Bantahan Asy Syaikh Ubaid Al Jabiri Terhadap Profesor Doktor Ibrahim Ar Ruhaili
Pengantar
Masih ingatkah kita sekalian dengan pidato pembelaan Turatsi Abdullah Taslim (terhadap Firanda) yang dia sebarluaskan melalui situs hizbi Salafiyunpad? Yang mana dalam pidato tersebut Abdullah Taslim melecehkan Masyayikh Ahlussunnah yang diundang Salafiyin Indonesia sebagai Syaikh yang biasa-biasa, tidak seterkenal dan tidak seperti Asy-Syaikh Ibrahim Ruhaili dan Asy-Syaikh Abdurrazzaq yang beliau ini ngajar di masjid Nabawi, sedangkan masyaikh-masyaikh tersebut bukan termasuk yang ngajar di Masjid Nabawi.
Gambar 1. Skrinshut Al Ustadz Taslim sendiri yang menyuruh kami untuk menyebarkan rekaman ini di blog kami[1]
Abdullah Taslim:
“…Pada waktu itu malam hari, Ustadz Muhammad Nur Ihsan yang dari Riau beliau yang pertama kali dihubungi oleh syaikh Abdullah al Bukhari yang beliau adalah salah seorang Masyaikh Ahlussunnah di Madinah yng mengajar di Jami’ah Islamiyah, seorang doktor yang ana beritahukan kepada antum bahwa rata-rata masyaikh yang datang kesini yang dibawa ikhwan-ikhwan kita yang mendatangkan di sini rata-rata kalau di Madinah mereka termasuk syaikh yang biasa-biasa. Artinya kalau di Indonesia memang mereka paling pinter kalau di Indonesia, kalau di sana yang seperti itu Masyaikh Ahlussunnah yang lainnya banyak yang jelas mereka tidak seterkenal dan tidak se.. lebih diakui dibandingkan Syaikh Ibrahim Ruhaili, Syaikh Abdurrozaq dan para masyaikh lainnya yang mereka itu ngajar di Masjid Nabawi. Sedangkan masyaikh-masyaikh tersebut bukan termasuk yang ngajar di masjid nabawi…”
Link bukti ucapannya: http://www.4shared.com/mp3/tRSyHel2/masyaikh_biasa_biasa.html
Kalau memang tolok ukur kebenaran adalah keterkenalan, lebih diakui dan ngajar di Masjid Nabawi, ada manfaatnya jika pada kesempatan ini kita membaca faidah ilmiyah dari Asy Syaikh Ubaid hafizhahullah yang menyoroti fikrah salah satu Masyaikh yang namanya disebutkan oleh Abdullah Taslim di atas….
(Asy- Syaikh ‘Ubaid bin Abdullah bin Sulaiman Al-Jabiry)
الحمد لله العلي الغفار, وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له الواحد القهار, وأشهد أن محمدا عبده ورسوله وخاتم المصطفين الأخيار, صلى الله وسلم عليه وعلى آله وأصحابه البررة الخيار. أما بعد
Saya telah mempelajari berbagai ungkapan dan ucapan saudara kami Doktor Ibrahim bin ‘Amir Ar-Ruhaily, seorang profesor bagian aqidah di Universitas Islam di Al-Madinah Al-Munawwarah. Maka saya melihat berbagai keanehan pada makalah-makalahnya dan ucapan-ucapannya dan saya mengingkarinya karena menyimpang dari apa yang telah ditempuh para ulama salafush shalih, bertentangan dengan apa yang kita jumpai dan yang biasa kita dapatkan dari apa yang telah ditetapkan oleh para imam para ulama pemimpin ilmu dan agama yang telah berlalu di atas jalan kaum mukminin.
Gambar 2. Skrinshut sumber artikel ini [2]
Setelah saya menelitinya dan membacanya berulang-ulang, saya menganggap sangat perlu untuk membantahnya dengan dalil dari al-Kitab dan As-Sunnah serta yang kita dapatkan jejaknya dari para ulama pemimpin ilmu dan iman.
Sebab-sebab membantah:
Yang mendorong saya untuk membantah ucapan-ucapan ini adalah:
1. Saya tidak mengetahui ada orang yang membantah dan mengungkap penyimpangan dan keganjilan-keganjilannya, baik oleh ulama atau penuntut ilmu hingga saat ini.
2. Sesungguhnya ucapan-ucapan ini telah diterima sebagai sebuah kebenaran oleh ratusan -kalau tidak dikatakan mencapai ribuan- dari orang-orang yang belajar kepada orang semacam Asy-Syaikh Ibrahim Ar-Ruhaily -semoga Allah mema’afkan kami- lalu mereka pun menyebarkannya ke penjuru ufuk timur dan barat, hal itu ketika keganjilan-keganjilan itu masuk di dalam pikiran-pikiran mereka dan hati-hati mereka (para penuntut ilmu) sehingga mereka meyakini bahwa itu termasuk bagian agama Allah yang harus dipelajari.
3. Allah dan Rasul-Nya telah memerintahkan yaitu wajibnya menyampaikan nasehat baik secara umum atau khusus, Allah berfirman:
وإِذْ أَخَذَ اللهُ مِيثَاقَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ لَتُبَيِّنُنَّهُ لِلنَّاسِ وَلا تَكْتُمُونَهُ
“Dan ingatlah ketika Allah mengambil janji dari orang-orang yang telah diberi kitab (yaitu): “Hendaklah kalian menerangkan isi kitab itu kepada manusia dan kalian jangan menyembunyikannya.”
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab berkata dalam sebagian masailnya dalam bab “Barangsiapa yang tabarruk dengan batu atau pohon atau selainnya” di dalam kitab Tauhid, “Bahwa yang dicela dari Yahudi dan Nashara di dalam al-Qur’an bahwa hal itu juga tercela untuk kita.”
Dan termasuk dari As-Sunnah yang mutawatir dalam bab ini yaitu hadits yang dikeluarkan oleh Muslim dari Tamim Ad-Dary bahwa Nabi bersabda:
الدين النصيحة قالوا: لمن قال: لله ولكتابه ولرسوله ولأئمة المسلمين وعامتهم
“Sesungguhnya agama adalah nasehat.”
Para shahabat bertanya, “Untuk siapa?” Beliau menjawab, “Untuk Allah, kitab-Nya, Rasulnya, para pemimpin kaum muslimin dan untuk mereka semua.”
Berikut akan saya sampaikan pada pembaca ucapan-ucapan itu yang masing-masing diikuti dengan:
1. Penjelasan sisi penyelisihan dan kemungkarannya.
2. Dalil dari al-Kitab dan As-Sunnah serta atsar dari para imam.
Saya katakan -hanya dengan taufiq dari Allah dan Dialah yang mencukupi kita serta sebaik-baik penolong-:
Perkataan pertama:
Asy-Syaikh Ibrahim Ar-Ruhaily berkata, “Tetapi di sana ada masalah lain yang telah tetap di kalangan ulama bahwa sesungguhnya di kalangan Ahlus Sunnah terkadang terjadi khilaf, dan masalah ini tidak diingkari oleh orang yang memiliki bagian ilmu bahwa telah terjadi khilaf dan ikhtilaf, sama saja dalam masalah-masalah ushuluddin atau masalah-masalah amaliyah.”
Saya katakan:
Ucapan ini persis sama dengan perkataan Asy-Syaikh Abdullah bin Muhammad al-Amin –semoga Allah merahmati Al-Amin (Asy-Syinqithy –ed) sisi kemiripan dua ucapan ini akan ditangkap oleh orang yang memiliki kecerdasan terhadap makna yang ditunjukkan dalam lafazh-lafazh itu.
Inilah kami bantah ungkapan tersebut setelah mengutipnya:
Asy-Syaikh Abdullah (bin Muhammad al-Amin Asy-Syinqithy –ed) berkata, “Dasar-dasar akidah di dalamnya terjadi khilaf, para Shahabat berselisih di dalam masalah ru’yatulloh, Ibnu Abbas dan ‘Aisyah berselisih, namun demikian yang pertama tidak mengatakan kepada yang kedua: ‘engkau sesat!”
Saya katakan:
Pertama: Semoga Allah mema’afkan kami dan engkau, pada ucapanmu ini mengandung kesamaran dan kerancuan yang engkau lontarkan terhadap anak-anakmu para penuntut ilmu dalam perkara yang termasuk prinsip-prinsip agama yang mendasar, bahkan perkara tersebut adalah inti risalah-risalah yang dibawa oleh para rasul:
1. Jelas-jelas menyelisihi para tokoh orang-orang yang mendapatkan petunjuk dan para ulama pemimpin agama.
Berikut ini saya akan sampaikan sebagian perkataan mereka yang membantah ungkapan ini dan menunjukkan kebatilannya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Demikian juga masalah fiqih, terjadinya khilaf hanyalah ketika tersamarkan pada mereka penjelasan pemilik syariat, tetapi terjadinya perbedaan ini dalam perkara yang sangat rumit. Adapun dalam perkara yang jelas maka tidak terjadi khilaf padanya. Para Shahabat mereka berbeda pendapat pada sebagian hal itu (fikih –ed), hanya saja mereka tidak berbeda pendapat dalam masalah aqidah dan pada masalah jalan menuju Allah yang dengannya seseorang bisa menjadi salah satu wali Allah yang baik dan didekatkan.” (Majmu’ Fatawa: 19/274)
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Ahlul iman terkadang berbeda pendapat pada sebagian hukum yang tidak sampai mengeluarkan mereka dari iman. Para Shahabat telah berbeda pendapat dalam banyak masalah-masalah hukum, padahal mereka adalah pimpinan mukminin dan umat yang paling sempurna keimanannya. Hanya saja alhamdulillah mereka tidak sampai pecah dalam satu masalah yaitu dalam masalah nama-nama, sifat-sifat dan perbuatan-perbuatan Allah. Bahkan semuanya menetapkan apa yang tercantum di dalam al-Kitab dan As-Sunnah satu kata dari awal sampai akhir, mereka tidak bersikap buruk kepadanya dengan melakukan takwil, mereka tidak memalingkan dari makna yang semestinya dengan menggantinya, mereka tidak menampakkan sesuatu darinya dalam rangka membatalkan maknanya, mereka tidak membuat-buat permisalan-permisalan bagi makna-maknanya, mereka tidak menolak keberadaannya dan kemukjizatannya serta tidak seorang pun diantara mereka yang mengatakan bahwa harus memalingkan dari hakikatnya dan membawa kepada majasnya, bahkan mereka menyikapinya dengan menerima dan tunduk, mereka menerimanya dengan iman dan pengagungan dan mereka menjadikannya sebagai suatu perkara yang satu dan membiarkannya di atas satu sunnah. Mereka tidak berbuat seperti yang diperbuat ahlul ahwa’ dan ahlul bida’ ketika mereka menjadikannya saling bertentangan, mereka menetapkan sebagian dan menolak sebagiannya tanpa didasari dalil yang jelas, padahal yang wajib bagi Allah atas mereka pada nama-nama dan sifat-sifat-Nya yang mereka ingkari, sama wajibnya pada apa yang mereka tetapkan dan kuatkan.” (I’lamul Muwaqi’in: 1/49)
Berkata guru kami Asy-Syaikh Hammad Al-Anshary rahimahullah, “Para Shahabat tidak berselisih dalam masalah aqidah selamanya, perselisihan hanya terjadi setelah mereka.”
(Kumpulan biografi al-Allamah al-muhaddits Hammad al-Anshary: 2/493 no.124)
Bukankah semua perkataan ini menunjukkan kesepakatan bahwa para Shahabat radhiyallahu’anhum sepakat dalam masalah aqidah, dan saya tidak meyakini bahwa orang yang mempunyai ilmu dan pengikut sunnah kecuali dia mengetahui masalah itu.
2. Doktor Ar-Ruhaily berkata -semoga Allah memperbaiki keadaan kita dan dia-: “Para Shahabat berselisih dalam masalah melihat Allah dst…”
Saya katakan wahai para pembaca yang mulia:
“Ini adalah contoh dari Ibnul Amin yang telah menetapkan perkara perselisihan Shahabat dalam masalah aqidah, dan saya ingin bertanya kepada Doktor, melihat yang mana yang engkau maksudkan? Apakah melihatnya kaum mukminin terhadap Rabb mereka pada hari kiamat, karena engkau telah mengglobalkan dan tidak memperjelas, dan ini merupakan talbis (menimbulkan kerancuan) yang tidak ada yang lebih parah darinya? Atau melihatnya Nabi shallallahu alaihi was sallam?
Kalau yang pertama yang engkau maksudkan (yaitu melihatnya mukminin terhadap Allah pada hari kiamat -pent) maka sudah berlalu penukilan dari para imam lengkap dengan dalil dari al-Kitab dan As-Sunnah tentang tetapnya perkara tersebut yang masalah ini tidak samar di kalangan Ahlus Sunnah yang ilmunya pas-pasan.
Diantaranya adalah apa telah dikeluarkan oleh Ahmad dan Muslim dan lafazhnya dari Ahmad, yaitu hadits dari Shuhaib bin Sinan radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah bersabda:
إذا دخل أهل الجنة الجنة نودوا يا أهل الجنة إن لكم عند الله موعدا لم تروه. فقالوا: وما هو, ألم تبيض وجوهنا وتزحزحنا عن النار وتدخلنا الجنة؟ قال: فيكشف الحجاب فينظرون إليه فوالله ما أعطاهم الله شيئا أحب إليهم منه» ثم تلا رسول الله: للذين أحسنوا الحسنى وزيادة.
“Apabila ahli surga telah masuk surga mereka diseru, ‘Wahai ahli surga, sesungguhnya di sisi Allah ada janji atas kalian yang belum kalian lihat.’ Mereka mengatakan: ‘Apakah itu, bukankah Engkau telah memutihkan wajah-wajah kami, dan Engkau telah menyelamatkan kami dari neraka serta Engkau telah memasukkan kami ke dalam surga? Beliau bersabda, “Maka dibukalah hijab sehingga manusia melihat wajah Allah, demi Allah, Allah tidak memberi karunia kepada mereka yang lebih mereka cintai selain itu.” Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi was sallam membaca ayat:
لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا الْحُسْنَى وَزِيَادَةٌ … (٢٦)
“Orang-orang yang berbuat kebaikan akan mendapatkan balasan kebaikan dan ada tambahan.” (QS. Yunus 26)
Apabila yang engkau maksudkan adalah yang kedua yaitu melihatnya Nabi terhadap Allah pada malam Isra’, maka apa yang dikatakan oleh Ibnu Abbas dan Aisyah radhiyallahu anhum?
Aisyah radhiyallahu anhuma berkata, “Sungguh telah mengering rambutku karena apa yang engkau katakan, di mana ingatanmu dari tiga hal yang barangsiapa telah mengatakan tiga hal itu kepadamu maka dia telah berdusta, (yang pertama): barangsiapa yang telah mengatakan kepadamu bahwa Muhammad shallallahu ‘alaihi was sallam telah melihat Rabbnya, maka dia telah berdusta.” Kemudian A’isyah membaca:
لا تُدْرِكُهُ الأبْصَارُ وَهُوَ يُدْرِكُ الأبْصَارَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ (١٠٣
“Dia itu tidak dijangkau oleh pandangan hamba-hamba-Nya sementara Dia bisa menjangkau pandangan-pandangan mereka dan Dilah yang Maha lembut dan Maha Mengetahui.” (QS. Al-An’am: 103)
(HR. Al-Bukhary)
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata di dalam Fathul Bari:
“Telah datang dari Ibnu Abbas berita-berita yang sifatnya umum dan lainnya bersarat, maka wajib membawa yang umum kepada yang bersarat. Diantaranya adalah yang dikeluarkan oleh an-Nasai dengan sanad shahih dan dinilai shahih oleh Al-Hakim juga dari jalan Ikrimah dari Ibnu Abbas dia berkata:
أتعجبون أن تكون الخلة لإبراهيم والكلام لموسى والرؤية لمحمد
“Apakah kalian heran jika khullah (kecintaan Allah yang paling tinggi) diberikan kepada Ibrahim, kalam (berbicaranya Allah) diberikan kepada Musa dan ru’yah (melihat Allah) diberikan kepada Muhammad?”
Juga dikeluarkan oleh Ibnu Khuzaimah dengan lafazh:
إن الله اصطفى إبراهيم بالخلة
“Sesungguhnya Allah memilih Ibrahim untuk mendapatkan khullah.”
Abu Ishaq juga mengeluarkan dari jalan Abdullah bin Abi Salamah bahwasanya Ibnu Umar telah mengutus ke Ibnu Abbas untuk bertanya: Apakah Muhammad melihat Rabbnya? Maka Ibnu Abbas mengutus seseorang kepadanya dengan menjawab ya.
Juga apa yang telah dikeluarkan Muslim dari jalan Abul Aliyah dari Ibnu Abbas ketika menerangkan tafsir ayat:
ما كذب الفؤاد ما رأى
“Hatinya tidak mendustakan apa yang dia lihat.” (QS. An-Najm: 11)
Dan ayat:
ولقد رآه نزلة أخرى
“Dan sungguh dia (Muhammad) telah melihatnya dua kali.” (QS. An-Najm: 13)
Ibnu Abbas menafsirkan: “Beliau telah melihat Rabbnya dua kali”`
Juga dikeluarkan oleh Muslim dari jalan ‘Atho’ dari Ibnu ‘Abbas dia berkata: “Beliau melihatnya dengan hatinya.”
Yang lebih jelas dari itu adalah apa yang dikeluarkan oleh Ibnu Marduyah dari jalan ‘Atho’ juga dari Ibnu ‘Abbas dia berkata: “Beliau tidak melihat dengan kedua matanya, hanya saja melihat dengan hatinya.”
Dari ini maka bisa digabung antara penetapan dari Ibnu ‘Abbas dan peniadaan dari ‘Aisyah yaitu dengan cara: peniadaan dari Aisyah diartikan dengan pandangan mata kepala, sedangkan penetapan dari Ibnu Abbas adalah dengan pandangan hati. (Fathul Bari: 8/608)
Dengan pemaparan ini menjadi jelas bagi pembaca yang cerdas bahwa Doktor tidak benar ucapannya dan tidak mencocoki kebenaran dalam masalah ini, yaitu; ketika dengan sengaja dia mengglobalkan ucapannya dan tidak memberikan penjelasan. Padahal hal seperti ini tidak dikenal kecuali pada ahlul ahwa (pengikut hawa nafsu), mereka melakukan hal itu untuk membuat kerancuan antara al-haq dan al-batil, antara petunjuk dan kesesatan dan antara sunnah dengan bid’ah.
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata dalam Nuniyah-nya:
فعلَيْكَ بالتَّفصِيلِ والتَّمييزِ فالـ إطْلاَقُ والإجمَالُ دُونَ بَيَانِ
قَدْ أفْسَدَا هَذَا الوُجُودَ وخَبَّطَا الـ أذْهَانَ والآراءَ كُلَّ زَمَانِ
“Maka wajib atas engkau merinci dan memperjelas, karena yang mutlak dan yang global yang tanpa penjelasan telah merusak alam ini dan telah mengacaukan pemahaman dan pikiran di setiap zaman.”
Wahai pembaca, setelah anda mendalami dan mencermati, maka saya tidak menyangka kecuali anda pasti mendapati sisi keserupaan antara dua ucapan tersebut, dan anda akan mengatakan, “Betapa serupanya malam ini dengan tadi malam.” Dan saya ingin menambahkan di sini dalam membantah dengan dua perkataan yang benar:
1. Fatwa Lajnah Daimah.
2. Perkataan asy-Syaikh Shalih al-Luhaidan -semoga Allah memberikan taufiq kepada semuanya-.
Lajnah Daimah ditanya: “Apakah boleh mengatakan bahwa para Shahabat radhiyallahu anhum telah berselisih dalam masalah aqidah, seperti tentang apakah Nabi shallallahu alaihi was sallam melihat Rabbnya pada malam Mi’raj, dan tentang apakah orang-orang mati itu bisa mendengar atau tidak, dan dia mengatakan ini adalah aqidah?
Jawab: “Aqidah Islamiyah alhamdulillah tidak ada padanya khilaf di kalangan Shahabat dan selain mereka dari orang-orang yang datang setelahnya dari Ahlus Sunnah wal Jama’ah, karena mereka meyakini terhadap makna yang ditunjukkan di dalam al-Kitab dan As-Sunnah, mereka tidak berbuat bid’ah yang datang dari diri-diri mereka sendiri atau dari akal-akal mereka, inilah yang menjadi sebab bersatunya dan sepakatnya mereka dalam satu aqidah dan satu manhaj sebagai pengamalan terhadap ayat:
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقوا
“Berpegang teguhlah dengan tali Allah semuanya jangan bercerai berai.”
Diantara perkara itu adalah tentang melihatnya orang-orang terhadap Rabbnya pada hari kiamat, mereka semua sepakat berdasarkan dalil yang mutawatir dari al-Kitab dan As-Sunnah dan mereka tidak berselisih dalam masalah ini.
Adapun perselisihan masalah melihatnya Nabi shallallahu alaihi was sallam terhadap Rabbnya pada malam Mi’raj dengan pandangan mata, maka itu adalah khilaf tentang terjadinya di dunia, bukan khilaf melihatnya pada hari kiamat. Dan menurut jumhur -dan ini adalah yang benar- adalah Beliau shallallahu alaihi was sallam melihat Allah dengan hatinya bukan dengan pandangan matanya, karena ketika Beliau ditanya tentang itu Beliau menjawab: “Cahaya, bagaimana mungkin saya bisa melihat-Nya.”
Jadi pada kesempatan ini Beliau membantah kalau telah melihat Rabbnya dengan pandangan matanya karena adanya penghalang yaitu cahaya. Juga karena para shahabat sepakat bahwa tidak ada seorang pun yang bisa melihat Rabbnya di dunia ini sebagaimana diterangkan dalam hadits:
واعلموا أن أحدا منكم لا يرى ربه حتى يموت
“Ketahuilah sesungguhnya salah seorang diantara kalian tidak akan bisa melihat Rabbnya sampai dia mati.”
(HR. Muslim)[1]
Kecuali pada nabi kita, dan yang benar bahwa Beliau tidak melihatnya ditinjau dari sisi ini (melihat dengan pandangan mata –ed).
وبالله التوفيق، وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم
Asy-Syaikh Shalih bin Muhammad al-Luhaidan hafizhahullah salah seorang anggota Hai’ah Kibar Ulama ditanya: “Semoga Allah berbuat baik kepada Anda wahai syaikh yang mulia, di sana ada orang mengatakan bahwa para shahabat berselisih dalam masalah-masalah aqidah, apa hukum yang demikian, berilah fatwa kepada kami semoga Anda mendapat pahala?”
Asy-Syaikh: “Astaghfirullah! Tidak ada yang mengucapkannya selain mubtadi’ (ahli bid’ah) yang sesat, dia mengatakan bahwa para shahabat berselisih!!?? Para Shahabat adalah ahli aqidah, kalau pun terjadi khilaf di kalangan mereka maka itu hanya dalam masalah ijtihad dalam amal. Adapun dalam masalah aqidah bahwa Allah itu satu, Esa, bahwa Allah itu Maha Mendengar dan Maha Mengetahui, bahwa Allah itu berbuat apa yang Dia kehendaki, bahwa Allah itu Pencipta, bahwa Allah itu Pencipta segala sesuatu, mengetahui segala sesuatu, maka dalam perkara-perkara ini mereka sama sekali tidak berselisih. Dan tidak menyebarkan pernyataan ini kecuali seorang penyeru fitnah. Bisa jadi dia berkedok dengan pengakuannya bahwa dia termasuk orang baik yang bisa jadi dia mengetahui kebaikan dan berbicara kebaikan yang diketahuinya untuk menggiring manusia kepada kebatilan yang dia yakini dan dia bersungguh-sungguh untuk menyebarkannya. Jika dia termasuk orang yang tertipu maka hendaknya dia banyak istighfar kepada Allah dan bertaubat serta kembali kepada ulama dan bertanya kepada mereka. Namun jika dia termasuk orang yang menyembunyikan maksud-maksud dan menutupi tujuan-tujuan jahat, maka hendaklah kedoknya dibongkar agar manusia menjaga diri dari kejahatannya.”
(Dari ceramah dengan judul Shifat Al-Firqatin Najiyah wath Thaifah Al-Manshurah)
Perkataan kedua:
Perkataan Doktor dalam risalahnya yang berjudul Nasehat yang Wajib untuk Dijaga ketika Terjadi Perselisihan dan Cara Memboikot Orang yang Menyelisihi dan Cara Membantahnya: “Hendaknya diketahui bahwa Ahlus Sunnah yang sebenarnya adalah mereka yang benar-benar melaksanakan agama Islam secara sempurna baik dalam keyakinan atau budi pekerti, dan diantara tanda pendeknya pemahaman seseorang adalah orang yang menyangka bahwa sunny atau salafy adalah orang yang telah merealisasikan keyakinan Ahlus Sunnah tanpa memperhatikan sisi budi pekerti dan adab-adab Islami serta menunaikan hak-hak muslimin diantara mereka.”
Saya katakan: “Apa yang kalian fahami wahai para pembaca dari ungkapan ini, bukankah ucapannya dengan jelas menunjukkan bahwa orang yang tidak memiliki perhatian pada budi pekerti dan adab-adab Islami dan tidak menunaikan hak-hak muslimin di kalangan mereka maka berarti dia bukan seorang salafy, atau orang yang tidak komitmen dengan perkara-perkara ini berarti dia bukan termasuk orang yang merealisasikan tauhid?
Jawaban terhadap masalah ini mengandung dua sisi yaitu:
1. Bantahan dengan nash yaitu hadits yang dikeluarkan At-Tirmidzi dan lafazhnya dari beliau, juga dari Ibnu Majah hadits dari Abdullah bin Amr dia berkata bahwa Rasulullah telah bersabda:
إن الله سيخلص رجلا من أمتي على رءوس الخلائق يوم القيامة فينشر عليه تسعة وتسعين سجلا كل سجل مثل مد البصر، ثم يقول: أتنكر من هذا شيئا؟ أظلمك كتبتي الحافظون؟ فيقول: لا يا رب، فيقول: أفلك عذر؟ فيقول: لا يا رب، فيقول: بلى إن لك عندنا حسنة، فإنه لا ظلم عليك اليوم، فتخرج بطاقة فيها: أشهد أن لا إله إلا الله وأشهد أن محمدا عبده ورسوله، فيقول: احضر وزنك، فيقول: يا رب ما هذه البطاقة مع هذه السجلات، فقال: إنك لا تظلم”، قال: «فتوضع السجلات في كفة والبطاقة في كفة، فطاشت السجلات وثقلت البطاقة، فلا يثقل مع اسم الله شيء»
“Sesungguhnya Allah akan membersihkan seseorang dari umatku di hadapan makhluk pada hari kiamat, maka dihamparkan di hadapannya catatan kesalahannya sebanyak 99 lembar, masing-masing lembar sejauh pandangan mata, kemudian Allah berfirman, “Apakah ada yang engkau sedikit saja dari ini? Apakah para malaikatku yang mencatat amal telah menzholimi engkau?” Dia menjawab, “Tidak wahai Rabbku.” Lalu Allah bertanya, “Apakah engkau mempunyai udzur? Dia menjawab, “Tidak wahai Rabbku.” Maka Allah berfirman, “Sesungguhnya engkau di sisi kami masih memiliki kebaikan, karena sesungguhnya engkau tidak akan dizhalimi pada hari ini.” Lalu dikeluarkanlah selembar kartu yang di dalamnya tertulis:
أشهد أن لا إله إلا الله وأشهد أن محمدا عبده ورسوله
Allah berfirman, “Hadirkan timbangan amalmu!” Dia berkata: “Wahai Rabbku, apalah nilai kartu ini dibanding dengan lembaran-lembaran tersebut?!” Allah menjawab: “Sesungguhnya engkau hari ini tidak akan dizhalimi.” Rasulullah bersabda: “Kemudian diletakkan lembaran-lembaran itu di piringan timbangan yang satu dan kartu di piringan timbangan lain, maka ringanlah lembaran-lembaran dan beratlah kartu tersebut, jadi tidak akan ada sesuatu yang berat bersama nama Allah.”
At-Tirmidzi berkata: “Hasan ghorib.” Al-Albany menilainya shahih dalam Ash-Shahihah no.135.
Penjelasan faedah hadits ini:
1. Bahwa orang ini menghadap Allah dalam keadaan fasik, tidak membawa kebaikan selain tauhid, yang memperjelas adalah karena Allah berfirman, “Sesungguhnya engkau di sisi kami mempunyai satu kebaikan.” Dan Allah tidak mengatakan, “kebaikan-kebaikan.”
2. Bahwa sekiranya dia mempunyai kebaikan yang banyak tentu akan disebutkan, maka jelaslah dengan ini bahwa orang tersebut tidak masuk ke dalam surga selain karena merealisasikan tauhid, karena lembaran-lembaran itu semuanya berisi catatan keburukan.
2. Apa yang telah ditetapkan oleh para imam Ahlus Sunnah bahwa barangsiapa yang menghadap Allah dengan membawa semua perbuatan dosa selain dosa syirik dan kekafiran, maka dia berada dalam kehendak Allah, apabila Allah menghendaki Dia akan mengampuninya dan jika Allah menghendaki Dia akan mengadzabnya, dan kalaupun Dia mengadzabnya maka Dia tidak akan mengekalkannya di neraka. Para ulama tersebut berdalil dengan Al-Kitab dan As-Sunnah.
Dalil dari al-Kitab diantaranya:
إن الله لا يغفر أن يشرك به ويغفر مادون ذلك لمن يشاء
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni jika Dia disekutukan, dan Dia mengampuni dosa yang di bawahnya bagi siapa yang Dia kehendaki.”
Dalil dari As-Sunnah yang mutawatir dalam bab ini adalah apa yang telah dikeluarkan oleh Al-Bukhary dari Ibnu Mas’ud bahwa Rasulullah mengatakan sebuah kalimat dan saya katakan dengan kalimat yang lain:
من مات وهو يدعو من دون الله ندا دخل النار
“Barangsiapa yang mati dalam keadaan menyeru tandingan selain Allah maka dia masuk neraka.”
Dan saya mengatakan:
من مات وهو لا يدعو لله ندا دخل الجنة
“Barangsiapa yang mati dalam keadaan dia tidak menyeru kepada selain Allah maka dia masuk surga.”
Dan hadits yang dikeluarkan al-Imam Muslim dari Jabir bin Abdullah radhiyallahu anhuma, dia berkata bahwa Rasulullah bersabda:
من لقي الله لا يشرك به شيئا دخل الجنة، ومن لقيه يشرك به دخل النار
“Barangsiapa yang menghadap Allah dalam keadaan tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu maka dia masuk surga, dan barangsiapa yang menghadap Allah dalam keadaan menyekutukan Allah maka dia masuk neraka.”
Apakah boleh setelah nash-nash ini dengan makna-maknanya difahami oleh orang berakal bahwa orang yang mengesampingkan adab-adab dan perilaku dst -seperti yang diungkapkan Asy-Syaikh Ibrahim- berarti dia bukan seorang salafy?
Kesimpulannya: Berdasarkan dalil nash-nash dan atsar-atsar para imam Ahlus Sunnah menunjukkan bahwa Ahlus Sunnah itu ada dua:
1. Ada yang menghadap Allah di atas tauhid yang murni dan selamat dari berbagai maksiat, maka inilah mukmin yang sempurna keimanannya.
2. Orang yang menghadap Allah di atas tauhid hanya saja dia terjatuh pada perbuatan dosa besar, maka ini adalah mukmin yang fasik yang berada dalam kehendak Allah.
Maka jelaslah bagi para pembaca yang mulia bahwa perkataan Doktor Ibrahim –semoga Allah mema’afkan kami dan dia– adalah kerancuan yang membingungkan. Duhai kiranya dia mencukupkan dalam masalah ini dengan apa yang telah ditempuh oleh para imam di dalam menjelaskan pendalilan nash-nash dengan tanpa memberatkan diri dan tanpa memaksakan diri.
وصلى الله وسلم على نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين
(BERSAMBUNG INSYA ALLAH KE BAGIAN KEDUA)
Sumber:
http://www.sahab.net/forums/index.php?showtopic=124597
Catatan Kaki:
[1] Diarsipkan di: http://www.4shared.com/photo/kapMvjod/Taslim-klarifikasi.html
[2] Diarsipkan di: http://www.4shared.com/photo/9r0AHFlM/sahab-sy_ubaid-prof_ruhaili.html
[1] HR. Muslim no. 2931 dengan lafazh:
تَعَلَّمُوا أَنَّهُ لَنْ يَرَى أَحَدٌ مِنْكُمْ رَبَّهُ عَزَّ وَجَلَّ حَتَّى يَمُوت
“Ketahuilah, sesungguhnya tidak akan ada seorang pun diantara kalian yang akan melihat Rabbnya hingga dia mati.” (ed)
Download versi Pdf:
http://www.4shared.com/office/4UUjlIMq/Bantahan_Asy-Syaikh_Ubaid_Terh.html
jazakallohu khairan yaa syaikh
Jazakallah khair ya Syaikh Ubaid Al Jabiri hafizhahullah
sungguh subhat-subhat mereka begitu halus,semenjak belasan tahun silam hanya berganti wajah pada hakikatnya sama,namun para ulama’ kita Alhamdulillah terus berjuang membongkar makar-makar mereka,
Ya Allah kokohkan hati-hati kami di atas agamaMu ini, runtuhkan makar musuh-musuh kami, amin.
جزاكم الله خيرا
جزاكم الله خيرا