الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه ومن اتبع هداه أما بعد:
Kaedah “Membawa Ucapan Manusia yang Sifatnya Global Kepada Makna Ucapannya yang Rinci”
Ketika Salafiyun sedang melawan dan menghadapi serangan gencar ahli bid’ah dan orang-orang yang membela kebid’ahan dan ahli bid’ah tersebut, tiba-tiba mereka dikejutkan dengan sebuah tulisan yang berbunyi: “Satu juta perbuatan baik hanya akan diingat dalam waktu lima menit saja, tetapi hanya satu saja berbuat buruk akan diingat selamanya. Itulah sifat buruk manusia yang sangat sulit diperbaiki.”
Ucapan yang global tanpa penjelasan semacam ini merupakan fitnah besar karena kalimat bersayap semacam ini maknanya bisa ditarik ke sana kemari dan bisa digunakan sebagai batu besar oleh hizbiyun untuk membungkam Ahlus Sunnah yang bersemangat dalam melawan dan membantah kesesatan dengan hujjah ilmiah, sehingga tidak pantas diucapkan oleh seorang muslim pun jika tidak disertai penjelasan rinci, terlebih lagi jika yang mengucapkannya adalah seorang yang dianggap atau memposisikan diri sebagai seorang dai di atas manhaj Salaf, karena bisa menipu dan menyesatkan sekian banyak orang. Allahul musta’an.
Maka sepantasnyalah seorang muslim apalagi jika dia seorang dai untuk berbicara dengan metode yang jelas dan rinci, tidak dengan ucapan yang global dan bisa menimbulkan salah paham atau bisa ditarik ke sana kemari.
Allah Ta’ala berfirman:
وَكَذَلِكَ نفَصِّلُ الآيَاتِ وَلِتَسْتَبِيْنَ سَبِيلُ الْمُجْرِمِيْنَ.
“Dan demikianlah Kami menjelaskan ayat-ayat itu dan agar menjadi jelas pula jalan orang-orang yang suka berbuat dosa.” (QS. Al-An’am: 55)
Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’dy rahimahullah menjelaskan ayat ini: “Maksudnya Kami jelaskan dan Kami terangkan serta Kami bedakan mana jalan petunjuk dan mana jalan kesesatan, mana jalan yang menyimpang dan mana jalan yang lurus, tujuannya agar orang-orang yang mencari petunjuk bisa terbimbing, dan kebenaran yang harus ditempuh menjadi jelas. Juga agar menjadi jelas pula jalan orang-orang yang suka berbuat dosa yang akan menyebabkan kemurkaan Allah dan adzab-Nya, karena sesungguhnya jalan orang-orang yang suka berbuat dosa jika jelas dan terang, maka bisa ditinggalkan dan dijauhi, berbeda jika jalan tersebut tersamar atau tertupi, ketika itu tentu tujuan yang mulia ini tidak akan bisa terwujud.”
Mungkin akan ada yang mengatakan: “Bawalah ucapan saudaramu kepada makna yang benar dan jangan berburuk sangka!” Atau dia akan berdalil dengan ucapan yang disandarkan kepada Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu:
وَلَا تَظُنَنَّ بِكَلِمَةٍ خَرَجَتْ مِنْ أَخِيْكَ الْمُؤْمِنِ إِلاَّ خَيْراً وَأَنْتَ تَجِدُ لَهَا فِيْ الْخَيْرِ مَحْمَلاً.
“Janganlah engkau menyangka dengan sebuah kalimat yang muncul dari saudaramu yang mukmin kecuali kebaikan, selama engkau mendapati kemungkinan makna yang baik!”
Asy-Syaikh Rabi bin Hady Al-Madkhaly hafizhahullah berkata di dalam makalah beliau yang berjudul Waqafaat Ma’al Qaailiina bi Ashli Hamlil Mujmal Alal Mufashshal (Lihat di: http://www.sahab.net/forums/index.php?showtopic=130213): “Engkau berdalil untuk membela ucapan ini dengan perkataan yang disandarkan kepada Amirul Mu’minin Umar radhiyallahu ‘anhu yang riwayatnya tidak shahih dari beliau, dengan bukti:
- Tidak ada sanadnya yang sampai ke Umar radhiyallahu ‘anhu.
- Cukuplah bagi pembaca dengan Ibnu Katsir rahimahullah hanya membawakannya tanpa sanad.
- Ibnu Katsir mengisyaratkan kelemahannya dengan sighah tamridh “diriwayatkan kepada kami”, sehingga bathillah berhujjah dengan ucapan ini.”
Atsar di atas juga dibawakan oleh Ibnu Muflih rahimahullah di dalam Al-Aadaabu Asy-Syar’iyyah 2/295 terbitan Mu’sassah Ar-Risalah, Beirut, cetakan ketiga tahun 1419 H, namun beliau tidak menyebutkan sanadnya, sehingga tidak bisa dijadikan hujjah.
Kemudian, seandainya atsar tersebut shahih, maka harus diketahui bahwa di sana terdapat lafazh-lafazh yang bisa mengandung makna yang benar dan makna yang bathil serta ucapan yang samar atau tidak jelas maknanya dalam masalah-masalah agama, inilah yang diingkari dengan keras oleh para ulama, karena hukum asal dalam masalah-masalah agama adalah mengungkapkan dengan menggunakan lafazh-lafazh yang ditetapkan oleh syariat atau yang ada riwayatnya yang shahih. Dan di sana terdapat lafazh-lafazh dalam masalah akhlak, adab dan pergaulan diantara manusia yang tidak diwajibkan menggunakan lafazh-lafazh yang ditetapkan oleh syariat atau harus dengan riwayat, inilah yang harus didahulukan baik sangka padanya dan membawa ucapan pihak yang berbicara kepada makna terbaik, selama tidak nampak atau ada indikasi yang bertentangan dengannya, karena hukum asal dalam masalah ini adalah baik sangka.
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata di dalam Syifaul ‘Alil hal. 279 terbitan Daarut Turats, Kairo: “Pokok pangkal dari bala’ yang menimpa kebanyakan manusia muncul dari sisi lafazh-lafzah yang global yang mengandung makna yang benar dan yang bathil sekaligus. Orang yang memaksudkan lafazh-lafazh yang global tersebut dengan makna yang benar menyebutkan begitu saja secara mutlak tanpa penjelasan, sehingga ketika ada orang yang menilai itu sebagai kebathilan mengingkarinya, maka orang yang memaksudkannya dengan makna yang benar akan bisa membantahnya lagi (dengan mengatakan: maksudku bukan begitu –pent). Bab ini jika dicermati dengan seksama oleh orang yang cerdas dan teliti, dia akan melihat darinya hal-hal yang aneh, dan dia akan bisa menyelamatkan (membela –pent) mayoritas kelompok yang menyimpang dari posisi yang sulit (ketika tersudut –pent).”
Asy-Syaikh Rabi’ hafizhahullah telah membantah syubhat ini yang merupakan kaedah “Membawa Ucapan Manusia yang Sifatnya Global Kepada Makna Ucapannya yang Rinci” pada makalah di atas, silahkan merujuk ke sana.
Kalau ada yang membantah dengan mengatakan: “Itu bukan maksud saya, maksud saya begini, kamu yang suka berburuk sangka dan tidak bisa memahami ucapan orang.” Bahkan mungkin saja sampai ada yang membawakan syair berikut:
وَكَمْ مِنْ عَائِبٍ قَوْلاً صَحِيْحاً وَآفَتُهُ مِنْ الْفَهْمِ السَّقِيْمِ
Berapa banyak orang yang mencela ucapan yang benar
Padahal masalahnya karena pemahaman yang rusak
Padahal masalah sebenarnya adalah ucapannya yang memang membingungkan, menyesatkan dan bisa dimaksudkan sesuka hati si pembicara untuk membantah lawan lawan bicaranya. Jadi ucapan yang jelas yang mana?! Demikianlah diantara cara orang yang tidak punya hujjah untuk membantah orang lain cukup dengan menuduh tidak bisa memahami ucapan, padahal dia sendiri yang tidak bisa mengungkapkannya dengan tepat.
Asy-Syaikh Al-Albany rahimahullah membantah ucapan semacam ini di dalam kaset Fatawa Jiddah no 33 menit 37 detik 19 hingga menit 39 detik 22:
“Jangan sekali-kali engkau mengatakan ucapan yang dengannya engkau akan mencari-cari alasan untuk berkelit di hadapan manusia. Seringkali manusia mengatakan, ‘Demi Allah, saya tidak memaksudkan demikian.’ Ya akhi, maksudmu ada di dalam hatimu, tidak ada yang mengetahuinya kecuali Rabbmu. Tetapi engkau harus memilih ungkapan yang baik bagi maksudmu dengan lafazhmu!
Tidakkah engkau mendengar hadits tentang pengingkaran Ar-Rasul alahis salam yang sangat keras terhadap seorang shahabat yang mendengar nasehat Nabi shallallahu ‘alaihi was salam lalu dia bangkit untuk menunjukkan ketundukan, ittiba’ dan ketaatannya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi was salam dengan mengatakan, ‘Terserah apa yang dikehendaki oleh Allah dan apa yang Anda kehendaki wahai Rasulullah.’
Maka apakah sikap beliau alahis salam? Beliaupun bersabda:
أَجَعَلْتَنِي لله نِدًّا قُلْ مَا شَاءَ اللهُ وَحْدَهُ.
“Apakah engkau menjadikan diriku sebagai tandingan bagi Allah, katakanlah: Terserah apa yang dikehendaki oleh Allah saja?!” (Silsilah Ash-Shahihah no. 139)
Apakah kalian menganggap bahwa shahabat ini memaksudkan dengan ucapan yang dia sampaikan kepada Nabinya dengan mengatakan, ‘Terserah apa yang dikehendaki oleh Allah dan apa yang Anda kehendaki wahai Rasulullah.’ Yaitu ingin menjadikan beliau sebagai sekutu bagi Allah?
Rasulullah shallallahu ‘alaihi was salam tidak merasa aman dengan yakin kecuali beliau berusaha lari menghindari syirik. Jadi, kenapa Rasulullah shallallahu ‘alaihi was salam sangat keras di dalam mengingkari shahabat tersebut dengan ungkapan yang sangat keras ini, yaitu: “Apakah engkau menjadikan diriku sebagai tandingan bagi Allah, katakanlah: Terserah apa yang dikehendaki oleh Allah saja?!”
Jika demikian, tidak sepantasnya kalian membolehkan kesalahan-kesalahan lafazh dengan benarnya maksud hati kalian! Niat yang baik ini tidak membolehkan kesalahan-kesalahan lafazh. Jadi wajib atas kita jika kita berbicara hendaklah ucapan kita sesuai dengan maksud baik kita, dan jangan sampai ucapan kita buruk walaupun maksud kita baik. Bahkan wajib lafazh itu sesuai dengan yang ada di dalam hati!” –selesai perkataan Asy-Syaikh Al-Albany rahimahullah–
Link audio:
atau download di sini
Silakan simak lagi pembahsan selengkapnya pada makalah:
http://tukpencarialhaq.com/2012/11/24/mengingkari-kesalahan-walaupun/
Maka sekarang kita kembali mencermati ucapan di atas, yaitu: “Satu juta perbuatan baik hanya akan diingat dalam waktu lima menit saja, tetapi hanya satu saja berbuat buruk akan diingat selamanya. Itulah sifat buruk manusia.”
Kita tanya kepada yang mengatakannya:
1. Perbuatan buruk atau kesalahan apa yang engkau maksud, apakah syirik, bid’ah, dosa besar, dosa kecil, atau apa?
2. Apakah keburukan atau kesalahan itu dilakukan secara terang-terangan atau sembunyi-sembunyi?
3. Siapa yang dimaksud dengan orang yang melakukan “satu” kesalahan dan memiliki “sejuta” kebaikan? Apakah dia seorang Ahlus Sunnah ataukah ahli bid’ah?
4. Seandainya yang dimaksud dengan orang yang melakukan “satu” kesalahan dan memiliki “sejuta” kebaikan adalah seorang Ahlus Sunnah, apakah artinya tidak boleh membantah kesalahan tersebut semata-mata karena yang melakukannya adalah Ahlus Sunnah?!
5. Seandainya yang dimaksud dengan orang yang melakukan “satu” kesalahan dan memiliki “sejuta” kebaikan adalah seorang Ahlus Sunnah, siapakah yang melupakan “sejuta” kebaikan tersebut hanya karena “satu” kesalahan?! Ataukah itu hanya tuduhan ngawur dan tidak jelas atau tidak ada hakekatnya, atau memukul rata semua orang yang tentunya ini merupakan kezhaliman yang sangat besar?!
Semua perkara-perkara di atas harus diketahui dengan jelas sehingga bisa disikapi sesuai porsinya dan tidak bisa disamaratakan, karena memukul rata dan menyama ratakan semuanya merupakan kezhaliman.
Maka sekarang kita akan merinci satu persatu dari pertanyaan di atas agar jelas duduk perkaranya, sehingga tidak menyesatkan manusia:
Pertanyaan pertama: Perbuatan buruk atau kesalahan apa yang engkau maksud yang diingat selamanya (tidak dimaafkan) dan menyebabkan seseorang yang memiliki “sejuta” kebaikan itu hanya diingat selama lima menit itu, atau mungkin dengan kata lain dilupakan semuanya seakan-akan dia tidak memiliki kebaikan?!
Ucapanmu ini masih global, bisa bermakna benar dan bisa bermakna bathil, karena engkau tidak menjelaskan dan merincinya, sehingga ini adalah ucapan yang bisa menyesatkan.
Apakah kesalahan yang dimaksud hanyalah merupakan salah ucap, atau keceplosan, atau salah memilih kata atau salah ungkapan dan yang semisalnya, yang mana tidak seorang pun walaupun ulama bisa terhindar darinya, kecuali yang dirahmati oleh Allah?!
Apakah kesalahan tersebut adalah kesalahan yang sifatnya ijtihadiyah yang muncul dari seseorang yang memang telah berhak berijtihad, yang mana kesalahan semacam ini tidak boleh dicela pelakunya karena dia tidak berdosa, bahkan mendapatkan satu pahala?!
Ataukah kesalahan tersebut sifatnya penyimpangan manhaj dan bid’ah, yang mana tidak sepantasnya mendiamkannya, karena akan menyesatkan manusia dan pelakunya sendiri?!
Apakah keburukan yang engkau maksud adalah kesyirikan yang itu merupakan dosa terbesar yang kami yakin engkau telah mengetahuinya, bahkan mungkin selama ini dan hingga saat ini engkau termasuk orang-orang yang memperingatkan manusia darinya?!
Allah Ta’ala berfirman:
إِنَّ اللهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُوْنَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللهِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا بَعِيْدًا.
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa menyekutukan-Nya dan Dia mengampuni dosa yang tingkatannya di bawahnya bagi siapa yang Dia kehendaki, dan barangsiapa yang menyekutukan Allah maka sungguh dia telah tersesat dengan kesesatan yang jauh.” (QS. An-Nisa’: 116)
Allah juga berfirman:
وَلَقَدْ أُوْحِيَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُوْنَنَّ مِنَ الْخَاسِرِيْن.
“Dan sungguh telah diwahyukan kepadamu (wahai Rasulullah) dan kepada para nabi sebelummu: jika engkau melakukan kesyrikan, pasti amalmu gugur dan engkau benar-benar termasuk orang-orang yang merugi.” (QS. Az-Zumar: 65)
Dari ayat di atas telah jelas –apalagi bagi seorang dai– bahwa satu perbuatan saja yaitu kesyirikan menghapus semua kebaikan betapapun banyaknya, walaupun sendainya yang melakukannya adalah para nabi.
Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’dy rahimahullah menjelaskan ayat di atas: “Ini (amal) adalah kata benda bentuk tunggal yang disandarkan kepada kata lain (amalmu –pent) yang mengandung makna yang mencakup semua amal. Jadi pada kenabian semua nabi kesyirikan itu menggugurkan semua amal, sebagaimana yang Allah firmankan di dalam surat Al-An’am ketika Allah menyebutkan sekian banyak nabi dan rasul-Nya, Dia berfirman tentang mereka:
ذَلِكَ هُدَى اللهِ يَهْدِي بِهِ مَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ وَلَوْ أَشْرَكُوا لَحَبِطَ عَنْهُمْ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Itu adalah petunjuk Allah yang dengannya Dia memberikan petunjuk kepada siapa saja yang Dia kehendaki dari hamba-hamba-Nya, dan seandainya mereka melakukan kesyirikan niscaya gugurlah semua yang mereka amalkan.” (QS. Al-An’am: 88) –selesai perkataan As-Sa’dy rahimahullah–
Bukankah dengan ucapan yang global semacam ini orang-orang musyrik bisa menyerang ahli tauhid dengan mengatakan: “Kenapa kalian mengkafirkan kami, padahal kami bersyahadat, mengerjakan shalat, membayar zakat, berpuasa dan berhaji?! Atau dengan ucapan yang semakna.
Kemudian, kalau perbuatan buruk atau kesalahan yang engkau maksud yang diingat selamanya (tidak dimaafkan) dan menyebabkan seseorang yang memiliki “sejuta” kebaikan itu hanya diingat lima menit atau dengan kata lain dilupakan semuanya seakan-akan dia tidak memiliki kebaikan itu bukan perbuatan syirik, apakah perbuatan tersebut adalah bid’ah?!
Rasulullah shallallahu ‘‘alaihi wa sallam bersabda tentang besarnya bahaya bid’ah:
كُلُ بِدْعَةٍ ضَلالَةٍ.
“Setiap bid’ah adalah sesat.”
(HR. Muslim (867) dan Ahmad (3/311 hadits ke 13924) dari hadits Jabir radhiyallahu ‘anhu, dan diriwayatkan oleh Abu Dawud (4607), At-Tirmidzy (2676), Ibnu Majah (43 dan 44), Ahmad (4/126 hadits ke 16692) dan selainnya dari hadits Al-‘Irbadh bin Sariyah radhiyallahu ‘anhu, dan hadits ini dihasankan oleh Asy-Syaikh Muqbil rahimahullah di dalam Ash-Shahih Al-Musnad Mimma Laisa fi Ash-Shahihain (921) dan di dalam Al-Jami’ Ash-Shahih Mimma Laisa fi Ash-Shahihain (3/490 dan 5/24-25) dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albany rahimahullah di dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah no. 937)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi was sallam juga bersabda:
إِنَّ اللهَ حَجَبَ التَّوْبَةَ عَنْ كُلِّ صَاحِبِ بِدْعَةٍ حَتَّى يَدَعَ بِدْعَتَهُ.
“Sesungguhnya Allah menghalangi taubat dari semua pelaku bid’ah sampai dia meninggalkan bid’ahnya.”
(Shahih At-Targhib wa At-Tarhib Al-Mundziry (55) karya Asy-Syaikh Al-Albany dan lihat pula Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah no. 1620)
Di dalam riwayat Al-Bukhary (3610) dan Muslim (1064), dan ini adalah lafazh Al-Bukhary, Rasulullah shallallahu ‘‘alaihi wa sallam bersabda tentang Khawarij:
يَحْقِرُ أَحَدُكُمْ صَلاتَهُ مَعَ صَلاَتِهِمْ وَصِيَامَهُ مَعَ صِيَامِهِمْ يَقْرَءُوْنَ القُرْآنَ لاَ يُجَاوِزُ تَرَاقِيَهُم يَمْرُقُوْنَ مِنْ الدِّيْنِ كَمَا يَمْرُقُ السَّهْمُ مِنْ الرَّمِيَّةِ.
“Salah seorang dari kalian akan menganggap remeh shalatnya jika dibandingkan dengan shalat mereka dan puasanya dibandingkan dengan puasa mereka, mereka banyak membaca Al-Qur’an namun tidak tidak melewati tenggorokan mereka, mereka keluar dari agama sebagaimana keluarnya anak panah dari sasarannya.”
Di dalam riwayat Ibnu Majah (173) dengan penomoran Asy-Syaikh Al-Albany dan beliau menshahihkannya dan Ahmad (4/355) sebagaimana disebutkan di dalam Kilabun Naar karya Asy-Syaikh Jamal bin Furaihan hal. 71, dan At-Tirmidzy sebagaimana disebutkan di dalam Al-Jami’ Ash-Shahih Mimma Laisa fi Ash-Shahihain (3/480-481) dan Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi rahimahullah menghasankannya, Rasulullah shallallahu ‘‘alaihi wa sallam menyifati Khawarij:
إِنَهُمْ كِلابُ النَّارِ.
“Sesungguhnya mereka adalah anjing-anjing neraka.”
Dalam dua hadits di atas Rasulullah shallallahu ‘alaihi was sallam menjelaskan betapa bahaya bid’ah Khawarij, walaupun mereka banyak beramal saleh hingga para shahabat saja merasa amalan mereka tidak ada apa-apanya dibandingkan mereka, namun semua itu tidak bisa menyelamatkan mereka dari neraka, bahkan mereka disifati dengan sifat yang sangat buruk, yaitu sebagai anjing-anjing neraka, walaupun mereka tidak kekal di dalamnya jika masih memiliki iman.
Apakah orang-orang Khawarij yang memiliki keyakinan bid’ah tersebut mereka tidak memiliki kebaikan?! Apakah Allah melupakan “jutaan” kebaikan mereka hanya karena “satu” kesalahan saja?!
Di dalam riwayat Muslim (1) Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata tentang orang-orang Qadariyah yang mengingkari takdir:
«فَإِذَا لَقِيتَ أُولَئِكَ فَأَخْبِرْهُمْ أَنِّي بَرِيءٌ مِنْهُمْ وَأَنَّهُمْ بُرَآءُ مِنِّي، وَالَّذِي يَحْلِفُ بِهِ عَبْدُ اللهِ بْنُ عُمَرَ: لَوْ أَنَّ لِأَحَدِهِمْ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا، فَأَنْفَقَهُ مَا قَبِلَ اللهُ مِنْهُ حَتَّى يُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ»
“Jika engkau menjumpai mereka maka kabarkanlah kepada mereka bahwa aku berlepas diri dari mereka dan mereka pun berlepas diri dariku, dan demi Yang dengan-Nya Abdullah bin Umar bersumpah, seandainya salah seorang dari mereka memiliki emas sebesar gunung Uhud lalu dia menginfakkannya, Allah tidak akan menerimanya hingga dia beriman terhadap takdir.”
Apakah orang-orang yang mengingkari takdir tidak memiliki kebaikan?! Apakah Allah melupakan “jutaan” kebaikan mereka hanya karena “satu” kesalahan saja?!
Kemudian, kalau perbuatan buruk atau kesalahan yang engkau maksud yang diingat selamanya (tidak dimaafkan) dan menyebabkan seseorang yang memiliki “sejuta” kebaikan itu hanya diingat lima menit atau dengan kata lain dilupakan semuanya seakan-akan dia tidak memiliki kebaikan itu bukan perbuatan syirik dan bukan pula bid’ah, apakah yang dimaksud adalah yang dosanya di bawah syirik dan bid’ah?! Misalnya seperti yang disebutkan di dalam riwayat Al-Bukhary (6113) bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi was sallam bersabda:
إِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مِنْ رِضْوَانِ اللهِ، لاَ يُلْقِيْ لَهَا بَالاً؛ يَرْفَعُ اللهُ بِهَا دَرَجَاتٍ، وَإِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مِنْ سَخَطِ اللهِ، لاَ يُلْقِيْ لَهَا بَالاً؛ يَهْوِيْ بِهَا فِيْ جَهَنَّمَ.
“Sesungguhnya seorang hamba benar-benar ada yang mengucapkan satu perkataan yang diridhai Allah, sedangkan dia tidak memperhatikannya, padahal dengan sebab itu Allah meninggikannya beberapa derajat. Dan sesungguhnya seorang hamba benar-benar ada yang mengucapkan satu perkataan yang dimurkai Allah, sedangkan dia tidak memperhatikannya, padahal dengan sebab itu dia terjatuh ke dalam neraka Jahannam.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi was sallam juga bersabda sebagaimana disebutkan dalam riwayat Muslim (2621):
أَنَّ رَجُلًا قَالَ: وَاللهِ لَا يَغْفِرُ اللهُ لِفُلَانٍ، وَإِنَّ اللهَ تَعَالَى قَالَ: مَنْ ذَا الَّذِي يَتَأَلَّى عَلَيَّ أَنْ لَا أَغْفِرَ لِفُلَانٍ، فَإِنِّي قَدْ غَفَرْتُ لِفُلَانٍ، وَأَحْبَطْتُ عَمَلَكَ.
“Sesungguhnya ada seseorang yang mengatakan: ‘Demi Allah, Allah tidak akan mengampuni si fulan.’ Maka Allah berfirman: ‘Siapa yang lancang terhadap-Ku dengan menyatakan bahwa Aku tidak akan mengampuni si fulan, sungguh aku telah mengampuni si fulan dan aku telah menghapus amalmu.”
Asy-Syaikh Al-Albany rahimahullah berkata ketika menjelaskan hadits ini di dalam syarh hadist no. 1685 dari Silsilah Ash-Shahihah: “Padanya terdapat dalil yang jelas yang menunjukkan bahwa sikap lancang terhadap Allah bisa menggugurkan amal seperti perbuatan kekafiran…”
Kemudian, disebutkan dalam riwayat Al-Bukhary (3318) dan Muslim (2242) dari Ibnu Umar bahwa Nabi Shallallaahu ‘‘alaihi wa Sallam bersabda:
«دَخَلَتِ امْرَأَةٌ النَّارَ فِي هِرَّةٍ رَبَطَتْهَا، فَلَمْ تُطْعِمْهَا وَلَمْ تَدَعْهَا تَأْكُلُ مِنْ خَشَاشِ الأَرْضِ»
“Seorang perempuan masuk neraka karena seekor kucing yang dia kurung hingga mati, dia tidak memberinya makan dan tidak melepaskannya agar dia bisa makan binatang serangga.”
Dari beberapa hadits di atas kita mengetahui bahwa ada dosa di bawah syirik dan bid’ah yang ternyata terkadang membinasakan banyak manusia yang meremehkan dosa tersebut, apakah itu artinya pelakunya tidak memiliki kebaikan?! Apakah Allah melupakan “jutaan” kebaikannya hanya karena “satu” kesalahan saja?!
Kaedah Muwazanah Yang Batil Lagi Sesat
Sungguh, ucapan yang global semacam ini bisa menyeret kepada kaedah jahat yaitu “muwazanah” yang maksudnya adalah ketika menyebutkan kejelekan seseorang maka wajib juga untuk menyebutkan kebaikannya. Kaedah busuk ini telah dibantah oleh Asy-Syaikh Rabi’ di dalam kitab beliau “Manhaj Ahlis Sunnah Fii Naqdir Rijal wal Kutub wat Thawaif” di mana beliau juga menukilkan perkataan para ulama yang menyatakan bathilnya kaedah ini, seperti Asy-Syaikh Ibnu Baz dan Asy-Syaikh Al-Albany rahimahumullah jami’an. Kaedah ini hakekatnya digunakan untuk melindungi dan membela orang-orang yang salah, khususnya hizbiyun ketika mereka tidak mampu menghadapi Ahlus Sunnah yang membantah kesalahan mereka.
Pertanyaan Kedua: Apakah keburukan atau kesalahan itu dilakukan secara terang-terangan atau sembunyi-sembunyi?
Di dalam riwayat Al-Bukhary (6069) dan Muslim (2990) dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi was sallam bersabda:
كُلُّ أُمَّتِيْ مُعَافًى إِلاَّ الْمُجَاهِرِيْنَ.
“Setiap umatku dimaafkan kesalahannya, kecuali orang-orang yang terang-terangan melakukan dosa.”
Asy-Syaikh Al-Utsaimin rahimahullah menyebutkan diantara akibat buruk melakukan dosa atau kesalahan secara terang-terangan ketika menjelaskan hadits di atas di Syarh Riyadhus Shalihin: “Adapun yang akan mengakibatkan orang lain ikut melakukannya karena sesungguhnya jika manusia melihatnya melakukan sebuah kemaksiatan, maka kemaksiatan tersebut akan mereka remehkan dan mereka pun ikut mengerjakannya seperti dia, dan – kita berlindung kepada Allah – dia bisa menjadi termasuk para pemimpin yang mengajak ke neraka, sebagaimana Allah Ta’ala berfirman menceritakan Fir’aun dan para pembesarnya:
وَجَعَلْنَاهُمْ أَئِمَّةً يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ لا يُنْصَرُونَ
“Dan Kami jadikan mereka sebagai pemimpin-pemimpin yang mengajak ke neraka, dan pada hari kiamat nanti mereka tidak akan ditolong.” (QS. Al-Qashash: 41) –selesai nukilan–
Jadi mengingkari kesalahan yang terang-terangan –terlebih jika yang melakukannya adalah orang yang dianggap berilmu– hakekatnya adalah demi kebaikan orang yang melakukan kesalahan tersebut, agar tidak ada yang meniru kesalahannya, karena semakin banyak yang mengikutinya akan semakin besar dosanya sehingga akan semakin keras adzabnya di akherat.
Ketika Asy-Syaikh Abdullah Al-Bukhary hafizhahullah ditanya: Sebagian orang ada yang mengatakan: Jika salah seorang dari Ahlus Sunnah melakukan kesalahan, padahal dia seorang yang memiliki jasa di dalam menyebarkan As-Sunnah dan mendakwahkan agama Allah, maka dia tidak boleh dibantah secara terang-terangan dan tidak boleh ditahdzir karena hal ini akan mencerai-berai dan memecah-belah persatuan salafiyyun, bagaimana menjawabnya?
Diantaranya jawaban beliau adalah: “Sebuah kesalahan jika telah menyebar luas dan nampak jelas, sama saja menyebarnya kesalahan ini melalui kaset, atau kitab, atau makalah atau selainnya dan nampak jelas bahwa itu merupakan kesalahan, maka wajib membantahnya dalam rangka menjaga syariat. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi was salam bersabda sebagaimana disebutkan di dalam kitab Shahih dari riwayat Abu Sa’id:
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَراً فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَلَيْسَ وَرَاءَ ذَلِكَ مِنَ اْلإِيْمَانِ حَبَّةَ خَرْدَلٍ.
“Siapa saja diantara kalian yang melihat kemungkaran maka hendaklah dia mengubahnya dengan tangannya, jika dia tidak mampu maka dengan lisannya, dan jika dia tidak mampu maka dengan hatinya, dan setelah itu tidak ada lagi iman yang tersisa walaupun seberat biji khardzal.”
Jadi wajib membantah kesalahan dan menjelaskan kebenaran kepada manusia, karena ini merupakan kewajiban syar’i yang hukumnya fardhu kifayah. Membantah kesalahan hukumnya wajib.”
Beliau juga berkata: “Di dalam perkataan si penanya ini bahwasanya tidak boleh membantah secara terang-terangan dan tidak boleh mentahdzirnya karena hal ini akan mencerai-berai dan memecah-belah persatuan, (dibantah): bukankah terus-menerus dalam kesalahan dan mendiamkan kesalahan tersebut merupakan sikap membenarkan kesalahan dan akan mengulang kesalahan serupa serta akan menghancurkan barisan salafiyun dari dalam karena mendiamkan kebatilan, sehingga kebatilan ini akan nampak dalam bentuk kebenaran di pandangan manusia sehingga diyakini oleh manusia atau dikatakan oleh manusia atau dianggap sebagai agama Allah. Ini lebih besar lagi kejahatannya. Dan tidak boleh bagimu untuk mengatakan ucapan ini, dan tidak akan mengatakan ucapan seperti ini orang yang mengetahui jalan yang telah ditempuh oleh para salaf ketika membantah orang yang salah. Terlebih lagi jika kesalahan itu telah tersebar luas ke mana-mana. Beda jika kesalahan itu terbatas, tidak tersebar, tidak meluas, tidak terang-terangan, tidak diketahui oleh manusia, tidak ada seorang pun yang mendengarnya, tidak ada seorang pun yang membacanya, tidak ditulis kepada seorang pun, dan tidak sampai kepada seorang pun. Tetapi engkau sendirian yang mengetahui kesalahan itu yang dia ucapkan kepadamu, maka nasehatilah dia dengan baik dan jangan mencelanya, jika dia orang yang sifatnya seperti dalam pertanyaan, yaitu orang yang di atas As-Sunnah dan suka menyebarkannya. Dia jelaskan kepadanya dan dia nasehati. Tetapi juga yang harus diketahui jika dia orang yang di atas As-Sunnah dan suka menyebarkan As-Sunnah, namun kesalahannya terang-terangan maka wajib untuk membantah kesalahannya dan kesalahan ini tidak boleh disetujui.”
Pertanyaan Ketiga: Siapa yang dimaksud dengan orang yang melakukan “satu” kesalahan dan memiliki “sejuta” kebaikan? Apakah dia seorang Ahlus Sunnah ataukah ahli bid’ah?
Apakah yang dimaksud dengan orang yang melakukan “satu” kesalahan dan memiliki “sejuta” kebaikan adalah hizbiyun dan ahli bid’ah yang telah divonis dan ditahdzir oleh para ulama, semacam Sayyid Quthub, Hasan Al-Banna Abdurrahman Abdul Khaliq, Yusuf Al-Qaradhawy, Muhammad Surur, Usamah bin Laden, Al-Ma’riby dan Al-Halaby?!
Apakah yang dimaksud dengan orang yang melakukan “satu” kesalahan dan memiliki “sejuta” kebaikan adalah orang yang mengaku di atas manhaj salaf tetapi suka membuat atau mengambil kaedah-kaedah baru dari hizbiyun untuk melindungi orang-orang yang sesat atau melindungi teman-temannya yang salah dalam akidah atau manhaj, atau dalam urusan dunia maupun akhlak?!
Apakah yang dimaksud dengan orang yang melakukan “satu” kesalahan dan memiliki “sejuta” kebaikan adalah orang yang mengaku di atas manhaj salaf, tapi dia mengambil uang riba dengan meminjam di bank dengan dalih untuk mengembangkan sekolah “salafy” atau alasan yang lainnya?!
Apakah yang dimaksud dengan orang yang melakukan “satu” kesalahan dan memiliki “sejuta” kebaikan adalah orang yang lancang menyerang, menyalahkan dan menyesatkan ulama, memalingkan ucapannya kepada makna yang rusak lagi busuk yang menentangi pemahaman salafush shalih dengan berkedok di balik bendera “bawalah perkataan saudaramu kepada makna yang benar” tanpa ilmu dan tanpa rasa takut serta tidak punya malu kepada Allah kemudian kepada hamba-hamba-Nya?!
Ucapan yang global ini bisa digunakan oleh hizbiyun dan setiap kelompok sesat lagi menyimpang untuk membela tokoh-tokoh mereka yang sesat itu dengan kaedah muwazanah tadi.
Pertanyaan Keempat: Seandainya yang dimaksud dengan orang yang melakukan “satu” kesalahan dan memiliki “sejuta” kebaikan tersebut adalah Ahlus Sunnah, apakah artinya tidak boleh membantah kesalahan tersebut semata-mata karena yang melakukannya adalah Ahlus Sunnah?!
Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan sifat-sifat para wali-Nya yang diantaranya adalah menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar:
وَلَيَنْصُرَنَّ اللهُ مَنْ يَنْصُرُهُ إِنَّ اللهَ لَقَوِيٌّ عَزِيْزٌ الَّذِيْنَ إِنْ مَكَّنَّاهُمْ فِيْ الأَرْضِ أَقَامُوْا الصَّلاةَ وَآتَوُا الزَّكَاةَ وَأَمَرُوْا بِالْمَعْرُوْفِ وَنَهَوْا عَنِ الْمُنْكَرِ وَلِلَّهِ عَاقِبَةُ الأُمُوْرِ.
“Dan sesungguhnya Allah pasti menolong siapa saja yang menolong (agama)-Nya, sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa. Yaitu orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi, mereka mendirikan shalat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat yang ma`ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar, dan kepada Allah-lah kembalinya segala urusan.” (QS. Al-Hajj: 41-42)
Sebaliknya, mendiamkan kemungkaran adalah sifat orang-orang kafir dari Bani Israil yang dilaknat Allah sebagaimana firman-Nya:
لُعِنَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ بَنِي إِسْرَائِيلَ عَلَى لِسَانِ دَاوُودَ وَعِيسَى ابْنِ مَرْيَمَ ذَلِكَ بِمَا عَصَوْا وَكَانُوا يَعْتَدُونَ. كَانُوا لَا يَتَنَاهَوْنَ عَنْ مُنْكَرٍ فَعَلُوهُ لَبِئْسَ مَا كَانُوا يَفْعَلُوْنَ.
“Telah dilaknat orang-orang kafir dari Bani Israil melalui lisan Dawud dan Isa bin Maryam, hal itu karena mereka durhaka dan melampaui batas. Mereka tidak saling mencegah kemungkaran yang mereka kerjakan, amat buruklah apa yang mereka kerjakan.” (QS. Al-Maidah: 78-79)
Allah Ta’ala juga berfirman:
وَاتَّقُوا فِتْنَةً لَا تُصِيبَنَّ الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنْكُمْ خَاصَّةً وَاعْلَمُوا أَنَّ اللهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ.
“Dan takutlah terhadap adzab yang tidak menimpa hanya kepada orang-orang yang zhalim saja diantara kalian, dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.” (QS. Al-Anfal: 25)
Ketika menjelaskan ayat di atas, Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’dy rahimahullah berkata: “Bahkan adzab itu akan menimpa pelaku kezhaliman dan juga orang lain, hal itu terjadi jika kezhaliman nampak terang-terangan dan tidak diubah (tidak dicegah), maka ketika itu hukumannya akan menimpa pelaku dan juga orang lain. Hukuman ini akan bisa dihindari dengan cara nahi mungkar dan menghentikan orang-orang yang suka melakukan kejahatan dan kerusakan, serta tidak membiarkan mereka melakukan kemaksiatan dan kezhaliman sebisa mungkin.”
Hal ini diperjelas dalam riwayat At-Tirmidzy (2168) dan dinilai shahih oleh Asy-Syaikh Al-Albany rahimahullah, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi was sallam bersabda:
«إِنَّ النَّاسَ إِذَا رَأَوْا الظَّالِمَ فَلَمْ يَأْخُذُوْا عَلَى يَدَيْهِ أَوْشَكَ أَنْ يَعُمَّهُمُ اللهُ بِعِقَابٍ مِنْهُ»
“Sesungguhnya jika manusia melihat orang yang berbuat zhalim namun mereka tidak mencegahnya, maka tidak lama lagi Allah akan meratakan hukuman-Nya kepada mereka.”
Setelah kita mengetahui tentang wajibnya mengingkari kemungkaran sesuai kemampuan, maka berikut ini kita bawakan sebagian riwayat-riwayat yang menunjukkan pengingkaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi was sallam kepada sebagian shahabat beliau radhiyallahu ‘anhum yang tidak diragukan lagi mereka adalah manusia-manusia terbaik setelah para rasul dan nabi, yang tentunya mereka memiliki kebaikan yang banyak yang hanya Allah saja yang mengetahuinya dan kita tidak membatasinya dengan angka “sejuta” saja.
Sebelumnya perlu diketahui dan dipahami bahwa mengingkari kemungkaran seseorang tidak mesti maknanya selalu mentahdzir orang yang melakukannya, tetapi yang ditahdzir adalah perbutannya agar orang lain tidak mencontoh kesalahan tersebut, walaupun terkadang juga mentahdzir orangnya sekaligus, sebagaimana hal ini akan nampak dari riwayat-riwayat berikut.
Disebutkan di dalam riwayat Muslim (2504) dan Ahmad (20177) dari hadits ‘Aidz bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya ketika beberapa orang fakir dari Muhajirin dan Anshar salah seorang dari mereka ada yang mengatakan: “Pedang-pedang Allah belum menghukum Abu Sufyan sebagaimana mestinya.” Abu Bakar berkata: “Alangkah buruknya apa yang kalian katakan, kalian mengatakannya terhadap seorang pemimpin Quraisy.” Ketika Rasulullah shallallahu ‘‘alaihi wa sallam diberi tahu hal tersebut, maka beliau berkata kepada Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu yang merupakan manusia terbaik di ummat ini setelah beliau:
يَا أَبَا بَكْرٍ لَعَلَّكَ أَغْضَبْتَهُمْ لَئِنْ كُنْتَ أَغْضَبْتَهُمْ لَقَدْ أَغْضَبْتَ رَبَّكَ.
“Wahai Abu Bakr, barangkali engkau telah membuat marah mereka, jika engkau telah membuat mereka marah maka sesungguhnya engkau telah membuat murka Rabbmu.”
Maka Abu Bakar kembali kepada mereka dan berkata: “Wahai saudara-saudaraku, apakah saya telah membuat kalian marah?” Mereka menjawab: “Tidak, semoga Allah mengampuni Anda.”
Di dalam riwayat Ahmad dan Al-Baihaqy dan dinilai hasan oleh Al-Albany dalam Irwaul Ghalil (1589) diceritakan oleh Jabir bahwa Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi was sallam: “Sesungguhnya kami mendengar perkataan-perkataan dari orang-orang Yahudi yang membuat kami kagum, apakah boleh bagi kami untuk menulis sebagiannya.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi was sallam mengingkari Umar yang merupakan manusia terbaik di ummat ini setelah beliau shallallahu ‘alaihi was sallam dan Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu, dengan pengingkaran yang keras dengan mengatakan:
«أَمُتَهَوِّكُونَ أَنْتُمْ كَمَا تَهَوَّكَتِ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى؟ لَقَدْ جِئْتُكُمْ بِهَا بَيْضَاءَ نَقِيَّةً وَلَوْ كَانَ مُوسَى حَيًّا مَا وَسِعَهُ إِلَّا اتِّبَاعِي»
“Apakah kalian bingung seperti bingungnya Yahudi dan Nashara?! Sungguh aku telah datang kepada kalian dengan membawa sesuatu yang putih dan jernih, seandainya Musa masih hidup tidak ada pilihan lain baginya selain mengikutiku.”
Kemudian, siapa yang tidak mengetahui kedudukan Ummul Mu’minin Aisyah di hati Rasulullah shallallahu ‘alaihi was sallam, walaupun demikian ketika rasa cemburu mendorongnya untuk menyindir pendeknya tubuh Ummul Mu’minin Shafiyyah radhiyallahu anha dengan mengatakan: “Cukuplah Shafiyyah bagi Anda dengan dia itu begini dan begitu.” Maka Rasulullah mengingkarinya dengan pengingkaran yang sangat keras dengan bersabda:
لَقَدْ قُلْتِ كَلِمَةً لَوْ مُزِجَتْ بِمَاءِ الْبَحْرِ لَمَزَجَتْهُ.
“Sungguh engkau telah mengatakan sebuah kalimat yang seandainya dicampur dengan air laut niscaya dia akan mencemarinya.” (Shahih Sunan Abu Dawud no. 4080)
Jadi Rasulullah shallallahu ‘alaihi was sallam tidak diam melihat kesalahan, walaupun yang melakukannya adalah istri yang paling beliau cintai. Barangsiapa yang memperhatikan perkataan beliau di atas, akan nampak baginya bahwa kelembutan beliau shallallahu ‘alaihi was sallam yang sangat terkenal itu tidaklah menghalangi untuk bersikap keras jika kemungkaran tersebut adalah perkara yang berbahaya, semua itu sebagai bentuk kewajiban menjaga batasan-batasan Allah dengan cara amar ma’ruf nahi mungkar, juga hakekatnya merupakan kasih sayang bagi pihak yang dizhalimi, bahkan bagi pihak yang berbuat zhalim agar dia mengetahui bahwa itu adalah kesalahan lalu bertaubat sehingga dia akan selamat dari adzab Allah.
Di dalam Al-Bukhary (3518) dan Muslim (2584) diceritakan Rasulullah shallallahu ‘‘alaihi wa sallam mengingkari sebagian shahabat yang berselisih hingga muncul fanatisme yang tercela, beliau bersabda:
مَا بَالُ دَعْوَى الْجَاهِلِيَّةِ وَأَنَا بَيْنَ أَظْهُرِكُمْ دَعُوْهَا فَإِنَّهَا مُنْتِنَةٌ.
“Apakah kalian masih memanggil dengan panggilan jahiliyyah, sementara aku masih ada di tengah-tengah kalian, tinggalkan hal itu karena sesungguhnya dia adalah sesuatu yang sangat buruk!”
Disebutkan dalam riwayat Al-Bukhary (705) dan Muslim (465) bahwasanya Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu mengimami shalat terlalu lama, lalu seseorang datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi was sallam untuk mengadukan hal tersebut, maka beliau berkata kepada Mu’adz:
يَا مُعَاذُ أَفَتَّانٌ أَنْتَ؟
“Wahai Mu’adz, apakah engkau menjadi juru fitnah?!”
Jadi yang tepat bagi sesorang yang menjadi imam shalat adalah seperti yang dijelaskan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi was sallam sebagaimana disebutkan dalam riwayat Al-Bukhary (703):
إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ لِلنَّاسِ فَلْيُخَفِّفْ فَإِنَّ مِنْهُمْ الضَّعِيْفَ وَالسَّقِيْمَ وَالْكَبِيْرَ وَإِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ لِنَفْسِهِ فَلْيُطَوِّلْ مَا شَاءَ.
“Jika salah seorang dari kalian mengimami manusia maka hendaklah dia meringankannya, karena diantara mereka ada orang yang lemah, orang yang sakit, orang yang sudah tua dan orang yang memiliki keperluan, namun jika dia shalat sendirian silahkan dia memanjangkan sesuai yang dia kehendaki.”
Kemudian, disebutkan di dalam Al-Bukhary (6050) dan Muslim (1661) bahwasanya ketika Abu Dzar Jundub bin Junadah Al-Ghifary mencela salah seorang shahabat karena ibunya bukan orang Arab, ketika itu antara shahabat tersebut ada permasalahan dengan Abu Dzar radhiyallahu ‘anhum ajma’in, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Abu Dzar:
إِنَّكَ امْرُؤٌ فِيْكَ جَاهِلِيَّةٌ.
“Sesungguhnya engkau adalah seseorang yang pada dirimu masih terdapat sisa-sisa sifat jahiliyyah.”
Berikutnya, disebutkan dalam riwayat Al-Bukhary (713) dan Muslim (418) bahwasanya ketika sebagian istri-istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi was sallam tidak segera mengerjakan perintah beliau agar menyuruh Abu Bakr menjadi imam shalat ketika beliau sakit, maka beliau bersabda:
إِنَّكُنَّ لَأَنْتُنَّ صَوَاحِبُ يُوْسُفَ.
“Sesungguhnya kalian benar-benar seperti wanita-wanita yang menggoda Yusuf.”
Bukankah ini perkataan yang sangat keras dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi was sallam??!
Maka mana orang-orang yang menuduh Ahlus Sunnah adalah orang-orang yang keras dan tidak hikmah?! Bukankah pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi was sallam terdapat teladan yang baik bagi siapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Allah dan hari akhir serta dia adalah orang yang banyak mengingat Allah?!
Diceritakan dalam riwayat Al-Bukhary (5758 dan 6910) dan Muslim (1681) bahwasanya ketika Rasulullah shallallahu ‘‘alaihi wa sallam memutuskan kasus seorang wanita yang memukul wanita lain hingga menggugurkan janinnya, bahwasanya wanita tersebut harus membayar diyat untuk janin yang meninggal itu berupa seorang budak laki-laki atau perempuan. Maka datanglah Hamal bin Malik bin An-Nabighah Al-Hudzaly, orang tua dari wanita yang menggugurkan janin tersebut dan dia berkata: “Bagaimana kami harus membayar diyat janin yang belum minum, belum makan, belum bisa bicara dan tidak menangis sewaktu lahir?” Mendengar ucapannya yang bersajak untuk menolak hukum yang Allah tetapkan tersebut maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi was sallam bersabda:
إِنَّمَا هَذَا مِنْ إِخْوَانِ الْكُهَّانِ.
“Sesungguhnya ini hanyalah merupakan ucapan teman para dukun.”
Selanjutnya, diceritakan di dalam riwayat Al-Bukhary (3475) dan Muslim (1688) bahwasanya ketika ada seorang wanita dari Bani Makhzum mencuri dan dia termasuk keturunan bangsawan Quraisy, awalnya dia meminjam barang-barang kepada wanita lain lalu dia tidak mau mengembalikannya. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi was sallam ingin memotong tangannya maka hal itu dirasakan berat oleh Quraisy dan mereka mengatakan: “Tidak ada yang berani memintakan ampunan kepada Rasulullah untuk dia kecuali orang yang beliau cintai dan anak dari orang yang beliau cintai, yaitu Usamah bin Zaid –radhiyallahu ‘anhuma– Usamah pun melakukannya, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi was sallam mengingkarinya dengan keras:
أَتَشْفَعُ فِيْ حَدٍّ مِنْ حُدُوْدِ الله وَاللهِ لَوْ أَنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ مُحَمَّدٍ سَرَقَتْ لَقَطَعْتُ يَدَهَا.
“Apakah engkau memintakan ampunan pada penegakan salah satu dari hukum had yang Allah wajibkan, demi Allah seandainya Fathimah bintu Muhammad mencuri, niscaya aku potong tangannya.”
Asy-Syaikh Al-Albany rahimahullah membawakan sebuah hadits dalam riwayat Ahmad di dalam Shahih Sunan Abu Dawud (7/337) dan beliau menilainya shahih, di dalam diceritakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi was sallam melihat beberapa orang yang menenteng pedang tanpa memasukkannya ke dalam sarungnya, maka beliau bersabda:
لَعَنَ اللهُ مَنْ يَفْعَلُ ذَلِكَ، أَوَ لَمْ أَزْجُرْكُمْ عَنْ هَذَا؟ فَإِذَا سَلَلْتُمُ السَّيْفَ، فَلْيَغْمِدْهُ الرَّجُلُ، ثُمَّ لِيُعْطِهِ كَذَلِك.
“Allah melaknat orang yang melakukan hal ini, bukankah aku telah melarang kalian dari hal ini?! Jika kalian menyerahkan pedang kepada orang lain maka hendaklah dia menyarungkannya terlebih dahulu, lalu memberikannya dalam keadaan seperti itu.”
Disebutkan dalam riwayat Al-Bukhary (6636) dan Muslim (1832) bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi was sallam menugaskan seorang shahabat yang bernama Ibnu Luthbiyyah untuk mengumpulkan zakat. Ketika dia datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi was sallam dengan membawa harta zakat, dia mengatakan: “Wahai Rasulullah, ini untuk Anda dan ini dihadiahkan kepada saya.” Maka beliau marah dan bersabda:
«أَفَلاَ قَعَدْتَ فِي بَيْتِ أَبِيْكَ وَأُمِّكَ، فَنَظَرْتَ أَيُهْدَى لَكَ أَمْ لاَ؟»
“Kenapa engkau tidak duduk saja di rumah ayah dan ibumu, lalu engkau lihat apakah ada hadiah yang akan diberikan kepadamu ataukah tidak?!”
Diceritakan di dalam Shahih Muslim (1692) bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi was sallam bersabda:
«أَلَا كُلَّمَا نَفَرْنَا غَازِيْنَ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ، خَلَفَ أَحَدُهُمْ لَهُ نَبِيْبٌ كَنَبِيْبِ التَّيْسِ، يَمْنَحُ أَحَدُهُمُ الْكُثْبَةَ، أَمَا وَاللهِ إِنْ يُمْكِنِّي مِنْ أَحَدِهِمْ لَأُنَكِّلَنَّهُ عَنْهُ»
“Ketahuilah, setiap kali kita pergi berperang di jalan Allah, salah seorang yang ditugasi untuk mengurusi keluarga yang ditinggal ada yang merayunya seperti kambing yang hendak kawin dan memberinya sesuatu. Demi Allah, seandainya aku mengetahui salah seorang dari mereka ada yang melakukannya, niscaya aku akan menghukumnya agar menjadi pelajaran bagi orang lain.”
Dari beberapa riwayat di atas ini nampak bagi kita bahwa jika sebuah kesalahan dilakukan oleh Ahlus Sunnah, tidak berarti dilarang mengingkari kemungkaran tersebut, dan ketika seorang Ahlus Sunnah melakukan sebuah kesalahan lalu diingkari, tidak mesti maknanya selalu mentahdzir orang yang salah tersebut, tetapi yang ditahdzir adalah perbuatannya agar orang lain tidak mencontoh kesalahan tersebut. Jadi ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi was sallam mengingkari kesalahan Abu Bakr, Umar, Aisyah dan para shahabat yang lain, tidak berarti beliau mentahdzir mereka radhiyallahu ‘anhum.
Setelah kaedah ini dipahami dengan baik, perlu dipahami juga bahwa terkadang Rasulullah shallallahu ‘alaihi was sallam mentahdzir shahabat beliau, walaupun bukan dalam perkara syirik, bid’ah atau dosa besar, tetapi hanya dalam kesalahan yang tidak sampai ke tingkat dosa besar, seperti suka memukul istri, bahkan dalam perkara yang sama sekali bukan merupakan kesalahan atau dosa seorang hamba, tetapi sebatas kekurangan pribadi namun bisa membuat orang tidak suka kepadanya.
Di dalam riwayat Muslim (1480) Rasulullah shallallahu ‘‘alaihi wa sallam kepada Fathimah binti Qais ketika dia meminta saran untuk menyikapi pinangan Mu’awiyyah dan Abu Jahm radhiyallahu ‘anhum:
أَمَّا أَبُوْ جَهْمٍ فَلا يَضَعُ عَصَاهُ عَنْ عَاتِقِهِ وَأَمَّا مُعَاوِيَةُ فَصُعْلُوْكٌ لا مَالَ لَهُ.
“Adapun Abu Jahm dia adalah seorang yang tidak pernah meletakkan tongkatnya dari pundaknya (suka memukul istri) dan adapun Muawayyah dia seorang yang miskin tidak berharta.”
Jadi di dalam riwayat ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi was sallam mentahdzir kedua shahabat tersebut sebatas kekurangan yang ada pada keduanya. Apakah itu berarti kedua shahabat yang mulia ini tidak memiliki kebaikan?! Apakah Rasulullah shallallahu ‘alaihi was sallam melupakan kebaikan mereka?! Kenapa beliau tidak menyebutkannya?! Ini juga termasuk dalil yang membantah prinsip muwazanah.
Kalau dibolehkan untuk mentahzir karena sebuah kesalahan kecil atau kekurangan yang sifatnya pribadi untuk kepentingan pribadi, tentu mentahdzir kesalahan yang lebih besar demi menjaga agama Allah dan melindungi kaum Muslimin dari kesesatan lebih boleh lagi, bahkan wajib hukumnya.
Asy-Syaikh Al-Utsaimin rahimahullah ketika menjelaskan hadits ini di dalam Syarh Riyadhus Shalihin beliau berkata: “Demikian juga seandainya ada seseorang datang kepadamu untuk meminta saran dengan mengatakan, ‘Bolehkah saya belajar kepada si fulan?’ Jika engkau mengetahui bahwa si fulan yang dimaksud memiliki manhaj yang menyimpang, maka tidak salah jika engkau menjawab, ‘Jangan belajar kepadanya!’ Misalnya pada akidahnya atau pemikirannya atau manhajnya ada sesuatu yang tidak baik, dan engkau khawatir akan memberi pengaruh buruk terhadap penanya yang datang meminta saran kepadamu tersebut apakah boleh belajar kepadanya ataukah tidak. Ketika itu wajib atas engkau menjelaskan dengan mengatakan, ‘Jangan belajar kepadanya, karena dia begini dan begitu!’ Yaitu dengan menyebutkan keburukan-keburukannya agar tidak tersebar di tengah-tengah manusia.”
Kemudian, seseorang yang ditahdzir karena sebuah kesalahan atau kekurangan, tidak mesti berarti mengeluarkannya dari lingkup Ahlus Sunnah, karena kesalahan dan kekurangan sesorang itu bertingkat-tingkat. Jadi dari riwayat di atas tidak berarti menunjukkan bahwa Muawiyah dan Abu Jahm radhiyallahu ‘‘anhuma harus dijauhi secara keseluruhan atau mengeluarkan keduanya dari lingkup Ahlus Sunnah, karena tujuan Rasulullah shallallahu ‘alaihi was sallam adalah sebatas nasehat kepada Fathimah bintu Qais dalam urusan pernikahannya.
Para ulama menjarh seorang perawi bukan hanya karena bid’ah, bahkan kebanyakan dari sisi hafalan yang lemah, walaupun mungkin dia orang yang saleh. Kesalehan seseorang tidak menghalangi para ulama untuk menjarhnya atau mentahdzir riwayatnya atau karena dia pendusta, dan ini lebih parah keadaannya serta menafikan kesalehan dan keadilan.
Jadi jika misalnya ada orang yang pendusta atau dia sering keliru menyampaikan ilmu misalnya, atau dia melakukan dosa besar seperti meminjam uang di bank dengan alasan untuk mengembangkan sarana dan prasarana pendidikan dakwah “Salafy”, tanpa merasa bersalah, atau melakukan dosa kecil namun terang-terangan atau terus menerus, lalu bagaimana bisa orang yang bangkit memperingatkan umat dari Pendusta dan Mujahirin semacam ini yang disalahkan sembari membela pelakunya semisal dengan ucapan, “Memangnya ustadz Fulan sudah menjadi hizbi?”Ini semua hanya menunjukkan kebodohannya terhadap kaedah-kaedah jarh wa ta’dil. Laa hawla walaa quwwata illa billaah.
Asy-Syaikh Abdulah Al-Bukhary hafizhahullah menjelaskan: “Tidak otomatis ketika engkau membantah orang yang bersalah berarti kesalahan ini atau orang yang mengatakan kesalahan ini berarti seorang mubtadi’. Tidak ada kemestian antara membantah orang yang salah dengan memvonis seseorang sebagai mubtadi’. Jadi terkadang pihak yang dibantah memang seorang mubtadi’ dan berhak divonis demikian, namun bisa juga dia masih seorang sunni dan bukan seorang mubtadi’. Tidak ada kemestian diantara keduanya.”
Di dalam Shahih Al-Bukhary (6067) Rasulullah shallallahu ‘‘alaihi wa sallam bersabda:
مَا أَظُنُّ فُلاناً وَفُلاناً يَعْرِفَانِ مِنْ دِيْنِنَا شَيْئًا.
“Aku tidak menyangka kalau si fulan dan fulan mengetahui sedikit pun dari agama kita.”
Disebutkan dalam riwayat Al-Bukhary (6054) dan Muslim (2591) dari ‘Aisyah radhiyallahu anha bahwasanya ada seseorang yang meminta izin untuk menemui Rasulullah shallallahu ‘‘alaihi wa sallam, maka beliau bersabda:
ائْذَنُوْا لَهُ بِئْسَ أَخُوْ الْعَشِيْرَةِ.
“Izinkan dia masuk, dia adalah sejelek-jelek teman bergaul.”
Asy-Syaikh Al-Utsaimin rahimahullah ketika menjelaskan hadits ini di dalam Syarh Riyadhus Shalihin beliau berkata: “Hadits ini menunjukkan bolehnya menyebutkan keburukan seseorang tanpa sepengetahuannya jika dia termasuk orang yang suka melakukan kerusakan dan menyimpang, hal itu bertujuan untuk mentahdzir agar manusia berhati-hati dari kerusakannya dan tidak tertipu dengannya. Jadi jika engkau melihat seseorang yang suka melakukan kerusakan dan menyimpang tetapi dia berhasil menyihir manusia dengan penjelasannya dan ucapannya sehingga menipu manusia dan mereka menyangkanya di atas kebaikan, maka wajib atas engkau untuk menjelaskan bahwa orang tersebut tidak memiliki kebaikan dan jelaskan keburukannya agar manusia tidak tertipu dengannya. Betapa banyak orang pandai bicara dan fasih dalam menjelaskan ucapan, jika engkau melihatnya engkau terkagum dengan penampilannya dan jika dia bicara engkau pun antusias mendengarkannya, tetapi tidak ada kebaikan padanya, sehingga yang wajib adalah menjelaskan keadaannya.”
Perhatikan perkataan Asy-Syaikh Al-Utsaimin di atas, beliau ketika menjelaskan orang yang jahat dengan ungkapan “dia tidak memiliki kebaikan” atau “tidak ada kebaikan padanya” karena tujuannya memang untuk mentahdzir. Apakah beliau memaksudkan bahwa orang semacam itu berarti sama sekali tidak memiliki kebaikan apapun?! Tidak ada yang memahami dengan pemahaman rusak semacam ini kecuali orang yang bodoh atau pengekor hawa nafsu.
Demikian sebagian shahabat ada yang mengingkari kemungkaran dengan keras. Diantaranya apa yang disebutkan dalam Shahih Muslim (1958) bahwa Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu pernah melihat beberapa pemuda Quraisy mengikat seekor burung untuk dijadikan sasaran latihan memanah, maka Ibnu Umar mengingkari dengan keras dengan mengatakan:
«مَنْ فَعَلَ هَذَا لَعَن اللهُ، مَنْ فَعَلَ هَذَا؟ إِنَّ رَسُولَ اللهِ لَعَنَ مَنِ اتَّخَذَ شَيْئًا فِيهِ الرُّوحُ غَرَضًا»
“Siapa yang melakukan hal ini maka Allah melaknatnya, siapa yang melakukan ini?! Sungguh Rasulullah shallallahu ‘alaihi was sallam melaknat orang yang menjadikan makhluk yang bernyawa sebagai sasaran latihan.”
Pertanyaan kelima: Seandainya yang dimaksud dengan orang yang melakukan “satu” kesalahan dan memiliki “sejuta” kebaikan adalah seorang Ahlus Sunnah, siapakah yang melupakan “sejuta” kebaikan tersebut hanya karena “satu” kesalahan?! Ataukah itu hanya tuduhan ngawur dan tidak jelas atau tidak ada hakekatnya, atau memukul rata semua Ahlus Sunnah yang tentu ini merupakan kezhaliman?!
Jadi jelaskanlah: siapkah orang yang melupakan “sejuta” kebaikan tersebut hanya karena “satu” kesalahan tersebut?! Agar kita semua tahu atas dasar apa pihak tersebut melupakan “sejuta” kebaikan tersebut hanya karena “satu” kesalahan?! Apa kesalahan pihak yang dibantah, dan tentunya otomatis akan diketahui pula siapa yang dibantah tersebut. Agar jelas siapa yang salah dan siapa yang benar berdasarkan timbangan yang ilmiah yang bisa dipertanggungjawabkan di hadapan Allah serta kepada manusia.
Jika ada pihak yang menyanggah: “Kami tidak membela yang salah, tetapi apakah kesalahan itu mengeluarkannya dari Ahlus Sunnah atau apakah dia sudah menjadi hizby atau apakah langsung kita tinggalkan dan kita lupakan sekian banyak jasanya dalam dakwah?!”
Kita jawab: Ungkapan kalian seperti ini masih global, jadi tolong diperinci: siapa yang salah, apa kesalahannya, dan siapa yang memvonis secara brutal atau menyamaratakan semua kasus itu?!
Jika kesalahan itu dalam masalah akidah dan manhaj, maka telah dijelaskan oleh para ulama bahwa orang semacam ini jika ngeyel setelah hujjah tegak atasnya –dan tidak harus dengan cara menasehati– terlebih lagi bagi orang-orang yang dia ini diakui keilmuannya sehingga dalam masalah tersebut tidak layak untuk dia berdalih tidak tahu, karena dia seorang dai yang bisa menyesatkan sekian banyak orang yang mengikutinya, maka dia ditahdzir hingga dia bertaubat dengan mengumumkan taubatnya.
Kemudian, sesungguhnya ucapan semacam ini disamping bisa menyeret kepada kaedah muwazanah, ini juga bisa menyeret kepada kaedah “kita memperbaiki tanpa melukai” sehingga perlu kita bawakan sedikit penjelasan ulama dalam masalah ini.
Kaedah “Kita Memperbaiki Tanpa Melukai”
Asy-Syaikh Rabi hafizhahullah ketika beliau ditanya tentang kaedah busuk ini maka beliau menjelaskan sebagaimana disebutkan dalam risalah beliau yang berjudul “Daf’u Baghi Adnan Ala Ulama’is Sunnah wal Iman” pada pertanyaan kelima:
“Kaedah ini yaitu “kita memperbaiki tanpa melukai” walaupun faktanya menyelisihinya kaedahnya (Adnan Ar’ur –pent) yang lain yaitu “jika engkau memvonis maka engkau juga akan diadili” atau “engkau akan menghadapi vonis juga” maka tujuan dan maksudnya adalah sama, yaitu membungkam Salafiyun agar tidak menampakkan kebenaran yang ada pada mereka dan tidak membongkar kebathilan selain mereka, serta untuk membungkam mereka agar tidak mengkritik ahli bid’ah dan orang-orang yang sesat. Yang jelas dua kaedah ini apapun tujuannya adalah bathil baik secara konteks maupun tujuan, dan kami belum pernah mendengar dalilnya hingga sekarang. Dan seandainya dia berusaha memcarikan dalilnya pasti dia akan terjatuh kepada kengawuran. Kebathilan kaedah ini sudah jelas yang terbantah dengan Al-Qur’an Al-Karim pada banyak ayat dan surat. Yaitu dengan adanya bantahan terhadap ahlul bathil tanpa ada yang lain kecuali bantahan dan cercaan terhadap musuh-musuh Allah dari kalangan orang-orang kafir, munafik serta selain mereka. Jadi berdasarkan bantahan Rasulullah shallallahu ‘alaihi was sallam dan Salafus Shalih, kitab-kitab yang berisi jarh wa ta’dil terkhusus yang berisi jarh, di mana setiap biografi yang ada pada kitab-kitab yang hanya khusus berisi jarh membantah kaedah yang rusak ini serta membatalkannya…”
Beliau hafizhahullah juga menukilkan perkataan Asy-Syaikh Al-Utsaimin rahimahullah ketika ditanya tentang kaedah ini: “Ini salah besar, bahkan kita akan mencerca siapa saja yang sengaja menentang kebenaran.”
Kemudian setelah itu beliau menukilkan jawaban Asy-Syaikh Zaid bin Muhammad Al-Madkhaly hafizhahullah: “Kaedah ini bukan termasuk kaedah ahli ilmu dan bukan termasuk kaedah para ulama rabbani yang diakui keilmuannya. Kaedah para ulama yang terdahulu dan belakangan adalah “Memperbaiki orang yang layak untuk diperbaiki dan mencerca siapa saja yang pantasnya memang dicerca” dan inilah yang ditempuh oleh Ahlus Sunnah wal Jama’ah Salafus Shalih dan para pengikut mereka hingga hari kiamat. Dan kitab-kitab jarh wa ta’dil tidaklah jauh dari ingatan. Jadi kaedah tadi termasuk kesalahan besar, yang mengucapkannya bisa jadi dia adalah orang bodoh dan bisa jadi dia adalah orang yang suka mengaburkan dan menyesatkan manusia…”
Demikianlah, maka kami menasehatkan siapa saja untuk meninggalkan ucapan yang global, umum dan bisa ditarik ke sana kemari semacam ini karena bisa menyesatkan dan bisa dijadikan senjata oleh ahli bid’ah untuk membela bid’ah mereka atau bisa juga digunakan oleh orang yang salah apapun jenis kesalahannya.
Kami tidak menuduh bahwa orang yang mengatakan ucapan semacam ini dia memaksudkan demikian atau demikian, karena itu yang mengetahuinya hanya Allah, kemudian yang mengucapkannya sendiri, tetapi kita mengingkari ucapan semacam ini karena berbahaya sebagaimana telah dijelaskan di atas.
Jangan sampai muncul sanggahan-sanggahan yang sifatnya global dan tidak rinci, seperti ucapan sebagain orang yang salah ketika dinasehati, mereka mengatakan: “Kalian sepertinya merasa paling benar, tidak pernah salah, atau hanya kalian sendiri yang murni di atas As-Sunnah.” Atau ucapan-ucapan lain yang dijadikan senjata oleh orang-orang yang tidak memiliki hujjah.
Ucapan kalian ini persis seperti ucapan kaum Luth shallallahu ‘alaihi was sallam yang kalah hujjah:
أَخْرِجُوهُمْ مِنْ قَرْيَتِكُمْ إِنَّهُمْ أُنَاسٌ يَتَطَهَّرُونَ.
“Usirlah mereka dari negeri kalian karena sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang sok merasa suci.” (QS. Al-A’raf: 82)
Jadi kami sama sekali –demi Rabb Ka’bah– tidak pernah merasa paling suci, paling benar atau tidak pernah salah, itu hanyalah tuduhan dusta jika ada yang melemparkannya. Kami pun siap kapanpun –insya Allah– untuk rujuk kepada kebenaran baik dalam perkara yang besar maupun yang kecil, karena kebenaran dan keridhaan Allah adalah tujuan setiap mukmin yang mengharapkan perjumpaan dengan Allah.
Namun:
فَإِنْ لَمْ يَسْتَجِيبُوا لَكَ فَاعْلَمْ أَنَّمَا يَتَّبِعُونَ أَهْوَاءَهُمْ وَمَنْ أَضَلُّ مِمَّنِ اتَّبَعَ هَوَاهُ بِغَيْرِ هُدًى مِنَ اللهِ إِنَّ اللهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ.
“Jika mereka tidak menjawab tantanganmu, maka ketahuilah bahwa sesungguhnya mereka hanya mengikuti hawa nafsu mereka, dan siapakah yang lebih sesat dari orang yang mengikuti hawa nafsunya tanpa petunjuk dari Allah, sesungguhnya Allah tidak akan memberikan hidayah kepada orang-orang yang zhalim.” (QS. Al-Qashash: 50)
Mudah-mudahan Allah memudahkan kami untuk menerjemahkan bantahan-bantahan para ulama terhadap berbagai syubhat tersebut karena sangat penting untuk menjaga Salafiyun dari berbagai makar jahat hizbiyun dan siapa saja yang membela mereka. Karena faktanya masih banyak ikhwah yang bingung dan mudah berbalik arah ketika fitnah datang bergelombang. Hanya Allah saja yang bisa memberikan taufik.
Kemudian kami juga menasehati kepada siapa saja untuk tidak membela pihak yang salah dalam masalah apapun, apakah menggunakan ucapan semacam ini atau dengan ucapan yang lain, seperti kaedah muwazanah atau kaedah “kita memperbaiki namun tidak menghancurkan atau tidak melukai” dan sebagainya yang semua ini adalah kaedah hizbiyun yang telah dibantah oleh para ulama.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ.
“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kalian kepada Allah dan hendaklah kalian bersama orang-orang yang jujur.” (QS. At-Taubah: 119)
Juga firman-Nya:
وَلاَ تَرْكَنُوْا إِلَى الَّذِيْنَ ظَلَمُوْا فَتَمَسَّكُمُ النَّارُ.
“Dan janganlah kalian cenderung kepada orang-orang yang zhalim yang menyebabkan kalian disentuh api neraka.” (QS. Hud:113)
Allah juga berfirman:
هَا أَنْتُمْ هَؤُلَاءِ جَادَلْتُمْ عَنْهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا فَمَنْ يُجَادِلُ اللهَ عَنْهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَمْ مَنْ يَكُونُ عَلَيْهِمْ وَكِيلًا.
“Inilah kalian mendebat dengan sengit untuk membela mereka di kehidupan dunia, tetapi siapa yang akan bisa membantah Allah pada hari kiamat nanti untuk membela mereka, atau siapakah yang akan bisa melindungi mereka.” (QS. An-Nisa’: 109)
Juga firman-Nya:
يَوْمَ تُقَلَّبُ وُجُوهُهُمْ فِي النَّارِ يَقُولُونَ يَا لَيْتَنَا أَطَعْنَا اللهَ وَأَطَعْنَا الرَّسُولَا. وَقَالُوا رَبَّنَا إِنَّا أَطَعْنَا سَادَتَنَا وَكُبَرَاءَنَا فَأَضَلُّونَا السَّبِيلَا. رَبَّنَا آتِهِمْ ضِعْفَيْنِ مِنَ الْعَذَابِ وَالْعَنْهُمْ لَعْنًا كَبِيرًا.
“Ingatlah pada hari ketika wajah-wajah mereka dibolak balikkan di neraka, ketika itu mereka mengatakan: ‘Duhai kiranya kami mentaati Allah dan Rasul.’ Mereka juga berkata: ‘Wahai Rabb kami, sesungguhnya kami telah mentaati para pemimpin dan para pembesar kami sehingga mereka menyesatkan kami dari jalan yang benar. Wahai Rabb kami, timpakan kepada mereka adzab yang berlipat ganda dan laknatlah mereka dengan laknat yang sebesar-besarnya.” (QS. Al-Ahzab: 66-68)
Terakhir, kami mohon kepada Allah dengan nama-nama-Nya yang baik dan sifat-sifat-Nya yang mulia:
رَبَّنَا لَا تُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا وَهَبْ لَنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ.
“Wahai Rabb kami, janganlah Engkau sesatkan hati-hati kami setelah Engkau berikan hidayah kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi-Mu, sesungguhnya Engkau yang banyak memberi karunia.” (QS. Ali Imran: 8)
Allahu a’lam.
Bismillah
جزاكم الله خيراً atas artikelnya.