian rekomendasi ‘ulama untuknya. Juga karena mereka tidak melihat kepada kesungguhan ilmi’ahnya. Wallahul musta’an, tidak ada daya dan ucapan kecuali dengan pertolongan Allah yang maha tinggi lagi maha agung.

Lebih dari itu, bahkan anda mentahdzir para penuntut ilmu dari fatwa-fatwa mereka tentang Muhammad al-Imam yang tersirat dengan ucapanmu: “Dan jangan menceburkan diri ke dalam masalah ini hanya karena ucapan sebagian ‘ulama,” sebagaimana akan kami jelaskan dari ucapanmu.

Bila anda mengatakan ini bukanlah celaan, maka itu adalah musibah. Dan bila anda menganggapnya sebagai celaan, maka tentu musibahnya jauh lebih besar.

Inilah dia Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengajari anda makna celaan ketika beliau mengatakan:

“Celaan itu,,,, adalah ucapan yang ditujukan untuk merendahkan dan meremehkan, dan dipahami darinya sebagai celaan menurut akal-akal manusia sesuai dengan perbedaan keyakinan mereka seperti laknat, taqbih (menjelekkan), dan yang semisalnya. [5]

Dia (‘Abdul Hadi al-‘Umairi) hadahullah mengatakan:

“Diam menurut para ‘ulama di dalam bab al-jarh wat ta’dil dalam satu masalah (yaitu) kalamul aqran (ucapan buruk/jarh seorang kawan). Dalam masalah tersebut para ‘ulama mengatakan: “Ucapan tersebut dilipat dan tidak diriwayatkan.” Apabila seorang kawan berbicara tentang sebagiannya, maka na’am, adapun dilipat dan tidak diriwayatkan -yaitu tahdzir Asy-Syaikh ‘Ubaid dari Muhammad al-Imam- maka tidak, kami tidak menerimanya, kami ingin bantahan ucapan asy-Syaikh ‘Ubaid dijelaskan dari para ‘ulama dengan hujjah dan bukti.”

Saya (Abdul Hamid) katakan :

1] Ucapan ini sama sekali tidaklah benar. Para ‘ulama tidak diam dalam jarh al-aqran, sebagiannya terhadap sebagian lainnya. Seorang yang menjarh kawannya dengan hujjah dan bukti-bukti, maka ucapannya wajib diterima. Dan di atas prinsip inilah salaf kita yang mulia yang diteladani oleh generasi awal dan belakangan telah berlalu. Kalamul aqran, sebagiannya kepada sebagian lainnya, lebih didahulukan dari selain mereka dari pada orang-orang yang datang setelahnya.

Dan inilah kitab-kitab al-jarh wat ta’dil. Baca, telaah, dan perhatikanlah apa yang ada di dalamnya dari berbagai ucapan kawan terhadap kawannya yang semasa, dan bahkan mayoritasnya berasal dari sudut ini. Para ‘ulama tatkala berbicara tentang kaedah: “Kalamul aqran dilipat dan tidak diriwayatkan,” mereka mengikatnya dengan kait yang sangat penting yang anda pura-pura bodoh tentangnya yaitu: (Dilipat dan tidak diriwayatkan) apabila kawan yang menjarh tersebut melemparkannya dengan tanpa hujjah dan bukti-bukti atau melakukannya karena fanatik, kesukuan, sektarian,  atau yang semisalnya.

Adapun bila jarh tersebut dibangun di atas hujjah dan bukti-bukti, maka menerima jarh nya termasuk di antara kewajiban yang paling wajib dan tidak boleh berpaling darinya. Karena aqran (kawan-kawan) itu adalah orang yang paling mengerti sebagian mereka dengan sebagian lainnya. Dan karena kawan itu adalah orang yang paling mengenal kawannya. Dan di antara penguat yang disebutkan oleh para ‘ulama ialah ucapan orang yang semasa lebih utama dari pada ucapan orang yang datang belakangan setelah masa rawi tersebut karena orang yang semasa itu lebih mengetahui tentang keadaan rawi tersebut dan “Penduduk pribumi itu lebih mengerti tentang kondisi negerinya.”

Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi al-Wadi’i rahimahullah:

“Jarh aqran itu lebih tsabit dari pada jarh selainnya karena mereka lebih mengenal kawan-kawannya. Sehingga jarh aqran itu tetap diterima kecuali bila diketahui bahwa antara keduanya terdapat persaingan dan permusuhan, sama saja karena perkara dunia, perebutan kedudukan, atau salah dalam memahami dan dia ingin melazimkan yang lainnya dengan kesalahan pemahamannya tersebut.”

Sehingga sudah seharusnya anda mengetahui hal ini dan jangan membingkai ucapan mubtadi’ah, hizbiyyin, dan orang-orang demokrasi: bahwa kalam aqran tidak dapat diterima secara mutlak.” Selesai penukilan.

2] Dari ucapanmu ini melazimkan bahwa para imam al-jarh wat ta’dil yang mentahdzir aqran mereka dengan jarh yang gamblang dan terperinci (mufassar) maka kami tidak menerima ucapan mereka karena wajib dilipat dan tidak diriwayatkan. Padahal kitab-kitab salaf penuh dengan itu semua. Di dalam kitab-kitab tarajim (biografi-biografi) para rawi yang lemah, matruk, majruh, dan orang-orang yang dilemahkan oleh para muhadits dari sisi aqran mereka maka begitu susah untuk dibatasi. Dan itu dikarenakan banyaknya jumlah mereka.

Lihatlah: “adh-Dhu’afaul Kabir” karya al-‘Uqaili, “al-Kamil” karya Ibnu ‘Adi, “Majruhun” karya Ibnu Hibban, “adh-Dhu’afaush Shaghir” karya al-Bukhari, “adh-Dhu’afa wal Matrukin” karya an-Nasai, adz-Dzahabi, ad-Daraquthni, dan Ibnul Jauzi, “Tahdzibul Kamal” karya al-Mizzi, “al-Mizan” dan “as-Siyar” karya adz-Dzahabi, “Taqribut Tahdzib” karya Ibnu Hajar, dan selain itu dari berbagai kitab yang ditulis dalam bab ini.

Kedua: Ucapan anda (Abdul Hadi al Umairi):

“Tahdzir asy-Syaikh ‘Ubaid dari Muhammad al-Imam- tidak, kami tidak menerimanya. Kami ingin bantahan ucapan asy-Syaikh ‘Ubaid dijelaskan (6) dari para ‘ulama dengan hujjah dan bukti-bukti.”

Saya (Abdul Hamid al Hadhabi) katakan:

Apa yang keluar dari kepalamu? Bila anda benar-benar seorang salafi sejati, maka janganlah anda menanduk gunung sehingga ia akan berbelas kasih kepada dirimu. Wajib bagimu menerima ucapan beliau, bukan karena beliau telah mengucapkannya tetapi karena hujjah dan bukti-bukti yang telah beliau jelaskan serta dalil-dalil yang sudah beliau terangkan yang menunjukkan dan mengecap kebatilan tersebut.

Para ‘ulama yang anda menginginkan dari sebagian mereka untuk membantah guru kami yang mulia ‘Ubaid bin ‘Abdillah al-Jabiri hafizhahullah ketika mentahdzir umat dari Muhammad al-Imam, lebih utama bagi mereka untuk membantah dirimu atas celaanmu terhadap beliau dan kepada dua syaikh Rabi’ bin Hadi al-Madkhali dan ‘Abdullah al-Bukhari hafizhahullah.

Dia (‘Abdul Hadi al-‘Umairi) hadahullah mengatakan:

“Asy-Syaikh ‘Ubaid al-Jabiri berbicara tentang Muhammad al-Imam dan mensifatinya sebagai seorang mubtadi’ sesat adalah ucapan yang sangat keras, maka apa yang terjadi? Ucapan ini tersebar. Dia telah mentahdzir dari asy-Syaikh al-Imam. Mereka tidak memperhatikan rekomendasi para ‘ulama terhadap asy-Syaikh, tidak memperhatikan kesungguhan ilmi’ah beliau, dan tidak memperhatikan ucapan asy-Syaikh ‘Ubaid apakah dibangun di atas sebab-sebab ataukah tidak. Hanyalah ucapan asy-Syaikh Muhammad al-Imam semata, kemudian mereka menjajakannya dan menyebarkannya diantara mereka. Sampai-sampai sebagian mereka mengatakan, “Sungguh saya bertaubat kepada Allah dari membaca kitab-kitab asy-Syaikh Muhammad al-Imam….”

Mengapa mereka tidak memperhatikan rekomendasi ‘ulama kepadanya.”

Saya katakan: Ucapanmu, “Mereka tidak memperhatikan rekomendasi ‘ulama kepada asy-Syaikh.”
Diantara perkara yang telah ditetapkan secara syar’i bahwa para ‘ulama apabila berselisih tentang jarh (celaan) dan ta’dil (pujian) terhadap seseorang yang dia itu masyhur dengan sunnah, maka diperhatikan jarh orang yang menjarh tersebut. Apabila jarhnya mufassar (terperinci), mubayyan (dijelaskan), dan diperhitungkan -seperti jarh terhadap keadaan Muhammad al-Imam ini- maka tidak boleh berpaling dari jarh tersebut dan tidak ada ‘ibrah (faedah) pada ucapan orang-orang yang menta’dil (memuji/merekomendasi) nya meskipun mereka adalah para imam dalam agama.

Dan ini diketahui, bahkan oleh anak-anak ahli hadits. Apalagi oleh para penuntut ilmu, dan terlebih lagi oleh para ‘ulama terkemuka. Sehingga yang mengetahui adalah hujjah atas mereka yang tidak mengetahui. Dan saya telah mengumpulkan sejumlah ucapan para ‘ulama baik generasi awal maupun yang datang belakangan tentang wajibnya mendahulukan al-jarh al-mufassar al-mubayyan di atas at-ta’dil, dalam sebuah artikel yang berjudul “asy-Syahabus Salafiyah fi Naqdhisy Syubuhaatil Halabiyyah -bagian ke 8 -.”

Ucapanmu: “Mereka tidak memperhatikan kesungguhan ilmi’ah asy-Syaikh (al-Imam).”

Saya katakan: “Ini di antara bentuk pengkaburan dan pengelabuhan terhadap saudara-saudara kita salafiyin. Ahlus sunnah itu melihat orang yang menyelisihi dan bentuk penyelisihannya -adapun penjelasan masalah tersebut, bukan di sini pembahasannya-. Apabila penyelisihannya tersebut bid’ah, maka ditegakkan hujjah kepadanya. Jika ia tetap bersikeras dan menentang, maka ia dihukumi satu ucapan dengan kebid’ahannya dan tidak perlu dilihat apa yang telah ia persembahkan bagi Islam dan kaum muslimin.

Dan Muhammad al-Imam telah mencampuradukkan antara Rafidhah yang kafir dengan Islam, lantas apakah para ‘ulama harus mendukung pencampuradukkan ini?

Ataukah mereka harus mengingkarinya dan mengutuk orang yang melakukan pencampuradukkan yang mengerikan ini?

Sungguh anda telah datang membawa manhaj yang bertolak belakang dengan Kitab dan Sunnah serta Manhaj Salafush Shaleh.

Sesungguhnya pengingkaran terhadap kemungkaran yang amat mengerikan ini, benar-benar di antara kewajiban yang paling wajib dalam syari’at Islam.

Apabila seseorang itu memasukkan ke dalam Islam perkara-perkara baru dan bid’ah yang bukan bagian darinya, maka pelakunya harus dinasehati dan diberi penjelasan.

Namun jika ia menentang dan tetap bersikeras di atas kebatilannya tersebut, maka sudah seharusnya ia dicap sebagai seorang mubtadi’. Tidak ada kemuliaan dan kehormatan baginya. Dan bila seorang melakukan perbuatan fasik, maka ia di cap sebagai seorang yang fasik, dan demikian seterusnya.

Inilah dia Nabi kita shallallahu ‘alaihi was salam telah mentahdzir umat dari kaum khawarij yang melesat dari agamanya dengan sebenar-benar tahdzir. Bahkan beliau mentahdzir umat dari mereka ini lebih keras dari pada tahdzir beliau terhadap orang-orang kafir, sekte-sekte, dan aliran-akiran kepercayaan.

Padahal kaum khawarij memiliki berbagai amalan ketaatan yang dengan itu mereka mendekatkan diri kepada Allah seperti shalat, membaca al-Qur’an, peribadahan, dan lain sebagainya. Namun bersamaan dengan itu, Nabi shallallahu ‘alaihi was salam tetap mensifati mereka sebagai makhluk dan ciptaan yang paling jelek. Adapun dalil-dalil tentang kebatilan ucapanmu ini maka sangatlah banyak.

Dan ucapanmu ini serupa dengan apa yang terjadi pada manhaj muwazanah yang selalu mengkhianati kaum muslimin, berjuang dan memerangi orang-orang yang membatilkannya dari kalangan para ‘ulama sunnah salafiyyin.

Ucapanmu: “Mereka tidak memperhatikan ucapan asy-Syaikh ‘Ubaid, apakah dibangun di atas sebab-sebab ataukah tidak.”

Ucapan guru kami al-‘Allamah ‘Ubaid al-Jabiri hafizhahullah dibangun di atas hujjah dan bukti-bukti yang benderang terangnya bak matahari di siang bolong. Dan anda pun mengakui hal ini dengan mengatakan: “Dan saya tidak sependapat dengan kandungan watsiqah tersebut dari berbagai perkara yang merupakan bagian dari ushul perselisihan antara kita dan mereka.”

Namun anda dikarenakan dasyatnya fanatikmu pada kebatilan, anda melihat bahwa ucapan asy-Syaikh tidak memiliki sebab-sebab. Sungguh ini termasuk di antara bualan dan penentangan terhadap realita yang benderang bak terangnya matahari.

Dia (‘Abdul Hadi al-‘Umairi) hadahullah mengatakan:

“Lalu kenapa sekarang tidak dikatakan “Muhammad al-Imam, amalan-amalannya lah yang akan menjadi rekomendasi bagi dirinya.” Mengapa kita tidak mendengar seorangpun yang bangkit berdiri mengatakan, “Tidak, seseorang itu akan ditazkiyah oleh amalan-amalannya sendiri.” Maka lihatlah amalan-amalan asy-Syaikh Muhammad al-Imam. Mengapa ia tidak melihat tazkiyah (rekomendasi/pujian) para ‘ulama teruntuk asy-Syaikh Muhammad al-Imam?

Jadi, berbagai perkara ini sekarang kami melihatnya wahai saudara-saudaraku membuat seseorang itu berada di dalam kebingungan, dalam kebingungan, benar-benar berada di dalam kebingungan yang nyata. Ini menunjukkan apa? Demi Allah, ini menunjukkan bahwa perkara-perkara tersebut tidaklah memiliki tolak ukur yang jelas.”

Saya katakan: “Sungguh anda sudah berlebih-lebihan dalam mengelu-elukan dakwa tazkiyah. Apakah tazkiyah-tazkiyah ini muncul dari para ‘ulama setelah berlangsungnya kesepakatan fajir yang tiada bandingnya ini sepanjang sejarah ahlus sunnah?

Dan anda menjadi bingung dikarenakan masalahmu sendiri yang tidak mengetahui kebenaran dari kebatilan. Dan sebabnya tidak lain karena tingkahmu yang menolak kebenaran yang ada bersama para masyayaikh yang didukung dengan dalil-dalil. Barang siapa yang seperti ini keadaannya, maka dia akan diuji dengan kebatilan. Dan anda tidak mengindahkan saran, nasehat, dan bimbingan para ‘ulama, bahkan malah memerangi dan mencerca mereka.

Maka saya mengkhawatirkan Muhammad al-Imam dan keadaan anda ini akan tertimpa ucapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi was salam: “Sesungguhnya ada seorang hamba yang benar-benar berbicara dengan sebuah kalimat, yang akan menjebloskannya ke dalam Neraka lebih jauh dari pada timur dan barat.” [7]

Dia (‘Abdul Hadi al-‘Umairi) hadahullah mengatakan:

“asy-Syaikh ‘Ubaid mengatakan “Muhammad al-Imam adalah seorang mubtadi’ ikhwani,” Kita katakan: Jazakallahukhaira, tapi apakah kita menerimanya? Kita tidak menerimanya, kenapa? Karena orang yang jauh maupun dekat tahu bahwa asy-Syaikh Muhammad al-Imam hafizhahullah memerangi ikhwani.

Apakah buku-buku ikhwani dipelajari di sisinya di markiz? Tidak. Apakah teman-teman duduknya dari kalangan orang-orang ikhwani? Tidak. Apakah ia mengadopsi prinsip-prinsip pokok (ushul) ikhwani? Tidak. Lantas dari mana ikhwani itu datang sedangkan ia telah membantah ikhwani. Ia memerangi mereka. Maka kita katakan jazaakallahukhaira wahai Syaikh ‘Ubaid kami tidak menerima tahdzir anda, secara nyata dan bukan pengurangan padanya.” Selesai nukilan darinya.

Saya katakan: “Hawa nafsu itu membuat buta dan bisu. Mengapa anda tidak menerimanya? Apakah anda mendengar al-‘Allamah ‘Ubaid al-Jabiri hafizhahullah mengatakan: “Kami mentahdzir umat dari Muhammad al-Imam karena dia tidak mengenakan songkok (peci) ketika di jalan? Atau karena kami mendengar tentang dirinya bahwa ia makan sambil berjalan?” Atau yang semisal itu. Atau karena beliau hafizhahullah dan saudara-saudaranya para ‘ulama menjelaskan bahwa Muhammad al-Imam telah menandatangani sebuah watsiqah jahat lagi zhalim, bahkan di dalamnya terdapat kekufuran yang nyata jelasnya? Lalu ketika dinasehati tentang perkara tersebut, ia malah menentang dan tetap bersikeras di atas kebatilannya lagi menunggangi jalan orang-orang sesat?

Kedua: Sekedar nama-nama bukanlah tolak ukur di sisi ahlus sunnah salafiyyin. Namun yang menjadi tolak ukur adalah hakekat nyata seseorang tersebut. Dia memerangi ikhwani tetapi berjalan di atas jalan mereka, maka kita katakan bahwa dia itu seorang ikhwani baik ia ingin atau enggan. Anda seandainya mencocoki ahlus sunnah di setiap bab seperti asma’ wa sifat, qadar, dan yang semisalnya namun kemudian anda menyelisihi ahlus sunnah pada bagian tertentu seperti pada bab imamah misalnya, anda berpandangan boleh memberontak kepada pemimpin yang jahat dan zhalim dari kaum muslimin (misalnya), maka kita katakan tentangmu bahwa anda adalah khawarij meskipun anda memerangi khawarij, menulis, hadir ketika mentahdzir umat dari mereka, dan mengaku sebagai seorang salafi di setiap pagi dan petang.

Dan siapa saja yang ingin mengetahui ikhwaninya Muhammad al-Imam, hendaklah dia membaca tulisan asy-Syaikh ‘Ali al-Hudzaifi hafizhahullah yang berjudul “Waqafaat ma’al Bura’i wal Imam.” Sungguh beliau telah berbuat baik dan banyak memberikan faedah, jazahullahukhairaa.

Maka telah menjelaskan manhaj Muhammad al-Imam, orang yang lebih tahu tentangnya dari pada diriku dan dirimu, bahwa dia adalah seorang yang terpengaruh dengan manhaj ikhwani, pergi mengunjungi orang-orang ikhwani dan mereka pun pergi mengunjunginya.

Lihatlah tulisan asy-Syaikh ‘Ali al-Hudzaifi al-Yamani hafizhahullah dan lihat “al-Ibanah” karya Muhammad al-Imam.

Ketiga: “Sesungguhnya menentang fatwa dan jarh ‘ulama kibar terhadap orang-orang yang memang berhak dijarh dengan disertai hujjah dan bukti-bukti, dengan menggunakan metode-metode makar dan lancang mendahului para ‘ulama dalam memancangkan kaedah-kaedah batil yang rusak ini yang sama sekali Allah tidak pernah menurunkan keterangan tentangnya, benar-benar termasuk dari keburukan adab kepada para ‘ulama, minimnya pemahaman dia tentang agama Allah, dan diantara tanda kekurangan wal’iyadzubillah.

Di mana dakwah seruanmu dalam berbagai pelajaran dan muhadharah untuk selalu menghormati dan menghargai para ‘ulama serta tidak lancang mendahului mereka yang telah anda ucapkan namun sudah pula anda selisihi dalam bentuk ucapan dan perbuatan?

Na’am, termasuk perkara yang disepakati bahwa Allah mewajibkan atas kita ketaatan kepada Allah dan ketaatan kepada Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi was salam, maka para ‘ulama menjadikan hujjah ada pada mereka dan tidak menjadikan hujjah dengan diri mereka. Karena hujjah itu hanyalah kalamullah dan kalam Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi was salam. Dan ucapan para ‘ulama yang dibangun di atas Kalamullah dan kalam Rasul-Nya maka harus diterima dan tidak boleh diselisihi.

Sehingga seorang ‘alim apabila mengatakan sebuah ucapan yang didukung dengan hujjah dan bukti-bukti dan tidak menyelisihi al-Kitab (al-Qur’an) dan Sunnah serta ijma, maka ketika itu tidak boleh membantah ucapannya.

Manusia itu percaya terhadap ‘ulama mereka dalam berbagai masalah keyakinan, fikih, dan apa yang ada di dalamnya dari berbagai perkara nikah, talak, jual beli, dan yang semisalnya, lalu apakah anda melihat bahwa mereka tidak menaruh kepercayaan kepadanya  apabila mereka mentahdzir umat dari ahlul hawa dan bid’ah seperti keadaan Muhammad al-Imam?
Jika perkaranya demikian, maka tidak boleh anda berpaling darinya, terlebih mendebatnya dengan kebatilan untuk membantah kebenaran.

Keempat: Sepertinya sebab yang menjadikanmu ngotot untuk menyerang bantahan para masyayaikh Rabi’ bin Hadi, ‘Ubaid al-Jabiri, dan ‘Abdullah al-Bukhari terhadap rekan sejawatmu Muhammad al-Imam adalah karena anda telah bertolak dari kaedah rusak yang telah anda dudukkan yaitu ucapanmu: “Orang yang berbicara -yaitu orang yang menjarh- harus di atas ilmu dan pengetahuan yang sempurna tentang orang yang dibicarakan dari sisi ucapan-ucapannya dan keyakinannya.”

Mudah-mudahan Allah memudahkan kami untuk menjelaskan kebatilan kaedah ini di dalam sebuah tulisan tersendiri.

Kelima: Kami tidak melihat darimu sikap-sikap salafiyah melawan orang-orang yang memerangi manhaj salaf dan para pengembannya seperti kelompok hadadiyah.
Kami juga tidak melihat darimu sikap seorang salafi terhadap orang-orang yang mencela para ‘ulama seperti asy-Syaikh Shaleh al-Luhaidan, asy-Syaikh Shaleh al-Fauzan, asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi, dan asy-Syaikh ‘Ubaid hafizhahumullah yang Muhammad al-Imam dan selain dia telah menghina mereka, bahwa mereka adalah para pekerja, mata-mata, dan ahli konspirasi. Dan itu dikarenakan mereka berfatwa jihad terhadap kaum Rafidhah pemberontak yang telah melancarkan agresinya terhadap rakyat Yaman, menumpahkan darah-darah mereka, dan merampas harta bendanya.

Maka apakah di sisimu celaan ini adalah sebuah kebenaran hingga engkau diam membisu tidak bergerak melawannya?

Bukankah ini di antara dalil yang menunjukkan hawa nafsu dan fanatikmu kepada kebatilan dan kepada pelakunya di atas para ‘ulama, kebenaran, dan petunjuk?!

Dan terakhir, namun bukan akhir dari nasehatku untukmu wahai saudaraku ‘Abdul Hadi, semoga Allah memberimu taufik untuk membiarkan masalah besar untuk orang yang besar dan supaya engkau tidak menceburkan diri kepada sesuatu yang tidak seharusnya untukmu dalam keadaan kadar ukurannya jauh lebih besar dari dirimu.

Dia (‘Abdul Hadi al-‘Umairi) hadahullah mengatakan:

“Apabila seseorang itu dijarh karena satu perkara, maka janganlah melampaui batas dan menjarh dengan dua perkara. Ini semua merupakan bentuk kehati-hatian, sikap wara’, dan rasa takut (kepada Allah).”

Dia hadahullah mengatakan: “Apabila orang yang dijarh itu masyhur dengan kelemahan (dhaif), ditinggalkan di antara para tokoh (imam), maka para muhadits tidak membutuhkan orang yang menjarh untuk menjelaskan jarhnya, bahkan meminta penjelasan dan kondisi status darinya, ini merupakan permintaan yang benar-benar ghibah dan sama sekali tidak dibutuhkan.” [8]

Saya katakan: Penerapan anda pada kaedah ini dengan gambaran tersebut merupakan di antara tanda ahlu bid’ah. Di dalamnya terdapat sikap meremehkan dalam membantah ahlu bid’ah yang merupakan prinsip pokok di antara ushul syariat yang mulia ini. Seandainya kami membilangkan untukmu berbagai penyimpangan ahlu hawa dan bid’ah seperti al-Halabi, al-Ma’ribi, dan siapa saja yang menempuh jejak mereka, apakah anda melihat kami telah menzhalimi mereka dan menggibahinya?

Dan ini kitab-kitab para ‘ulama dalam membantah ahlu bid’ah yang tidak tersamarkan lagi atas dirimu, baca, telaah, dan lihatlah isi yang ada di dalamnya! Mereka (ahlu bid’ah) datang membawa bid’ah yang membelit (bid’ah) lainnya lalu mereka (para ‘ulama) membantahnya dalam satu kitab, apakah ini semuanya termasuk dari ghibah yang diharamkan?

Diantara perkara yang perlu diingatkan di sini bahwa terdapat perbedaan antara menjaga sebuah riwayat dengan menjaga agama, maka jangan dicampuradukkan antara keduanya sehingga anda menyerang serampangan membabi buta sebagaimana anda telah mendudukkan kaedah-kaedah yang banyak di salah satu tulisanmu namun tersamarkan bagimu perkara yang besar ini. Dan saya menjelaskan hal ini kepadamu sebagai bentuk nasehatku, tetapi anda tidak menyukai orang-orang yang memberikan nasehat. Diantaranya, anda mempersyaratkan syarat-syarat yang melemahkan seperti mengetahui nasikh dan mansukh, ilmu ahkamil qur’an dan muhkam, mutasyabih, dan ilmu tentang madlulatil alfazh dan untuk tidak berbicara dalam masalah jarh kecuali orang-orang besar dan yang semisalnya. Maka apakah anda dan orang-orang yang membela mereka termasuk dari jenis ini?

Shalawat dan salam semoga selalu terlimpah kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, dan para shahabatnya.

Ditulis oleh: “Abdul Hamid al-Hadhabi
2/2/1436

Catatan kaki:

1] Dia menulis sebuah artikel dengan judul “al-‘udzrus sadid lisy syaikh Muhammad al-Imam fish shulhil rasyid.”

2] “Syarhu Ushulil I’tiqad” karya al-Lalikai (1/179)

3] ” ‘Akidatus Salaf” (101)

4] “Lawaihul Anwar” (2/355)

5] “Ash-Sharimul Maslul” (hal. 563)

6] Demikian yang ia katakan.

7] HR al-Bukhari (6477) dan Muslim (2988)

8] Saya mengambil sebagian nukilan-nukilan ini dari kitabnya “Irsyadul Khalil ila adabi man yankalimu fil jarh wat ta’dil.”

Sumber : http://www.sahab.net/forums/index.php?s=cec431c54a413a51b0801b264b10412c&showtopic=149898

Alih bahasa : Syabab Forum Salafy

Teks arabic:

الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه أجمعين أما بعد:

فقد سمعت كلاما وقرأت مقالا انتشر حتى بلغ الآفاق لأخينا عبد الهادي العميري المدرس بمعهد الحرم المكي فتضمّن كلامه هذا منكرا من القول وزورا في الطعن في أهل العلم من مشايخنا الفضلاء الذين نحسبهم والله حسيبهم أنهم بقية السلف من أمثال العلامة ربيع بن هادي وعبيد الجابري وعبد الله البخاري حفظهم الله ،وتضمّن أيضا الدفاع عن محمد الإمام ، كما تضمن مقاله هذا أيضا بعض القواعد الفاسدة  -لعلّنا نفردها في حلقات مستقلّة-.

وقد نصحته مرارا وتكرارا ليتوب إلى الله مما صدر منه ولا يتدخّل في مسائل هي أكبر حجما منه وأن يعطي القوس باريها ورحم الله امرأً عرف قدر نفسه، فأبى إلا العناد والخصومة بالباطل، فأحببت أن أبيّن بعض كلامه الذي جانب الصواب فيه لعّل الله أن يكتب لنا المثوبة بذلك ، هو الولي على ذلك والقادر عليه سبحانه ،فأقول مستعينا بالله تعالى:

قال هداه الله :وأما سلفه –أي:محمد الإمام- في هذا فهو ماوقع في صلح الحديبية بين الرسول صلى الله عليه وسلم وكفار قريش”.

1 ـ أقول : إن الوثيقة التي وقّع عليها النبي صلى الله عليه وسلم المؤيد بالوحي من ربه سبحانه تُعدّ نصرا مبينا بشهادة ربّ العالمين جلّ جلاله، والوثيقة التي وقّع عليها محمد الإمام اشتملت على كفر شنيع ،وضلال مبين ، وكذب مكشوف.

ودليل ذلك ما جاء في تلك الوثيقة الفاجرة الآثمة مع الرافضة الزنادقة :” نحن مسلون جميعا ،ربنا واحد،وكتابنا واحد ،ونبينا واحد ،وعدونا واحد ، وإن اختلفنا في التفاصيل الفرعية“.اهـ

أبعد هذا الكفر البواح الذي في هذا الوثيقة تُقرّر أن سلفه في ذلك هو النبي صلى الله عليه وسلم ؟ ،والله إن هذا لأمر عظيم وخطأ جسيم ويخشى على قائل ذلك من الخسران المبين ،فارحم نفسك ولا تهلكها.

وقد بين مافي هذه الوثيقة من الكفر والضلال مشايخنا الأفاضل كالشيخ ربيع بن هادي وعبيد الجابري وعبد الله البخاري وغيرهم.

2 ـ من الكذب الواضح تشبيه مافي هذه الوثيقة بالصلح الذي تمّ بين النبي صلى الله عليه وسلم وبين قريش، ذلكم الصلح النزيه مما تضمّنته الوثيقة الرافضية ،فلم يقل رسول الله صلى الله عليه وسلم : “نحن جميعا مسلمون”، و”ربنا واحد”، وكتابنا واحد”، وعدّونا واحد”.

هذا وليعلم القارئ أن المشايخ لم يعترضوا على الصلح ، وإنما أنكروا ماتضمّنته الوثيقة من الضلال المبين.

قال هداه الله: ولست أوافق فيها على ماورد فيها من أمور هي من أصول الخلاف بيننا وبينهم……فماننتظر من الشيخ-أي:محمد الإمام- أن يفعل الذي يده في النار ليس كمن يده في الماء…ولكن مكرها أخاك لا بطل”.

1 ـ  أقول: أنت متخبّط حقّا وحقيقة ، تقرّر أن سلفه في ذلك هو النبي صلى الله عليه وسلم جرّاء ماحصل في صلح الحديبية، ثم تتناقض وتقرّ أن الوثيقة التي وقّع عليها محمد الإمام فيها أمور هي من أصول الخلاف، لكن لم تبين شيئا من ذلك للقرّاء ؟ -لا أدري جهلا أم تجاهلا-.

2 ـ وإذا كنت غير موافق على ماورد في الوثيقة ، فلماذا تعترض على استنكار المشايخ لها ؟

ولماذا رضيت هذا الصلح الذي سميته بالصلح الرشيد [1]؟

لقد دافعت على محمد الإمام دفاعا مستميتا على أنه مكره في ذلك ، والذي يكذّبك في دعواك هذه هو نفسه –محمد الإمام-حيث بيّن أنه ليس مكرها على التوقيع على تلك الوثيقة الكافرة الظالمة الجائرة لا من قريب ولا من بعيد وأنه مستعد أن يلغي ماوقّع عليه في أيّ وقت شاء حيث قال:”ألا وإن الأمر لا يزال بيدي بحمد الله ، فليس لأحد عليّ سبيل إلا بالحق، فمتى ماجاء الحق فكلنا من تحت الحق ،كلنا من تحت الحق، كلنا عبيد لله ، لسنا عبيدا لأحد ،لسنا عبيدا لأحد”.اهـ

أرأيت مربط الفرس الذي غفلت عنه أو تغافلت عنه في تحذير أهل العلم منه ، ألا وهو العناد والإصرار على الباطل.

قال هداه الله:”أرجوا من المشايخ الذين تكلّموا على الشيخ محمد الإمام أن ينظروا حالته،ومن الغريب أن ماجاء في وثيقة الحديبية وما شرحه العلامة ربيع بن هادي المدخلي حفظه الله يوافق تماما على حال أهل السنة في اليمن ،فلماذا لا يعذرونهم .

أم قالوه على تسرّع ؟

أرجوا منهم إذا رأوا كلامي هذا مخالفة لما قاله العلامة الشيخ ربيع بن هادي حفظه الله فبينوا لي.

وأنا أخوّف بالله كل إنسان يتكلّم في كلّ إنسان بدون رويّة وتحقّق للأمور ،واللسان عاقبته الوخيمة لدى العلماء.

أما طلبة العلم فأنا أنصحهم أن يعذروا الشيخ محمد بن عبد الله الإمام ولا يحرموا أنفسهم الخير الجاري في معبر ويمضوا في الطلب والتحصيل ولا يدخلوا في هذه المسألة لكلام بعض العلماء”.

أقول : من الأصول المقرّرة -عند أهل السنة- أن الطعن في أهل العلم الذابين عنها من علامات أهل البدع والضلال ، بل كان السلف رحمة الله عليهم يعدّون الرّجل من أهل البدع بمجرد طعنه عليهم،والأخبار في ذلك لا تعدّ ولا تحصى منها ماقاله أبو حاتم رحمه الله: “علامة أهل البدع الوقيعة في أهل الأثر” .[2]
وقال الإمام أبو عثمان الصابوني: “وعلامات البدع على أهلها بادية ظاهرة، وأظهر آياتهم وعلاماتهم شدة معاداتهم لحملة أخبار النبي صلى الله عليه وسلم واحتقارهم واستخفافهم بهم .[3]
وقال السفاريني: “ولسنا بصدد ذكر مناقب أهل الحديث فإنَّ مناقبهم شهيرة ومآثرهم كثيرة وفضائلهم غزيرة، فمن انتقصهم فهو خسيس ناقص، ومن أبغضهم فهو من حزب إبليس ناكص”.[4]

فترمي المشايخ الفضلاء الشيخ ربيع وعبيد الجابري وعبد الله البخاري بالتسرّع ،وبأن الأمور عندهم غير منضبطة وذلك لأنهم لم ينظروا إلى بعض تزكيات أهل العلم له ، وبأنهم لم ينظروا إلى جهوده العلمية والله المستعان ولا حول ولا قول إلا بالله العلي العظيم، بل تحذّر طلبة العلم من فتاويهم في محمد الإمام المخذول بقولك :”ولا يدخلوا في هذه المسألة لكلام بعض العلماء”. كما سنبينه من كلامك.

وإذا قلت هذا ليس طعنا فتلك مصيبة وإن كنت تعدّه طعنا فالمصيبة أعظم، وهاهو شيخ الإسلام ابن تيمية رحمه الله يعرّفك معنى الطعن حيث قال رحمه الله : السَّبُّ … هو الكلام الذي يقصد به الانتقاص والاستخفاف، وهو ما يُفهم منه السب في عقول الناس على اختلاف اعتقاداتهم، كاللعن، والتقبيح، ونحوه[5]

قال هداه الله :”السكوت عند العلماء في باب الجرح والتعديل في مسألة واحدة كلام الأقران ، يقول فيه العلماء يطوى ولا يروى، إذا تكلم الأقران في بعض فنعم….أما يطوى ولا يروى-أي: تحذير الشيخ عبيد من محمد الإمام- لَأْ مانقبل ، نريد ردّ كلام الشيخ عبيد مصرّح من العلماء بالحجة والبرهان”.

أقول :

1 ـ هذا الكلام ليس بصحيحٍ البتة ،أهل العلم لا يسكتون في جرح الأقران بعضهم في بعض ،فالجارج لقرينة بالحجج والبراهين يجب قبول قوله، وعلى هذا مضى سلفنا الكرام ممن يقتدى بهم سلفا وخلفا،  وكلام الأقران بعضهم في بعض مقدّم على غيرهم ممن جاء بعدهم، وهذه كتب الجرح والتعديل فاقرأها وتصفّحها وانظر مافيها من كلام القرين لقرينه المعاصر ، بل أغلبها من هذا القبيل.

والعلماء لما تكلموا في قاعدة:”كلام الأقران يطوى ولا يروى” قيّدوها بقيد مهم تجاهلته وهو :إذا كان الجارح  بدون حجج وبراهين أو كان لعصبية أوقبلية أومذهبية أونحو ذلك.

وأما إذا كان الجرح مبنيا بحجج وبراهين فإن قبول جرحه من أوجب الواجبات،ولا يجوز العدول عنه ،لأن الأقران هم أعرف الناس بعضهم ببعض  ولأن القرين هو أعلم الناس بقرينه ومن المرجّحات التي يذكرها العلماء أن كلام المعاصر أولى من كلام المتأخر عن عصر الراوي لأن المعاصر أعرف بالراوي و”بلديّ الرجل أعرف ببلديّه”.

قال الشيخ مقبل بن هادي الوادعي رحمه الله: جرح الأقران أثبت من غيرهم، لأنّهم أعرف بقرنائهم، فهي مقبولة إلا إذا علم أن بينهما تنافسًا وعداوةً سواء لأجل دنيا، أو مناصب، أو خطأ في فهم، ويريد أن يلزم الآخر بخطأ فهمه.

فينبغي أن تعلم هذا ولا تصغ لقول المبتدعة والحزبيين والديمقراطيين: أن كلام الأقران ليس مقبولاً على الإطلاق.إهـ

2 ـ  يلزم من كلامك أن أئمة الجرح والتعديل الذين حذّروا من أقرانهم بجرح مبيّن ومفسّر لا نقبل كلامهم لأنه يجب أن يطوى ولا يروى ، وكتب السلف طافحة بذلك ،ففي تراجم الضعفاء والمتروكين والمجروحين ومن ضعفه المحدثون من قِبل أقرانهم يصعب حصرهم وذلك لكثرتهم، انظر: “الضعفاء الكبير” للعقيلي ، و “الكامل”لابن عدي ،و”المجروحون”لابن حبان،و”الضعفاء الصغير”للبخاري ،و”الضعفاء والمتروكين”للنسائي وللذهبي وللدارقطني ولابن الجوزي،و”تهذيب الكمال”للمزي ،و”الميزان” و”السير”للذهبي ،و”تقريب التهذيب”لابن حجر،وغير ذلك من كتب المصنفة في هذا الباب.

ثانيا : قولك ” تحذير الشيخ عبيد من محمد الإمام- لأ مانقبل ، نريد ردّ كلام الشيخ عبيد مصرّح[6] من العلماء بالحجة والبرهان “.

أقول: ماذا يخرج من رأسك يارجل؟ فإذا كنت سلفيا حقا فلا تناطح الجبل فأشفق على نفسك، ويجب عليك قبول كلامه لا لأنه قاله ، وإنما بما بينه من حجج وبراهين ، وبما بيّنه من الأدلّة الدالة الدامغة للباطل.

وأهل العلم الذين تريد منهم أن يردّوا على شيخنا الفاضل عبيد الجابري حفظه الله لما حذّر من محمد الإمام الأولى بهم أن يردوا عليك طعنك فيه وفي الشيخين ربيع بن هادي وعبد الله البخاري حفظهما الله.

قال هداه الله :الشيخ عبيد الجابري تكلّم على محمد الإمام ووصفه بأنه مبتدع ضال كلام شديد، فماذا كان؟ انتشر هذا الكلام، حذّر من الشيخ الإمام لم يراعوا تزكية العلماء في الشيخ، ولم يراعوا جهود الشيخ العلمية ، ولم يراعوا كلام الشيخ عبيد هل هو مبني على أسباب أو لا ، إنما مجرد كلام الشيخ محمد الإمام أذاعوه وانتشر بينهم،حتى بعضهم كان يقول إني تبت إلى الله من قراءة كتب الشيخ محمد الإمام …لماذا لم ينظروا إلى تزكية العلماء له”.

أقول : قولك: ” لم يراعوا تزكية العلماء في الشيخ”.

فمن المقرر شرعا أن أهل العلم إذا اختلفوا في الرجل جرحا وتعديلا وكان مشهورا بالسنة، فينظر إلى جرح الجارح فإذا كان مفسرا مبينا معتبرا -كحال محمد الإمام-فلا يجوز العدول عنه ولا عبرة بقول المعدلين ولو كانوا أئمة في الدين، وهذا يعرفه حتى أطفال أهل الحديث فضلا عن طلبة علم فضلا عن علماء أجلاء، فالذي علم حجة على من لا يعلم،وقد جمعت جملة من أقوال أهل العلم السابقين واللاحقين في وجوب تقديم الجرح المفسر المبين على التعديل في مقال عنونته بــــ”الشهب السلفية في نقض الشبهات الحلبية -الحلقة الثامنة-“.

  قولك :” ولم يراعوا جهود الشيخ العلمية “.

أقول : هذا من التلبيس والتدليس على إخواننا السلفيين، فأهل السنة ينظرون إلى المخالف وإلى المخالفة -وبيان ذلك ليس هذا موضعه-، فإن كانت المخالفة  بدعة تقام عليه الحجة فإن أصرّ وعاند يحكم عليه بها قولا واحدا ولا يُنظر إلى ماقدّمه للإسلام والمسلمين.

ومحمد الإمام خلط بين الرفض الكفري والإسلام ، فهل يجب على العلماء تأييد هذا الخلط ؟

أو يجب عليهم إنكاره وإدانة من ارتكب هذا الخلط الفظيع ؟

لقد جئت بمنهج مضاد للكتاب والسنة ومنهج السلف الصالح.

إن إنكار هذا المنكر الكبّار لمن أوجب الواجبات في شرعة الإسلام.

وإن كان أدخل في الإسلام ماليس منه من المحدثات والبدع يُنصح صاحبها ويُبين له،فإن عاند وأصر على باطله يبدّع ولا كرامة له ولا نعمى،  وإن ارتكب فسقا يفسّق وهكذا.

وهاهو نبينا صلى الله عليه وسلم يحذّر من الخوارج المارقين أيّما تحذير بل حذّر منهم أشدّ من تحذيره من أهل الكفر والطوائف والنحل، والخوارج لهم قُرب يتقرّبون بها إلى الله من الصلاة وقراءة للقرآن والتنسّك ونحو ذلك، مع ذلك وصفهم صلى الله عليه وسلم بشرّ الخلق والخليقة، والأدلة على بطلان قولك هذا  كثيرة جدا.

وكلامك هذا أشبه مايكون بــــــ”منهج الموازنات” الذي طالما خونة المسلمين ناضلوا عنه وحاربوا من أبطله من علماء السنة السلفيين.

قولك : “ولم يراعوا كلام الشيخ عبيد هل هو مبني على أسباب أو لا”.

كلام شيخنا العلامة عبيد الجابري حفظه الله مبني على حجج وبراهين ساطعة نيّرة مثل الشمس في رابعة النهار، وأنت أقررت بهذا بقولك :” ولست أوافق فيها على ماورد فيها من أمور هي من أصول الخلاف بيننا وبينهم “.

وأنت لشدّة تعصّبك للباطل ترى أن كلام الشيخ ليس له أسباب ، وهذا من السفسطة والمكابرة في واقع واضح وضوح الشمس.

قال هداه الله :”فلماذا لا يقال الآن محمد الإمام تزكّيه أعماله ،لماذا لم نسمع شخص واحد قام وقال :لا الشخص تزكّيه أعماله،فانظروا إلى أعمال الشيخ محمد الإمام ،لماذا لم ينظر في تزكية العلماء للشيخ محمد الإمام ، إذا هذه الأشياء الآن نراها ياإخوان تجعل الشخص في حيرة ،في حيرة حقيقة في حيرة ، هذا يدلّ على إيش ؟ إن دلّ والله مايدل على أن الأمور ليست منضبطة”.

أقول : لقد أسرفت في دعاوي التزكيات ، فهل هذه التزكيات صدرت من العلماء بعد الاتفاقية الفاجرة التي لا نظير لها في تاريخ أهل السنة ؟

وأنت أصبحت في حيرة من أمرك لا تعرف الحقّ من الباطل وسبب ذلك أنك رددت الحق الذي مع المشايخ لأنه مدعم بالأدلة ومن كان هذا حاله ابتلي بالباطل ، ولم تلزم بغرز العلماء ونصائحهم وتوجيهاتهم ، بل حاربتهم وطعنت فيهم.

فأخشى على محمد الإمام وعليك قول رسول الله صلى الله عليه وسلم : «إِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ، يَنْزِلُ بِهَا فِي النَّارِ أَبْعَدَ مَا بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ».[7]

قال هداه الله :” قال: الشيخ عبيد محمد الإمام مبتدع إخواني نقول: جزاك الله خيرا ،لكن نقبل ؟، مانقبل ، لماذا ؟، لأن القاصي والداني يعرف أن الشيخ محمد الإمام حفظه الله حرب على الإخوان، هل كتب الإخوان عنده في المركز تدرّس ؟ لا ، هل جلساءه   من الإخوان ؟ لا ، هل متبني أصول الإخوان ؟ لا ،طيب من فين جاء إخواني وكتب ردودا على الإخوان ،هو حرب عليهم ، فنقول جزاك الله خيرا يا شيخ عبيد مانقبل منك ، حقيقة وليس نقصا فيه”.اهـ

أقول : الهوى يعمي ويصمّ ، لماذا ماتقبل ؟ هل سمعت العلامة عبيد الجابري حفظه الله يقول : حذّرنا من محمد الإمام لأنه لا يلبس قلنسوة في الشارع؟ ، أو سمعنا عنه أنه يأكل وهو يمشي؟ أو نحو ذلك ، أو أنه حفظه الله بيّن هو وإخوانه العلماء أن محمدا الإمام وقّع على وثيقة جائرة ظالمة بل فيها الكفر البواح،ولما نوصح في ذلك  عاند وأصرّ على باطله وركب طريقة أهل الضلال.

ثانيا : لا عبرة بالمسمّيات عند أهل السنة السلفيين ،وإنما العبرة بالحقائق ،هو يحارب الإخوان ويمشي على طريقتهم نقول عنه إخواني شاء أم أبى ، أنت لو وافقت أهل السنة في كل الأبواب من الأسماء والصفات والقدر ونحو ذلك ، ثم خالفتهم في جزئية معينة مثلا في باب الإمامة ترى الخروج على أئمة الجور والظلم من المسلمين ، نقول عنك أنك خارجي ولو حاربت الخوارج وكتبت وحاضرت في التحذير منهم وادّعيت السلفية صباحا ومساء، ولمن أراد معرفة إخوانية محمد الإمام فليقرأ ماكتبه الشيخ علي الحذيفي حفظه الله المعنون بــــــ”وقفات مع البرعي والإمام”فقد أجاد وأفاد فجزاه الله خيرا.

ولقد بيّن منهج محمد الإمام من هو أعرف به مني ومنك ، وأنه متأثر بمنهج الإخوان، وأنه يزور الإخوان ويزورونه، وراجع مقال الشيخ علي الحذيفي اليمني حفظه الله ، وراجع “الإبانة” لمحمد الإمام.

ثالثا : إن معارضة العلماء الكبار في فتاويهم وجرحهم لمن يستحقون الجرح بالحجج والبراهين بهذه الأساليب الماكرة والتقدّم بين أيديهم في تقعيد القواعد الباطلة الفاسدة التي ما أنزل الله بها من سلطان لمن سوء الأدب معهم ومن قلّة الفهم في دين الله تعالى ومن علامات الحرمان والعياذ بالله،  وأين دعواك في دروسك و محاضراتك  باحترام أهل العلم وتوقيرهم وعدم التقدّم عليهم التي تقولها قولا وتخالفها قولا وعملا ،نعم من المسلمات أن الله جلّ وعلا افترض علينا طاعته وطاعة رسوله صلى الله عليه وسلم فالعلماء يحتج لهم ولا يحتج بهم و إنما الحجة في كلام الله وكلام رسوله صلى الله عليه وسلم، وما يبنى عليهما من أقوال أهل العلم والتسليم لها ولا يجوز معارضتها.

فالعالم إذا قال قولا مدعما بالحجج والبراهين ولم يخالف الكتاب ولا السنة ولا الإجماع فحينئذ لا يجوز ردّ كلامه ، فالناس يثقون في علمائهم في مسائل المعتقد والفقه وما فيه من مسائل النكاح والطلاق والبيع والشراء ونحو ذلك وهل ترى أنهم لا يثقون فيهم إذا حذروا من أهل الأهواء والبدع كحال محمد الإمام ؟

وإذا كان كذلك فلا يجوز لك أن تعدل عنه ،فضلا أن تجادل بالباطل لتدحض به الحق.

رابعا : لعل السبب الذي جعلك تشنّ الغارة على رد المشايخ ربيع بن هادي وعبيد الجابري وعبد الله البخاري في خدينك محمد الإمام هو أنك انطلقت من قاعدة فاسدة قعدتها وهي قولك :” أن يكون المتكلم –أي: الجارح-على علم ومعرفة تامة في المتكلم فيه من جهة أقواله وعقيدته “، ولعلّ الله ييسر أن نبين بطلانها في مقال مستقل.

خامسا : لم نر منك مواقف سلفية ضد من يحاربون المنهج السلفي وأهله كالفرقة الحدادية .

ولم نر منك موقفا سلفيا ممن طعن في العلماء كالشيخ صالح اللحيدان والشيخ صالح الفوزان والشيخ ربيع بن هادي والشيخ عبيد حفظهم الله الذين طعن فيهم محمد الإمام وغيره بأنهم عملاء وجواسيس وأهل مؤامرات ، وذلك لأنهم أفتوا بجهاد الروافض البغاة المعتدين على الشعب اليمني ، يزهقون دماءهم ويستولون على أموالهم.

فهل هذا الطعن عندك حقّ حتى لا تحرّك ساكنا ضده ؟

أليس هذا من الأدلة على هواك ولتعصّبك للباطل وأهله على أهل العلم والحقّ والهدى.

وأخيرا وليس آخرا نصيحتي لك يا أخي عبد الهادي وفقك الله أن تترك المسائل الكبار للكبار، وأن لا تتدخّل في شيء لا يعنيك وهو أكبر حجما منك.

قال هداه الله :”إذا كان الشخص يجرح بشيء واحد وبالأمر الواحد فلا يتعدّى ويجرح بأمرين وهذا كله احتياط وورع وخوف”

وقال هداه الله:” فإذا كان المجروح مشهوراً بالضعف ، متروكاً بين النقاد فالمحدثون لا يحوجون الجارح إلى تفسير الجرح ، بل طلب التفسير منه والحالة هذه طلب لغيبة لا حاجة إليها .[8]

أقول : تنزيلك هذه القاعدة بهذه الصورة من علامات أهل البدع ، وفيها مافيها من التهوين في الرد على أهل البدع الذي هو أصل من أصول هذه الشريعة الغرّاء ، فلو عدّدنا عليك مخالفات أهل الأهواء والبدع كالحلبي والمأربي ومن حذا حذوهما ،أتُرانا ظلمناهم واغتبناهم ؟

وهذه كتب أهل العلم في الردّ على أهل البدع لا تخفى عليك ، فاقرأها وتصفّحها وانظر مافيها ، يأتون  بالبدعة تلوى الأخرى ويفنّدونها في مصنف واحد هل هذا كله من الغيبة المحرمّة ؟

ومما يحسن التنبيه عليه أن فيه فرقا بين حفظ الرواية وحفظ الديانة فلا تخلط بينهما فتتخبط تخبّط العشواء، كما قعّدت في أحد كتبك قواعد كثيرة وخفي عليك هذا الأمر العظيم ،وبيّنت لك ذلك نصحتك ولكن لا تحبّ الناصحين، من ذلك اشتراطك في الجارح شروطا تعجيزية من معرفة الناسخ والمنسوخ والعلم بأحكام القرآن والمحكم ، والمتشابه ,والعلم بمدلولات الألفاظ وأن لا يتكلّم فيه-أي:الجرح- إلا الجهابذة ونحو ذلك.

فهل أنت ومن تدافع عنهم من هذا النوع ؟

هذا وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم.

كتبه : عبد الحميد الهضابي.

02 / 02 / 1436

[1] ـ كتب مقالا عنونه بــ” العذر السديد للشيخ محمد الإمام في الصلح الرشيد”.

[2] ـ شرح أصول الإعتقاد” للالكائي (1/179)].

[3] ـ عقيدة السلف” (101)].

[4] ـ لوائح الأنوار” (2/355)] .

[5] ـ “الصارم المسلول”( ص: 563)

[6] ـ كذا قال.

[7] ـ أخرجه البخاري (6477) ،ومسلم (2988)

[8] ـ نقلت بعض هذه النقولات من كتابه ”  إرشاد الخليل الى آداب من ينكلم في الجرح والتعديل”.

sahab net bantahan untuk abdul hadi umairi

http://www.sahab.net/forums/index.php?s=cec431c54a413a51b0801b264b10412c&showtopic=149898

Download versi

Adobe-PDF

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *