بسم الله الرحمن الرحيم
DSDB vs DSDB (Dakwah Salafiyah Dakwah Bijak vs Dakwah Sururiyyah Dakwah Buas)
Para ikhwah sekalian, dengan sedikit pemaparan bukti-bukti kebuasan Dakwah Buas di atas, semoga anda sekalian dapat memahami kenapa mereka marah sedemikian rupa, karena Allah-kah? Karena Islam dihina? Karena Al Qur’an dilecehkan? Tidak sekali-kali tidak. Mereka marah karena kejahatannya diungkap, mereka benci kepada kita karena kejahatan para tokoh-tokoh hizbi serta Ikhwanul Muslimin dibeberkan kepada umat. Asy-Syahid sudah terlanjur disematkan kepada umat, gelar ulama besar sudah keburu ditampilkan untuk menyanjung-nyanjung para penyesat dan mujahid dianugerahkan kepada para pengacau dan peneror masyarakat. Tetapi kemudian datang orang-orang yang tidak tega Islam dilecehkan, kemuliaan Al Qur’an para shahabat Rasulullah dihinakan, Sunnah-sunnah Rasul Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam diingkari dan dicampakkan ajaran, berupaya memadukan antara kemuliaan Islam dengan kenajisan ajaran-ajaran kuffar…. Mereka membongkar kejahatan para “ulama besar, mujahid dan syuhada’ Ikhwanul Muslimin. Inilah sebagian kecil bukti kejahatannya….
Tuduhan-tuduhan “Ulama besar, mujahid dan syuhada” Ikhwanul Muslimin
a. Salafy = Syi’ah dan juga Murji’ah
“Maka sesungguhnya dia bohong kalau berteriak-teriak ingin membela syari’at Islam! Ini adalah ajaran Syi’ah pak! Ajaran Syi’ah dipake oleh mereka itu! Gimana mereka itu mengaku salafy, bodoh begitu pak? Kok masih percaya itu orang-orang masuk kelompoknya itu pak? Syi’ah, bahkan Syi’ah sendiri juga dilanggar itu terutama setelah revolusi Khumaini. Karena orang Syi’ah tidak mau berjihad sebelum imam Mahdi yang dia maksud turun, baru ada jihad. Tapi karena terpaksa, didhalimi, Khumaini melanggar aturan itu pak, jihad duluan belum ada khalifah.
Kelompok ini ngakunya Ahlus sunnah! Ngakunya Salafy! Syi’ah dari konteks ini pak! Dari konteks ini Syi’ah! Dia juga Murji’ah!” (Halawi Makmun, transkrip VCD bedah buku di masjid Al Furqon, DDII Jakarta oleh Pustaka Al Kautsar, file ini hasil transkrip Abu Dzulqarnain )
Komentar:
Simak bantahannya di poin: [Persatuan Sunnah—Syiah, Slogan Buas Ikhwanul Muslimin]
b. Memvonis pemerintah sebagai thaghut dan mengkafirkan salafy
“Coba kalau sekarang ada umat Islam yang justru bersatu dengan thaghut memerangi para mujahid, hukumnya apa pak? (KAFIIIR—jawab penonton).Kafir!(Halawi menegaskan—trnskrptr). Antum kan ragu, kalau ragu aqidahnya juga perlu dicek! (ha..ha..ha—penonton).
Iya, kata Al-Qur’an waman yakfir bithaghut waman yu’mimbillah faqadistamsaka bil ‘urwatil wutsqa. Antum ibadahnya sudah hebat, tidak menyekutukan Allah tapi ada thaghut nggak dikafirkan, tolak aqidah antum!! Itu ayat bicara!” (Halawi Makmun, ibid)
Di acara yang sama, senada dengan Halawi, Fauzan Al Anshari juga setali tiga uang:
“Jadi George Bush itu ternyata lebih pinter daripada kita (yang) sudah ngaji tauhid berpuluh-puluh tahun dihadapkan pada fenomena sekarang ini tidak bisa menjawab, ya. Sedangkan moncong meriam sudah ada di depan mengapa kita mengatakan:”Ah, kita belajar tauhid dulu, kita masih bab pertama tauhid ini, jika kita harus bersihkan tauhid dulu, ya.”
Atau juga perkataannya lain:”Kita belum punya imam, ya maka kita punya imam dulu…”
Syubhat-syubhat inilah yang telah menggugurkan tauhid uluhiyyah mereka. (ibid)
Komentar:
Sungguh patut untuk dikasihani bahwa seorang pembesar para mujahid ternyata merasa minder dan mengaku kalah pinter dengan George Bush! Teman-teman dekatnya, seperti Halawi tentulah memiliki PR besar untuk membesarkan hati sahabat dekatnya ini agar tidak lagi merasa berkecil hati menyaksikan tingkah polah George Bush yang ternyata lebih pinter darinya walaupun mengaku telah mengaji tauhid berpuluh-puluh tahun.
Adapun peremehannya tentang nilai-nilai tauhid yang dipelajari dan dikaji oleh Salafiyyin, maka hal ini tidaklah terlalu mengherankan karena demikianlah ciri khas dakwah Ikhwani. Tauhid bukanlah prioritas utama dan pertama bagi mereka, tetapi daulah Ikhwaniyah adalah tujuan utama dan pertamanya!
Tak heran jika anda menemukan berbagai fikrah dan aqidah yang saling bertentangan dan bercampur baur dari kalangan orang-orang yang mengaku berdakwah di bawah naungan dakwah Ikhwanul Muslimin dengan prinsip batil mereka untuk saling berlapang dada dari perbedaan-perbedaan yang ada. Dan inilah hakekat nyata dari dakwah para politikus demi menggalang massa dan bukan dakwah tauhid para Nabi yang memiliki garis batas yang jelas untuk membedakan antara ahlu tauhid dengan ahlu syirik, ahlu haq dengan ahlu batil, ahlu sunnah dengan ahlu bid’ah, ahlu Islam dengan kuffar,dst.
c. Premanisme, memprovokasi umat untuk membunuh Luqman Ba’abduh
“Kalau orang betul-betul cinta kepada iman dan ada keimanan, tidak mungkin orang itu bisa bergaul dengan orang kafir, walaupun hanya simbol! Apalagi kalau duduk bersahabat dengan mereka bahkan ikut membela misi-misi mereka termasuk yang dilakukan oleh Luqman bin Muhammad Ba’abduh itu. Jelas pak! Hukumnya sudah jelas sebetulnya ini! Sudah jelas! Dan jaman ini kalau ini tidak usah nunggu-nunggu mahkamah, kelambanan pak! TEBAS DULU BARU CERITA!! (Allahu Akbar Allahu Akbar teriak penonton). Seperti itu, sudah melintang pak, bahkan dia lebih jahat daripada JIL (he..he..he—tawa penonton)! Daripada JIL! Jaringan Iblis Liberal!”
Komentar:
Adapun ancaman dan upaya provokasi pembunuhan sudah jelas buktinya dan demikianlah peran besar dari sang sutradara, Pustaka Al Kautsar Jakarta dalam melindungi dan menyebarkan gerakan pengkafiran, pembunuhan dan teror Ikhwanul Muslimin yang dikemas dengan acara bedah buku Abduh ZA.
Sedangkan ucapan Halawi: “Kalau orang betul-betul cinta kepada iman dan ada keimanan, tidak mungkin orang itu bisa bergaul dengan orang kafir, walaupun hanya simbol! Apalagi kalau duduk bersahabat dengan mereka bahkan ikut membela misi-misi mereka…”
Maka bagi para politikus partai Ikhwani (dan bukan Luqman Ba’abduh!) ini adalah hal yang sangat mungkin. Tidakkah anda menyaksikan duduk-duduk mesra mereka di parlemen-parlemen di seluruh penjuru dunia? Apakah mereka hanya duduk-duduk bersama kader-kader sesama Ikhwani? Ataukah mereka HARUS melalui tahapan bid’ah “jihad politik” demi mencapai “deal-deal” politik? Apakah Halawi akan berkelit bahwa itu adalah contoh nyata yang terlalu jauh dari lingkaran organisasi NII? Kita berikan bukti yang lebih dekat, sedekat-dekatnya. Lihatlah aksi saudaramu seBedah Buku, seManhaj seAqidah, Fauzan Al Anshari. Fauzan al-Anshari adalah anggota komunitas lintas agama untuk perdamaian. Dengan siapa dia bergaul? Dengan orang-orang kafir! Walaupun hanya simbol!
Mereka yang menjadi teman si Ikhwani Abdullah Hadrami
http://img135.imageshack.us/img135/7684/fauzanhalawiabduhhadramcm8.jpg
Oleh karena itu, nasehat kami, berhati-hatilah dalam berbicara, kalau tidak….saudara sendiripun akhirnya dikafirkan!! “Jelas pak! Hukumnya sudah jelas sebetulnya ini! Sudah jelas! Dan jaman ini kalau ini tidak usah nunggu-nunggu mahkamah, kelambanan pak! TEBAS DULU BARU CERITA!! (Allahu Akbar Allahu Akbar teriak penonton). Seperti itu, sudah melintang pak, bahkan dia lebih jahat daripada JIL (he..he..he—penonton tertawa)! Daripada JIL! Jaringan Iblis Liberal!”
d. Kebiasaan tuduh tanpa bukti, Salafy ditunggangi Yahudi, bau pengkafiran
“Jadi jelas pak! Kita tahu pak kalau kelompok ini di mana sebetulnya mereka itu! Siapa di belakang mereka! Maka saya sendiri mengatakan,”Kalau ada orang ngebom, mungkin itu sebetulnya di belakang ada orang Amerika” orang mungkin percaya. Iya pak ya, mungkin percaya. Tapi kalau ana menyampaikan ada orang jenggotnya panjang, celananya setengah betis, ya kan pak? Ngomongnya ini bid’ah, ini khurafat, ini itu lalu ana mengatakan, “Mereka sebetulnya ditunggangi oleh Yahudi!” Orang sulit untuk percaya. Tetapi justru di situlah Yahudi kehebatannya, memancing atau menyusupkan orang yang sulit untuk dipahami, karena apa? Karena argumentasi yang dipake juga ada dari agama! Sehingga kalau orang-orang yang nggak cermat dan teliti akan terjebak pak, termasuk orang-orang yang sekarang menjadi pengikutnya! Pura-pura sok Islam, pura-pura sok yang lain batil, kalau ketemu nggak nyampe salam pak! Kan begitu yang ada?” (ibid)
Komentar:
Tidakkah anda menyaksikan kejujuran sang pendekar takpiri ini ketika dia mengakui: “…Maka saya sendiri mengatakan,”Kalau ada orang ngebom, mungkin itu sebetulnya di belakang ada orang Amerika” orang mungkin percaya”
Bagaimana kami tidak akan percaya jika anda sendiri yang justru membuka rahasia bahwa Amerika adalah dalang konspirasi di balik aksi pengeboman yang terjadi? “Justru di situlah Yahudi kehebatannya, memancing atau menyusupkan orang yang sulit untuk dipahami, karena apa? Karena argumentasi yang dipake juga ada dari agama!” Dan yang lebih sulit untuk dipahami adalah masih saja ada kaum muslimin yang terkecoh dengan mengelu-elukan para pengebom itu sebagai pahlawan Islam! Patut dikasihani, mereka mengira bahwa demikianlah aturan Islam dalam sebuah peperangan, tidak peduli wanita dan anak-anak, pokoknya kafir TEBAS DULU BARU CERITA!! (Allahu Akbar Allahu Akbar teriak penonton). Seperti itu, sudah melintang pak..”
Bedanya, Amerika menggelari pasukannya yang pulang dari medan perang membunuhi orang-orang sipil tak bersenjata sebagai pahlawan perang. Adapun para Ikhwani ini, menggelari teman-teman sefikrah semanhaj yang membunuhi turis sipil tak bersenjata itu sebagai para mujahid dan syuhada yang gagah perkasa melawan kebengisan orang-orang kafir! Inna lillah.
Kadang harus kita terima kenyataan bahwa memang batas antara gelar “pengecut” dengan “pemberani” amatlah tipis, sehingga bagi sebagian orang akan terjatuh, mengalami ketergelinciran, salah meletakkan antara gelar “pengecut” bagi si “pemberani” dan malah menyematkan pujian “pemberani” bagi seorang “pengecut”. Demikianlah kehidupan.Na’udzubillah tsumma na’udzubillah.
Kalau ada diantara pembaca yang kurang yakin dengan ucapan Halawi, silakan langsung membaca “argumentasi dan dalih agama yang dipake” untuk operasi pengeboman yang dilakukan oleh teman-temannya (Imam Samudra cs) di buku AMTnya (Akulah Manusia Teroris!)
e. Menghina Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah. Fitnah Al Qur’an adalah makhluk adalah masalah pribadi!
“Ana Tanya, jadi imam Ahmad bin Hanbal pak, dia adalah Salafush Shalih ya kan? Kenapa dia tidak menentang masyarakat pada saat itu? Ana bilang, saat itu atau pada periode Rasulullah sampai Turki Utsmani itu yang jalan syari’at Islam sehingga kita tidak perlu memberontak! Buat apa? Syaria’t Islam sudah jalan! Kalaupun ada pertikaian, itu pertikaian pribadi antara seorang muballigh dengan imamnya karena yang dhalim imamnya! Bukan hukumnya, termasuk yang dilakukan oleh Ahmad dengan Makmun. Ya kan begitu kan? Kata imam Ahmad, “Man qala biannal qur’an makhluq fahuwa kafir!” Makmun mengatakan, walaupun Imam Ahmad nggak menyerang Makmun kafir tapi mengatakan “Barangsiapa” dan Makmun termasuk yang mengatakan bahwa Al-Qur’an itu adalah makhluk. Maka sebetulnya kafir menurut Imam Ahmad! Ya kan?”
Komentar:
Ucapan di atas adalah bukti pelecehan kejinya terhadap Imam Ahmad rahimahullah, mengecilkan dan memandang sebelah mata penderitaan dan perjuangan gigih beliau dalam melawan kebatilan. Fitnah “Al-Qur’an Makhluk” ditudingnya hanya sebagai persoalan pribadi! Aqidah negara yang wajib untuk diimani oleh seluruh masyarakat ketika itu adalah “Al-Qur’an makhluk” dan Halawi menyebutnya “yang jalan syari’at Islam sehingga kita tidak perlu memberontak!” Anda katakan ini sebagai syariat Islam wahai Halawi? Innalillah.
Bahkan kami beri kalian hadiah obat yang sungguh sangat pahit ditelannya akan tetapi Insya Allah segera menyembuhkan, bahwa orang yang kalian hiasi dan gelari sedemikian hebat dan dahsyat sebagai “Asy Syahid” Sayyid Quthub ternyata memiliki aqidah rusak bahwa Al Qur’an adalah makhluk!
Sayyid berkata sesudah ia berbicara tentang huruf-huruf yang terputus-putus di dalam Al Qur’an:
“Akan tetapi mereka tidak akan mampu untuk menulis seperti kitab ini, sebab kitab ini dari ciptaan Allah bukan dari ciptaan seorang manusia”.[Fi Dzilalil Qur’an, 5/2719]
Dan dia juga berkata dalam menetapkan bahwa al Qur’an adalah sesuatu yang dicipta ( yaitu makhluk) : “Sebagaimana ruh termasuk rahasia-rahasia yang Allah mengkhususkan DiriNya dengan rahasia-rahasia tersebut, begitu pula al Qur’an merupakan ciptaan Allah yang seorang makhlukpun tidak akan dapat menyamainya”.[ Fi Dzilalil Qur’an, 4/2249-2250]
Bagaimana mungkin seorang “ulama besar”, pimpinan “mujahidin” Ikhwanul Muslimin, dedengkot “syuhada” bisa tertutup darinya khabar-khabar fitnah yang porosnya berputar menimpa Ahlus Sunnah di zaman al Makmun dan al Mu’tashim serta al Watsiq dan juga siksaan yang menimpa Imam Ahmad akibat perbuatan kaum Jahmiyah dan Mu’tazilah?
Salafush Shalih telah ijma’ bahwa al Qur’an adalah Kalamullah dan bukan makhluk. Kalamullah adalah satu sifat dari sifat-sifat Allah. Pengingkaran merekapun keras terhadap siapa saja yang berpendapat bahwa al Qur’an makhluk, Bukhari berkata : “telah berkata Ibnu Uyainah juga Mu’adz dan Hajjaj bin Muhammad dan Yazid bin Harun dan Hasyim bin al Qasim dan ar Rabi’ bin Nafi’ al Halabi dan Muhammad bin Yusuf dan Ashim bin Ali dan Yahya bin Yahya serta ahlul ilmi bahwa barang siapa mengatakan al Qur’an makhluk maka orang tersebut telah kafir ”.[Khalqul Af’alil Ibad, Muhammad bin Isma’il al Bukhari, hal. 25]
Maka katakanlah dengan tegas dan mantap wahai Halawi takpiri dengan ucapanmu sendiri:
“Kata Imam Ahmad, “Man qala biannal Qur’an makhluq fahuwa kafir!” Makmun mengatakan, walaupun Imam Ahmad nggak menyerang Makmun kafir tapi mengatakan “Barangsiapa” dan Makmun termasuk yang mengatakan bahwa Al-Qur’an itu adalah makhluk. Maka sebetulnya kafir menurut Imam Ahmad!”
Bukankah ini ucapanmu sendiri di masjid DDII wahai takpiri? Adalah hal yang sangat menakjubkan akal-akal orang sehat bahwa orang semodel Sayyid Quthub yang telah “dikafirkan” oleh Halawi NII malah digelari Ikhwanul Muslimin dan pembela Ikhwanul Muslimin semodel Pustaka Al Kautsar dan manajer Abduh ZA sebagai Asy Syahid!! Asy Syahid “satu-satunya” yang memiliki aqidah rusak bahwa Al Qur’an adalah makhluk dan memang hanya satu yang demikian, “Asy-Syahid” miliknya Ikhwanul Muslimin. Duhai, akal sehat telah pergi dan rasa malu telah lari terbirit-birit meninggalkannya. Malu…
f. Bai’at Ikhwan, Belenggu Hizbiyyah yang Membinasakan
Pemimpin Ikhwanul Muslimin mengajarkan:
“Siapa yang tidak mau berbai’at maka silahkan mencari Jama’ah lain selain Ikhwanul Muslimin!”
Komentar:
Demikianlah ucapan sombong nan membinasakan dari Mursyidul ‘Am Ikhwanul Muslimin, Hasan bin Ismail Al Hudaibi untuk membelenggu orang-orang Ikhwanul Muslimin agar taat, tunduk, patuh terhadap aturan jama’ahnya.
Bai’at bid’ah ini cukuplah dibantah kebatilannya oleh seorang anak muda pada masanya:
“…seorang Tabi’in bernama Mutharrif bin Abdillah bin Syikhkhir mengingkari Zaid bin Shouhan dalam hal tulisan perjanjian yang ia siapkan untuk orang lain. Mutharrif mengatakan:”…Saya mendatanginya (Zaid bin Shouhan) di suatu hari dan mereka (yang bersama Zaid) sudah menuliskan sebuah tulisan serta sudah mereka rapikan redaksinya sebagaimana berikut ini: Sesungguhnya Allah Rabb kami, Muhammad Nabi kami, al Qur’an Imam kami dan barangsiapa bersama kami maka kami mendukungnya dan barangsiapa yang menyelisihi kami, maka tangan kami akan melawannya dan kami… dan kami…. Lantas ia sodorkan tulisan itu kepada seorang demi seorang dan mereka mengatakan: “Apakah engkau sudah mengikrarkannya wahai fulan?”, sehingga sampai pada giliran saya maka mereka pun mengatakan: “Apakah kamu sudah mengikrarkannya wahai anak?” Akupun menjawab: “Tidak!”
Zaid bin Shouhan mengatakan (kepada petugasnya, pent): “Jangan kalian terburu-buru pada anak ini, apa yang kamu katakan wahai anak?”
Saya katakan: “Bahwa Allah telah mengambil janji atas diriku dalam kitab-Nya, maka saya tidak akan mengambil janji lagi selain janji yang Allah telah ambil atas diriku.” Maka kaum itupun akhirnya tidak seorangpun dari mereka mengikrarkannya. [Riwayat Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliya, 2/204 dengan sanadnya sampai kepada Mutharrif] dan jumlah mereka saat itu kurang lebih 30 orang.”
Subhanallah, seorang anak muda telah mengajari kita semuanya bahwa bai’at Ikhwan adalah bai’at bid’ah yang tidak mungkin bagi kita mentaatinya. Allah telah mengambil janji atas diri-diri kita di dalam kitabNya, kenapa kita harus menukarnya dengan mengikuti bai’at kebinasaan Ikhwanul Muslimin?!
Bantahan selengkapnya, klik:
http://salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&idartikel=743artikel=744
http://salafy.or.id/print.php?idartikel=745
http://www.salafy.or.id/print.php?idartikel=746
http://salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id
g. Bila ISIH SINAU sok “Santun” dan Si Buas Takpiri Berkoalisi, Mampukah Menutupi Keganasan Dakwah Ikhwani?!
Sangat mengherankan bahwa Abduh BAUS dan Pustaka “milad bid’ah” Al Kautsar
tidak mau dicap “membela terhadap kelompok/aliran Ikhwanul Muslimin yang dianutnya…” (MDMTK, hal.6) dengan menyatakannya sebagai “perkataan tidak berdasar dan tanpa bukti maupun fakta” (BAUS, hal.16-17), “menebarkan kabar dusta, dari mimpi? Ilham ala shufi? Atau hanya bermain tebak-tebakan?…” (ibid, hal. 17). Padahal di buku yang dibantahnya (MDMTK hal.58-66) telah dengan jelas diterangkan SEKILAS bukti dan fakta kenapa Pustaka “milad bid’ah” Al-Kautsar disebut sebagai pengusung paham kelompok/aliran IM. Saudara Abduh dan Tohir Bawazir, inipun masih bukti sekilas dan anda sudah sedemikian panik dan meradang? Anda marah, tidak terima dan menuduh—pengungkapan berbagai kejahatan Ikhwanul Muslimin beserta para dedengkotnya—sebagai sebuah bentuk caci maki terhadap “para ulama besar dan mujahid serta syuhada berdasarkan kesaksian seluruh umat Islam di seluruh penjuru bumi,…” (BAUS, hal.111)?! Ya, ghibah yang terlarang menurutnya.
Tetapi, siapakah para ulama besar, mujahid dan syuhada yang “terang-terangan menampakkan kegigihan dan keberaniannya dalam berdakwah menegakkan al-haq, dan amar ma’ruf nahi munkar dan diklaim oleh penulis BAUS bahwa umat Islampun secara terang-terangan mengakui keikhlasan mereka dalam berdakwah yang sedang dighibah yang terlarang dalam agama Islam?
Penulis BAUS sendiri menyebutkan nama-nama mereka: Syaikh DR. Safar bin Abdirrahman Al Hawali hafizhahullah, Syaikh DR. Abdurrahman bin Abdil Khaliq hafizhahullah, Usamah bin Ladin, Syaikh DR. Nashir bin Sulaiman Al-Umar hafizhahullah, Syaikh DR. Salman Al-Audah, dan para ulama Ikhwanul Muslimin (BAUS, footnote hal.112). Asy-Syahid Syaikh Hasan Al-Banna, Asy-Syahid Syaikh Sayyid Quthub, Asy-Syahid DR. Abdullah Azzam…(BAUS, hal.153).
Abduh BAUS tak terima pula dengan buku MAT (Mereka Adalah Teroris!) yang membantah buku AMT (Akulah Manusia Teroris!) manusia berdarah dingin, Imam Samudra yang menyeru kepada paham pengkafiran, penghalalan carding (baca: pencurian) terhadap harta orang kafir. Perhatikan tulisannya: “Meskipun yang dikritik adalah Imam Samudra, terpidana mati kasus Bom Bali 1, tetapi mengatakan seseorang dengan perkataan “tidak memiliki bekal ilmu sedikit pun” sungguh merupakan sikap yang merendahkan orang lain.
Abduh BAUS menegaskan: “Bahkan, dalam buku STSK jelas-jelas kami katakan bahwa apa yang kami lakukan adalah untuk membela saudara-saudara kami sesama kaum muslimin yang dizhalimi” (footnote BAUS no.117, hal.43).
Kita katakan kepada Abduh BAUS:
Bagaimana anda BISA BERHASIL mengajari akhlaqul karimah kepada umat Islam jika anda sendiri bergaul mesra “bergandengan tangan”, bahu membahu berdakwah bersama si bengis, si kasar tak berakhlak dan si keji semacam preman “takpiri” NII Halawi Makmun yang siap “CEPROT, TEBAS” memprovokasi umat untuk membunuh muslim lainnya? Sesungguhnya wahai Abduh BAUS, bahasa-bahasa “ISIH SINAU” yang anda promosikan tidaklah mampu untuk menutup-nutupi setan bisumu terhadap kawan-kawan premanmu dan kebuasan dakwah Ikhwanul Muslimin! Ambillah satu atau dua kalimat di buku Luqman Ba’abduh yang menurut “perasaanmu” paling kasar, paling tidak santun dan paling tidak berakhlaq dan sekarang bandingkan dengan ucapan “santun” pengkafiran dan “akhlaq” CEPROT dari saudaramu takpiri Halawi Makmun dan Fauzan Al Anshari sebagaimana bukti transkrip yang terdahulu!!
Adapun tuduhanmu “perkataan tidak berdasar dan tanpa bukti maupun fakta” (BAUS, hal.16-17), “menebarkan kabar dusta, dari mimpi? Ilham ala shufi? Atau hanya bermain tebak-tebakan?…” (ibid, hal. 17). Maka inilah sedikit bukti mimpi ilham ala shufi yang anda bela dan elu-elukan…
h. Gandrungnya para dedengkot Ikhwan dengan aqidah shufiyah Wihdatul Wujud
Hanya di lisan dan tulisan mengaku sebagai Ahlussunnah dan pembela sunnah. Adapun bukti dan kesaksian para dedengkot Ikhwanul Muslimin sendiri?
Hasan al Banna berkata: “ aku bersahabat dengan Ikhwan al Hashafiyah di Damanhur dan aku rutin menghadiri hadrah (yakni acara berkumpulnya para shufi untuk berdzikir dan bernyanyi) di masjid at Taubah dalam setiap malamnya ” [Mudzakarah Dakwah wad Da’iyah, hal. 27]
Kemudian dia berkata :
“Dan hadir pula as Sayyid Abdul Wahab ( seorang pemberi ijazah dalam aliran Hashafiyah ) lalu aku mengambil al Hashafiyah as Syadzaliyah dari beliau dan beliau mengijinkanku dengan wirid-wirid serta amalan-amalannya ”. [Mudzakarah Dakwah wad Da’iyah, hal 33]
Jabir Rizq berkata: “Dan di Damanhur semakin kuat hubungannya ( yaitu Hasan al Banna ) dengan Ikhwan al Hashafiyah, serta beliau rutin menghadiri hadroh di masjid at Taubah pada setiap malamnya bersama Ikhwan Hashafiyah, dan beliau bersemangat untuk mengambil thariqah ini hingga beliau dapat berpindah dari derajat Muhib ke derajat at Tabi’ al Mubaya’ – yang diikuti dan diberi bai’at- ”. [Hasan al Banna Biaklami Talaamidzatihi wa Mu’ashirihi, hal. 8]
Hasan al Banna berkata: “Dan dipertengahan ini tampak bagi kami untuk membentuk di al Mahmudiyah sebuah organisasi perbaikan yaitu Jum’iyah al Hashafiyah al Khairiyah …serta mendirikan kantor sekretariat untuknya … dan aku serahkan pengendaliannya sesudah itu kepada organisasi Ikhwanul Muslimin ”. [Mudzakarah Hasan al Banna, hal. 28]
Dia juga berkata : “Adalah hari-hari di Damanhur dan di madrasah Mualimin merupakan hari-hari tenggelaman dalam perasaan tasawwuf dan ibadah… sehingga itu adalah masa tenggelam dalam ibadah dan tasawwuf ” kemudian dia berkata : “ aku tinggal di Damanhur kenyang dengan pemikiran Hashafiyah, dan Damanhur adalah tempat kuburnya as Syaikh Sayyid Hasanain al Hashafi yang merupakan syaikh thariqah yang pertama ”.[Mudzakarah, hal.32]
Jabir Rizq menukil pembicaraan Abdurrahman al Banna dari saudaranya yaitu Hasan al Banna, dengan berkata : “Dan sesudah shalat Isya’ saudaraku –yaitu Hasan al Banna- duduk bersama orang-orang yang berdzikir dari kalangan Ikhwan al Hashafiyah, sedang qalbunya telah terang dengan cahaya Allah, maka akupun duduk disebelahnya berdzikir kepada Allah bersama orang-orang yang berdzikir. Masjidpun telah kosong kecuali oleh orang-orang yang berdzikir dan penerangan masjidpun telah redup kecuali sumbu dari obor, dan malampun telah sunyi kecuali oleh bisikan doa atau oleh kilatan cahaya, ruangan dipenuhi dengan cahaya langit diselimuti oleh kemuliaan sang robbani dan tubuh-tubuhpun ketakutan dan para arwah linglung serta lenyaplah segala sesuatu dalam wujud dan tersapu, lalu mengalunlah suara nyanyian dalam kemanisan dan kegembiraan :
Allah, katakanlah dan
Jika engkau menginginkan puncak kesempurnaan
Maka segala sesuatunya selain Allah jika kamu teliti
Adalah tiada secara rinci maupun global”
[Hasan al Banna Biaklami Talamidzatihi wa Mu’ashirihi, hal. 80-81]
Bait syair ini jika tidak bermaksud kepada wihdatul wujud maka kita tidak mengetahui apa lagi yang dimaksudkannya? Ia adalah –demi Allah- sangatlah jelas bagai terangnya matahari di siang bolong, bait ini menjelaskan bahwa Allah adalah setiap sesuatu, Maha Tinggi Allah dari apa yang mereka katakan dan ini adalah aqidahnya shufi wihdatul wujud
Mungkin seseorang akan berkata bahwa ini terjadi pada awal-awal kehidupan Hasan al Banna. Ini adalah mustahil! Mayoritas para penulis biografi Hasan al Banna yaitu para murid dan orang yang semasa dengannya, tidaklah mereka menyebutkan akan hal itu bahkan mereka menetapkan apa yang bertentangan dengan anggapan tersebut, bahwa apa yang dinukil dari ucapan Abdurrahman al Banna tadi adalah terjadi sesudah kematian saudaranya.
Said Hawwa dalam kitabnya Jaulat fil Fiqhain berkata: “Sesungguhnya gerakan Ikhwanul Muslimin sendiri pertumbuhannya adalah sufi serta mengambil hakikat tasawwuf bukan salbiyahnya ” [Jaulah ke 8].
An Nadwi berkata:
“As Syaikh Hasan al Banna dan tonggak pendidikan ruhiyah dalam dirinya dan dalam jama’ah besarnya. Bahwa dia di awal urusannya –sebagaimana pengakuan dirinya- berada pada thariqoh al Hashafiyah as Syadziliyah dan dahulu dia sibuk oleh kesibukan dan oleh dzikir-dzikir mereka serta senantiasa rutin dengan hal itu dalam waktu yang lama. Telah bercerita kepadaku seorang pembesar sekaligus orang khusus di kalangan mereka bahwa dia berpegang dengan kesibukan dan wirid-wirid ini sampai diakhir hayatnya juga disela-sela kesibukan amalnya ”. [Tafsir as Siyasi al Islami, hal. 138-139]
Said Hawwa berkata:
“Pergerakan Islam di masa ini berpegang pada kesufian sebagai landasan pemikiran serta landasan budi pekerti dengan bentuk yang global. Ustadz al Banna telah menyebutkan didalam Risalah at Ta’alim bagaimana diterapkan kesufian dalam satu marhalah diantara marhalah-marhalah yang ada, dan pada sisi lain diterapkan kesalafian, dan menyebutkan pula dalam risalah muktamar yang ke lima bahwa ciri khas dakwah kita adalah hakikat kesufian ”.[ Tarbiyyah ar Ruhiyyah, hal.17]
Dan berkata pula : “Dan pada waktu yang bersamaan aku ingin kalau seorang muslim itu mengenali makna hakikat kesufian yang itu merupakan ciri khas dakwah ustadz al Banna ”.[ibid, hal.18]
Bagaimana dengan dedengkot Ikhwanul Muslimin lainnya? Apakah juga beraqidah Shufi?
Sa’id Hawwa berkata:
“Sesungguhnya kaum muslimin memiliki imam dalam aqidah untuk masa yang panjang, maka imam mereka dalam masalah aqidah adalah seperti Abul Hasan al Asy’ari dan Abul Hasan al Maturidi ”.[ Jaulah fil Fiqhain, hal.22-62]
Telah maklum adanya bahwa aqidah Asy’ariyah dan Maturidiyah bukanlah aqidah Salafush Shalih.
Sa’id Hawwa berkata lagi:
“Berdasar pada kaidah-kaidah yang lembut dalam ilmu aqidah maka munculah ilmu mantiq Islami sesudah mengalami modernisasi dari mantiq Yunani” [ibid, hal.48]
Dan berkata pula:
“Sesungguhnya ilmu mantiq dapat menjaga akal dari kesalahan dalam masalah aqidah ”.[ibid, hal.118]
Adapun jawabannya:
Sesungguhnya para imam Salaf telah melarang dari ilmu kalam dan mereka memperingatkan manusia darinya serta mencelanya.
Abu Yusuf –murid Abu Hanifah- berkata:
“Barangsiapa mempelajari agama ini dengan ilmu kalam maka ia telah menjadi zindiq –menyembunyikan kekafiran dalam hati dan menampakan keislaman- ”.[ Dikeluarkan oleh Al Khatib dalam kitab Syarfu Ashabil Hadits hal. 5 dan lihat Syarh at Thahawiyah, hal. 78 ]
As Syafi’i berkata :
“Hukumanku terhadap ahlul kalam adalah hendaknya mereka dipukul dengan pelepah kurma dan dengan sandal-sandal serta diarak keliling kabilah-kabilah dan diucapkan: “Inilah balasan bagi orang yang meninggalkan al Kitab dan as Sunnah serta berpaling kepada ilmu kalam ”.[Syarah Ath Thahawiyah, hal.72]
Imam Ahmad mensifati ahlul kalam sebagai:
“Mereka adalah ahlul bid’ah, mereka berselisih dalam al kitab dan mereka menyelisihi al kitab, mereka bersepakat untuk memisahkan diri dari al kitab, mereka membicarakan al kalam yang mutasyabih dan mereka menipu kalangan bodoh dari manusia dengan apa yang terperangkap didalamnya ”.[ Muwafaqatu Shahihil Mankul lish Sharihil Ma’qul, Ibnu Taimiyah 1/23]
Kalaulah bukan karena waktu dan keterbatasan tempat, tentulah kita akan memperpanjang daftar bukti kejahatan Ikhwanul Muslimin beserta para dedengkotnya terhadap dakwah tauhid. Tetapi demi kepuasan ilmiyah anda, kita akan sedikit melanjutkan kisah ini dengan tarian dansa dan dansi pemimpin Hizbul Ikhwan.
Umar at Tilmisani berkata:
“Aku mempelajari tarian Inggris di kantor-kantor Imaduddin, dan waktu itu pelajaran satu tarian membayar tiga pond Mesir maka aku belajar dansa, juga fokester juga charliston dan tango, aku juga belajar musik secara rutin ”.[Dzikrayat la Mudzakirat, hal.8]
Wahai saudaraku, kadang engkau akan menyangka bahwa hal ini adalah di awal kehidupannya yang kemudian dia bertaubat darinya. Akan tetapi at Tilmisani sendiri yang menjawab keraguanmu dengan berkata : “Sesungguhnya dalam kehidupanku ada beberapa yang tidak diridhai oleh kalangan mutasyadid –keras- dari Ikhwan atau dari selain mereka seperti tarian Inggris dan musik, sedang kehidupan bagi bertolaknya kehidupanku adalah jauh dari belenggu ikatan yang satupun agama dari agama-agama ini tidak memerintahkannya, khususnya Islam kita yang oleh Nabi kita disifati dengan yang maknanya “Sesungguhnya ia adalah toleran dan tidaklah seseorang bersikap keras didalamnya kecuali ia akan mengalahkan orang tersebut ”.[ibid, hal.3]
Di bawah judul “Aku Shalat di Bioskop”, at Tilmisani bercerita:
“Sesungguhnya saat aku bekerja sebagai pengacara, di suatu hari Jum’at aku mengunjungi beberapa film di bioskop lalu aku merasa sangat gembira dengan adanya kesempatan istirahat, kutunaikan shalat Dzuhur dan Ashar dengan cara jama’ qashar di salah satu sudut bioskop di mana aku sedang berada di dalamnya ”.[ibid, hal.12]
Yang terakhir dari ucapan Tilmisani tentang dirinya adalah :
“Jika kalian bertanya kepadaku tentang hawa nafsu maka akulah hawa nafsu, akulah anak hawa nafsu dan akulah bapak hawa nafsu serta saudara hawa nafsu ”.[ibid, hal.263]
Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un. Mushibah dan bala’ di depan mata, gerakan Ikhwanul Muslimin yang telah menokohkan dan mengelu-elukan hawa nafsu sekaligus merangkap anaknya, bapaknya dan saudara hawa nafsu.
Imam al Lalikai telah meriwayatkan dalam Syarhus Sunnah dari jalan Ibnu Thawus dari ayahnya berkata:
“Berkata seseorang kepada Ibnu Abbas : “Segala puji bagi Allah yang telah menjadikan hawa nafsu kami sesuai hawa nafsu kalian”, Maka Ibnu Abbas berkata : “Setiap hawa nafsu adalah kesesatan!”.
i. Mereka dipecat bukan karena cacat agama, tetapi Jama’ah memiliki aturan yang harus dipatuhi!
Saudaraku, kalau kita berbicara tentang firqah partai Ikhwanul Muslimin, jangan anda terkecoh dengan orang-orang yang mengingkarinya karena “merasa” tidak pernah tercatat atau mendaftarkan diri sebagai anggota resmi partai tersebut, jangan. Atau ucapan lainnya semisal: “Apakah mereka pernah membaca pengakuan kami di sebuah media bahwa kami orang IM atau kelompok IM atau beraliran IM?” Kita sedang membahas sebuah fikrah, pemikiran yang tertanam di otak, dibenarkan, dicetak, dibela dan disebarluaskan di kalangan pengikutnya dan seterusnya. Cukuplah anda mengenali mereka (orang-orang Ikhwanul Muslimin) d, simpatisan dan paa pembelanya dari kemarahan dan kebencian luar biasa mereka ketika sejarah kesesatan dan kejahatan partai ini beserta tokoh-tokohnya diungkapkan kepada umat.
http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&idonline=303online=304
Betapa sebuah partai yang berupaya keras untuk menanamkan pondasi ta’ashub hizbiyyah, fanatisme kelompok demi meruntuhkan prinsip al wala’ dan al bara’ fil Islam, cinta dan benci karena Allah!
Pembaca tentu akan bertanya, “Apa bukti yang mendukung ucapanmu?”
Buku “100 Pelajaran dari Para Pemimpin Ikhwanul Muslimin” (terbitan Robbani Press, Jakarta, 2001) mengajarkan kejelekan dan kehinaan dakwah hizbiyyahnya:
“”Bisa jadi (ilmu agama—pen.) mereka (yang dipecat—pen.) lebih baik dari kita.” Hanya saja Jama’ah memiliki aturan yang harus dipatuhi! (100 Pelajaran dari Para Pemimpin Ikhwanul Muslimin, hal.101, Robbani Press, Jakarta, 2001)
Subhanallah, inilah hakekat nyata ta’ashub hizbiyyah! Bukti terang benderang bahwa Ikhwanul Muslimin menjunjung tinggi aturan kelompok di atas prinsip agama Islam itu sendiri! Bukan lagi aturan agama yang mesti menjadi timbangan utama dalam setiap pengambilan keputusan, tetapi aturan Jama’ah Ikhwan-lah yang harus dipatuhi dan dilaksanakan. Tetapi…“Mereka menentangnya lalu mereka dipecat hingga barisan kembali stabil.” Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.
Bantahlah kebatilan prinsip mereka:
http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id
Akan tetapi, demikianlah memang kebatilan al wala’ dan al bara’ di sisi Ikhwanul Muslimin!
Jasim bin Muhalal al Yasin—salah satu guru di kalangan Ikhwan—berkata:
“Bahkan dakwah Ikhwan meninggalkan keberadaan dalam barisannya siapapun yang lari dari belenggu aturan-aturan mereka walaupun orang tersebut adalah da’i yang terwara’ dalam pemahaman terhadap Islam dan aqidah Islam, juga walaupun ia adalah orang yang paling banyak membaca kitab-kitab dan orang yang paling gigih pembelaannya terhadap umat Islam dan terkhusyu’ dalam sholat ”.[Liddu’at Faqot, hal.122, kitab ini telah dibantah oleh Ahmad al ‘Ajmi dengan bantahan yang tak perlu ada tambahan lagi atasnya . Walhamdulillah]
Tak heran jika seorang pedansa tango semacam Umar at Tilmisani dapat mencapai kedudukan sebagai Mursyidul ‘Am Ikhwanul Muslimin dan tak heran pula jika dengan belenggu bai’at yang diterapkan, seorang muwahhid akan mengalami “nasib baik” karena dipecat oleh mursyid “mudansa” atau “mutengo” Ikhwanul Muslimin!
Demikianlah bukti persaudaraan hizbiyyah yang sempurna terhadap siapapun yang satu shaff dengan jama’ahnya walaupun orang tersebut rusak aqidahnya dan rusak pula pemahaman agamanya! Begitu juga kebencian yang sempurna terhadap orang-orang yang di luar kelompoknya walaupun orang tersebut adalah orang yang gigih membela aqidah Salafush Shalih! Tidak diragukan lagi, inilah kebinasaan, kebinasaan dan kebinasaan. Semoga Allah melindungi kita semua dari dakwah Ikhwanul Muslimin yang membinasakan, amin.
j. Teror Ikhwanul Muslimin Terhadap Aqidah Tauhid
Abduh ZA. yang salah satu bukunya ditazkiyah Caldok Muhammad Arifin Badri berkata:
“Adapun tuduhan Al Ustadz Luqman bahwa aqidah Ikhwanul Muslimin tidak bermanhaj salaf, ini juga tidak benar. Apakah hanya karena tidak suka dengan Ikhwanul Muslimin, lalu mengatakannya tidak beraqidah salaf? Al Ustadz Asy Syahid Hasan Al-Banna rahimahullah berkata, “Dan kami meyakini bahwa pendapat salaf dalam masalah mendiamkan dan menyerahkan sepenuhnya ilmu tentang makna-makna ini semua kepada Allah Tabaraka wa Ta’ala adalah lebih selamat dan utama untuk diikuti.”[ Majmu’ah Rasa’il/ Imam Asy-Syahid Hasan Al-Banna/ hal. 328/penerbit Maktabah At-Taufiqiyah/Tanpa tahun ].
“Al-Allamah Prof. DR. Yusuf Al-Qaradhawi hafizhahullah berkata. “Ikhwanul Muslimin tidak menginginkan dalam masalah aqidah dan penjelasannya hanya sekedar kalimat-kalimat yang dihafal dan diulang-ulang. Ikhwan juga tidak menghendaki masalah ini dijadikan ajang perdebatan dengan orang lain, tanpa ada pengaruh apapun di dalam kehidupan orang bersangkutan…..Lihatlah, betapa sejak awal didirikannya dan mulai dari pendirinya sendiri, Ikhwanul Muslimin telah nyata bermanhaj salaf. Hanya saja yang membedakan adalah bahwa Ikhwanul Muslimin menerima perbedaan pendapat yang terjadi antara salaf dengan khalaf.” (Siapa…., hal.88-89)
Saudaraku sekalian, anda telah melihat legalisasi Abduh terhadap aqidah tafwidh pendiri Ikhwanul Muslimin, Hasan Al-Banna dan penerus perjuangannya, Yusuf Al-Qaradhawi!! Benarkah Salafush Shalih menganutv aqidah tafwidh sebagaimana tuduhan Al-Banna? Siapakah yang berdusta dalam permasalahan ini, Ustadz Luqman Ba’abduh ataukah Hasan Al-Banna, Yusuf Qaradhawi serta pendukungnya Abduh ZA. Yang ditazkiyah Caldok Muhammad Arifin Badri. Lc. MA.?! Silakan anda simak “sedikit” ulasan Asy-Syaikh Ahmad bin Yahya An-Najmi Hafidhahullah di bawah ini:
“Saya (Syaikh Ahmad An-Najmi) katakan:
Apa yang dia sebutkan sebagai mazhab Salaf bukanlah mazhab Salaf yang sebenarnya, bahkan itu adalah mazhab ahli tafwidh yang dibantah oleh Salaf .
Ketahuilah tafwidh (menyerahkan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala) ada dua macam: penyerahan cara atau penyerahan maknanya. Adapun Salaf, yaitu menyerahkan cara dan menetapkan maknanya, mereka menetapkan bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala apa yang Dia tetapkan bagi Diri-Nya dalam Al-Quran dan apa yang ditetapkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam hadits-hadits yang shahih dengan makna-makna yang dituntut oleh nash tersebut menurut bahasa, sedangkan mereka menyerahkan ilmu tentang caranya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Beginilah ucapan mereka dan telah dijumpai dalam jumlah yang banyak, misalnya Imam Malik Rahimahullah, ketika ditanya oleh seseorang tentang firman Allah Subhanahu wa Ta’ala (artinya):
“Allah beristiwa’ di atas ‘Arsy .” (QS. Thaha: 5)
Maka beliau Rahimahullah tertunduk sejenak sementara beliau Rahimahullah bermandikan keringat, setelah itu beliau mengangkat wajahnya seraya berkata: “Istiwa’ itu sudah diketahui, sedang caranya tidak diketahui, mengimaninya adalah wajib dan menanyakan (bagaimana)-nya adalah bid’ah, adapun kamu adalah seorang yang buruk, keluarkan dia !!”
Maka, barangsiapa yang menyangka bahwa Salaf men-tafwidh maknanya, maka dia telah membuat kedustaan terhadap mereka.
Al-Banna telah menekankan pemahamannya yang keliru bahwa Mazhab Salaf ialah tafwidh, bahkan dia juga menegaskan bahwa Salaf dan Khalaf semuanya memastikan bahwa yang dimaksudkan oleh lafazh-lafazh dari semua nash yang berbicara tentang Allah Subhanahu wa Ta’ala bukanlah makna tekstualnya sebagaimana ketika berbicara tentang makhluk. Hingga perkataannya: “Kalau sudah tetap hal ini, maka sesungguhnya Salaf dan Khalaf telah bersepakat atas asas ta’wil (makna kontekstual), sehingga menjadi minimlah perselisihan antara keduanya bahwa Khalaf menambahkan pembatasan makna yang diinginkan tatkala ada keterpaksaan yang mendesak mereka untuk melakukannya demi menjaga akidah awam dari kesamaran menyamakan (Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan makhluk), ini adalah sebuah perselisihan yang tidak pantas menimbulkan polemik dan permusuhan.” [Majmu’ah Rasail Al-Banna, hal. 330]
Dengan ini Al-Banna menyangka dia telah menyelesaikan perkara yang menyibukkan pikiran kaum muslimin dan mengobarkan permusuhan di antara mereka selama dua belas abad, tanpa melihat kepada abad pertama di mana tidak terjadi perselisihan tentang penetapan sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala melainkan hanya sesekali. Lalu terbayang dalam pikiran Al-Banna bahwa dirinya telah mendamaikan antara kaum muslimin dengan satu pertemuan saja sehingga mereka saling berpelukan tanda sepakat dan membuang perselisihan. Yang benar, ini adalah ucapan seorang yang tidak mengetahui akar dan kedalaman suatau permasalahan sehingga dia menyangka perkara tersebut begitu sederhana dan remeh .
Sesungguhnya permasalahan ini tidaklah mudah begitu saja, tidak mungkin salah satu dari kedua belah pihak akan mengalah terhadap pihak lain dari akidahnya. Kaum Salaf yaitu para shahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan pengikut mereka di setiap masa yang berjalan di atas manhaj mereka Radhiyallahu ‘anhum dan mengikuti jalan mereka Radhiyallahu ‘anhum meyakini bahwasanya sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang tersebut di dalam Al-Quran dan As-Sunnah wajib untuk diimani sesuai dengan tuntutan makna yang ditetapkan oleh bahasa Arab, adalah penetapan yang layak bagi kemuliaan Allah Subhanahu wa Ta’ala tanpa takyif (menanyakan bagaimananya), tamtsil (memisalkan), tasybih (menyerupkannya dengan makhluk), ta’thil (menolaknya), tahrif (merubah maknanya) dan ta’wil (menafsirkannya dengan keliru).
Dalam permasalahan istiwa misalnya, mereka mengatakan “Istiwa’ yang layak bagi-Nya”, dalam masalah tangan, kaki, betis, telapak kaki, wajah dan mata mereka katakan “Yakni tangan… yang layak dengan kemuliaan-Nya, suci dari penyerupaan dan kesamaan” .
Penjelasannya:
Kesamaan dalam nama tidaklah mengharuskan keserupaan dalam hakekat. Kalau kita katakan “Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala itu Maha Hidup” lalu kita mensifati manusia bahwa dia juga hidup, maka kesamaan nama ‘Hidup’ ini tidaklah mengharuskan keserupaan hakekat kehidupannya; hidup Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah azali Dialah yang Maha Awal tidak ada sesuatupun sebelum-Nya dan Dialah yang Maha Akhir tidak ada sesuatupun sesudahnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (artinya):
“Dan bertawakkallah kepada Allah Yang Hidup (Kekal) Yang tidak mati, dan bertasbihlah dengan memuji-Nya .” (QS. Al-Furqan: 58)
“Hidup”nya Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah qadim tanpa permulaan dan kekal tanpa penghabisan, sedangkan ‘hidup’ manusia bergantung kepada makan, minum dan tidur, maka apakah kesamaan nama ini mengharuskan keserupaan hakekatnya? Jawabnya: Tidak. Begitulah seterusnya .
Ahlussunnah konsensus bahwa sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang tsabit (telah ditetapkan di dalam Al-Quran dan Sunnah) maka wajib bagi setiap hamba mengimani dan meyakini makna yang dituntutnya secara lughat (bahas) sesuai dengan yang layak bagi kemuliaan Allah Subhanahu wa Ta’ala .
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah mengatakan dalam risalah tanya-jawabnya yang bernama Al-Hamawiyyah: ((Mazhab Salaf mensifati Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan apa yang Dia Subhanahu wa Ta’ala sifatkan bagi Diri-Nya dan dengan apa yang disifatkan bagi-Nya oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tanpa tahrif, ta’thil, takyif dan tamtsil. Telah kita ketahui juga bahwa apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala sifatkan bagi Diri-Nya, maka itu adalah kebenaran yang tidak ada padanya kesamaran atau teka-teki, bahkan maknanya dapat diketahui dari maksud orang yang berbicara dengan firman-Nya, terlebih lagi kalau orang yang membicarakannya adalah makhluk yang paling berilmu tentang apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala firmankan, makhluk yang paling fasih penjelasan, keterangan dan petunjuknya. Di samping itu, tidak ada sesuatupun yang menyerupai-Nya, tidak pada Diri-Nya Yang Maha Suci yang disebutkan dengan nama-namaNya dan sifat-sifatNya dan tidak pula pada perbuatan-perbuatan-Nya .
Sebagaimana telah kita yakini bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala mempunyai Dzat yang hakiki dan perbuatan yang hakiki, maka demikian pulalah Dia Subhanahu wa Ta’ala mempunyai sifat yang hakiki, namun tidak ada yang serupa dengan-Nya, baik dalam Dzat, sifat atau perbuatan-Nya itu .
Semua yang mewajibkan adanya kekurangan dan sifat baru maka Allah Subhanahu wa Ta’ala tersucikan darinya secara hakiki, sebab Dialah yang berhak dengan kesempurnaan yang tidak ada lagi kesempurnaan yang lebih sempurna dari-Nya. Tidak mungkin ada sifat baru pada-Nya sebab tidak mungkin Dia Subhanahu wa Ta’ala tertimpa ketiadaan, dimana sifat baru itu mengharuskan ketiadaan lebih dulu dan sesuatu yang baru membutuhkan siapa yang memunculkannya. Juga karena Dia Subhanahu wa Ta’ala itu wujud ada dengan sendiri-Nya .
Madzhab Salaf berada di tengah antara tamtsil dan ta’thil, mereka tidak menyerupakan sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan sifat-sifat makhluk sebagaimana mereka tidak menyamakan Dzat-Nya dengan dzat makhluk-Nya (Ini berbeda dengan ahli tamtsil). Salaf tidak meniadakan apa yang Dia sifatkan bagi Diri-Nya dan apa yang Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sifatkan bagi-Nya, sedangkan mereka yang bertentangan dengan salaf, menolak asmaul husna dan sifatul ulya yang dimiliki oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, merubah kalimat dari tempat-tempatnya dan menyimpangkan makna nama-nama Allah Subhanahu wa Ta’ala dan ayat-ayatNya. Setiap dari dua kelompok ini: yakni ahli tamtsil dan ta’thil, sebenarnya mengumpulkan antara ta’thil dan tamtsil sekaligus .
Adapun ahli ta’thil, mereka tidak memahami nama-nama dan sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala kecuali apa yang pantas bagi makhluk lalu dengan segera mereka meniadakan apa yang mereka fahami itu. Ini membuat mereka melakukan ta’thil dan tamtsil sekaligus, awalnya dia menyamakan (dengan makhluk) dan akhirnya menta’thil (menolaknya). Artinya: Dia menyamakan dan menyerupakan pemahaman tentang asma dan sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan pemahaman tentang asma dan sifat makhluk, setelah itu dia men-ta’thil (menolak) nama-nama dan sifat yang menjadi hak dan layak bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala .”[ V/26, Al-Fatawa Al-Kubra]
Salah seorang tokoh para imam yaitu Muhammad bin Ishaq bin Khuzaimah Rahimahullah berkata dalam kitab Tauhid: “Kami dan seluruh ulama kita dari penduduk Hijaz, Tihamah, Yaman, Iraq, Syam dan Mesir menyatakan mazhab kami adalah: Kami menetapkan apa yang telah ditetapkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk diri-Nya, kami mengikrarkannya dengan lisan kami dan membenarkannya dengan hati kami, tanpa menyerupakan Wajah Khaliq kami dengan wajah seorang makhluk, Maha Perkasa Rabb kami dari penyerupaan dengan para makhluk-Nya, Maha Mulia Rabb kami dari ucapan para ahli ta’thil, serta Maha Perkasa eksistensi-Nya dari apa yang dikatakan oleh orang-orang yang menolak (nama-nama dan sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala tersebut) sama sekali.”[ Kitab Tauhid I/26, tahqiq Syahwan . (Syaikh Muhammad bin Hadi) ]
Imam Al-Baihaqi menyebutkan dalam kitabnya Al-I’tiqad sebuah bab tentang ayat-ayat dan hadits yang menetapkan sifat wajah, dua tangan dan mata bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala: “Semua sifat ini ditetapkan melalui nash dan telah diriwayatkan hadits-hadits dari tersebut kabar Sang Jujur Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tentangnya, tanpa kita menyebutkan kaifiyyat-nya.”[ Kitab Al-I’tiqad, hal. 88, cetakan Darul Afaq Al-Jadidah, tahqiq Ahmad Isham Al-Khatib . (Syaikh Muhammad bin Hadi)]
Al-Khatib Al-Baghdadi menyatakan: (Adapun pembicaraan tentang sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka sesungguhnya riwayat-riwayat tentangnya telah ada dalam Sunnah yang shahih. Madzhab Salaf Rahimahumullah ialah: Menetapkannya dan membiarkannya sebagaimana makna tekstualnya, namun meniadakan penyebutan kaifiyat (bagaimananya) dan penyerupaan darinya.
Sekelompok orang meniadakan nama-nama dan sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala sehingga mereka menghilangkan apa yang telah ditetapkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, ada juga sekelompok orang yang menetapkannya namun mereka berlebihan sehingga menyerupakan (dengan makhluk) disertai penyebutan kaifiyat-nya, sedangkan yang tepat hanyalah dengan menempuh jalan tengah antara keduanya. Dinullah ada di antara orang yang berlebihan dan orang yang melalaikan. Dasar dalam hal ini: Pembahasan tentang sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala merupakan cabang dari pembicaraan tentang Dzat-Nya, maka permasalahan ini dan yang semisal dengannya mengikuti (kaedah tersebut).
Jika telah diketahui bahwa penetapan Rabb alam semesta Subhanahu wa Ta’ala hanyalah penetapan wujud-Nya dan bukan kaifiyat-Nya, maka demikian pula di dalam penetapan sifat-sifat-Nya hanyalah penetapan wujud dan bukan penetapan bentuk dan kaifiyatnya.[ Lihat Jawab Abu Bakr Al-Khathib Al-Baghdadi ‘an Sual Ahli Damasyq fish Shifat, halaman 19-22, cetakan Maktabah Ibnu Taimiyah, tahqiq Amr Abdul Mun’im dan halaman 64-65, cetakan Darul Rayyan Uni Emirat Arab, tahqiq Jamal Azwan . (Syaikh Muhammad bin Hadi)]
Ibnu Qudamah Al-Maqdisi Rahimahullah mengatakan: “Di atas jalan ini Salaf dan Khalaf Rahimahumullah semuanya sepakat mengikrarkan (penetapannya), membiarkan sebagaimana adanya dan menetapkan sifat yang disebutkan oleh nash-nash Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tanpa mendahuluinya dengan ta’wil (menafsirkan dengan keliru). Sementara kita diperintahkan untuk mengikuti jejak mereka dan mengambil petunjuk dari menara-menaranya dan telah diperingatkan dari perkara-perkara yang diada-adakan dan dikabarkan kepada kita bahwa itu adalah kesesatan.”[ Lum’atul I’tiqad, hal. 10, cetakan Ad-Darus Salafiyah Kuwait, tahqiq Badrul Badr (Syaikh Muhammad bin Hadi ]
Abu Muhammad Al-Juwaini Rahimahullah berkata dalam risalahnya Itsbatul Istiwa’ wal Fauqiyyah: “Kita menetapkan Rabb kita Subhanahu wa Ta’ala ada di atas, ketinggian dan istiwa’-Nya di atas Arsy-Nya sebagaimana yang layak bagi kemuliaan dan keagungan-Nya. Kebenaran telah terang dalam masalah ini dan dada telah lapang menerimanya sebab akal yang sehat enggan merubahnya, misalnya merubah istiwa’ (bersemayam) menjadi istila’ (menguasai) dan lain-lain. Sedangkan memilih sikap diam dalam menyikapinya adalah kejahilan, sebab Rabb ‘Azza wa jalla tidaklah menyebutkan sifat-Nya kepada kita melainkan agar kita menetapkan bagi-Nya apa yang telah Dia ‘Azza wa Jalla sifatkan untuk Diri-Nya dan bukannya kita mendiamkannya.”[Majmu’ah Ar-Rasail Al-Muniriyyah I/181. Kalimat sebelumnya yang dinukilkan oleh Syaikh kita Hafidhahullah dari Al-Juwaini Rahimahullah adalah: Fasal: Kalau kita telah mengetahui hasil itu dan meyakininya, maka kita membersihkan diri dari syubhat ta’wil, kesesatan ta’thil, serta ketololan tasybih dan tamtsil. Dan kita menetapkan adanya Rabb kita ‘Azza wa jalla di atas…….. (Syaikh Muhammad bin Hadi)]
Inilah sebagian nukilan tentang pegangan Salaf, andaikan kita mau sedikit lebih memperpanjang tentu kita akan membutuhkan satu jilid kitab atau lebih dan benar-benar pembicaraan kita akan menjadi panjang, namun apa yang telah kami sebutkan telah mencukupi dan memuaskan. Siapa yang hendak mendapat tambahan maka silahkan merujuk kepada kitab-kitab khusus bidang ini, seperti kitab; Tauhid Ibnu Khuzaimah, Sunnah Abdullah bin Ahmad bin Hambal, Ar-Radd ‘ala Jahmiyyah Ad-Darimi, Al-Fatawa Al-Kubra dan Al-‘Aqlu wan Naql Ibnu Taimiyah, kitab-kitab Ibnul Qayyim, kitab-kitab Ibnu Abdil Wahhab, Ma’arijul Qabul Syaikh Hafizh Al-Hakami (semoga Allah Ta’ala merahmati semuanya), serta kitab-kitab lain yang dikarang oleh para pemeluk akidah Salafiyah, misalnya; ‘Alaqatul Itsbat wat Tafwidh bi Shifati Rabbil ‘Alamin Doktor Ridha Na’san .
Dari nash-nash lalu telah dapat engkau ketahui bahwa apa yang ditetapkan oleh Ustadz Hasan Al-Banna bahwa Salaf dan Khalaf sepakat tentang asas ta’wil, adalah ucapan yang bathil dan kedustaan terhadap Salaf Rahimahumullah. Salaf telah mencela ahli tafwidh dan mengatakan mereka itu ahli bid’ah, maka kapankah Salaf menyepakati mereka dalam ta’wil ?!” (Al-Maurid, hal.186-191)
Pembaca sekalian Rahimakumullah, pengakuan dan bantahan tentang aqidah Hasan Al-Banna telah kita saksikan sendiri sebagaimana nukilan Abduh ZA. Dari buku Al-Banna sendiri yang diperkuat oleh Al-Qaradhawi. Kita lanjutkan kembali “promosi Abduh ZA. bahwa penerus dakwah Al-Bannapun ternyata beraqidah “salaf”. Abduh berkata: “Kemudian Al-Qaradhawi melanjutkan, “Ikhwanul Muslimin menolak berbagai bentuk kemusyrikan, khurafat, dan semua kebatilan yang dilekatkan pada aqidah tauhid, seperti dilakukan banyak orang awam di banyak negara muslim. (Sayangnya), Sebagian tokoh terhormat di tempat tersebut membenarkannya. Mereka melakukan thawaf mengelilingi kuburan orang-orang shaleh, bernadzar untuk orang mati, memanggil-manggil orang yang sudah mati, meminta tolong kepada orang yang sudah mati, dan berbagai kemungkaran lainnya.” (Siapa…, hal.89)
Alangkah seru dan menarik jika bantahan kali ini datang dari salah satu anggota koalisi Ikhwani-Sururi, Ma’had Al-Irsyad yang telah terbukti mendatangkan gembong-gembong besar Ikhwanul Muslimin Jawa Timur di markas Dakwah mereka selama 3 tahun berturut-turut (hanya bukti itu yang dapat kami pegang). Di dalam majalah Neo Adz-Dzakhiirah, Edisi 16, Th.III, Ramadhan 1426 H/ Oktober 2005 M, hal.10-15 diturunkan artikel terjemahan karya Syaikh Abdul Malik Ramadhani Al-Jazairy yang diterjemahkan oleh Abu Zahrah Imam Wahyudi Lc. Beberapa nukilannya:
“1.Imam Harokah, Hasan Al-Banna meyakini bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam senantiasa menghadiri perayaan-perayaan maulid orang-orang sufi, Beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam juga memberikan ampunan kepada semua yang hadir –dilanjutkan dengan uraian———
2.Wakilnya, Al-Mursyid Al-Aam, Umar At-Tilmisaaniy membela para penyembah kubur. ‘Umar at-Tilmisaaniy berkata di dalam bukunya yang berjudul “Syahidul Mihrob ‘Umar Ibnul Khoththob” hal. (226):
“Jadi tidak ada perlunya mengingkari dengan keras orang-orang yang meyakini karomah para wali, dan berlindung kepada kubur-kubur suci mereka, dan berdo’a di depannya ketika tertimpa berbagai musibah. Karomah para wali itu merupakan bagian dari dalil adanya mu’jizat para nabi!!”
Inilah sikap ekstrem (berlebih-lebihan) terhadap derajat kewalian, sekaligus sebagai sikap permusuhan terhadap Dzat yang disembah; Kami berlindung kepada Allah dari kemurkaan-Nya.
3.Imam harokah di Syiria pada masanya, Sa’id Hawwa memuji aktifitas para tukang sihir——dilanjutkan dengan bukti tulisan Sa’id Hawwa di “Tarbiyatuna ar-Ruhiyyah, hal.218, cetakan kedua——-
4.Al-Mursyid Al-Aam Syiria, Musthofa As-Siba’iy beristighotsah kepada selain Allah, Disebutkan di dalam majalah “Hadhorotul Islam”, no.4,5,6, edisi bulan:Jumadil Akhir, Rajab, Sya’ban tahun 1384 H, sebagaimana disebutkan juga oleh syekh yang mulia Muhammad bin Hadi ketika memberikan catatan kaki atas buku Syaikh Ahmad An-Najmi yang berjudul “Al-Maurid al-‘Adzb az-Zullal” (hal.149), bahwa ketika Musthofa As-Siba’iy berada di depan kuburan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Dia mengatakan:
Wahai pemberi air minum untuk para musafir yang menuju Ka’bah dan Mekah
Juga yang pergi menuju Madinah, demi mencari tuannya seluruh umat
Jika perjalanan anda menuju Al-Mukhtar [Ini adalah salah satu gelar Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam—pent.] adalah sunnah
Maka bagi orang sepertiku adalah wajib, menurut orang yang bersemangat tinggi
Wahai tuanku, kekasih Allah [Yakni: Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam—pent ], aku datang meniti
Tangga pintumu, saya mengeluhkan pedihnya penyakitku
Wahai tuanku, sungguh begitu lama penyakit ini bersarang di tubuhku
Begitu pedih penyakit ini, sampai saya tidak bisa istirahat dan tidur
Saya (penulis) mengatakan: Maka lihatlah oleh anda –semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan rahmat kepada anda- dengan siapa kita diuji. Apakah mereka ini akan menjadi para pemimpin kaum muslimin?! Apakah pantas di dalam masalah Wala’ dan Baro’ (loyal dan benci ini), Ahlussunnah terbagi menjadi dua kelompok ketika menyikapi orang-orang seperti ini?!…”(Neo Adz-Dzakhiirah, Ed.16, Th.III, Ramadhan 1426 H, hal.10-14)
Kita katakan:
Pada kenyataannya memang Salafiyyin tidaklah terpecah (baca: tidak ada Kaidah Emas Firanda Khilafiyyah Ijtihadiyyah) dalam menyikapi kejahatan Ikhwanul Muslimin!! Hanya saja—harus kita akui- di sana…..ada sekelompok Sururiyyin yang selalu mendakwakan diri mereka sebagai Salafiyyin yang tanpa rasa malu terbukti mengundang jajaran dedengkot Ikhwanul Muslimin Jawa Timur untuk menjadi khatib Jum’at di markas dakwah mereka Bahkan 3 tahun terus-menerus!! Di sela-sela acara Daurah masyayikh Yordan!! Di sana…. ada pula jajaran da’i-da’i kondang yang bersanding dengan gembong Ikhwani berkaliber nasional!! Di sana…masih ada pula yayasan tong sampah yang mengumpulkan berbagai sampah Hizbiyyah untuk bekerjasama dalam berdakwah!! Ya, di sana ….ternyata masih ada pula gembong Ikhwani yang terbukti menjamu anak-anak kandung Sururi-nya di Sulawesi, di pondok megahnya, di masjid yang berkapasitas 1000 orang hasil bantuan Ihya’ut Turots melalui Al-Haramain/Al-Manahil Indonesia Allahul Musta’an.
Pembaca sekalian, kita lanjutkan lagi sedikit bukti yang diuraikan Syaikh Ahmad An-Najmi, betapa penisbatan Abduh tentang aqidah Salafnya Ikhwanul Muslimin dan gembonggembongnya tidak lebih dari kebohongan besar yang disemburkannya kepada umat!! Ya, kebohongan besar!! Syaikh berkata:
Adapun Umar At-Tilmisani, telah dinukilkan bahwa dia menyatakan di dalam bukunya Syahidul Mihrab Umar bin Al-Khaththab Radhiyallahu ‘anhu (Halaman 225-226 ):
“Sebagian orang berkata “Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam hanyalah memohonkan ampunan untuk mereka ketika mereka mendatangi Beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sewaktu Beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam masih hidup saja”. Saya kurang mengerti apa sebab mereka membatasi ayat ini dengan doa permohonan ampunan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ketika Beliau masih hidup saja, padahal tidak ada yang menunjukkan pembatasan dalam ayat tersebut ?!
Jadi, At-Tilmisani menganggap boleh berdoa kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan meminta ampunannya sepeninggal Beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam .
Dia juga mengatakan (Hal. 226):
“Oleh karena itu nampaknya saya cenderung memilih pendapat pihak yang menyatakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dapat memohonkan ampunan saat Beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam masih hidup dan setelah wafatnya bagi orang yang mendatangi Beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dengan maksud mendapatkan kelapangan dan kedermawanannya.
Sesudah itu dia katakan pada halaman yang sama:
“Jika demikian, maka tidak ada alasan untuk bersikap keras mengingkari orang-orang yang meyakini keramat para wali, mendatangi mereka di kuburnya yang suci, dan berdoa di sana ketika susah dan keramat para wali termasuk bukti mu’jizat para nabi.”
Dia juga mengatakan (Hal. 231):
“Kita tidak ambil pusing dengan orang-orang yang menjunjung para wali Allah Subhanahu wa Ta’ala, peziarahnya dan orang-orang yang berdoa di kuburan mereka.
Al-Ajami (semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memeliharanya) memberi komentar: “Tidak tertinggal satupun kesyirikan kubur melainkan telah dihalalkan oleh Penasehat Umum Ikhwanul Muslimin dengan kata-katanya ini .” (Waqafat, hal. 17)
Saya katakan:
Kalau keadaan para penasehat dan cendikiawan manhaj Al-Ikhwan ini demikian, maka coba anda bayangkan bagaimana dengan pengikutnya??
Jika seperti ini yang sempat tertulis, maka bagaimana dengan yang belum tertuliskan??
Apakah masuk akal, seorang menyangka dirinya berakidah tauhid sementara dia memberikan loyalitasnya kepada siapa yang menghalalkan syirik akbar (syirik besar), dan sebaliknya marah serta memperingatkan orang-orang agar menjauhi para pembela akidah tauhid??
Saya telah mendengar sebuah kabar, jika itu benar maka sungguh ini adalah bencana dahsyat. Saya mendengar seorang pengikut manhaj kontemporer membeli semua kitab yang mengkritik manhaj mereka dalam jumlah yang sangat banyak lalu mereka membakarnya .
Kalau benar demikian, maka ini benar-benar perkara yang buruk dan saya khawatirkan kemurtadan atas pelakunya, sebab siapa yang membakar kitab tauhid, yakni kitab yang membela akidah tauhid dan membantah kaum musyrikin serta menjelaskan keburukan akidah mereka, sungguh perbuatannya itu telah ternilai sebagai memperjuangkan keberhalaan dan memerangi akidah tauhid, Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.
Selanjutnya Al-Ajami menyatakan dalam kitabnya Al-Waqafat (semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala membalasinya dengan kebaikan):
“Tentunya At-Tilmisani mengetahui bahwa pada kuburan-kuburan yang ada di Mesir—sebuah negara dimana buku Syahidul Mihrab Umar bin Al-Khaththab terbit dari sana serta Umar At-Tilmisani sebagai Mursyid Umum di sana—telah dilakukan syirik terbesar yang pernah dikenal oleh bumi; kuburan dithawafi oleh orang-orang dan dimohon darinya semua yang dimohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan sebab para penghuninya (dianggap sebagai) wali.
Sesungguhnya banyak di antara mereka (yang dianggap sebagai wali itu) adalah golongan orang-orang zindiq yang menyimpang, misalnya; Sayyid Al-Badawi seorang da’i Al-Fathimi yang tidak pernah menghadiri shalat (jama’ah) sama sekali! Juga kelompok sufi sesat, misalnya; Asy-Syadzali, Ad-Dasuqi, Al-Qanawi dan selainnya di berbagai tempat.
Saya katakan:
Berdoa kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah syirik besar siapapun yang diseru, apakah malaikat yang dekat dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala, nabi dan rasul, atau siapa saja, semuanya adalah perbuatan mempersekutukan Allah Subhanahu wa Ta’ala yang membatalkan keislaman……
Lalu Al-Ajami meneruskan:
“Itukah wali-wali mereka?! Itulah kubur yang diseru oleh Mursyid Umum Ikhwanul Muslimin yang juga pernah berkata (Halaman 231) dengan pernyataannya: “Kalau demikian, keinginan, cinta dan ketergantunganku kepada para wali Allah…..kalau demikianlah perasaanku yang melimpah ruah dengan ketenangan dan keelokan sewaktu berziarah dan berada di sisi mereka, sesungguhnya ia tidak mencacatkan akidah tauhid!? Sesungguhnya saya tidak mengajak untuk menghadap kepada dzatnya dan seluruh urusan ini dari awal hingga akhirnya adalah urusan menikmati. Lalu saya katakan kepada orang-orang yang keras mengingkari: Pelan-pelan, tidak ada kesyirikan dalam perkara ini, keberhalaan dan pengingkaran terhadap Ilah .”
Al-Ajami mengatakan: Apalagi yang tersisa sesudah diremehkannya perkara tauhid dan akidah ini, sampai-sampai dia menjadikan berdoa kepada mayat ketika susah sebagai kenikmatan yang tidak ada kesyirikan padanya ataupun keberhalaan, inilah prasangka Mursyid Umum Ikhwanul Muslimin……… (Selanjutnya:) Apakah manhaj akidah Ikhwani yang melahirkan semacam At-Tilmisani adalah manhaj Salaf tanpa diragukan lagi?! Apakah sebuah jama’ah yang rela barisannya dipimpin oleh Mursyid Umum yang berkata seperti ini bisa dikatakan Jama’ah Salafiyah?! Kecelakaan bagi jama’ah salafiyah kalau alumnusnya seperti ini demikian pula tokoh, mursyid dan pemimpinnya.
Saya (Syaikh Ahmad An-Najmi—peny) katakan:
Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala membalasmu dengan kebajikan wahai Ajami dan memberikan sebaik-baik balasan bagi semua yang memperjuangkan akidah tauhid dengan kalimat yang diucapkannya atau huruf-huruf yang ditulisnya.” (Al-Maurid, hal.180-183)
Kita katakan:
Abduh ZA. Yang salah satu bukumu ditazkiyah oleh Caldok Muhammad Arifin Badri Lc; MA!! Inikah aqidah “salaf” gembong Ikhwanul Muslimin yang engkau iklankan kepada kaum Muslimin?! Bahkan semua pemaparan ini adalah bukti “TERORISME TERHADAP AQIDAH TAUHID” yang dilancarkan oleh gembong-gembong besar Ikhwanul Muslimin guna mensyirikkan kaum Muslimin!
Ingat perkataan Syaikh Hafidhahullah sebelumnya, “Saya katakan: Kalau keadaan para penasehat dan cendekiawan manhaj Al-Ikhwan ini demikian, maka coba anda bayangkan bagaimana dengan pengikutnya Jika seperti ini yang sempat tertulis, maka bagaimana dengan yang belum tertuliskan Apakah masuk akal, seorang menyangka dirinya berakidah tauhid sementara dia memberikan loyalitasnya kepada siapa yang menghalalkan syirik akbar (syirik besar), dan sebaliknya marah serta memperingatkan orang-orang agar menjauhi para pembela akidah tauhid ?
Kita tambahkan (penyusun): Lebih heran lagi melihat kenyataan di sekeliling kita betapa sekelompok orang yang menisbatkan dirinya kepada dakwah Salafiyyah dan bahkan mengundang – dengan penuh kebanggaan- murid-murid ulama besar ternyata berkoalisi dengan para penerus gerakan sesat tersebut!! Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un. Dan katakan kepada Direktur Pustaka Al-Kautsar dan Farid Okbah Takfiriyyin—Ba’asyiriyyin—Irsyadiyyin—Illegaliyyin agar jangan cuma bisa bermain di belakang punggungmu!! Allahu yahdik!! (dinukil dari sub judul: “Sejenak Bersama Caldok Muhammad Arifin”, Menyoroti Kiprah Dakwah Ihya’ Turots di Indonesia)
k. “Asy-Syahid” IM Melecehkan Islam sebagai perpaduan antara ajaran Kristen dengan Komunis!
Sayyid Quthub berkata: ”Islam harus berkuasa (memerintah) karena hanya dialah satu-satunya aqidah yang positif dan adaptif yang memadukan antara ajaran Kristen dan Komunisme, perpaduan yang sempurna, yang mencakup tujuan keduanya, saling menambah, saling melengkapi dan seimbang”(Ma’rakah Al-Islam wa Ar-Ra’samaliyah, hal.61)
Betapa anehnya bahwa kesesatan dan pelecehan terang benderang terhadap Islam seperti ini malah dibela, upaya membongkar pengkafiran-pengkafiran yang dilakukan oleh Sayyid Quthub terhadap umat Islam dan masyarakat muslimin di buku-bukunya malah dibalik sebagai pengkafiran terhadap Sayyid Quthub!
”Justru kami merasa heran dengan para penghujat yang menganggap Sayyid berbau Khawarij atau tukang mengkafirkan orang, padahal mereka sendiri telah berlaku demikian terhadap Sayyid Quthb. Itu bukanlah isapan jempol. Tokoh mereka, Syaikh Hammad bin Muhammad Al-Anshari berkata ketika mengomentari pemikiran Sayyid Quthb yang dianggap nyleneh (bukan hanya nyleneh! Tetapi sesat dan menyesatkan!!—peny);” Jika orang yang berkata seperti itu masih hidup, maka dia harus dicela jika mau bertaubat, jika tidak mau, maka dia harus dibunuh karena murtad. Jika dia telah meninggal, maka harus dijelaskan bahwa perkataan semacam itu adalah perkataan batil dan kita tidak perlu mengkafirkannya karena tidak mengetahui alasannya mengatakan demikian” (Al-Ikhwan Mendhalimi.., hal.137).
Farid Nu’man rupanya lupa untuk memberikan “solusi’, lantas menurut anda, apa vonis yang tepat bagi orang yang mengatakan bahwa Islam adalah hasil perpaduan `yang sempurna antara ajaran Kristen dengan Komunisme? Pantaskah orang yang sedemikian jahat dan keji terhadap Islam anda elu-elukan sebagai seorang yang mati Syahid?! Semoga hukuman gantung yang dijalaninya menjadi kafarah dari kejahatan dan dosa dosa besarnya terhadap Islam, terhadap Al Qur’an, terhadap para shahabat dan terhadap umat Islam yang telah dikafirkannya.
l.Kebuasan dakwah Sayyid Quthb dalam memerangi Islam dan Ahlul Islam
Sekarang saatnya bagi kita untuk mengambil lagi satu dua contoh keshalehan dan keilmuan seorang gembong besar gerakan pengkafiran Masyarakat Muslimin, Sayyid Quthb yang menjadi panutan kalian!! Dan engkau wahai Abduh Zulfidar Akaha menyebutnya sebagai ASY-SYAHID SAYYID QUTHB yang ditazkiyah oleh Caldok Muhammad Arifin Badri Lc., MA!!
a. Inilah kelancangan “ASY-SYAHID KALIAN” yang luar biasa terhadap Nabiyullah Musa ‘Alaihis Salam di buku yang ditulisnya sendiri :
“1. Kita ambil Musa. Dia adalah contoh seorang pemimpin yang temperamental, fanatik kesukuan, dan tidak bertabiat stabil” (at-Tashwirul Fanniy fil Qur’an halaman 200)?!![19]
Sungguh ini adalah serangan brutal tak berakhlaq terhadap Nabiyullah Musa ‘Alaihis salam!! Sekaligus penghinaan terhadap Allah yang telah memilih Beliau ‘alaihis salam untuk berdakwah menyeru kepada umatnya agar mentauhidkan Allah Subhanahu wa Ta’ala semata!! Bukankah di sisi Sayyid Quthb gembong besar Ikhwanul Muslimin, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memilih seorang manusia sebagai utusan-Nya yang tidak lebih dari “seorang pemimpin yang temperamental, fanatik kesukuan, dan tidak bertabiat stabil?!”
Binasalah hawa nafsu!! Binasalah kesesatan!! Gembong Ikhwanul Muflisin!!
b. Sayyid Quthb juga sangat berlebihan dalam memberikan penilaian bagi seni perfilman, lakon, dan musik, maka menjadilah seni dan Din sebagai dua hal yang sepadan bagi Sayyid Quthub, sebagaimana yang dia katakan pada halaman 143-144 dalam buku at-Tashwirul Fanniy dan halaman 231-232 pada al-Masyahid: “DIEN DAN SENI ADALAH DUA HAL YANG SEPADAN di kedalaman jiwa dan penegasan indera, sedangkan tercapainya keindahan seni menjadi rambu adanya kesiapan untuk menerima pengaruh keagamaan[20], ketika seni naik ke tingkat setinggi ini dan ketika jiwa menjadi jernih untuk menerima misi keindahan itu” .
Abduh ZA dan Pustaka al Kautsar! Inikah bukti nyata seorang ulama besar, mujahid dan syuhada berdasarkan kesaksian seluruh umat Islam di seluruh penjuru bumi?! Hadza buhtanun ‘adzim!
c.Keterlepasannya dari aqidah Islamiyah yang dia sendiri menegaskan:
“Saya dengan terang-terangan mengatakan hakekat yang terakhir ini, juga menyatakan dengan terang-terangan bersamanya, bahwa Saya Tidak Tunduk Dalam Hal Ini Kepada Aqidah Religius Yang Membelenggu Pikiranku Dari Pemahaman .” (at-Tashwirul Fanniy hal. 255)
“Saya dalam titik ini bukanlah pria agamis yang diikat oleh aqidah murni sehingga tidak dapat melakukan pembahasan bebas, bahkan saya adalah pria pemikir yang menghormati akalnya dari sifat kufur ni’mat dan cerita berhiaskan kebohongan .” (at-Tashwirul Fanniy, hal. 258)
Sekali lagi, inikah bukti ulama besar yang diakui kesalehan dan keikhlasannya?! Mujahid dan Syuhada yang “terang-terangan menampakkan kegigihan dan keberaniannya dalam berdakwah menegakkan al-haq, dan amar ma’ruf nahi munkar?”
La haula wa quwwata illa billah. Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.
Maka di atas pondasi penghinaan terhadap Nabiyullah Musa ‘alaihis salam, di atas pelecehan terhadap dienul Islam, serta di atas ikrar ketidakmauan Sayyid Quthb untuk tunduk pada aqidah Islamiyah yang diteriakkannya tanpa rasa malu dan tanpa ragu, datanglah Abduh ZA beserta kelompok sempalannya, para aktivis dan pembela Ikhwanul Muslimin merasa marah dan murka kepada Luqman Ba’abduh dan orang-orang yang bangkit menerangkan kejahatan Ikhwanul Muslimin! Menggelari mereka sebagai Salafi bengis, kasar tak beretika, suka perselisihan dan perpecahan! Ya Subhanallah!
Siapa yang ingin perpecahan? Siapa yang kasar tak beretika? Siapa yang bengis tak berperasaan? Siapa yang suka berbuat onar dan menumpahkan darah kaum Muslimin? Siapa yang suka mengkafirkan penguasa muslim dan masyarakat muslimin?
Siapakah sesungguhnya ulama besar, mujahid dan syuhada yang dijarh oleh Salafiyyin? Para penjahat-penjahat dakwah, penghina Islam, penghina Nabiyullah yang sesungguhnya mereka memang layak untuk mendapatkan celaan dan hinaan dari segenap kaum muslimin.
Lalu siapa sesungguhnya orang-orang yang kalian bela dan elu-elukan wahai Ikhwanul Muslimin? Jawablah dengan jawaban yang sama, Para penjahat-penjahat dakwah, penghina Islam, penghina Nabiyullah yang sesungguhnya mereka memang layak untuk mendapatkan celaan dan hinaan dari segenap kaum muslimin. Kenapa kalian membelanya?!
Benarlah bahwa akal sehat telah hilang dan rasa malu telah pergi tunggang langgang. Para takfiri penghina Islam dan yang gemar menumpahkan darah umat Islam yang dielu-elukan. Kekacauan dan tercabik-cabiknya kehormatan Islam dan umat Islam yang sesungguhnya mereka datangkan!
Maka dengan semua kehinaan di atas, tidak layak dan tidak pantas bagimu (wahai Abduh dan Pustaka Al-Kautsar) untuk menyembunyikan status IMmu di belakang kesalafiyahan para ulama Salafiyyin dan Syaikh Bin Bazz rahimahullah, karena beliau sendiri telah berfatwa tentang “Asy Syahid IMmu” yang menghina Nabiyullah Musa ‘alaihis Salam:
“Mengolok-olok para Nabi merupakan kemurtadan tersendiri” (kaset Aqwal al Ulama fi Mu’allafat Sayyid Quthb”, hasil rekaman Studio Minhaj As-Sunnah, Riyadh, KSA).
Syaikh Ibnu Nashir As-Sa’di rahimahullah berkata ketika menafsirkan ayat ini:
“Sesungguhnya mengolok-olok Allah, ayat-ayatnya dan Rasulnya merupakan kekafiran yang mengeluarkan seseorang dari agama. Karena prinsip agama terbangun di atas dasar mengagungkan Allah, agama-Nya, dan Rasul-Nya. Sedangkan mengolok-olok sesuatu diantaranya adalah bertentangan dengan prinsip ini dan membatalkannya dengan sekeras-kerasnya.” (Taisir Al-Karim Ar-Rahman, hal.342-343, cet. Maktabah Ar-Risalah)
Lajnah Daimah lil Buhuts Al-Ilmiyah wa Al-Ifta’ pernah mengeluarkan fatwa sehubungan dengan pertanyaan yang sampai kepada mereka tentang hukum mencela Allah dan Rasul-Nya. Isi fatwanya:
“Mencela Allah dan Rasul-Nya, serta agama merupakan kafir akbar dan kemurtadan dari Islam. Maka dia harus dimintai taubat. Jika dia taubat, maka dibebaskan. Jikalau tidak, maka wajib atas pemerintah untuk membunuhnya karena berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: “Barangsiapa yang mengganti agamanya, maka bunuhlah.” (HR. Bukhari dalam Shahihnya) [Fatawa Al Lajnah Ad Da’imah, 2/18, cet. Balansiyah, yang disusun oleh Syaikh Ahmad bin Abdur Razzaq Ad-Duwaisy]. Lihat Buku Beda Salafi dengan Hizbi, hal.51-52).
Belum lagi celaan-celaan Sayyid Quthub terhadap para shahabat Rasul Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Tetapi demikianlah, setan telah berhasil menipu para pengekornya sehingga ekor-ekor Sayyid Quthub tersebut merasa marah dan tersinggung ketika kejahatan gembong besar Ikhwanul Muslimin ini diungkap dan diterangkan kepada umat!! Lihatlah mereka para Ikhwani, ekor-ekor Sayyid Quthub tersebut sama sekali tidak marah ketika Islam dihinakan, ketika Nabiyullah Musa dilecehkan, ketika dinyatakan bahwa Al Qur’an adalah makhluk buatan Allah, ketika Asy-Syahid (berdasarkan persaksian Ar Rasul Al Musthafa Muhammad bin Abdillah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam) Utsman bin Affan direndahkan, dan ketika menuduh shahabat Mu’awiyah dan Amr bin Ash radhiyallahu ‘anhuma dituduhnya dusta, curang, penipu, munafik, menyogok dan membeli kehormatan!!
Dimana para aktivis dakwah, pejuang penegak syariat Islam, mujahid, para ulama besar dan syuhada ketika terjadi pelecehan dan penghinaan besar-besaran ini dilancarkan oleh Sayyid Quthub? Mana bukti kemarahan mereka karena Allah Ta’ala ketika kehormatan para shahabat dirampok dan dicampakkan oleh Sayyid Quthub? Dimana suara pembelaan mereka?! Sungguh dan sungguh syaithan telah meninabobokkan mereka-mereka ini sehingga tidur terlelap dengan bantal kebanggaan hizbnya! Syaithan telah berhasil membangkitkan kebencian dan kemarahannya karena makar syaithan untuk meruntuhkan Islam , Al Qur’an, Nabiyullah Musa ‘alaihis salam, dan para shahabat Rasul Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah dibongkar dan dijelaskan beserta bukti-bukti nyatanya dari buku-buku Sayyid Quthub sendiri yang dijadikan pegangan dan rujukan oleh para pengikut Hizbul Ikhwan oleh Syaikh Rabi’ hafidhahullah, jazahumullahu khaira!! Tulisan-tulisan beliau telah membikin hizbiyyin yang tidur terlelap berbantalkan buku-buku sesat tokoh-tokohnya menjadi tersentak bangun!! Makan tidak lagi nyaman. Maka jangan heran jika kebencian dan kemurkaan kelompok-kelompok sempalan ini terutama diarahkan kepada beliau…
g. Persatuan Sunnah—Syiah, Slogan buas Ikhwanul Muslimin
Benarkah tuduhan Halawi bahwa Salafy adalah Syi’ah? Bagaimana jika tuduhan ini ternyata berbalik
Adakah kejahatan yang lebih buas daripada menjerumuskan kaum muslimin agar bersaudara dan berkasih sayang dengan kelompok yang mengkafirkan para shahabat, murid-murid rasul Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah orang-orang yang rakus akan ambisi duniawiyah, mengubah ayat-ayat Al Qur’an, pembunuh Amirul mukminin sebagai pahlawan, menggelari Abu Bakar Ash Shidiq dan Umar bin Khaththab sebagai dua berhala Quraisy, menuduh Jibril ‘alaihis salam salah alamat menyampaikan wahyu, praktek perzinaan (mut’ah, kawin kontrak) sebagai sebaik-baik ibadah kepada Allah dan berbagai tuduhantuduhan busuk dan najis yang akan mendirikan bulu kuduk orang-orang yang beriman? Tetapi tidak demikian dengan Ikhwanul Muslimin, merekalah yang getol dan bersemangat untuk mendekatkan antara orang-orang kafir itu, pewaris perjuangan si Yahudi Abdullah bin Saba’ dengan Ahlus Sunnah!
Syaikh Ahmad An Najmi berkata:
“Upaya dia (Hasan Al Banna—peny.) dan seluruh pengikutnya untuk mendekatkan antara Syi’ah—pembawa virus yang dapat membuat kafir atau fasik seseorang muslim- dengan Ahlussunnah, dengan asumsi bahwa Syi’ah dan Sunni seluruhnya adalah muslim.
Saya katakan:
1.Apakah masih teranggap muslim seorang yang mencela Abu Bakar dan Umar Radhiyallahu ‘anhuma dengan celaan yang paling buruk, hina dan busuk ?
2.Apakah masih muslim seorang yang mencela Ummul Mukminin Aisyah binti Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anha yang telah dilepaskan dari tuduhan zina oleh Allah Ta’ala dari atas tujuh lapis langit?! Namun Syi’ah masih tetap melemparkan kepada beliau tuduhan perbuatan keji itu, padahal Allah Ta’ala telah membebaskan beliau radhiyallahu ‘anha di dalam Al-Quran, yang sama artinya mereka telah mendustakan Al-Quran yang telah menyucikan beliau.
3.Apakah masih muslim siapa yang menghukumi seluruh shahabat telah murtad dari Islam kecuali segelintir dari mereka saja. Mereka menyangka seluruh shahabat Radhiyallahu ‘anhum adalah kafir sebab bersepakat merampas jabatan khalifah dari Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘Anhu, padahal Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah bersabda: “Umatku tidak akan sepakat di atas kesesatan”. Para shahabat adalah sebaik-baik manusia, paling afdhal dan teladan umat, maka apakah dapat diterima oleh akal bahwa mereka semua akan bersepakat di atas kesesatan ?!
4.Apakah masih muslim siapa yang mempropagandakan kema’shuman Ali bin Abi Thalib dan dua belas orang keturunannya?! Padahal kema’shuman tidak tsabit bagi selain Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Juga demi Allah, Ali Radhiyallahu ‘Anhu sendiri tidak pernah mengaku dirinya ma’shum, tidak pula Al-Hasan, Al-Husein dan siapapun keturunan mereka yang mulia sebagaimana digembar-gemborkan kema’shumannya oleh Syi’ah.
5.Apakah masih muslim siapa yang menyembah makhluk baik yang hidup atau sudah mati, memanggil mereka ketika menghadapi kesusahan, thawaf di kubur mereka, bahkan menduga berhaji ke Karbala’ sama dengan berhaji ke Baitullah Al-Haram ?!
6.Apakah masih muslim siapa yang menjadikan anak cucunya sebagai hamba para makhluk, menamainya dengan Abdul Husein, Abdul Kazhim, Abdu Az-Zahra’ dan lain selainnya (bahkan menandinginya dengan nama Allahu Akbar yakni Ali Akbar—peny)?
7.Apakah masih muslim siapa yang berkeyakinan bahwa Jibril telah berkhianat dengan membawa misi kerasulan kepada Muhammad ?! Menurut mereka seharusnya kerasulan itu diberikan kepada Ali radhiyallahu ‘anhu, namun Jibril ‘Alaihis Salam memalingkannya. Dengan itu mereka telah melakukan konsekwensi mengkafirkan sebagai berikut:
a.Menuduh Jibril Al-Amin ‘Alaihis Salam sebagai pengkhianat, padahal Allah mensifatinya (artinya):
[193] dia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al Amin (Jibril), [194] ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan, [195] dengan bahasa Arab yang jelas. [QS Asy Syu’ara: 193 – 195]
Berarti mereka telah mendustakan pengabaran Allah Ta’ala , inilah kekufuran yang nyata .
b.Meniadakan ilmu tentang ghaib dari Allah Ta’ala. Berarti Allah Ta’ala dapat dikhianati tanpa sepengetahuan-Nya sebagaimana seseorang dapat melakukan pengkhianatan terhadap sesamanya makhluk tanpa diketahuinya. Ini adalah kekafiran berdasarkan kesepakatan kaum muslimin .
c.Allah Ta’ala tidak mengetahui kemaslahatan sedangkan Jibril-lah ‘Alaihis Salam yang lebih mengetahuinya, sebab sebenarnya Allah memperuntukkan risalah itu kepada anak berumur delapan tahun (Ali radhiyallahu ‘anhu) lalu diselewengkan oleh Jibril ‘Alaihis Salam dan diberikannya kepada seorang dewasa yang berumur empat puluh tahun (Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam), yang berarti menuduh Allah bodoh dan tidak bijak, sungguh ini termasuk kekafiran yang terbesar .
8.Apakah masih muslim seorang yang berkeyakinan bahwa Hari Kiamat adalah hari menghidupkan para musuh keluarga Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Ketika Al-Mahdi yang ditunggu-tunggu telah keluar, lalu ditegakkan qishash untuk kerabat Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam terhadap semua manusia?! Mereka berprasangka bodoh bahwa orang pertama yang akan dikenakan hukuman qishash adalah Abu Bakar dan Umar radhiyallahu’anhuma .
9.Apakah masih muslim seorang yang berprasangka bodoh bahwa Al-Mahdi yang ditunggu-tunggu kalau telah keluar, maka dia akan mewujudkan sesuatu yang belum diwujudkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam?! Beginilah ucapan Al-Khameini yang dia tegaskannya di dalam kitabnya .
10.Apakah masih muslim siapa yang menghalalkan zina dalam bentuk nikah mut’ah?! Andaikan itu dihalalkan, maka tidak ada perbedaan antara nikah satu malam, beberapa malam, satu bulan, kurang dari sebulan ataupun lebih, inilah zina itu sendiri.
11.Terakhir, apakah masih muslim siapa yang melekat padanya semua bala’ ini bahkan lebih banyak lagi?! Apakah mungkin diadakan rekonsiliasi antara mereka dengan Ahlussunnah?! Apakah mungkin terjadi rekonsiliasi antara orang-orang yang beraqidah saling bertentangan sementara salah satu atau kedua pihak tidak ada yang mau mengalah melepaskan asas aqidahnya?! Apakah Rafidhah (Syi’ah) sudah menanggalkan semua aqidah mereka atau sebagiannya yang telah mereka anut lebih dari seribu tahun lalu? Tidaklah hal ini terjadi kecuali Allah Ta’ala menghendaki!?
Apakah mungkin Ahlussunnah akan mengalah melepaskan aqidahnya demi bersepakat dengan Rafidhah? Tentu ini tidak akan terjadi, kecuali Allah Ta’ala yang menghendaki. Sesungguhnya siapa yang mengkhayalkan hal tersebut, maka sebenarnya dia sedang terkecoh oleh fatamorgana yang dia kira air padahal tidak ada air padanya dan dia mengkhayalkan berbagai sangkaan yang tidak ada realitanya .
Upaya untuk mendekatkan (Syi’ah—Ahlussunnah) tidak hanya dilakukan oleh Al Banna semasa hidupnya, namun dilanjutkan oleh para pengikutnya. Al-Ikhwan telah mengutus dutanya kepada Al Khameini di hari-hari pergerakan revolusinya (Revolusi Iran), memberikan ucapan selamat kepadanya dengan menyebutnya (sebagai) ‘Revolusi Islam (?!)’. Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un .
Izzuddin Ibrahim pengarang Mauqif ‘Ulama Al-Muslimin minasy Syi’ah wats Tsauratil Islamiyyah mengatakan: “Sebelum kita meninggalkan Al-Azhar, maka kita akan mendengarkan fatwa yang dikeluarkannya, khususnya tentang mazhab Syiah. Isi fatwa itu adalah sebagai berikut: “Sesungguhnya Mazhab Al-Ja’fariyyah yang dikenal sebagai mazhab Syi’ah Dua Belas adalah sebuah mazhab yang secara syar’I boleh beribadah dengannya sebagaimana seluruh mazhab Ahlussunnah. Maka seharusnya kaum muslimin mengetahui hal ini dan berlepas diri dari sikap ta’ashshub yang tidak benar dengan mazhab-mazhab tertentu. Dinullah dan syari’at-Nya tidak akan mengikut pada mazhab tertentu atau terbatas pada satu mazhab, mereka semua adalah para mujtahid yang diterima di sisi Allah ” .
Fatwa yang muncul dari Syaikh Mahmud Syaltut Syaikh Al-Azhar yang lalu ini dikomentari oleh Syaikh Muhammad Al-Ghazzali salah seorang penulis dan penasehat Al-Ikhwan. Dia katakan dalam bukunya Difa’ ‘anil ‘Aqidah Al-Islamiyyah Dhiddu Matha’in Al-Mustasyriqin : “Seseorang dari kalangan awam datang kepadaku dalam keadaan emosi mempertanyakan bagaimana bisa Syaikh Al-Azhar mengeluarkan fatwanya bahwa Syi’ah adalah sebuah mazhab Islam sebagaimana mazhab-mazhab yang sudah dikenal lainnya .
Maka saya katakan kepada laki-laki tersebut: Apa yang engkau ketahui tentang Syi’ah? Dia terdiam sebentar kemudian menjawab, “Orang-orang yang tidak sejalan dengan Dien kita”. Maka saya katakan kepadanya, “Akan tetapi saya melihat mereka itu melakukan shalat dan puasa sebagaimana kita shalat dan puasa”. Laki-laki tersebut terheran seraya berkata, “Bagaimana itu?!” Saya katakan, “Lebih mengherankan lagi, mereka itu membaca Al-Quran, mengagungkan Rasulullah dan berhaji ke Baitul Haram”. Dia katakan, “Sampai kabar kepadaku bahwa mereka mempunyai Al-Quran yang lain dan datang ke Ka’bah untuk menghinakannya”. Saya memandang kepada laki-laki itu dengan kasihan pada keadaannya dan saya katakan: “Kamu mendapat udzur, sesungguhnya ada sebagian orang dari kita yang menyebarkan keadaan orang lain untuk menghancurkan dan melukai kehormatannya .”
Saya katakan:
Semoga Allah Ta’ala membinasakan hawa nafsu! Seorang awam telah mengetahui bahwa Syi’ah menganut agama yang tidak sama dengan Dien kita sekalipun mereka itu shalat dan berpuasa, juga mempunyai aqidah yang tidak sama dengan aqidah kita walaupun mereka menutupinya dengan tirai dan mengingkarinya di hadapan orang lain sebagai pengamalan salah satu dasar aqidah mereka yaitu ‘taqiyah (menyamar)’, sementara Al-Ghazzali berupaya untuk menutupi dan mengingkari semua atau sebagian aqidah mereka itu.
Izzuddin Ibrahim dalam Mauqif Ulama Al-Muslimin min Asy-Syi’ah wats Tsauratil Islamiyyah sesudah menukil dari berbagai kitab Al-Ghazzali yang mendukung ide ‘pendekatan’, lantas mengatakan: “Al-Ghazzali menegaskan dalam Thali’ah Islamiyyah edisi 26 Maret/nomor 85 memberi jawaban terhadap pertanyaan yang diajukan kepadanya seputar peranannya dalam ‘Kelompok Rekonsiliasi’, ia katakan, “Ya, saya dulu termasuk orang yang ditunjuk untuk mengupayakan pendekatan antara tiap-tiap mazhab Islam. Saat itu saya mempunyai pekerjaan marathon di kantor Kelompok Rekonsiliasi Kairo. Saya berteman dengan Syaikh Muhammad Taqi Al-Qami dan Muhammad Jawwad Mughniyah, serta saya juga mempunyai banyak teman dari kalangan ulama dan pembesar Syi’ah. Saya benar-benar menginginkan hilangnya saling antipati dan permusuhan pahit yang telah tersebar di antara kaum muslimin” .”
Lalu penulis buku di atas menyertainya dengan penukilan dari para tokoh manhaj Al-Ikhwan, di antaranya: Subhi Shaleh, DR.Abdul Karim Zaidan, Muhammad Abu Zahrah, Dr. Mushthafa Asy-Syak’ah, Syaikh Hasan Ayyub, Hasan At-Turabi, Fathiyakan, Syaikh Sa’id Hawa, Anwar Jundi, Ustadz Samih Athif Az-Zain, Ustadz Shabir Tha’imah, Ustadz Ali Sami An-Nasysyar, Dr. Ali Abdul Wahid Wafi, Zainab Al-Ghazali, At-Tilmisani, Yusuf Al-Azham dan Al-Ghannusyi. Semuanya mempunyai tulisan yang termaktub dalam berbagai kitab karangan ataupun jawaban pertanyaan untuk mendukung ide upaya pendekatan antara Ahlussunnah dan Syi’ah .
Mereka membebaskan Syi’ah dari tuduhan mempunyai aqidah menyimpang yang menyebabkan kekafiran atau kefasikan. Semuanya menetapkan bahwa Syi’ah adalah muslimin sebagaimana layaknya seluruh kaum muslimin lainnya, sebab Syi’ah mengucapkan La ilaha illallah, shalat, puasa dan berhaji, serta perselisihan yang terjadi antara mereka dengan Ahlussunnah hanyalah seperti halnya antara mazhab-mazhab.
Tatkala Al Khameini melakukan revolusi di Iran, dengan segera Al Ikhwan memberikan dukungan: Si A mengirim surat, Si B memoles tulisan di koran-koran, Si C turun ke jalan menampakkan dukungan bagi Al-Khameini sebagai Pemimpin negara yang benar dan negaranya itulah satu-satunya negara yang beriman. Dengarkanlah ucapan Yusuf Al-Azham ketika dia berkata:
Demi Khomeini Sang Pemimpin dan Imam
Merobohkan istana kezhaliman tanpa takut akan kematian
Kami telah memberikannya selempang dan bintang jasa
dari darah kami dan kami berjalan untuk Sang Imam
Kami menghancurkan syirik dan menghapus kegelapan
Agar alam ini kembali menjadi cahaya dan keselamatan
Lihatlah wahai pembaca saudaraku kepada kebutaan dan kebodohan ini, syirik apa yang dihancurkan oleh Al-Khameini sementara syirik di tubuh kaum Syi’ah telah tertanam dan bertunas?! Syirik apa yang dihancurkan oleh Al Ikhwan sedangkan mereka sejak hari pertamanya telah ridha kepadanya dan menyetujuinya bahkan mereka sendiri terjatuh ke dalamnya?! (Al-Maurid, hal.201-206).
Fatwa Ulama terhadap Kejahatan Sayyid Quthb terhadap Islam dan Ahlul Islam
Terakhir di buku BAUSnya , setelah Abduh ZA menukil tulisan ustadz Luqman Ba’abduh: “Siapa Ahlus Sunnah yang beliau maksud? Apakah kelompok IM? Ataukah Sayyid Quthb dan para pengikut pahamnya, semacam Safar, Salman, dan konco-konconya? Jawabannya adalah, sebagaimana kami nukilkan di atas, bahwa beliau (Asy Syaikh ‘Abdul Muhsin) sendiri menegaskan bahwa Ahlus Sunnah sajalah yang beliau maksud bukan kelompok IM serta para pengikut paham Sayyid Quthb, atau paham fiqhul waqi’” (BAUS, hal.311)
Maka Abduh memberikan catatan kaki no.804 dengan tulisan:
“Di sini jelas-jelas Al Ustadz Luqman mengeluarkan Ikhwanul Muslimin dari golongan Ahlu Sunnah wal Jama’ah…Padahal Syaikh Abdul Muhsin tidak pernah…”
Kita katakan:
Adalah suatu “kehormatan” bagi saudara Abduh ZA jika permasalahan vonis di atas (mengeluarkan Ikhwanul Muslimin dari golongan Ahlu Sunnah wal Jama’ah) tidak diputus sanadnya hanya sampai ke Al Ustadz Luqman, karena justru ulama yang sering dinukil fatwanya oleh Abduh BAUS demi menyamarkan identitas fikrah Ikhwaniyahnya yang telah memvonis IM sebagai firqah sesat!
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah Bin Baz telah ditanya : “Semoga Allah berbuat baik kepada Anda, hadits Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam, tentang berpecahnya umat-umat (yakni) sabda beliau : “Umatku akan terpecah menjadi 73 golongan kecuali satu”. Apakah Jamaah Tabligh dengan kondisi mereka yang memiliki beberapa kesyirikan dan bid’ah, dan Jamaah Ikhwanul Muslimin dengan kondisi mereka yang memiliki sifat hizbiyah (berkelompok), dan menentang penguasa, serta tidak mau tanduk dan patuh, apakah dua golongan ini masuk ?” (ke dalam hadits tadi,red).
Maka Syaikh menjawab : “Dia masuk dalam 72 dolongan ini (golongan sesat, red), barangsiapa yang menyelisihi akidah ahli sunnah maka ia telah masuk kepada 72 golongan. Maksud dari sabda beliau (umatku) adalah umat ijabah artinya mereka yang menerima dan menampakkan keikutan mereka kepada beliau, tujuh puluh tiga golongan, yang lolos dan selamat adalah yang mengikuti beliau dan konsekwan dalam agamanya. Dan tujuh puluh dua golongan, di antara mereka ada bermacam-macam, ada yang kafir, ada yang bermaksiat dan ada yang berbuat bid’ah.”
Lalu si penanya berkata : “Maksudnya kedua golongan ini (Jamaah Tabligh dan Ikhwan) termasuk dari tujuh puluh dua ? Syaikh menjawab : “Ya. Termasuk dari tujuh puluh dua, begitu juga Murjiah dan lainnya, Murjiah dan Khawarij. Oleh sebagain ahli ilmu memandang Khawarij tergolong dari orang kafir yang keluar dari Islam, akan tetapi ia termasuk dari keumuman tujuhpuluh dua itu. (Direkam dalam pelajaran syaikh Bin Baz, Syarh al Muntaqa di kota Thaif, sebelum beliau wafat kira-kira dua tahun atau kurang).
http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=329
Semestinya bagi Abduh agar lebih bersikap “gentle” dengan mengakui terus terang pembelaannya terhadap Ikhwanul Muslimin beserta para tokoh-tokohnya daripada bermain kucing-kucingan demi menyembunyikan identitas Ikhwaninya dengan cara “nebeng” di belakang nama-nama besar para ulama Ahlussunnah seperti halnya Syaikh bin Baz rahimahullah. Kalau ketahuan begini? Bukankah rasa malu akan menghinggapinya? Itupun kalau masih tersisa dari sisa-sisa rasa malu yang ada…
Cukuplah kita sebagai manusia yang lemah, meminta pertolongan kepada Allah Ta’ala yang Maha Kuasa dengan mengucapkan: “Hasbunallah wa ni’mal wakiil…”. Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung. Itu saja dari penulis,
semoga memberikan pencerahan tersendiri bagi pembaca. Allahu a’lam.
Abu Abdillah Ibrahim (dengan tambahan dari Abdul Hadi)
Footnote:
[1] http://myquran.org/forum/index.php/topic,38103.msg1052425.html
[2] http://myquran.org/forum/index.php/topic,38204.msg1057709.html
[3] http://myquran.org/forum/index.php/topic,38302.0.html
[4] http://myquran.org/forum/index.php/topic,38302.0.html
[5] http://myquran.org/forum/index.php/topic,38150.0.html
[6] http://myquran.org/forum/index.php/topic,38204.msg1057544.html
[7] http://myquran.org/forum/index.php/topic,38208.msg1057740.html
[8] http://myquran.org/forum/index.php/topic,38302.0.html
[9] http://myquran.org/forum/index.php/topic,38302.0.html
[10] http://myquran.org/forum/index.php/topic,38302.0.html
[11] http://myquran.org/forum/index.php/topic,38150.0.html
[12] http://myquran.org/forum/index.php/topic,38150.0.html
[13] http://myquran.org/forum/index.php/topic,32919.105.html
[14] http://myquran.org/forum/index.php?topic=36735.105
[15] http://myquran.org/forum/index.php/topic,38103.30.html
[16] http://myquran.org/forum/index.php/topic,38208.msg1058144/topicseen.html#msg1058144
[17] http://myquran.org/forum/index.php/topic,38160.msg1056622.html
[18] http://myquran.org/forum/index.php?topic=38150.0
[19] Namun yang sebenarnya ialah beliau Musa ‘Alaihis Salam mempunyai kedudukan yang agung lagi tinggi di sisi Allah Ta’ala yang wajib bagi manusia untuk memuliakan dan mengagungkannya layaknya seluruh para nabi .
Allah Ta’ala berfirman tentangnya (artinya):
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadi seperti orang-orang yang menyakiti Musa; maka Allah membersihkannya dari tuduhan-tuduhan yang mereka katakan. Dan adalah dia seorang yang mempunyai kedudukan terhormat di sisi Allah .” (QS. Al-Ahzab: 69) “Dan Aku telah memilih kamu, maka dengarkanlah apa yang akan diwahyukan (kepadamu) .” (QS. Thaha: 13)
Sebenarnya cukuplah bagi Sayyid untuk membaca hadits-hadits tentang para Nabi di kitab Shahih Al-Bukhari, agar dia dapat mengetahui kalau dia telah melampaui batas, melenceng, melayang jauh dalam khayalannya yang membawa terbang, uslub pengisahannya yang memburukkan, serta perumpamaan yang dia lekatkan berupa; temperamental, fanatik suku, kasar, kagetan tidak tenang, dan tegang kepada Kalimullah dan Rasul-Nya Musa ‘Alaihis Salam.
Imam Al-Bukhariy Rahimahullah telah mengeluarkan dalam Shahih-nya dari ‘Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu yang berkata: Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam membagikan pembagian, maka seseorang berkata “Sesungguhnya ini adalah pembagian yang tidak diinginkan dengannya Wajah Allah Ta’ala”. Saya mendatangi Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan mengabarkannya, maka Beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam murka. Saya melihat kemarahan tampak pada wajahnya, lalu Beliau (b) bersabda: “Semoga Allah Ta’ala merahmati Musa ‘Alaihis Salam. Sesungguhnya dia telah disakiti lebih dari ini maka dia bersabar .”
Sesungguhnya apa yang dinisbatkan oleh Sayyid kepada Kalimullah dan Nabi-Nya Musa ‘Alaihis Salam itu menafikan apa yang seharusnya Beliau ‘Alaihis Salam dapatkan dari penghormatan dan pemuliaan. Ini adalah persoalan yang membuat berdiri bulu kuduk, serta hukum perbuatan berbahaya ini sangatlah besar dan berat di sisi para ulama. Silahkan merujuk kepada kitab Asy-Syifa’ karya Qadhi ‘Iyadh Rahimahullah dan Ash-Sharimil Maslul ‘Ala Syatimir Rasul karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahullah.
[20] Apakah para nabi Alaihimus Salam, para shahabat Radhiyallahu ‘anhum dan orang-orang shalih Radhiyallahu ‘anhum Ajma’in mereka semuanya mempunyai keadaan bergantung kepada seni laksana ketergantungan Sayyid Quthub beserta sanjungannya itu ?!
Dengan bukti terang benderang ini, jawablah secara jujur wahai Hizbul Ikhwanul Muflisin! Siapakah yang mengekor dan berkiblat pada Amerika dan hasil budaya sekulernya? Siapa sesungguhnya yang menjadi agen-agen liberalisme-sekulerisme untuk menghancurkan dunia Islam dan kaum Muslimin?!
Berkata Al-Qaradhawi :
”Dan di antara hiburan yang menenangkan jiwa, menyenangkan hati, dan dinikmati oleh telinga adalah nyanyian. Islam telah membolehkannya selama tidak mengandung unsur-unsur fahisy (keji), kata-kata kotor atau mendorong perbuatan dosa. Dan tidak apa-apa pula jika diiringi musik (yang tidak terlalu keras) dan mustahab diadakan dalam acara-acara ceria, untuk menunjukkan suka cita dan ketenangan jiwa seperti hari raya, pengantin, menyambut kedatangan, saat pesta, nikah, akikah, dan kelahiran anak”. (Al Halal wal Haram, hal. 391)
Dalam kesempatan lain Qaradhawi menambahkan :
“Sesungguhnya nyanyian tersebut pada dasarnya tidaklah haram, baik memakai alat musik ataupun tidak memakai alat musik. (Sayyidati 678)
Ketika diwawancarai oleh wartawan sebuah koran dengan pertanyaan : “Apa pendapatmu tentang musik?” Qaradhawi menjawab :
Apabila tidak terlalu keras dan tidak merangsang pemikiran yang ditolak oleh Islam maka tidak ada halangan. (Harian Adibbarul Usybu’ nomor 401, 5 Maret 1994)
Pembaca yang budiman, pernyataan tersebut mempunyai beberapa kejanggalan, antara lain :
Pertama, batasan tidak terlalu keras dan tidak merangsang perasaan. Hal ini dikomentari oleh Syaikh Al Albani rahimahullah sebagai berikut :
“Batasan ini hanyalah teori yang tidak mungkin dipraktekkan karena yang membangkitkan perasaan adalah relatif berbeda seiring dengan perbedaan watak dan karakter seseorang laki-laki dan perempuan, tua dan muda, panas dan dingin, dan sebagainya. Ini tidak tersamar lagi bagi orang yang pandai. Sungguh demi Allah, aku sangatlah heran dengan ulama Al Azhar yang selalu mendakwahkan batasan teoritis ini, di samping menyelisihi hadits-hadits yang shahih, madzhab imam yang empat, perkataan para ulama Salaf, mereka juga menciptakan alasan-alasan dari diri mereka sendiri yang belum pernah diucapkan oleh seorang pun dari imam yang diikuti. Maka dampak akhirnya adalah membolehkan apa yang diharamkan (seperti musik dan lagu) ini menurut mereka juga.” (Tahrimu Alath Ath Tharb, hal.7)
Kedua, perkataannya dan mustahab diadakan dalam acara-acara ceria, aku tidak mengerti apa yang dimaksud dengan disenangi (istihbab). Apakah ini secara syar’i sehingga orang yang mendengarnya dalam acara-acara pesta, resepsi, dan lain-lain mendapatkan pahala? Seandainya ini yang dimaksud sungguh Qaradhawi telah mengada-ada atas nama Allah Ta’ala dengan kedustaan atau yang dimaksudkannya sesuai dengan apa yang disenangi syaithan. Karena nyanyian adalah seruling mereka yang menyampaikan kepada zina dan fahisyah (perbuatan keji). Maka hendaknya dia memilih salah satu di antara keduanya.
Baca artikel sebelumnya:
BAUS Buas? (1) Konspirasi untuk Mengelabui Kebuasan Dakwah IM
BAUS Buas? (2) Konspirasi untuk Mengelabui Kebuasan Dakwah IM