Kajian Khusus Tentang Kaedah-kaedah Hajr (Bag.1)
Oleh: Fadhilatus Syaikh Abdullah bin Abdurrahim al Bukhari Hafizhahullah Ta’ala
Apa Itu Hajr (Boikot)?
Al-Hajr (الهَجر) dengan difathah, lawan dari menyambung, dikatakan:هَجَرَهُ يَهْجُرُهُ هَجْرا وَهِجْرَانًا – بالكسر- Artinya memutusnya .وهما يَهْتَجِرَان وَيَتَهَاجَرَانِ Artinya : keduanya saling memutus hubungan, nama yang diambil darinya: al-hijrah. الهُجُر : dengan di dhommah, artinya : kejelekan, kekejian dalam ucapan.
Berkata Raghib Al-Ashbahani rahimahullah dalam “al-mufradaat”: al-hajr dan al-hijraan, adalah seseorang yang memisahkan diri dari yang lain, baik dengan badannya, lisannya atau hatinya.[1] Lalu Beliau menguatkan hal itu dengan dalil-dalil dari kitabullah.
Al-Imam Al-Bukhari Rahimahullah menyebutkan bab dalam shahihnya, dalam kitab Al-Adab, bab al-hijrah, dan sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam :
لَا يَحِلُّ لِرَجُلٍ أَنْ يَهْجُرَ أَخَاهُ فَوْقَ ثَلَاثِ
“Tidak halal bagi seseorang memboikot saudaranya lebih dari tiga (hari).”[2]
Berkata Al-Hafizh Al-Aini rahimahullah dalam Al-Umdah :
“Al-hijrah -dengan Ha yang dikasrah dan Jim yang disukun-, adalah meninggalkan berbicara dengan saudaranya mukmin tatkala keduanya bertemu, dan setiap dari keduanya berpaling dari sahabatnya tatkala berkumpul.”[3]
Dikeluarkan Imam Muslim dalam Ash-shahih (4/2564) dari hadits Abu Hurairah Radhiallahu anhu bahwa Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:
لا تَحَاسَدُوا ولا تَنَاجَشُوا ولا تَبَاغَضُوا ولا تَدَابَرُوا
“Janganlah kalian saling hasad, jangan kalian saling melakukan najasy [4], jangan kalian saling membenci, jangan kalian saling memutus hubungan…..” hadits.
Berkata Al-Hafizh Abu Ubaid dalam “ghariibul hadits” [5]: At-Tadabur artinya: memutus hubungan dan memboikot, diambil dari kata: seseorang yang menghadapkan duburnya kepada yang lain, dan memalingkan wajahnya darinya, yaitu saling memutus hubungan.”
Seperti itu pula yang disebut Imam Malik rahimahullah dalam Al-Muwaththa’.[6]
Namun disini saya ingin menjelaskan dua peringatan penting:
Pertama :
Hendaknya diketahui bahwa asal hukum hijrah (memboikot/meninggalkan) adalah dengan hati, adapun meninggalkan dengan badan dan lisan, keduanya mengikuti hatinya, sebagaimana yang disebutkan oleh Imam Ibnul Qayyim dalam “Ar-Risalah At-Tabukiyah”.[7] Beliau berkata:
“Sesungguhnya hal yang terpenting yang menjadi tujuannya adalah berhijrah menuju Allah dan Rasul-Nya, sesungguhnya itu adalah fardhu ain bagi setiap hamba disetiap waktu, dan tidak diperbolehkan bagi siapapun untuk berlepas dari kewajibannya ini, sebab ini merupakan tuntutan dari Allah dan kehendak-Nya kepada para hamba-Nya. Sebab hijrah itu ada dua macam:
Hijrah pertama: hijrah dengan jasadnya dari satu negeri menuju negeri yang lain. Hukum-hukum tentangnya merupakan hal yang maklum, dan bukan ini inti pembahasan kita.
Hijrah yang kedua: berhijrah dengan hatinya menuju Allah dan Rasul-Nya –Shallallahu Alaihi Wasallam-, inilah yang dimaksud disini, dan ini merupakan hakekat hijrah, yang merupakan asal, adapun jasad menjadi pengikut hatinya….” Kemudian Beliau menjelaskan panjang lebar dalam merinci dan menjelaskan prinsip ini , silahkan merujuk ke kitab tersebut.
Kedua:
Hendaknya diketahui bahwa termasuk prinsip agung Ahlus sunnah wal jama’ah adalah: kewajiban bersatu dan meninggalkan perpecahan dan perselisihan, dan persatuan tersebut dibangun diatas kebenaran, bersama kebenaran dan karena kebenaran tersebut. Allah Azza Wajalla berfirman :
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا
“Berpegang teguhlah kalian dengan tali Allah dan jangan kalian bercerai berai.” (QS,Ali Imran:103)
Dan Allah Azza Wajalla berfirman:
إِنَّ الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ وَكَانُوا شِيَعًا لَسْتَ مِنْهُمْ فِي شَيْءٍ
“Sesungguhnya orang- orang yang memecah belah agama mereka sehingga masing- masing mereka memiliki pengikut , Engkau tidaklah termasuk dari bagian mereka.” (QS.Al-An’am:159)
Dan ayat-ayat dalam permasalahan ini cukup banyak.
Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda, sebagaimana yang diriwayatkan Imam Muslim dalam Ash-Shahih[8] dari hadits Abu Hurairah radhiallahu anhu:
إِنَّ اللَّهَ يَرْضَى لَكُمْ ثَلَاثًا وَيَكْرَهُ لَكُمْ ثَلَاثًا
“Sesungguhnya Allah meridhai kalian tiga perkara dan membenci kalian dari tiga perkara.”
Kemudian Beliau Shallallahu ALaihi Wasallam menyebutkan salah satunya:
وَأَنْ تَعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا
“Dan kalian berpegang teguh dengan tali Allah dan jangan berpecah belah.”
Ini syahid dari hadits ini, dan hadits-hadits banyak yang menjelaskan masalah ini, diantaranya hadits masyhur yang menjelaskan tentang tercelanya perpecahan.
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah Ta’ala:
“Kalian mengetahui bahwa diantara kaedah agung yang menjadi inti agama ini adalah: menyatukan hati dan manyatukan kalimat, dan memperbaiki hubungan diantara sesama. Karena sesungguhnya Allah Ta’ala berfirman:
فَاتَّقُوا اللَّهَ وَأَصْلِحُوا ذَاتَ بَيْنِكُمْ
“Bertaqwalah kalian kepada Allah dan perbaikilah hubungan diantara sesama kalian.” (QS.Al-Anfal:1)
Lalu Beliau menyebutkan beberapa ayat dalam dalam masalah ini. Lalu Beliau melanjutkan :
“… dan yang semisal dari nash-nash yang memerintahkan untuk berjama’ah dan bersatu dan melarang dari perpecahan dan perselisihan, dan orang yang memegang prinsip ini adalah ahlul jama’ah, sebagaimana orang yang meninggalkannya adalah ahlul furqah.”
Jika demikian –wahai para saudaraku yang aku cintai- yang wajib bagi kita untuk bersemangat dan berusaha mewujudkan prinsip ini dan menegakkannya diatas kebenaran dan dengan kebenaran, dengan menebar kasih sayang, persatuan, rasa cinta, dan saling bersaudara karena Allah dan untuk Allah, dalam mewujudkan perintah Ilahi dan bimbingan Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam, dan menjauhkan diri dari setiap sebab-sebab perpecahan dan pemutus hubungan, dengan menyebarkan pintu-pintu kebaikan dan penyambung hubungan, sebagaimana yang telah dijelaskan pada bahasan seputar masalah ini.
(bersambung insya Allah) ……………
[1] Lihat: mu’jam maqaayiis al-lughah,Ibnu Faris (6/34), lisan Al-Arab, Ibnu Manzhur (8/hal:4617).
[2] Hal:833.
[3] 22/141
[4] Najasy adalah seseorang yang sengaja menaikkan harga barang seorang penjual padahal dia tidak ingin membelinya, namun dengan tujuan agar orang lain membelinya dengan harga yang tinggi. (pen)
[5] (2/10)
[6] 2/907
[7] Hal:35.
[8] Nomor:1715 (10).
Sumber: http://salafybpp.com/manhaj-salaf/114-kajian-khusus-tentang-kaedah-kaedah-hajr-bag-1.html
Jazakumullahu khoir bermanfaat