MANUSIA PALING CELAKA ADALAH PEMBUNUHMU, WAHAI ALI
Wafatnya khalifah ‘Utsman bin ‘Affan radhiallahu ‘anhu bukan akhir dari musibah yang menimpa umat. Rantai fitnah terus bersambung menimpa umat sebagai ujian dari Allah Azza wa Jalla, sebagaimana Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam kabarkan dalam sabdanya:
وَإِذَا وَقَعَ عَلَيْهِمُ السَّيْفُ لَمْ يُرْفَعْ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ
“Jika pedang telah dijatuhkan atas muslimin, pedang itu tidak akan diangkat hingga hari kiamat.”[1]
Berita ini terjadi seperti apa yang Rasul kabarkan. Ketika khalifah Ar-Rasyid, Amirul Mukminin ‘Utsman radhiallahu ‘anhu terbunuh, sejak saat itulah peperangan terus berlangsung di tengah kaum muslimin, dan akan berlanjut hingga hari kiamat. La haula wala quwwata illa billah…[2]
Setelah wafatnya ‘Ustman radhiallahu ‘anhu, menjadi besarlah dua firqah sesat yang saling bertolak belakang, Khawarij dan Rafidhah. Rafidhah melampaui batas dalam mengagungkan Ali radhiallahu ‘anhu dan ahlul bait hingga mengatakan bahwa Ali adalah pencipta dan sesembahan. Sementara Khawarij, mereka mengkafirkan sang khalifah, hingga darah beliau pun mereka halalkan.
Khawarij yang dulunya bermula dari pemikiran sebagaimana tampak dalam kisah Dzul Khuwaishirah[3], kini muncul sebagai sebuah firqah sesat yang memiliki akar dan kekuatan.
Sekilas biografi dan keutamaan Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu
Beliau adalah Ali bin Abi Thalib bin ‘Abdil Muththalib bin Hasyim Al-Qurasyi radhiallahu ‘anhu, putra paman Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam. Sahabat yang termasuk sepuluh orang yang dijamin masuk jannah ini lahir sebelum kerasulan, tercatat sebagai sahabat pertama yang masuk Islam di masa kecilnya.[4]
Tersohor sebagai sosok pemberani, hingga Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam menugaskannya tidur di rumah beliau saat hijrah ke Madinah, di tengah kepungan pemuda-pemuda Quraisy yang siap dengan pedang-pedang tajam yang terhunus.
Ramadhan, tahun 2 Hijriyah, beliau membawa panji perang Badr[5], peperangan dahsyat yang telah mengukir kejayaan Islam. Janji Allah l pun beliau raih bersama seluruh ahlu Badr, berupa jaminan ampunan-Nya. Allah l berfirman tentang Ahlu Badr:
اعْمَلُوا مَا شِئْتُمْ فَقَدْ وَجَبَتْ لَكُمُ الْجَنَّةُ
“Berbuatlah sekehendak kalian, sungguh telah pasti atas kalian Al-Jannah.”[6]
Tahun 7 Hijriyah, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam kembali memberi kepercayaan kepadanya memegang bendera perang Khaibar. Dalam perang itu, Ali mendapat jaminan bahwa Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam telah mencintainya. Malam hari sebelum perang Rasul Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam bersabda:
لَأُعْطِيَنَّ الرَّايَةَ غَدًا رَجُلًا يُحِبُّ اللهَ وَرَسُولَهُ وَيُحِبُّهُ اللهُ وَرَسُولُهُ، يَفْتَحُ اللهُ عَلَى يَدَيْهِ
“Sungguh aku akan berikan esok hari bendera perang pada seorang yang mencintai Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya dan Allah Azza wa Jalla serta Rasul-Nya mencintainya, melalui tangannya Allah Azza wa Jalla bukakan kemenangan.”[7]
Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu adalah sosok yang masyhur dalam kefasihan dan ketajaman bicara, hingga Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam memercayainya untuk menyampaikan ayat-ayat dari awal surat At-Bara’ah (At-Taubah) kepada orang-orang kafir Quraisy di musim haji tahun 9 H[8].
Ali bin Abi Thalib menyertai Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam dalam semua peperangan, kecuali perang Tabuk. Beliau tidak mengikutinya karena Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam memberi kepercayaan mengganti posisi Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam di Madinah, satu amanah yang besar tentunya. Sempat beliau bersedih karena tidak bisa menyertai Rasul Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam dalam perang tersebut. Namun sekali lagi justru Rasul Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam memberikan berita yang menyejukkan, sabda yang menunjukkan keutamaan beliau. Rasul Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam berkata: “Engkau denganku seperti kedudukan Harun dari Musa, hanya saja tidak ada nabi sesudahku.”[9]
Cukuplah sebagian berita di atas sebagai hujjah yang menggambarkan keutamaan beliau di sisi Allah Azza wa Jalla.
Profil pembunuh Khalifah Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu
Pernahkah terbayang bahwa sahabat semulia beliau dan orang yang sangat dekat darahnya dengan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam akan dibunuh oleh seorang yang dzahirnya ahli ibadah?
Abdurrahman bin Muljam Al-Muradi, bukan orang jalanan yang terkenal peminum khamr, pezina, atau seorang fasik. Bukan! Justru orang akan heran ketika mendengar bahwa Ibnu Muljam adalah seorang ahli ibadah, ahli shalat, shaum, dan penghafal Al-Qur’an.
Akan tetapi demi Allah Azza wa Jalla, kecerdasan dan semangat ibadahnya tidak disertai dengan kesucian jiwa. Dia tenggelam dalam fitnah Khawarij.
Khawarij memiliki sekian sifat sebagaimana Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam sabdakan, yang seluruhnya ada pada diri Ibnu Muljam. Di antaranya, mereka adalah kaum yang banyak membaca Al-Qur’an tetapi tidak memahami apa yang dibaca. Bahkan memahaminya dengan pemahaman yang menyimpang dari kebenaran, bacaannya hanya sekadar melewati kerongkongan. Di antara sifat Khawarij, mereka biarkan para penyembah berhala dan mengkafirkan serta memerangi ahlul Islam. Cukuplah sebagai bukti hal ini, mereka memerangi para shahabat generasi terbaik dari umat ini.
Rencana pembunuhan Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu
Gambaran kerusakan fikrah (pemikiran) Khawarij tampak dalam pertempuran Nahrawan (39 H). Peperangan besar antara Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu dan firqah Khawarij tersebut menyisakan api fitnah dan bara kebencian di dada-dada Khawarij.
Dalam perang ini Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu menumpas habis sebagian besar Khawarij. Apa yang beliau lakukan sesuai dengan perintah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam di masa hidup beliau. Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu berkata di hari Nahrawan:
أُمِرْتُ بِقِتَالِ الْمَارِقِينَ وَهَؤُلَاءِ الْمَارِقُونَ
“Aku diperintah (Rasulullah) untuk memerangi Al-Mariqin, dan mereka adalah Al-Mariqin.”[10]
Sisa-sisa Khawarij dalam perang Nahrawan lari dengan membawa kebencian kepada Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu, hingga kemudian mereka melakukan pembicaraan rahasia merancang pembunuhan terhadap Ali radhiallahu ‘anhu.
Demikian sunnatullah atas hamba-Nya yang beriman. Allah Azza wa Jalla menetapkan cobaan sesuai kadar keimanan mereka. Allah Azza wa Jalla telah catat wafatnya Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu dengan musibah yang mengangkat beliau kepada derajat tinggi dan mulia di sisi-Nya.
Kabar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam dan rencana pembunuhan
Jauh-jauh hari, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam telah mengabarkan kepada Ali radhiallahu ‘anhu tentang musibah yang akan menimpanya. Beliau bersabda:
أشْقَى الْأَوَّلِينَ عَاقِرُ النَّاقَةِ وَأَشْقَى الْآخِرِينَ الَّذِي يَطْعَنُكَ يَا عَلِيُّ-وَأَشَارَ حَيْثُ يُطْعَنُ
“Orang yang paling binasa dari umat terdahulu adalah penyembelih unta (dari kaum Nabi Shalih). Dan manusia paling celaka dari umat ini adalah orang yang membunuhmu, wahai ‘Ali! seraya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam menunjuk letak tubuh mana Ali ditikam.
Hadits ini diriwayatkan Ibnu Sa’d dalam Ath-Thabaqatul Kubra (3/35) dengan sanad mursal[11], akan tetapi memiliki syawahid (penguat-penguat) dari hadits lain. (Lihat pembahasan hadits ini dalam Ash-Shahihah 3/78 no. 1088)
Hadits di atas adalah kabar akan wafatnya Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu dalam keadaan syahid, sekaligus hukum kesesatan bagi mereka yang membunuh beliau.
Jika kesesatan telah masuk ke relung hati
Kesesatan telah melingkupi hati-hati Khawarij hingga timbangan kebenaran pun terbalik. Menilai manusia paling mulia di muka bumi saat itu sebagai orang yang pantas ditumpahkan darahnya.
Abdurrahman bin Muljam Al-Muradi, Al-Burak bin Abdillah At-Tamimi, dan ‘Amr bin Bukair At-Tamimi, mereka –tiga orang Khawarij– berkumpul di Makkah membuat kesepakatan bersama, dan tekad bulat untuk membunuh tiga sahabat mulia, Ali bin Abi Thalib, Mu’awiyah bin Abi Sufyan, dan ‘Amr bin Al-Ash radhiallahu anhum.
Demikianlah ketika hati telah mengeras dan hidayah telah jauh dari seseorang. Tidakkah mereka renungkan kemuliaan sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam? Tidak sadarkah mereka bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam telah menjamin jannah bagi Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu? Kalau memang Ali kafir, mengapa Allah Azza wa Jalla memberikan jaminan jannah? Apakah Allah Azza wa Jalla tidak tahu?
…قُلْ أَأَنْتُمْ أَعْلَمُ أَمِ اللَّهُ …
Katakanlah: “Apakah kamu yang lebih mengetahui ataukah Allah Azza wa Jalla?” (Al-Baqarah: 140)
Makar busuk itu mereka mulai. Segala jalan mereka tempuh untuk menyudahi orang-orang mulia yang telah Allah Azza wa Jalla ridhai dan Allah Azza wa Jalla cintai.
Dalam pertemuan rahasia tersebut, Abdurrahman bin Muljam berkata: “Serahkan pembunuhan Ali kepadaku.”
Al-Burak berkata, “Serahkan Muawiyah kepadaku.”
Lalu ‘Amr bin Bukair berkata: “Aku akan bunuh Al-Ash untuk kalian.”
Demikian pembicaraan mereka di Makkah, kota Al-Haram. Kekejian telah mereka sepakati, tekad bulat telah mereka tetapi, dan semua berjanji untuk tidak saling berkhianat dalam menuju sahabat-sahabat yang akan dibunuh hingga berhasil membunuhnya, atau harus terbunuh dalam menunaikan makar ini.
Pembaca rahimakumullah. Pembunuhan berencana itu apakah mereka anggap sebagai dosa? Ternyata tidak. Justru pembunuhan itu mereka yakini sebagi ibadah, jihad dan taqarrub kepada Allah Azza wa Jalla. Mahasuci Allah Azza wa Jalla! Kemana akal-akal mereka? Di mana hati mereka? Tidakkah mereka membaca ayat-ayat Al-Qur’an yang telah mereka hafal dalam dada mereka tentang keutamaan sahabat? Tidakkah mereka cermati sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam dan wasiat beliau?
Namun hati telah terkunci, akal telah diliputi kesesatan. Pergilah mereka bertiga melangkahkan kaki menuju negeri kediaman tiga sahabat tersebut untuk sebuah tekad, pembunuhan orang-orang terbaik di muka bumi!
Kita tinggalkan kisah Al-Burak dan ‘Amr bin Bukair… Kita ikuti perjalanan Ibnu Muljam Al-Muradi.
Ibnu Muljam menginjakkan kakinya di Kufah. Dia menampakkan kebaikan dan ibadah serta menyembunyikan rencana jahatnya untuk membunuh Amirul Mukminin, Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu.
Dengan rahasia, dia temui kawan-kawan Khawarijnya. Dalam waktu yang cukup lama di Kufah dia matangkan rencana, dia siapkan pedang, dia rendam dalam racun, untuk menegakkan “jihad” membunuh Amirul Mukminin radhiallahu ‘anhu. Demikian setan membisikkan kesesatan di relung hatinya.
Detik-detik wafatnya Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu
Malam Jum’at, 17 Ramadhan[12] adalah waktu yang direncanakan Ibnu Muljam untuk membunuh Ali radhiallahu ‘anhu. Keluarlah orang yang paling celaka ini untuk mewujudkan kebinasaanya.
Di tengah keheningan akhir malam, dia dapati Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu berjalan.
Dengan penuh ketawadhu’an kepada Allah Azza wa Jalla dan penuh kecintaan pada Rabbul ‘alamin, Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu keluar menuju shalat shubuh, untuk berdiri di hadapan Allah Azza wa Jalla. Wajah bersinar dan hati yang hidup tampak dari sosok mulia menantu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam, putera paman Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam. Beliau berjalan menuju saat-saat yang telah Allah Azza wa Jalla tetapkan.
Dengan tiba-tiba Ibnu Muljam menebaskan pedangnya dengan penuh kekuatan ke arah Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu, tepat mengenai kening yang diisyaratkan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam dengan telunjuk beliau yang mulia. Innalillahi wa inna ilaihi raji’un!
Pedang beracun tepat mengenai kening Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu. Bukan sekadar goresan, namun luka yang demikian dalam hingga mencapai ubun-ubunnya –semoga Allah Azza wa Jalla meridhai Ali radhiallahu ‘anhu. Kening yang senantiasa bersujud kepada Allah Azza wa Jalla, kening yang dipandang Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam dengan penuh cinta dan kasih sayang, kening yang telah penuh dengan debu jihad bersama Rasul, kening yang telah dijamin selamat dari api neraka, kini disambar pedang Ibnu Muljam.
Darah pun bersimbah… Awan kelabu meliputi Kufah, menorehkan kesedihan dalam catatan sejarah.
Allah Azza wa Jalla tetapkan syahadah bagi beliau radhiallahu ‘anhu, dan Allah Azza wa Jalla tetapkan kecelakaan bagi Ibnu Muljam Al-Khariji, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam:
وَأَشْقَى الْآخِرِينَ الَّذِي يَطْعَنُكَ يَا عَلِيُّ
“Dan manusia paling celaka dari umat ini adalah orang yang membunuhmu, wahai ‘Ali!”
Ketika pedang mengenai Ali, beliau berseru: “Jangan biarkan orang ini lepas!” Orang-orang yang mendengar seruan Ali bergegas menangkap Ibnu Muljam. Saat itu datanglah Ummu Kultsum, putri Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu.
Ummu Kultsum berkata: “Wahai musuh Allah Azza wa Jalla, engkau telah membunuh Amirul Mukminin!”
Ibnu Muljam berkata: “Dia hanya sekadar bapakmu.” (bukan Amirul mukminin, pen.).
Kata Umu Kultsum: “Demi Allah Azza wa Jalla, aku benar-benar berharap semoga Amirul Mukninin tidak apa-apa.” Tetes-tetes air mata cinta dan kesedihan pun mengalir membasahi pipi Ummu Kultsum, putri Ali bin Abi Thalib.” Ya, tetes air mata rahmah…
Dengan ketus Ibnu Muljam berkata: “Kenapa kau menangis? Demi Allah Azza wa Jalla aku telah rendam pedangku ini dalam racun selama sebulan, sungguh tidak mungkin dia akan hidup setelah aku mati, aku pasti berhasil membunuhnya!”
Malam Ahad, sebelas hari tersisa dari bulan Ramadhan tahun 40 H, wafatlah Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu. Beliau dimandikan kedua putranya, Al-Hasan dan Al-Husain radhiallahu anhuma, dua cucu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam, serta Abdullah bin Ja’far radhiallahu ‘anhu (keponakannya), dan dikafani dengan tiga lembar kain tanpa memakai gamis, sebagaimana Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam dikafani.[13]
Ali radhiallahu ‘anhu dibunuh dalam keadaan menuju shalat shubuh dan mengajak manusia untuk shalat. Meninggal setelah 4 tahun 8 bulan 22 hari masa kekhilafahan, di umur beliau yang ke-63. Hasbunallah wani’mal wakil.
[1] HR. Abu Dawud no. 4252 dan Ibnu Majah no. 3952 dan dishahihkan Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ no. 1773.
[2] I’anatul Mustafid (1/337) karya Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan.
[3] Kisah Dzul Khuwashirah dapat dilihat dalam Shahih Al-Bukhari no. 3610.
[4] Terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang umur beliau saat masuk Islam, dikatakan ketika lima tahun, delapan tahun, atau sepuluh tahun.
[5] Al-Mustadrak (3/111). Al-Hakim berkata: “Hadits ini shahih sesuai syarat Syaikhain.” Disepakati oleh Adz-Dzahabi dalam At-Talkhish.
[6] Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad no. 438, dishahihkan Al-Albani.
[7] Muttafaqun ‘alaihi dari hadits Sahl bin Sa’d radhiallahu ‘anhu.
[8] Sebagaimana diriwayatkan Al-Imam Ahmad dalam Al-Musnad (1/156 dan 2/32), dishahihkan Asy-Syaikh Ahmad Syakir rahimahullah.
[9] Shahih Muslim, Kitab Fadhail ash-shahabah no. 2404.
[10] Shahih lighairihi, lihat Fi Zhilalil Jannah hadits no. 907, dari ‘Alqamah rahimahullah.
[11] Terputus sanadnya antara tabi’in dan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam.
[12] Demikian Ibnu Sa’d menyebutkan dalam Ath-Thabaqat pada juz ketiga.
Faedah: Ibnu Hajar dalam At-Tahdzib pada biografi ‘Utsman bin Affan(????) menyebutkan adanya perbedaan pendapat mengenai tanggal terjadinya pembunuhan. Ibnu Hajar berkata: “Dia (Ibnu Muljam) membunuh Ali radhiallahu ‘anhu pada malam Jumat 13 hari berlalu, atau dikatakan 13 hari tersisa dari bulan Ramadhan tahun 40 H. Dikatakan pula awal malam sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan.”
[13] Ath-Thabaqatul Kubra (3/33), dinukil Ibnul Jauzi dalam Talbis Iblis.
Sumber: Majalah Asy Syari’ah edisi 58