Menyimak NASEHAT, Menyumbat SYUBUHAT

Bismillahirrohmanirrohim. o

menyimak nasehat menyumbat syubuhat

MENYIMAK NASEHAT 

MENYUMBAT SYUBUHAT

Oleh: Abu Yahya Muslim

بسم الله الرحمن الرحيم

الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله ومن والاه

Segala puji hanya bagi Allah Rabb semesta alam yang hanya dengan nikmatNya semata segala kebaikan menjadi sempurna. Semoga shalawat dan salam dilimpahkan atas Nabi kita Muhammad صلى الله عليه وسلم, keluarganya dan para sehabatnya maupun pengikut beliau sampai hari kiamat.

Awal mula dari tulisan saya ini adalah sebuah penjelasan tentang perselisihan yang terjadi di Masjid Ar Rodhiyah Ngringo Jaten Karanganyar. Maka untuk menyampaikan penjelasan hakekat perselisihan tersebut, saya buat tulisan untuk saya bacakan di majelis. Lalu tulisan tersebut diminta oleh sebagian ihwah di sana untuk dibaca. Maka saya berikan kepadanya (nampaknya kemudian dicopi).

Beberapa waktu kemudian disampaikan kepada saya tulisan seorang yang bernama Abu Bakr bin Ahmad Al-Hambali وفقه الله dari ma’had Darul Hadits As Salafiiyah Yaman dengan judul TUDUHAN DUSTA TAK BERFAKTA TERHADAP AL-MADINAH SOLO. Isi tulisannya adalah tanggapan terhadap tulisan saya tersebut. Setelah saya baca, ternyata di dalamnya terkandung banyak syubhat yang membahayakan. Berikutnya, disampaikan lagi tulisannya yang lain dengan judul MELACAK PEMAHAMAN SESAT KHOWARIJ MUSLIM DWI SUPRIYANTO. Di dalamnya terkandung pemikiran dan pemahamannya yang ganjil, berbahaya dan gampang memvonis sesat.

Yang ketiga, disampaikan juga tulisan dari seseorang bernama Rangga Abu Muhammad وفقه الله yang juga menanggapi tulisan saya tersebut dengan judul yang sama MELACAK PEMAHAMAN SESAT KHOWARIJ MUSLIM DWI SUPRIYANTO. Di dalamnya juga terkandung pemikiran dan pemahamannya yang ganjil dan lebih berbahaya dan juga gampang memvonis sesat.

Maka tulisan saya ini sabagai tanggapan dan penyingkap syubhat tersebut serta menjelaskan pemikiran dan pemahaman yang berbahaya dari kedua orang ini agar umat tidak tertipu olehnya. Tulisan ini saya beri judul MENYIMAK NASEHAT MENYUMBAT SYUBUHAT. Semoga Allah تعالى memberi manfaat dengannya.

Tetapi perlu diketahui bahwa tulisan saya ini bukan menunjukkan bahwa penulisnya adalah orang yang layak memiliki suatu karya tulis. Tetapi tulisan ini hadir semata-mata karena menanggapi tulisan kedua orang tersebut dan dalam rangka menyingkap syubhat di dalamnya serta menjelaskan pemikiran dan pemahaman yang berbahaya dari kedua orang ini. Maka jangan kaget dan heran jika didapati di dalam tulisan ini banyak kekurangan atau kekeliruan yang memang itulah keadaan saya yang sebenarnya.

Namun demikian, saya memohon kepada Allah agar Dia memberi manfaat dengan kebenaran dan kebaikan yang ada di dalamnya buat saya pribadi dan saudara-saudara saya kaum muslimin pada umumnya. Adapun kekurangan atau kekeliruannya semoga Allah memaafkan saya dan meluruskannya. Sesungguhnya Dia Maha Pengampun dan Maha Pengasih.

Dan kami haturkan jazakumullohu khoiron kepada semua saudara yang telah membantu terbitnya tulisan ini. Terkhusus Ustadzuna Al Fadhil Abul Abbas Muhammad Ihsan yang berkenan meluangkan waktunya untuk meneliti dan meluruskan banyak hal yang tidak tepat. Juga nasehat beliau yang sangat berharga agar kita selalu menetapi adab Islami dalam membantah dan agar tidak terpancing untuk keluar dari adab Islami seperti yang dilakukan oleh orang yang dibantah.

Semoga shalawat dan salam senantiasa dicurahkan atas Nabi kita Muhammad صلى الله عليه وسلم dan keluarga beliau maupun para pengikutnya sampai hari kiamat.

Karanganyar, Maret 2015

الفقير الى عفو ربه القدير

ابو يحيى مسلم دوي سفرينطا

 ***

PENJELASAN BUAT SAUDARA-SAUDARA SAYA

JAMA’AH MASJID AR RODHIYAH

 

Sebelum kita memberi tanggapan kepada tulisan kedua orang di atas, perlu saya bawakan tulisan saya yang menjadi titik awal hadirnya tulisan ini. Yakni tulisan yang saya bacakan di masjid Ar Rodhiyah buat saudara-saudara saya di sana untuk menjelaskan hakekat perselisihan yang terjadi di masjid Ar Rodhiyah beberapa waktu yang lalu. Teksnya sebagai berikut:

 

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله

Penjelasan Tentang Perselisihan Di Masjid Ar Rodhiyah

Bahwasannnya sebab pokok perselisihan tersebut adalah munculnya bid`ah dan penyimpangan dari As Sunnah. Maka munculnya bid`ah ini menimbulkan perselisihan antara pihak yang membela As Sunnah dan mengingkari bid`ah dengan pihak yang mengajarkan bid`ah dan para pembelanya.

Bid`ah yang dimaksud adalah bid`ah yang diajarkan di Madrasah Al madinah yang diantaranya adalah ilmu kalam, tashawuf, demokrasi dll. Seperti dikatakan oleh Ustadz Jauhari sendiri di Al Madinah memang diajarkan ilmu kalam setiap menjelang ujian dan dalam porsi 60% dari apa yang seharusnya disampaikan. Demikian pula para murid dibekali modul berjudul BUKU AJAR ILMU KALAM. Adapun tasawuf termasuk salah satu materi dalam modul ahlaq. Dan demokrasi ada dalam modul PKN. Semua ada faktanya dan dibenarkan oleh murid lulusan pertengahan tahun 2014 ini. Maka bid`ah-bid`ah ini ada pihak yang mengingkari, tetapi juga ada pihak yang membela.

Maka, perselisihan yang timbul di antara jamaah masjid Ar Rodhiyah adalah antara pihak yang mengingkari bid`ah-bid`ahnya Al Madinah dengan pihak pembela Al Madinah. Dan pihak yang mengingkari benar-benar telah mengikuti bimbingan para ulama’ kibar dalam masalah ini.

APA BID`AH ILMU KALAM DAN TASAWWUF ITU?

Ilmu kalam adalah bid`ah dalam perkara aqidah yang sangat berbahaya dan bisa mengantarkan kepada kekafiran. Di antara akibat-akibat pelajaran ilmu kalam atau filsafat adalah kekafiran yang berupa keragu-raguan dalam keimanan, ragu akan adanya Allah, terpampang di depan pintu gerbang area salah satu IAIN tulisan “ANDA MEMASUKI AREA BEBAS TUHAN”, menulis kata ALLAH lalu diinjak-injak dengan menghinakan, atau ucapan kotor mereka “ANJING-HU AKBAR” sebagai penghinaan kalimat Allahu akbar, dan berbagai kekufuran lain yang nyata. Dan telah banyak orang-orang faqih dahulu yang keluar dari ajaran As  sunnah dengan sebab mempelajari ILMU KALAM, semisal Abu Hamid Al Gozali. Sehingga tulisan-tulisanya penuh dengan penyimpangan dan kesesatan seperti yang dikatakan oleh shohibul Ma`bar هداه الله   .

Tasawwuf adalah bid`ah dalam aqidah yang juga mengantarkan kepada kesesatan yang besar, bahkan bisa sampai pada kekufuran dan kesyirikan serta meninggalkan Al Qur`an dan as Sunnah. Karena tasawwuf akan berujung kepada ajaran mengambil agama ini langsung dari langit, tidak dari Al Qur`an dan As Sunnah. Tasawuf membagi tingkatan manusia menjadi syari`at, ma`rifat dan hakekat. Dan berbagai kesesatan.

Jadi, ilmu kalam dan tasawwuf  itu bukan bid`ah yang kecil. Tetapi bid`ah yang sangat besar dan sangat berbahya yang harus diingkari dengan keras.

Mungkin ada yang bertanya: “Apakah kesesatan Al Madinah sudah sampai kekafiran? Jawabnya: belum. Tetapi ilmu kalam dan tasawwuf akan berujung ke sana. Maka harus dibasmi sebersih-bersihnya walau hanya masih bibit atau embrio. Jangan sampai terlambat.

SALAF MENGINGKARI BID`AH SEKECIL APAPUN

Para salaf sama sekali tidak memberi ruang bagi bid`ah sekecil apapun, walau bukan dalam aqidah. Ada seseorang bersin di dekat Ibnu Umar lalu mengucapkan الحمد لله والسلام على رسول الله, maka Ibnu Umar mengingkarinya: “Tidak demikian itu Rasulullah mengajari kami …..”. (HR Imam Tirmidzi – hasan – Syaikh Albani).

Imam Al Barbahari mengatakan: “Jauhilah bid`ah yang kecil. Karena ia akan berulang sampai menjadi besar. Demikin itulah semua bid`ah yang terjadi di umat  ini. Awal mulanya kecil menyerupai al haq. Tertipu orang yang masuk ke sana hingga tidak bisa keluar darinya …”. (Syarhus Sunnah).

Sehingga jangan tertipu ucapan: “Kan Cuma kecil, Cuma sedikit. Sudah dipilih-pilih ……”.

Bandingkan sikap para salaf ini dengan pihak-pihak yang membela Al Madinah. Sangat jauh beda.

KEJAHATAN TERHADAP DAKWAH SUNNAH DAN TAUHID

Kerusakan yang diakibatkan oleh dakwah Al Madinah ini bukan hanya menimpa murid-murid, tetapi juga mengotori kesucian dakwah Sunnah dan Tauhid. Hal itu karena mereka menisbatkan diri kepada dakwah salaf. Pemerintah dan masyarakat bisa menilai salah tentang dakwah salaf dan ilmu kalam mupun tasawwuf.

  1. Pemerintah akan menilai bahwa ilmu kalam dan tasawwuf bisa diterima oleh mannhaj salaf dan tidak bertentangan dengannya. Maka ini merupakan dukungan bagi pemerintah untuk mengembangkannya.
  2. Masyarakat juga akan menilai seperti itu, sehingga hal ini membuat mereka tidak hati-hati darinya dan bahkan terdorong untuk mempelajari ilmu kalam dan tasawwuf. Karena “SALAF” menerima.

Apa ada kejahatan terhadap dakwah salaf yang lebih besar dari pada apa yang dilakukan orang-orang yang menisbatkan kepada salaf ini?

MENGAPA AL MADINAH TETAP DIBELA PADAHAL JELAS MENGAJARKAN BID`AH?

Tidak heran jika ada yang masih membelanya. Karena kesesatan yang paling sesat di dunia ini pun ada pengikutnya dan pembelanya. Yang jadi pertanyaan: Apa sebab-sebab yang menjadikan mereka tetap membelanya? Jawaban pertanyaan ini ada banyak kemungkinan. Di antaranya:

  1. Ta`ashub alias fanatic dari para pengikutnya. Ini dilakukan oleh orang-orang yang jelas-jelas mengetahui bid`ah dan kemungkaran Al Madinah. Tetapi mereka tidak rela kalau kebatilan yang ada pada Al Madinah dikritik dan diingkari. Tidak peduli walau yang mereka bela jelas-jelas mengajarkan bid`ah dan kebatilan. Pokoknya!!
  2. Penyimpangan dalam manhaj Al Wala’ Wal bara’. Wala’ artinya kecintaan dan pembelaan. Sedangkan bara’ artinya kebencian dan antipati. Islam mengajarkan agar wala’ itu kepada pihak yang bersih dari bid`ah dan bara’ itu kepada pihak yang mengajarkan bid`ah. Tetapi terbalik. Mereka justeru wala’ kepada pihak yang mengajarkan bid`ah dan bara’ kepada kepada pihak yang bersih dari bid`ah dan mengingkarinya. Maka sangat aneh kalau mereka menisbatkan diri kepada Sunnah atau salaf.
  3. Hawa nafsu. Ini dilakukan oleh pihak yang diuntungkan dengan keberadaan Al Madinah sebagai sekolah yang dianggap mengajarkan agama dan ilmu dunia. Sesuai dengan kepentingannya.
  4. Jahil akan hakekat permasalahan. Tidak tahu bahaya bid`ah ilmu kalam, tasawwuf dan yang semisalnnya. Ia menganggap itu hanya kesalahan biasa. Ia tidak bisa membedakan antara kesalahan biasa dengan bid`ah atau penyimpangan aqidah atau manhaj. Maka ia katakan: “Semua orang ya punya salah. Tidak ada orang yang tidak pernah salah”. Atau: “Masak sekolah umum, belajar IPS, IPA, matematika dilarang?” Tidak faham.
  5. Tertipu oleh syubhat dari perkataan ustadz Jauhari: “Terpaksa —- Dulu kita tidak tahu ——- Kami tidak meninggalkan Al Qur`an dan As Sunnah —-”, atau syubhat yang lain. Orang yang tertipu ini mengatakan: “Al Madinah ini terdlolimi” atau “Kan masih ahlus sunnah?” Maka mereka bangkit membelanya.

Kalimat “Kami mengajarkan ilmu kalam tetapi tidak meninggalkan Al Qur`an dan As Sunnah”, ini merupakan aqidah yang baru yang sangat berbahaya. Karena selain tahrif tarhadap perkataan ahlul ilmi, juga difahami darinya bahwa bid`ah itu tidak bertentangan dengan Al Qur`an dan As Sunnah.

Itu di antara keadaan-keadaan para pembela Al Madinah. Dan itu pula sebab perselisihan. Solusinya mudah jika mau; tinggalkan bid`ah dan wala’ kepada pihak yang mengajarkan bid`ah. Cukupkan dengan As Sunnah dan wala ‘ kepada pihak yang membela As Sunnah dan mengingkari bid`ah. Sebagaimana tersebut dalam hadits `Irbadh.

Jadi, sebab adanya perselisihan adalah bid`ah. Bukan masalah tidak boleh belajar ilmu dunia atau IPS atau yang lain. Tetapi masalah bid`ah dalam aqidah alias perselisihan manhaj. Maka perselisihan tidak akan berakhir -wal `iyadzubillah- kecuali dengan meninggalkan bid`ah dan pembelaan kepadanya, meluruskan manhaj wala’ wal bara’, sehingga wala’ kepada pihak yang membela As Sunnah dan bara’ kepada yang mengajarkan bid`ah.

Semoga Allah menyelamatkan kita semua dari bid`ah dengan segala bentuknya. Dan selalu menjaga kita untuk istiqomah di atas As Sunnah dan manhaj salafus shalih. Amiiin.

 وصلى الله على وسلم نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين

 

Demikian tulisan yang saya bacakan buat saudara-saudara di masjid Ar Rodhiyah dengan sedikit pembetulan pada beberapa kata yang terbalik hurufnya (misalnya kata PADAHAL, sebelumnya tertulis PADALAH) atau kurang satu huruf (misalnya mereka sebelumnya tertulis mreka, “atau” sebelumnya tertulis “ata”) atau kurang spasi. Sama sekali tidak ada penggantian kata-kata agar tidak dijadikan celah oleh orang-orang yang mencari celah.

نسأل الله لنا ولكم السلامة والعافية. ووفقنا الله جميعا لما يحب ويرضاه

 ***

Lampiran 1:

TUDUHAN DUSTA TAK BERFAKTA

TERHADAP AL-MADINAH SOLO

Saya telah dikirimi sebuah bukti kebohongan tentang tuduhan  ‘anak kemarin sore’ terhadap saudara-saudara kami di sekolah Al-Madinah Solo dari beberapa teman di Indonesia. Tanpa saya harus susah payah mencari, bukti-bukti itu datang dengan mudah sekali. seperti ucapan penyair :

ستبدي لك الأيام ما كنت جاهلا             و يأتيك بالأخبار ما لم تزود

“Hari-hari akan menampakkan apa yang sebelumnya kamu tidak tahu”

“Dan akan datang membawa berita apa yang sebelumnya kamu tidak tahu”

Simak bukti berikut :

lamp 1

Gambar 1. Bukti tuduhan memBABI buta tanpa bukti dan tanpa rasa takut terhadap hari perhitungan amal nanti di hadapan Alloh.

Dari penggalan kalimat Muslim Dwi Supriyanto di atas ada beberapa point kebohongan yang sangat fatal :

  • Pertama : Dia telah menuduh tanpa bukti bahwa sekolah Al-Madinah telah MENGAJARKAN BID’AH. Saya ingin bertanya kepada anda wahai Dwi, datangkan bukti yang bias dipertanggungjawabkan bid’ah apa yang telah diajarkan oleh sekolah Al-Madinah ??

Tuduhan seperti ini tidaklah ringan bagi seorang muslim. Suatu tuduhan yang akan anda pertanggungjawabkan nanti di akherat kelak. Alloh ta’ala berfirman :

ما يلفظ من قول إلا لديه رقيب عتيد

“Tidaklah seorang mengucapkan suatu ucapan, kecuali senantiasa ada malaikat pengawas yang selalu hadir.” ( Qof : 18 ).

Nabi-shollallohu ‘alaihi wa sallam-telah bersabda :

البينة على من أدعى واليمين على من أنكر

“Bukti atas yang menuduh dan sumpah atas orang yang dituduh.”

Jika kamu tidak mampu mendatangkan bukti, maka kamu adalah pendusta!! Dan kamu akan menanggung apa yang telah kamu ucapkan di dunia ini dan terlebih nanti di akherat!

  • Kedua : kamu telah menuduh-dengan dusta- bahwa sekolah Al-Madinah telah MENGAJARKAN ILMU KALAM, TASAWUF, DEMOKRASI DLL.

Sekali lagi wahai Muslim, datangkan bukti tuduhanmu jika kamu orang-orang yang jujur. Mana bukti sekolah Al-Madinah mengajarkan seperti itu !

Perhatikan pembaca-rohimakumullah-, kalimat dari Muslim “MENGAJARKAN ILMU KALAM, TASAWUD, DEMOKRASI DLL” . Maksud kalimat ini ada dua kemungkinan saja dan tidak ada yang ketiga :

1.Para guru di sekolah Al-Madinah Solo mengajarkan kepada murid-muridnya agar mereka meyakini dan mengamalkan beberapa kekeliruan yang terdapat dalam  pelajaran ilmu kalam, akhlaq, dan PKN.

2.Para guru di sekolah Al-Madinah solo mengajarkan mata pelajaran ilmu kalam, akhlaq ( yang di dalamnya terdapat sisi tasawufnya ), PKN ( yang di dalamnya ada demokrasi ) dalam kondisi diiringi menjelaskan beberapa kebatilan dalam buku tersebut agar siswa mengerti sisi kesalahannya kemudian mereka meninggalkannya.

Saya ingin bertanya kepada Muslim Dwi Supriyanto, apa masuk kalimat kamu “mengajarkan ilmu kalam, tasawuf, demokrasi dll” ? jika kamu memaksudkan yang pertama, maka saya menutut kamu untuk mendatangkan bukti. Dan saya yakin bahwa kamu tidak akan mempu mendatangkan bukti tersebut. Karena memang seluruh guru di sekolah Al-Madinah Solo tidak pernah melakukannya. Jika kamu tidak mampu mendatangkan buktinya, maka kamu adalah pendusta !!

Jika kamu maksudkan yang kedua, maka tidak bisa dikatakan apalagi dituduhkan bahwa sekolah Al-Madinah telah mengajarkan perkara bid’ah. Justru Al-Madinah memperingatkan bid’ah sekecil apapun apalagi bid’ah yang besar seperti ilmu kalam yang sesat, demokrasi dan tasawuf.

Atau kamu jangan-jagan GAGAL PAHAM/SALAH PAHAM tentang masalah ini. Perlu saya jelaskan, bahwa keberadaan mata pelajaran ilmu kalam, akhlaq dan PKN saya tidak mengingkari keberadaannya di sekolah Al-Madinah Solo. Sebagaimana ustadz Jauhari juga membenarkan keberadaan mata pelajaran-mata pelajaran tersebut.

Akan tetapi kemudian kamu menuduh dengan serampangan bahwa guru-guru Al-Madinah Solo mengajarkan beberapa kesesatan dan penyimpangan yang ada dalam buku ajar tersebut, maka ini adalah kebatilan dan kebohongan semata.

Cara menuduh seperti ini hanya bisa dilakukan oleh para polotikus saja seperti Luqman Ba’abduh dan pengikutnya seperti kamu. Demi Alloh wahai Muslim ! jika kamu tidak mencabut dan tidak bertaubat kepada Alloh dari tuduhanmu terhadap sekolah Al-Madinah, sungguh kamu akan menanggung di akherat kelak. Dan sungguh hari perhitungan itu sangatlah dahsyat !

Perlu anda ketahui, bahwa buku panduan untuk pelajaran ilmu kalam yang ada di Madrasah ‘Aliyyah Al-Madinah adalah semata-mata pelajaran yang berkaitan tentang pengetahuan firqoh-firqoh sesat. Bukan ilmu kalam murni yang berisi kesesatan-kesesatan filsafat. Ini saya katakan, karena dari saya telah mentela’ah buku tersebut dari awal sampai akhir. Atau jangan-jangan anda belum membacanya ?

Kalaupun ada beberapa perkara yang menyimpang dalam buku tersebut, maka Al-Hamdulillah para guru di sana telah menjelaskan dan memperingatkan kepara para siswa. MAKA DATANGKAN BUKTI WAHAI MUSLIM JIKA KAMU ADALAH ORANG YANG BENAR ATAS TUDUHANMU. BUKTI BAHWA AL-MADINAH SOLO BENAR-BENAR MENGAJARKAN KESESATAN ATAU BID’AH TENTANG DEMOKRASI TASAWUF, ILMU KALAM ATAUPUN PERSATUAN AGAMA !!

  • Ketiga : Ucapan kamu : “..Semua ada faktanya dan dibenarkan oleh murid lulusan pertengahan tahun 2014 ini.”

Tanggapan :

Fakta apa yang kamu muksud wahai Dwi ? demi Alloh kamu tidak akan mempu mendatangkan fakta bahwa Al-Madinah benar-benar mengajarkan kesesatan dan kebid’ahan kepada para siswanya agar mereka menyakini dan mengamalkannya. Tunjukkan kepada kami dan kepada segenap ahlus sunnah ! dan saya yakin kamu tidak akan mampu.

Kalau yang kamu maksud dengan kalimatmu “Semua ada faktanya” itu adalah fakta bahwa mata pelajaran PKn, ilmu kalam, akhlaq itu ada di sekolah Al-Madinah, kamu itu benar. Hanya sebatas ada saja ! perhatikan dengan seksama supaya kamu tidak gagal paham !

Akan tetapi keberadaan mata pelajaran itu, tidak mengharuskan mereka mengajarkan beberapa kekeliruan yang ada dalam buku-buku tersebut. Justru FAKTANYA, MEREKA MENJELASKAN KESALAHAN-KESALAHAN YANG ADA DI DALAMNYA.

Ucapanmu “Semua ada faktanya”, demi Alloh akan menjadi perkara besar nanti di hari kiamat. Semuanya akan diminta tanggungjawab atas hal ini. Suatu hari yang tidak yang sangat dahsyat bagi orang-orang yang masih punya pemikiran dan hati yang bersih serta rasa takut kepada Robb-nya.

Kemudian ucapanmu :”Dan dibenarkan oleh murid lulusan pertengahan tahun 2014 ini”, siapa murid tersebut ? datangkan nama dan orangnya kepada segenap ahlus sunnah! Coba tanya kepada dia dengan diangkat sumpah atas nama Alloh, Apakah benar Al-Madinah mengajarkan kesesatan dan kebid’ahan seperti kesesatan ilmu kalam, demokrasi, persatuan agama serta tawawuf ? berani tidak dia.

Atau jangan-jangan dia hanya bersaksi untuk HANYA UNTUK keberadaan mata pelajaran-mata pelajaran yang telah disebutkan ? keyakinan saya dan segenap ahlus sunnh, bahwa ‘murid’ tersebut hanyalah bersaksi untuk adanya mata pelajaran yang telah disebutkan.

Oleh karena itu, saya menuntut kepada Dwi Supriyanto untuk mendatangkan bukti atas tuduhan dia kepada sekolah Al-Madinah Solo bahwa mereka mengajarkan kesesatan dan kebid’ahan. Jika dia tidak mampu, biarlah umat yang akan menilai bahwa orang ini adalah pendusta !!! dan seorang pendusta adalah orang yang tidak layak untuk mengemban da’wah salafiyyah yang mulia ini .

Yang harus segara dilakukan, hendaklah penuduh ini segera bertaubat kepada Alloh sebelum pintu-pintu taubat tertutup dan dia akan menjadi orang yang bangkrut nanti di hari kiamat. Rosulullah-shollallahu ‘alaihi wa sallam-bersabda :

أتدرون ما المفلس ؟ قالوا المفلس فينا من لا درهم له ولا متاع فقال إن المفلس من أمتي يأتي يوم القيامة بصلاة وصيام وزكاة ويأتي قد شتم هذا وقذف هذا وأكل مال هذا وسفك دم هذا وضرب هذا فيعطى هذا من حسناته وهذا من حسناته فإن فنيت حسناته قبل أن يقضى ما عليه أخذ من خطاياهم فطرحت عليه ثم طرح في النار

“Apakah kalian tahu apa itu orang yang bangkrut ?”. Para sahabat menjawab : “ Orang yang bangkrut itu adalah orang yang tidak punya dirham dan perhiasan.” Maka beliau berkata : “Sesungguhnya orang yang bangkrut dari umatku adalah orang yang datang para hari kiamat dengan membawa pahala sholat, puasa dan zakat. Dan dia datang dalam kondisi ( di dunia ) telah mencela ini telah menuduh ini telah memakan harta ini dan telah menumpahkan darah ini dan telah memukul ini. Maka diberikanlah kebaikan orang tersebut kepada si ini dan si ini. Jika telah habis kebaikannya sebelum dibayar semua, maka diambil dari kesalahan-kesalahan mereka kemudian dilemparkan kepadanya lalu orang itu dilemparkan ke dalam Neraka.” ( HR. Muslim : 2581 )

Catatan : jika ada ingin diskusi dengan saya terhadap tulisan ini ataupun tulisan saya yang lainnya, saya siap bertemu tatap muka. Saya tunggu di Darur Hadits Ma’bar Yaman. Dengan syarat diskusi untuk mencari kebenaran dan menjaga adab-adab diskusi.

Abu Bakr bin Ahmad Al-Hambali

Ma’had Darul Hadits As-Salafiyah – Yaman

8 Rabi’ul Akhir 1436 H bertepatan 28 Januari 2015

Sumber : http://al-hawary.blogspot.com/2015/01/tuduhan-dusta-tak-berfakta_27.html

 ***

Lampiran 2:

MELACAK PEMAHAMAN SESAT “KHOWARIJ”

MUSLIM DWI SUPRIYANTO NGOTANON KARANGANYAR

(PART 2)

 

Pondok Pesantren Al-Ausath Ngotanon Karanganyar. Di sanalah bercokol seorang yang bernama Dwi Supriyanto alias Muslim Abu Yahya. Tubuhnya agak tinggi dan kurus-sepertinya terlalu banyak pikiran-. Punya penyakit lambung yang lumayan akut terlebih kalau sedang ditimpa banyak masalah. Jalannya gontai tak bertenaga pertanda akal dan hatinya terserang virus ganas mematikan bernama LUQMANIEO.

Walaupun sedikit kurus, orang ini punya sifat K3 ( kaku, kasar dan keras ). Apalagi kalau sudah merasa paling benar dan paling ‘sejati’. Lisannya lacur tak terkendali. Salah satu buktinya dia telah menuduh sekolah Al-Madinah Solo mengajarkan bid’ah dan kesesatan. Tuduhan dusta tak berfakta yang akan dia pertanggungjawabkan di hari kiamat kelak.

Sampai detik ini, dia tidak mampu memenuhi tantangan kami untuk menghadirkan bukti atas tuduhan kejinya kepada Al-Madinah Solo. Mulutnya yang penuh kotoran membisu tak bisa berucap. Tersungkur hina dina sebagai bukti pembenaran bahwa dia seorang PENDUSTA !!

Mendadak orang ini jadi selebretis terkenal seantero nusantara. Bukan karena dia masuk Youtube dan dilihat oleh sekian ribu orang, akan tetapi karena pemikiran dan kiprah penyimpangan dia dari manhaj salaf, dalam kondisi dia mengaku sebagai orang yang paling ‘salafy’. Sungguh benar apa yang dikatakan oleh seorang penyair :

كل يدعي وصلا لليلى  و ليلى لا تقر لهم بذاك

“Setiap orang mengaku punya hubungan dengan Laila”

“Dan Laila tidak menetapkan pengakuan mereka terhadap hal itu.”

Penyimpangan memang muncul dari seseorang sedikit demi sedikit. Bahkan terkadang seorang itu tidak sadar kalau dia telah menyimpang. Sungguh benar apa yang telah dinyatakan oleh Alloh dalam firman-Nya :

فلما زاغوا أزاغ الله قلوبهم والله لا يهدي القوم الفاسقين

“Tatkala mereka menyimpang, maka Alloh simpangkan hati-hati mereka. Dan Alloh tidak akan memberi hidayah terhadap kaum yang fasiq ”. ( QS. Ash-Shof : 5 ).

Pada kesempatan kali ini, kami akan menyajikan kembali “Silsilah Pemahaman Sesat” Musim Dwi Supriyanto Ngotanon Karanganyar yang sangat berbahaya. Supaya kaum muslimin segera mengambil keputusan untuk menjauh dan hati-hati dari orang ini. Karena orang ini telah memikul berbagai PAHAM SESAT yang tidak pernah diajarkan oleh Alloh dan Rosul-Nya Muhammad-sholallahu ‘alaihi wa sallam-.

Penyimpangan Muslim kali ini berkaitan dengan masalah al-wala’ dan al-baro’. Al-wala’ artinya mencintai, membantu serta menolong. Sedangkan al-baro’ artinya membenci dan berlepas diri. Simak bukti berikut :

lamp 2

Gambar 1. Bukti penyimpangan Muslim Dwi Supriyanto dari jalan kebenaran.

Muslim Dwi Supriyanto memiliki pemahaman : Bahwa wala’ itu hanya diberikan kepada seorang yang BERSIH  dari bid’ah. Adapun yang tidak bersih 100% dari bid’ah, maka tidak berhak mendapatkan wala’ sama sekali ! Walaupun orang tersebut seorang muslim dan seorang mu’min. Kemudian dia menyandarkan pemahaman sesatnya ini kepada Islam.

Demi Alloh ! Muslim telah berdusta ketika menyatakan bahwa pemahaman dia terhadap masalah ini adalah merupakan ajaran Islam. Justru Islam telah berlepas dirinya.

Perlu untuk diketahui, bahwa al-wala’ dan al-baro’ adalah merupakan salah satu prinsif ahlus sunnah wal jama’ah. Dalam masalah ini, maka dirinci sebagai berikut :

  • Pertama : Golongan yang tidak berhak mendapatkan wala’ sama sekali. Mereka adalah orang-orang kafir ( masuk di dalamnya orang-orang musyrikin, munafiqin dan mulhidin ). Yang ada bagi mereka hanyalah baro’. Tidak boleh bagi seorang muslim untuk memberikan rasa cinta, pertolongan dan pembelaan kepada mereka[1][1].

Alloh Ta’ala telah berfirman :

لاَّ تَجِدُ قَوْماً يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُواْ ءابَاءهُمْ أَوْ أَبْنَاءهُمْ أَوْ إِخْوانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ

“Kamu ( wahai Muhammad  ) tidak akan menjumpai suatu kaum yang beriman kepada Alloh dan Rosul-Nya serta hari akhir mencintai dan menyayangi orang-orang yang memusuhi Alloh dan Rosul-Nya walaupun mereka adalah bapak-bapak mereka, anak-anak mereka, saudara-saudara mereka, ataupun keluarga mereka.” ( QS. Al-Mujadilah : 22 ).

Maka golongan pertama ini sekaligus berhak mendapatkan baro’ secara mutlak ( sempurna ).

  • Kedua : Golongan yang berhak mendapatkan wala’ secara sempurna. Mereka adalah kaum muslimin dan kaum mu’minin yang selamat dan baik agamanya sesuai dengan tuntunan Alloh dan Rosul-Nya di atas manhaj salafush sholeh. Senantiasa berusaha menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Maka golongan kedua ini tidak berhak mendapatkan baro’.
  • Ketiga : Yang berhak mendapatkan wala’ dan sekaligus mendapatkan baro’. Dibenci dari satu sisi dan dicintai dari sisi yang lain. Mereka adalah kaum muslimin yang terkumpul pada diri mereka dua hal, ketaatan dan kema’siatan serta kebaikan dan penyimpangan . Selama penyimpangan mereka tidak sampai mengeluarkan mereka dari Islam, maka mereka masih berhak mendapatkan wala’ sesuai dengan ketaatan yang masih ada pada diri mereka dan berhak medapatkan baro’ sesuai dengan kadar kema’siatan dan penyimpangan mereka.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah-rohimahullah-berkata :

وَإِذَا اجْتَمَعَ فِي الرَّجُلِ الْوَاحِدِ خَيْرٌ وَشَرٌّ وَفُجُورٌ وَطَاعَةٌ وَمَعْصِيَةٌ وَسُنَّةٌ وَبِدْعَةٌ: اسْتَحَقَّ مِنْ الْمُوَالَاةِ وَالثَّوَابِ بِقَدْرِ مَا فِيهِ مِنْ الْخَيْرِ وَاسْتَحَقَّ مِنْ الْمُعَادَاتِ وَالْعِقَابِ بِحَسَبِ مَا فِيهِ مِنْ الشَّرِّ فَيَجْتَمِعُ فِي الشَّخْصِ الْوَاحِدِ مُوجِبَاتُ الْإِكْرَامِ وَالْإِهَانَةِ …….هَذَا هُوَ الْأَصْلُ الَّذِي اتَّفَقَ عَلَيْهِ أَهْلُ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ وَخَالَفَهُمْ الْخَوَارِجُ وَالْمُعْتَزِلَةُ وَمَنْ وَافَقَهُمْ عَلَيْهِ فَلَمْ يَجْعَلُوا النَّاسَ لَا مُسْتَحِقًّا لِلثَّوَابِ فَقَطْ وَلَا مُسْتَحِقًّا لِلْعِقَابِ فَقَطْ.

“Apabila berkumpul kebaikan, kejelekan, kema’siatan, keta’atan, kemaksiatan, sunnah dan bid’ah pada diri satu orang, maka dia berhak mendapatkan wala’ ( loyalitas ) dan pahala sesuai dengan kadar apa yang ada pada dirinya dari kebaikan serta berhak mendapatkan permusuhan dan adzab sesuai dengan apa yang ada pada dirinya dari kejelekkan. Maka berkumpul perkara-perkara yang mewajibkan pemulian dan penghinaan pada diri satu orang…………….Ini merupakan pokok ( manhaj salaf ) yang telah disepakati oleh Ahlus Sunnah Wal Jama’ah. Dan telah menyelisih hal ini ( sekte sesat ) Khowarij, Mu’tazilah dan orang-orang yang mencocoki mereka atas hal ini. Mereka ( Ahlus sunnah ) tidak menjadikan manusia hanya berhak mendapatkan pahala saja dan tidak menjadikan manusia berhak mendapatkan adzab saja…” ( Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah : 28/209 ).

Beliau –rohimahullah-juga menyatakan : “Sudah menjadi ketetapan Ahlus Sunnah, bila sebagian iman hilang tidak berarti lenyap semuanya. Oleh karena itu, ada seseorang yang dari satu sisi berhak mendapatkan imbalan dan pujian, sementara dari sisi lain berhak mendapatkan siksaan dan kebencian. Maka mencintai sesuai dengan kadar keimanan yang ada dan membenci sesuai dengan kadar keimanan yang hilang. Berbeda dengan firqoh sesat seperti Jahmiyyah, Murji’ah, Khowarij, dan Mu’tazilah yang menyatakan bahwa iman satu perkara yang tidak dapat dipisah-pisahkan.” ( Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah : 28/209 ).

Al-Imam Ibnu Abil ‘Izzi Al-Hanafi-rohimahullah-juga berkata : “Sikap cinta dan benci sesuai dengan kebaikan dan keburukan yang ada. Karena pada diri seseorang bisa terkumpul dua sisi perilaku, dari satu sisi berhak diberi wala’ dan dicinta dan dari sisi yang lain berhak dibenci dan dimusuhi”. ( Syarh Aqidah Thohawiyyah : 434 ).

Pembaca sekalian yang semoga dirahmati oleh Alloh…

Maka Muslim Dwi Supriyanto hanya menetapkan wala’ kepada golongan kedua saja. Orang yang BERSIH 100% DARI BID’AH yang berhak untuk mendapatkan wala’. Golongan ketiga telah ditolak dan ditiadakan olehnya. Prinsip dan keyakinan seperti ini adalah manhaj KHAWARIJ.

Prinsip Muslim DS sangatlah berbahaya. Secara tidak langsung, dia telah mengkafirkan kaum muslimin yang memiliki penyimpangan bid’ah walaupun bid’ahnya bukan bid’ah mukaffiroh ( bid’ah yang mengeluarkan pelakunya dari Islam ). Karena menurut pendapatnya yang sesat, orang yang berhak mendapatkan wala’ hanya yang bersih 100% dari bid’ah. Sedangkan kaum muslimin yang melakukan bid’ah yang tidak mengeluarkan dia dari Islampun tidak berhak mendapatkan wala’. Padahal, golongan yang tidak berhak mendapatkan wala’ sama sekali itu cuma satu, yaitu orang-orang kafir. Na’udzubillah min dzalik ( kita berlindung kepada Alloh dari kesesatan ).

Tahukah anda sekalian, ucapan Dwi Supriyanto pada gambar 1 di atas ditujukan kepada siapa ? ditujukan kepada segenap pengurus dan pengasuh Al-Madinah Solo serta orang-orang yang dianggap membela mereka. Oleh karena itu, secara tidak langusng baik kamu sadari atau tidak kamu sadari kamu telah mengkafirkan segenap pengurus dan pengasuh Al-Madinah Solo serta orang-orang yang kamu anggap telah membela mereka.

Karena kamu telah menganggap Al-Madinah Solo melakukan bid’ah. Sesuai kaidah sesatmu, mereka tidak berhak mendapatkan wala’ sama sekali. kalau tidak berhak mendapat wala’ sama sekali, berarti hanya berhak mendapatkan baro’ 100%. Padahal menurut manhaj Ahlus Sunnah yang berhak mendapatkan boro’ mutlak itu hanyalah orang-orang kafir.

Itu jika tuduhanmu terhadap Al-Madinah benar. Padahal sampai detik ini kamu tidak bisa bisa membuktikan bahwa Al-Madinah Solo mengajarkan bid’ah dan kesesatan sebagaimana yang kamu tuduhkan. Dan saya yakin kamu dan gerombolanmu tidak akan mampu mendatangkannya. Karena memang Al-Madinah Solo tidak pernah melakukannya. Maka saya ingatkn kamu wahai Dwi Supriyanto ! dengan sabda Nabi-shollallahu ‘alalihi wa sallam- dari sahabat Abu Huroiroh-rodhiallohu ‘ahu- :

إذا قال الرجل لأخيه يا كافر فقد باء به أحدهما

“Apabila seorang berkata kepada saudaranya : “wahai kafir !” sungguh jika orang yang dia tuduh memang pantas dengan tuduhan itu, maka perkaranya memang seperti itu. Jika tidak, maka tuduhan itu akan kembali kepada orang yang menuduh.” ( HR. A  l-Bukhori : 5752 ).

15 Robi’uts Tsani 1436 H

Abu Bakr bin Ahmad Al-Hambali As-Salafy

Ma’had Darus Hadits As-Salafiyyah – Yaman

Sumber : http://al-hawary.blogspot.com/2015/02/melacak-pemahaman-sesat.html

***

Lampiran 3:

 

MELACAK PEMAHAMAN SESAT MUSLIM DWI SUPRIYANTO KARANGANYAR

“LOYAL KEPADA PIHAK YANG MENGAJARKAN  BID’AH”

 

Salah satu pokok manhaj Ahlus Sunnah Wal Jam’ah adalah berlepas diri dari penyeru bid’ah dan loyal kepada penyeru sunnah. Mencintai orang-orang yang dicintai oleh Alloh dan membenci orang-orang yang dibenci oleh Alloh. Alloh Ta’ala berfirman :

قد كانت لكم أسوة حسنة في إبراهيم والذين معه إذ قالوا لقومهم إنا برآء منكم ومما تعبدون من دون الله كفرنا بكم وبدا بيننا وبينكم العداوة والبغضاء أبدا حتى تؤمنوا بالله وحده إلا قول إبراهيم لأبيه لأستغفرن لك وما أملك لك من الله من شيء ربنا عليك توكلنا وإليك أنبنا وإليك المصير

 “Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka: “Sesungguhnya Kami berlepas diri daripada kamu dari daripada apa yang kamu sembah selain Allah, Kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara Kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja. kecuali Perkataan Ibrahim kepada bapaknya[1470]: “Sesungguhnya aku akan memohonkan ampunan bagi kamu dan aku tiada dapat menolak sesuatupun dari kamu (siksaan) Allah”. (Ibrahim berkata): “Ya Tuhan Kami hanya kepada Engkaulah Kami bertawakkal dan hanya kepada Engkaulah Kami bertaubat dan hanya kepada Engkaulah Kami kembali.” ( QS. Al-Mumtahanah : 4 )

Diantara orang-orang yang dibenci oleh Alloh, adalah para penyeru kepada perkara-perkara baru yang tidak pernah diajarkan oleh Rosulullah-shollallahu ‘alaihi wa sallam-, yang dikenal dengan istilah bid’ah. Hal ini telah ditunjukkan

Tetapi, sungguh mencengangkan jika ada orang yang ke sana ke mari mengaku ‘salafy sejati’ dan paling ‘ahlus sunnah’, akan tetapi justru membuat kaidah baru dan mengajak untuk mencintai dan membela orang yang menyeru kepada bid’ah. Na’udzubillah !! ingin bukti ? perhatikan berikut ini :

lamp 3

Gambar 1. Si ‘anak TK no kecil’ Abu Yahya Muslim Dwi Supriyanto mengajarkan paham sesat dan menyesatkan. Mengajak untuk loyal kepada pihak yang mengajarkan bid’ah !

Wala’ artinya artinya loyalitas. Seorang yang loyal, berarti dia mencintai, membela dan menolong apa yang diloyali.

Orang yang menyeru untuk loyal kepada pihak yang menyeruan bid’ah, secara tidak langsung dia telah mencintai bid’ah itu sendiri. Padahal seluruh bid’ah adalah kesesatan dan pelakunya diancam oleh Alloh dengan adzab yang pedih. Rosulullah-shollallahu ‘alihi wa sallam-bersabda :

وكل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة وكل ضلالة في النار

“Setiap perkara yang baru adalah bid’ah dan setiap perkara bid’ah itu adalah sesat dan setiap kesesatan di dalam Neraka.” ( HR. An-Nasa’i : 1578 dan selainnya serta dishohihkan oleh syaikh Al-Albani-rohimahullah- ).

Bagaimana Muslim Dwi Supriyanto ini telah menentang Al-Qur’an dan sunnah Nabi-shollallahu ‘alihi wa sallam-?? Inna lillahi wa inna ilaihi roji’un….

Diposting : tgl 25 Januari 2015

Sumber : http://al-hawary.blogspot.com/2015/01/loyal-kepada-pihak-yang-mengajarkan.html

Lampiran 4:

TRANSKRIP REKAMAN u JAUHARI

DI MASJID AL HIDAYAH GOTANON

…saya beri contoh maka kita diwajibkan ya untuk kita ee.. apa namanya memiliki raport yang ada pelajaran ilmu kalam. Dan ini dari satu sisi, na’am, kita terpaksa.

Namun mungkin juga kita siasati, ilmu kalam tidak kita masukkan dalam jadwal pelajaran yang rutin, ini hanya kemudian kita berikan saat-saat akan ujian. Itu pun sudah kita pilih-pilih dari isi yang ada, na’am, kita pilih-pilih dari buku acuan yang ada, jadi tidak semuanya benar diberikan.

Karena Alhamdulillah, untuk apa namanya, eee … kita mengikuti Depag ataupun Depiknas itu masing-masing pelajaran ada KKM, Kriteria Kelulusan Minimal, yakni nilai paling kecil untuk dikatakan lulus itu berapa, 60 atau 70. Misal 65.

Jadi kita, na’am, yang kita persulit pelajaran ilmu kalam dari sisi waktunya sedikit saja, kemudian dari sisi ee… pelajarannya pun juga demikian, hanya diberikan dekat-dekat dengan ujian atau bahkan ketika kelas tiga na’am akan ada Ujian Bersama Madrasah Nasional (…), kita berikan tentunya.

Dan juga kita tambahkan lagi, ketika ada hal-hal yang memang menyimpang tentunya anak kita mendengarkan, kita membantahnya, kita beritahu anak-anak hukumnya hal yang tidak jelas.

Sehingga dengan demikian, kalau ee … dipukul rata mereka mengajarkan ilmu kalam itu adalah memanfaatkan sesuatu yang … ee yang memang disepakati oleh para ulama tapi yang tidak dengan perincian. Dan itu yang memang senjata orang-orang yang tidak senang akan memanfaatkan sesuatu yang global digunakan untuk memukuli orang lain yang tidak ia sukai.

(…) Al Imam Syafi’i sendiri pun mengatakan:

هذا جزاء من ترك الكتاب والسنة وأقبل على علم الكلام

 “Hukuman ini adalah bagi orang yang meninggalkan Al Quran dan Sunnah dan kemudian dia menelungkupkan wajahnya menghadap kepada ilmu kalam, serius mempelajari ingin mengambil dari ilmu kalam.

Alhamdulillah … kita tidak berpaling dari Al Quran dan Sunnah, ya… materi kita ambil dari kurikulum Saudi, tentang haditspun juga kita ambil dari kurikulum Saudi, dan hadits-hadits yang dihafal sama anak-anak juga hadits-hadits yang sama, Arbain Nawawiyah, Umdatul Ahkam dan lainnya. Na’am …

Nah ini kita pelajari karena ini termasuk materi wajib dari Depag dan kita pun harus tahu diri dan menyiasati, mempersempit dan juga membenarkan, meluruskan apa-apa yang ada. Ya ini, dengan demikian tentunya kita tidak terima kalau kemudian secara su’udhon dikatakan “mereka mengajarkan kesyirikan, mereka mengajarkan ilmu kalam, dan sebagainya” dengan dzan (…) dan prinsip global seolah-olah na’am kita seperti Fakultas Teologi (…) IAIN, tentunya kita tidak demikian.

Sehingga kita semua mengerti hal ini (…) bahwa para ulama memperingatkan, sejak kita pertama kali mengetahui manhaj salaf, belajar tentang aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah kita sudah tahu bahwa ilmu kalam itu ilmu yang berbahaya. Kita mempelajari tadi kehancuran yang kaum Musliminpun juga berawal ketika Khalifah Al Makmun mendatangkan buku-buku dari Yunani, buku-buku dari (…) yang sebagian diterjemahkan. Yang ketika akan diambil buku-buku itu dari mereka, para tokoh-tokoh diantara merekapun awal dan tidak menyetujui karena mereka tahu buku itu tidak akan masuk ke dalam satu umat kecuali itu akan menghancurkannya tetapi karena mereka dendam dengan kaum muslimin maka kemudian dibiarkannya. Jadi itu semua ada riwayat-riwayat tarikhnya..

Alhamdulillah, yaa, dalam perjalanan waktu tentang PKN pun kita membikin buku sendiri. Untuk SD saat itu kita membikin buku sendiri. Kemudian materinya judulnya saja karena memang kalau masalah judul topik pembahasan judulnya sudah ditentukan. Isinya, ya kita dari redaksi diri sendiri kita rubah. Karena memang yang PKN sendiri dari ee..apa namanya, kalau setelah era reformasi ini berbeda dengan judul ketika era orde baru. Kalau dulu tentang Pancasila, mengharuskan meyakini undang-undang dasar 45 dan sebagainya, kalau sekarang tentang menjadi warga negara yang baik itu seperti apa, hidup bertetangga yang baik bagaimana, budi pekerti, dan sebagainya.

Na’am, cuman memang, ya namanya aja politikus itu pandai memanfaatkan moment. Ya kalau ada celah untuk menghancurkan lawan, na’am, itu akan digunakan semaksimal mungkin. Meskipun ditambahi dengan kedustaan menggunakan kata-kata yang global.

Dan anehnya, ya, dari taklim kita di pekan yang lalu juga kemudian tersebar Ustadz Na’im di Jakarta na’am kemarin memberikan SMS kepada saya isinya tersebar berita bahwa ustadz Jauhari membolehkan, apa namanya, membolehkan belajar ilmu kalam untuk ujian. Na’am. Secara global yang diberikan, na’am demikian. Padahal sudah rincikan di sini bagaimana yang kita lakukan.

Yaa, dari materi yang taruhlah 100 halaman kita pilih menjadi, na’am mungkin ya tidak sampai 60 halaman. Itu pun sudah kita pilih materi-materi, na’am yang tidak jauh penyimpangannya atau bahkan tidak ada penyimpangannya. Dan kemudian ketika menyampaikan kita pun kalau ada (…) sedikit melenceng, kita luruskan, alhamdulillaah. Kita semua meyakini bahwa ilmu kalam adalah ilmu yang sesat.

Namun apa boleh dikata kita terlanjur mendaftar mengikuti Depag dan kemudian ada kode-kode itu dalam keadaan kita dulu belum tahu kalau ada materi seperti itu. Semoga Alloh Subhanahu wa Ta’alaa mengampuni kita dan kesalahan kita. Na’am, thoyyib.

 —–****—–

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

 Menyimak NASEHAT, Menyumbat SYUBUHAT

TUNTUNAN AS SUNNAH DALAM MENULIS

Abu Bakr memulai tulisannya dengan langsung judul:

TUDUHAN DUSTA TAK BERFAKTA TERHADAP AL-MADINAH SOLO.

Selanjutnya ia katakan:

Saya telah dikirimi sebuah bukti kebohongan ‘anak kemarin sore’ terhadap saudara-saudara kami di sekolah Al Madinah Solo.

Bi’aunillah saya katakan:

Demikian itu tulisan Abu Bakr, langsung tertulis judul tanpa dimulai dengan basmalah, tidak pula shalawat atas Rasul صلى الله عليه وسلم. Memang bukan hal yang wajib, tetapi itu sunnah Rasulullah صلى الله عليه وسلم dan nabi yang lain. Maka, ini bukan mencela si penulis tersebut, tetapi ini merupakan anjuran dan pengingat bagi kaum muslimin secara umum agar menghidupkan sunnah-sunnah Rasulullah صلى الله عليه وسلم dalam penulisan.

Selain itu, di antara barokah yang diharapkan dari memulai sesuatu dengan basmalah adalah agar Allah memberi taufiq kepada keihlashan niat. Dan di antara barokah yang diharapka dari shalawat atas Rasul صلى الله عليه وسلم adalah agar diberi taufiq untuk mencintai dan mengikuti sunnah-sunnah beliau.

PENGHINAAN KEPADA SEORANG MUSLIM

Kemudian ia menyebut diri saya –Dwi Supriyanto- dengan istilah ‘anak kemarin sore’.

Saya katakan; “Persoalannya bukan tidak layak Dwi Supriyanto dikatakan ‘anak kemarin sore’. Akan tetapi yang menjadi persoalan adalah bahwa kalimat tersebut merupakan kalimat perendahan dan penghinaan kepada seorang muslim. Dan Rasulullah صلى الله عليه وسلم benar-benar melarang umatnya dari perbuatan tersebut di dalam hadits shahih:

بِحَسْبِ امْرِئٍ مِنَ الشَّرِّ أَنْ يَحْقِرَ أَخَاهُ الْمُسْلِمَ

“Cukup seseorang dikatakan jahat dengan ia merendahkan saudaranya yang muslim” HR Imam Muslim dan Imam Abu Dawud.

Selain itu, perbuatan tersebut  termasuk sikap sombong yang tidak layak ada pada seorang hamba. Apalagi seorang muslim, apalagi thalibul ilmi.

Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:

الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ

“Sombong adalah menolak kebenaran dan merendahkan orang lain”. HR Imam Muslim dan Imam Abu Dawud.

Sementara di akhir tulisannya ia katakan: “Jika ada (mungkin anda) ingin diskusi dengan saya terhadap tulisan ini ataupun tulisan saya yang lainnya, saya siap bertemu tatap muka. Saya tunggu di Daarul Hadits Ma’bar Yaman …“. Dari perkataannya ini terkesan bahwa ia seorang yang besar, yang layak untuk memiliki karya tulis dan pantas diperhitungkan karya tulisnya.

Sesungguhnya thariqah seperti ini adalah thariqah yang tercela yang biasa dilakukan oleh ahli mantiq yang suka berdebat. Sehingga di antara thariqahnya adalah menjatuhkan lawannya sebelum berdebat. Maka dengan kalimat gagah ia katakan: “saya siap bertemu tatap muka. Saya tunggu di Darur Hadits Ma’bar Yaman. Dengan syarat diskusi untuk mencari kebenaran dan menjaga adab-adab diskusi …”.

Bagaimana kamu akan menjaga adab-adab sedangkan kamu telah menunjukkan berbagai ucapan sombong di atas dan tidak beradab. Juga ucapanmu: “Sampai detik ini, dia tidak mampu memenuhi tantangan kami …. Mulutnya yang penuh kotoran membisu tak bisa berucap. Tersungkur hina dina sebagai bukti pembenaran bahwa dia seorang PENDUSTA !! …… Dan saya yakin kamu dan gerombolanmu tidak akan mampu mendatangkannya“.

Karenanya, saya hanyalah mengingatkan kamu wahai Abu Bakr وفقك الله dan kaum muslimin pada umumnya agar meninggalkan thariqah seperti ini. Lain halnya jika seseorang sedang menjarh atau mentahdzir dari bahaya orang yang dibicarakan, maka tidak mengapa ia menyebutkan kejelekan-kejelekannya yang memang ada padanya, dan sebatas yang berhubungan dengan jarhnya atau tahdzirnya dengan ia menunjukkan bukti dan data.

Sedangkan di sini konteks Abu Bakr وفقه الله adalah menuntut bukti, bukan menuduh, bukan menjarh dan bukan mentahdzir. Ia katakan:

 

jika kamu tidak mampu mendatangkan bukti, maka kamu adalah pendusta. ……… Sekali lagi wahai Muslim, datangkan bukti tuduhanmu jika kamu orang-orang yang jujur“.

Jadi, konteks dia bukan menuduh, bukan menjarh dan bukan mentahdzir, tetapi menuntut bukti. Sehingga tidak layak baginya untuk merendahkan seorang muslim karena hal itu merupakan kejahatan dan kesombongan yang dilarang oleh Rasulullah صلى الله عليه وسلم dan merupakan thariqah ahli ilmu manthiq yang biasa menjatuhkan lawan debat sebelum berdebat.

والله أعلم بالصواب. نسأل الله لنا ولكم السلامة والعافية


**

PERKATAAN ABU BAKR YANG MENGANDUNG SYUBUHAT

Di antara perkataannya selanjutnya:

Dari penggalan kalimat Muslim Dwi Supriyanto di atas ada beberapa point kebohongan yang sangat fatal:

  • Pertama; Dia telah menuduh tanpa bukti bahwa sekolah Al Madinah telah MENGAJARKAN BID’AH. Saya ingin bertanya kepada anda wahai Dwi, datangkan bukti yang bisa dipertanggung-jawabkan bid`ah apa yang telah diajarkan oleh sekola Al Madinah. …… jika kamu tidak mampu mendatangkan bukti, maka kamu adalah pendusta. Dan kamu akan menanggung apa yang telah kamu ucapkan di dunia ini dan terlebih nanti di akherat!.
  • Kedua; kamu telah menuduh -dengan dusta- bahwa sekolah Al Madinah telah MENGAJARKAN ILMU KALAM, TASAWWUF, DEMOKRASI DLL.

Sekali lagi wahai Muslim, datangkan bukti tuduhanmu jika kamu orang-orang yang jujur. …..

Maksud kalimat ini ada dua kemungkinan saja dan tidak ada yang ketiga.

  1. Para guru di sekolah Al madinah Solo mengajarkan kepada murid-muridnya agar mereka meyakini dan mengamalkan beberapa kekeliruan yang terdapat di dalam pelajaran ilmu kalam, ahlaq dan PKN.
  2. Para guru di sekolah Al madinah Solo mengajarkan ilmu kalam, ahlaq (yang di dalamnya terdapat sisi tasawufnya), PKN (yang di dalamnya ada demokrasi) dalam kondisi diiringi menjelaskan beberapa kebatilan dalam buku tersebut agar siswa mengerti kesalahannya kemudian mereka meninggalkannya.

Saya ingin bertanya kepadamu wahai Muslim Dwi Supriyanto, apa maksud kalimat kamu “mengajarkan ilmu kalam, tasawufnya, demokrasi dll?” Jika yang kamu maksud adalah yang pertama, maka saya menuntut kamu untuk mendatangkan bukti. Dan saya yakin bahwa kamu tidak akan mampu mendatangkan bukti tersebut. Karena memang semua guru di Al Madinah Solo  tidak pernah melakukannya. Jika kamu kamu tidak mampu mendatangkan buktinya, maka kamu adalah pendusta!!

Jika kamu maksudkan yang kedua, maka tidak bisa dikatakan apalagi dituduhkan bahwa sekolah Al Madinah telah mengajarkan bid’ah. Justeru Al Madinah memperingatkan bid’ah sekecil apapun, apalagi bid’ah yang besar seperti ilmu kalam yang sesat, demokrasi, tasawuf.

Atau kamu jangan-jangan GAGAL PAHAM/SALAH PAHAM tentang masalah ini. Perla saya jelaskan, bahwa keberadaan palajaran ilmu kalam, ahlaq dan PKN saya tidak mengingkari keberadaannya di sekolah Al madinah Solo. Sebagaimana ustadz Jauhari juga membenarkan keberadaan mata pelajaran-mata pelajaran tersebut. Akan tetapi kemudian kamu menuduh dengan serampangan bahwa guru-guru Al Madinah mengajarkan beberapa kesesatan dan penyimpangan yang ada dalam buku tersebut, maka ini adalah kebatilan dan kebohongan semata.

Cara menuduh seperti ini hanya dilakukan oleh politikus saja, seperti Luqman Ba’abduh dan pengikutnya seperti kamu.

 

Sampai di sini dulu kita perhatikan perkataannya di atas dan saya jawab:

SYUBHAT-SYUBHAT ABU BAKAR

Abu Bakr menuntut saya untuk menunjukkan bukti dan data atas perkataan saya bahwa sekolah Al Madinah telah mengajarkan bid’ah. Katanya: “.. datangkan bukti yang bisa dipertanggung-jawabkan bid`ah apa yang telah diajarkan oleh sekolah Al Madinah ..”.

Yang ia maksud adalah perkataan saya: “Bid’ah yang dimaksud adalah bid’ah yang diajarkan di Madrasah Al Madinah yang di antaranya adalah ilmu kalam, tasawuf, demokrasi dll“.

Sebenarnya dalam kalimat saya ini sudah ada jawabannya. Mengapa ia bertanya: “.. bid`ah apa yang telah diajarkan oleh sekolah Al Madinah..”. Dan ia juga faham bahwa perkara-perkara tersebut bid`ah. Hanya saja ia gagal faham. Sehingga masih bertanya: “ bid`ah apa?” dan ia menuntut bukti.

Jadi, data dan bukti pengajaran itu sudah dia akui. Yaitu dalam perkataannya: “bahwa keberadaan palajaran ilmu kalam, ahlaq dan PKN saya tidak mengingkari keberadaannya di sekolah Al madinah Solo”. Hanya saja dia gagal faham. Sehingga ia memunculkan beberapa syubhat:

  1. Semata keberadaan mata pelajaran ilmu kalam, tasawuf di dalam pelajaran ahlaq, demokrasi dalam PKN tersebut di Al madinah tidak bisa untuk dikatakan diajarkan (bid`ah) di Madrasah Al Madinah yang di antaranya ilmu kalam, tasawuf, demokrasi ..”.
  2. Baru bisa dikatakan “mengajarkan (bid’ah) ilmu kalam dll itu” jika guru-guru mengajarkannya kepada murid-muridnya agar mereka meyakini dan mengamalkan penyimpangannya.
  3. Mengajarkan ilmu kalam dll itu dalam kondisi diiringi menjelaskan beberapa kebatilan dalam buku tersebut agar siswa mengerti kesalahannya kemudian mereka meninggalkannya itu tidak bisa untuk dikatakanmengajarkan ilmu kalam dll… ” (meskipun mata pelajaran itu terus ada dan buku-buku itu terus diterbitkan dan diberikan kepada murid). Menurut kaidahnya itu sudah selamat dan bebas tanggungan.
  4. Ia menuduh pihak yang menyatakan bahwa diajarkan di Al Madinah materi pelajaran Ilmu Kalam, tasawuf dalam pelajaran ahlaq, dan demokrasi dalam PKN sebagai politikus.

Intinya, ia mengakui bahwa:

  1. Ada mata pelajaran Ilmu Kalam di Madrasah Al Madinah, tasawuf dalam pelajaran ahlaq, dan demokrasi dalam PKN
  2. Al Madinah memberikan buku ilmu kalam dan buku lain yang mengandung demokrasi dan tasawuf itu kepada murid.

Tetapi menurutnya dua hal ini tidak cukup bukti untuk dikatakan bahwa  diajarkan (bid`ah) di Madrasah Al Madinah yang di antaranya ilmu kalam, tasawuf, demokrasi.

Alasan yang diajukan sederhana, yakni; karena  Al Madinah mengajarkan ilmu kalam dll itu dalam kondisi diiringi menjelaskan beberapa kebatilan dalam buku tersebut agar siswa mengerti kesalahannya kemudian mereka meninggalkannya (bukan untuk meyakini dan bukan untuk mengamalkan penyimpangannya).

Maka jawabannya saya rinci sebagai berikut:

  1. Mengapa ada mata pelajaran ilmu kalam di Al Madinah?
  2. Memberi buku pelajaran kepada murid merupakan bentuk pengajaran.
  3. Kalau sudah Menjelaskan penyimpangannya sudah cukup?
  4. Murid-Murid Mengikuti Ujian
  5. Thariqah salaf dalam membantah penyimpangan dalam suatu buku
  6. Manhaj salaf dalam menyikapi buku-buku ahli bid’ah.
  7. Siapa Yang Politikus?
  8. Bara’ Tanpa Perincian Berarti Mengkafirkan?
  9. Afwan Kagak Minat
  10. Bantahan Buat Rangga
  11. Sifat Pembela Al Madinah
  12. Penutup
  13. Pustaka

***

 A. MENGAPA ADA PELAJARAN ILMU KALAM DI AL MADINAH?

Al Madinah adalah lembaga pendidikan yang berlebel salaf. Mengapa ada mata pelajaran ilmu kalam dll itu di madrasah tersebut? Bukankah ilmu kalam dan tasawuf adalah bid’ah yang besar? Di mana omonganmu hai Abu Bakr: “Justeru Al Madinah memperingatkan bid’ah sekecil apapun, apalagi bid’ah yang besar seperti ilmu kalam yang sesat, demokrasi, tasawuf?

Cukup kamu tahu hai Abu Bakr, semata keberadaan mata pelajaran-mata pelajaran tersebut di lembaga yang dikenal dengan manhaj salaf cukup mengajarkan kepada banyak pihak bahwa ilmu kalam, tasawuf, demokrasi dll itu tidak bertentangan dengan Islam dan manhaj salaf.

  • Kepada masyarakat. Karena keberadaan ilmu kalam di sekolah berlebel SALAF ini cukup mengajarkan kepada masyarakat bahwa ilmu kalam tidak bertentangan dengan salaf. Dan mereka menjadi tidak takut terhadap pengaruh buruk ilmu kalam dan merasa aman menyekolahkan anak di IAIN atau sekolah lain yang ada ilmu kalamnya.
  • Lembaga pendidikan lain yang juga megajarkan ilmu kalam. Karena keberadaan ilmu kalam di sekolah berlebel SALAF membuat mereka merasa terdukung dengan dalih “sekolah salaf saja ada lmu kalamnya”.
  • Juga pihak lain yang akan membuka pendidikan Islam. Pihak ini akan merasa tenang jika mengikuti Al Madinah dalam menyelengarakan program pendidikan yang ada ilmu kalamnya.

Bukankah orang yang menyebabkan orang lain melakukan dosa itu bisa dinisbatkan dosa kepadanya? Bahaya amat jalan kalian jika demikian. Jelas lebih selamat sekiranya kalian tinggalkan saja sistem pendidikan kayak gitu, lalu mencukupkan dengan pondok pesantren yang bersih dari bid’ah.

Di mana omonganmu ya Abu Bakr وفقك الله:

Justeru Al Madinah memperingatkan bid’ah sekecil apapun, apalagi bid’ah yang besar seperti ilmu kalam yang sesat, demokrasi, tasawuf?”

Mengapa di sekolah mereka ADA ilmu kalam dll itu? Metode pendidikan salafkah yang seperti itu? Siapa salaf kalian dalam hal ini ya Abu Bakr?

كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللهِ أَنْ تَقُولُوا مَا لَا تَفْعَلُونَ

“Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan”. (QS As Shaff 3).

Atau kamu dan konco-koncomu masih tetap melontarkan syubhat: TERPAKSA” (darurat)? Datangkan bukti kalian yang menunjukkan darurat!

Apakah darurat untuk mendapatkan ijazah? Karena dakwah tanpa ijazah tidak diterima atau pengikutnya tidak banyak? Atau untuk melanjutkan belajar di Jamiah Islamiyah Madinah, karena tidak ada tempat belajar manhaj salaf kecuali di sana? Atau untuk mencari kerja kantor atau pabrik? Atau tanpa ijazah tidak bisa cari makan? Atau darurat apa?

Atau ijazah yang hukumnya cuma mubah itu memang kalian jadikan sebagai tujuan, lalu kalian perjuangkan sampai melakukan mukholafah yang jauh seperti itu? Apa beda langkah ini dengan langkah Ihwanul Muflisin yangmengamalkan kaidah  الغَايَةُ تُبَرِّرُ الوَسِيلَةَ, lalu potong jenggot dan isbal dengan alasan kemaslahatan dakwah? Bahkan kalian lebih besar, yakni bid’ah ilmu kalam dll itu. Belum lagi photo-photo pengajar laki-laki dan pengajar perempuan yang buka wajah, riba dll.

Ataukah jika meninggalkan sistem pendidikan kayak gitu berarti kehilangan ma’isyah? Atau berresiko dipenjara atau digantung, atau harus mengganti denda sekian M? Atau darurat apa? Dari sisi mana daruratnya?

Dan perlu kamu tahu -ya Abu Bakr- bahwa sebagian konco-koncomu telah menjadikan ijazah ini sebagai dasar wala’ wal bara’. Orang yang setuju dengan ijazah, maka ia termasuk golongannya, urusan dengannya beres. Adapun yang tidak setuju ijazah, maka bukan dari golongannya, dan urusan dengannya tidak bisa jalan. Mereka mengajak orang untuk meninggalkan pendidikan yang mencukupkan dengan ijazah pondok. Itu agama sebagian konco-koncomu, IJAZATIYYUUN. Allahul musta’aan.

Atau kalian tetap melontarkan syubat “ilmu kalam yang ada pada kami tidak seperti ilmu kalam yang sesat, tidak seperti yang diajarkan di IAIN?

Apakah ILMU KALAM kalian itu hanya ilmu perkara duniawiyah yang mubah? Atau ILMU KALAM YANG BERDASARKAN DENGAN AL QUR`AN DAN AS SUNNAH? Ataukah ILMU KALAM KARYA ULAMA AHLUS SUNNAH?

Kalau begitu, ngapain dipersempit waktunya, ngapain dipilih-pilih, ngapain hanya diberikan menjelang ujian, ngapain dijelaskan kesalahannya (meskipun istilah “kesalahan” ini adalah syubhat, mestinya diistilahkan penyimpangan atau kesesatan, karena ini perkara aqidah). Ngapain dikatakan: “Apa boleh dikata, kita terlanjur mendaftar di Depag dan kemudian ada kode-kode itu dalam keadaan kita dulu belum tahu kalau ada materi seperti itu“. Apa kalau sudah terlanjur itu berarti pantang mundur? Siapa salaf kalian dalam hal ini hai Abu Bakr?

Selain itu, kalau kalian katakan “kita dulu belum tahu kalau ada materi seperti itu“, mengapa kalian mengaku-aku bersandar kepada fatwa Syaikh Ubaid. Bagaimana mungkin hal itu sudah ditanyakan kepada Syaikh Ubaid Al Jabiry dalam keadaan “kita dulu belum tahu kalau ada materi seperti itu“?.

Atau kalian akan melontarkan syubhat: “KAMI JUGA PUNYA ULAMA? Apakah kalau punya ulama ilmu kalam dan tasawuf itu menjadi tidak mungkar? Kalau punya ulama itu boleh membuka pendidikan yang ada ilmu kalam dan tasawufnya? Kalau punya ulama itu penyimpangan menjadi terlindungi dan urusannya beres? Atau memang ulama yang tidak mempermasalahkan hal-hal seperti itu yang kalian cari?

Atau kamu punya alasan lain; mengapa mata pelajaran ilmu kalam atau tasawuf itu ada pada sekolah yang berlebel salaf yang katanya “mengingkari bid’ah sekecil apapun”?

Dan mengapa kamu –hai Abu Bakr- membela PENDIDIKAN YANG ADA ILMU KALAM, TASAWUF DLL padahal kamu tahu bahwa itu semua bid’ah dan kemungkaran yang besar? Di mana ke-salafi-anmu?

Yang jelas, di Al Madinah ada pelajaran Ilmu Kalam, ada tasawuf dalam ahlaqnya, ada demokrasi dalam PKN. Dan semata keberadaan ilmu kalam, tasawuf dll itu di sekolah SALAF cukup mengajarkan (baca: memahamkan) kepada banyak pihak (yakni masyarakat, lembaga pendidikan lain) bahwa Ilmu Kalam, tasawuf, dan demokrasi itu tidak bertentangan dengan manhaj salaf dan dinul Islam. Inilah kejahatan kalian terhadap dakwah salaf yang suci ini. Kalian telah mencorengnya dengan semata-mata ada ILMU KALAM dalam pendidikan kalian!! Wallohu a’lamu bish shawab.

نسأل الله لنا ولكم السلامة والعافية. ووفقنا الله جميعا لما يحب ويرضاه

 

B. MEMBERI BUKU PELAJARAN KEPADA MURID TERMASUK THARIQAH PENGAJARAN

Sudah kamu ketahui pula wahai Abu Bakr وفقك الله bahwa Al Madinah memberikan BUKU AJAR ILMU KALAM, ahlaq yang memuat tasawuf dan PKN yang memuat demokrasi, kepada murid. Dan itu sudah cukup untuk dikatakan Al Madinah mengajarkan ilmu kalam dll tersebut. Mengapa demikian? Karena memberi buku atau tulisan adalah salah satu thariqah pengajaran yang diakui.

Thariqah pengajaran di dalam syariat Islam itu bermacam-macam. Ada yang berupa ucapan, amalan, memberi tulisan atau yang lain. Dan thariqah pengajaran dalam bentuk memberi tulisan adalah perkara yang terdapat dalilnya dari Al Qur’an, As-Sunnah dan amalan para salaf dari kalangan sahabat tabi`ain tabi’ut tabi’in dan para imamul huda. Thariqah pengajaran dalam bentuk memberi tulisan juga mu’tabar secara bahasa, mu’tabar menurut kaidah ushul dan mu’tabar pula menurut akal yang sehat.

Keterangannya sebagai berikut:

  1. Adapun dalil dari Al Qur’an adalah surat Nabi Sulaiman yang beliau kirim kepada Ratu Saba’. Allah تعالى berfirman di dalam QS An Naml 29 – 30:

قَالَتْ يَا أَيُّهَا الْمَلَأُ إِنِّي أُلْقِيَ إِلَيَّ كِتَابٌ كَرِيمٌ (29) إِنَّهُ مِنْ سُلَيْمَانَ وَإِنَّهُ بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ (30) أَلَّا تَعْلُوا عَلَيَّ وَأْتُونِي مُسْلِمِينَ (31)

  1. Dalil dari As-Sunnah adalah surat Rasulullah صلى الله عليه وسلم yang beliau kirim kepada Hirakla penguasa Romawi. Tulisan beliau ini sebagaimana disebutkan di dalam Shahihain dari Abu Sufyan رضي الله عنه:

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ مِنْ مُحَمَّدٍ عَبْدِ اللهِ وَرَسُولِهِ إِلَى هِرَقْلَ عَظِيمِ الرُّومِ سَلاَمٌ عَلَى مَنِ اتَّبَعَ الْهُدَى أَمَّا بَعْدُ فَإِنِّي أَدْعُوكَ بِدِعَايَةِ الإِسْلاَمِ أَسْلِمْ تَسْلَمْ يُؤْتِكَ اللَّهُ أَجْرَكَ مَرَّتَيْنِ فَإِنْ تَوَلَّيْتَ فَإِنَّ عَلَيْكَ إِثْمَ الأَرِيسِيِّينَ ، وَ{يَا أَهْلَ الْكِتَابِ تَعَالَوْا إِلَى كَلِمَةٍ سَوَاءٍ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ أَنْ لاَ نَعْبُدَ إِلاَّ اللَّهَ ، وَلاَ نُشْرِكَ بِهِ شَيْئًا ، وَلاَ يَتَّخِذَ بَعْضُنَا بَعْضًا أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللهِ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَقُولُوا اشْهَدُوا بِأَنَّا مُسْلِمُونَ}

Dan lafadl ini ada pada Imam Bukhari.

  1. Adapun dari amalan para salaf contohnya ialah pengajaran Khalifatur Rasyid Abu Bakr Ash Shiddiq رضي الله عنه dalam surat yang panjang menjelaskan tentang kewajiban zakat:

… حَدَّثَنِي ثُمَامَةُ بْنُ عَبْدِ اللهِ بْنِ أَنَسٍ أَنَّ أَنَسًا حَدَّثَهُ أَنَّ أَبَا بَكْرٍ ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، كَتَبَ لَهُ هَذَا الْكِتَابَ لَمَّا وَجَّهَهُ إِلَى الْبَحْرَيْنِ بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ هَذِهِ فَرِيضَةُ الصَّدَقَةِ الَّتِي فَرَضَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم عَلَى الْمُسْلِمِينَ ….

HR Imam Al Bukhari (1454 dan 1453), Imam Abu Dawud (1552).

Di dalam tulisan yang panjang tersebut beliau mengajarkan tentang jenis-jenis harta yang dikeluarkan zakatnya, nishab-nishabnya, besaran zakatnya maupun hal yang lainnya.

  1. Kitab-kitab karya para ulama dari dulu sampai sekarang yang disebarkan di tengah umat adalah bentuk pengajaran yang nyata dari para ulama tersebut bagi umat ini dalam bentuk memberi tulisan.
  2. Bankan kamu sendiri -wahai Abu Bakr- mengakuinya dan mempraktekkannya. Contohnya tulisan yang kamu kirim kepadaku yang di sana ada pengajaran ayat Al Qur’an dan hadits Nabi صلى الله عليه وسلم adalah bukti pengajaran melalui tulisan. Meskipun sebenarnya kamu hanya berusaha melontarkan beberapa syubhat untuk membela Al Madinah yang di sekolahnya ada mata pelajaran ilmu kalam.
  1. Adapun secara bahasa, maka pembelajaran jarak jauh, di mana pengajar tidak bertatap muka dengan pelajar, tetapi cukup memberi tulisan saja adalah perkara yang dikenal dan diakui sebagai salah satu bentuk pembelajaran.

Disebutkan di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia: pengertian  Universitas Terbuka; perguruan tinggi yang terbuka untuk siapa saja asal mempunyai ijazah SLTA, tanpa batas usia, tanpa ujian masuk, tanpa batas waktu belajar, tanpa jam belajar yang tetap, dan diselenggarakan secara tidak langsung, tidak dengan tatap muka, tetapi melalui penjualan atau pengiriman diktat, brosur dan bahan kuliah kepada mahasiswa.

Juga dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan Belajar Jarak Jauh; cara belajar mengajar yang menggunakan media televisi, radio, kaset, modul, dsb, pengajar dan pelajar tidak bertatap muka langsung.

Jadi, memberi modul atau BUKU AJAR ILMU KALAM kepada murid untuk dipelajari adalah salah satu bentuk proses belajar mengajar yang diakui secara bahasa. Wallohu a’lam bish shawab.

Demikian pula secara bahasa, tidak salah jika dikatakan: “Awas kitab itu mengajarkan kesesatan”. Yakni ketika ada kitab yang di dalamnya terkandung kesesatan, maka tidak salah jika dikatakan bahwa “KITAB ITU MENGAJARKAN KESESATAN”, WALAUPUN TIDAK DIBACAKAN ATAU DIJELASKAN OLEH SEORANG GURU, WALAUPUN KITAB ITU BENDA MATI. Tetapi semata-mata kitab yang mengandung kesesatan itu diterbitkan dan diberikan kepada orang, sudah cukup bisa dikatakan: “PENULIS KITAB ITU MENGAJARKAN KESESATAN, atau PENERBITNYA MENGAJARKAN KESESATAN ” atau ” KITAB ITU MENGAJARKAN KESESATAN”. Tidak salah jika disandarkan tindak penyesatan tersebut kepada penulisnya atau penerbitnya atau kitabnya. Bahkan tidak salah dikatakan “Orang yang memberi buku itu mengajarkan kesesatan”.

  1. Dan dalam kaidah ushul disebutkan  الكتاب كالخطاب    (maksudnya; tulisan yang diberikan oleh orang yang di tempat jauh itu sama seperti ucapan langsung dari orang yang hadir). Contoh: seseorang mengirim surat ke istrinya: “Anti ana cerai”, maka jatuh talak. Karena hukumnya seperti mengatakan secara langsung.

Maka memberi seseorang tulisan yang mengandung kesesatan untuk dibaca adalah salah satu bentuk pengajaran kesesatan yang ada di dalam kitab itu. Kecuali jika tujuannya untuk dibantah oleh orang yang ahli, bukan seorang thalibul ilmi, apalagi pemula atau orang awam. Akan datang keterangan para ulama dalam masalah ini.

  1. Pemberian buku atau modul sebagai bentuk pengajaran ini diakui pula oleh ulama zaman ini dan diterima pula oleh orang Al Madinah

Cukup kamu tahu hai Abu Bakr bahwa masalah pendidikan seperti yang di Al madinah itu sudah sampai kepada para masyayikh kibar. Dan mereka menerima informasi cukup dengan bukti buku-buku pelajaran yang disampaikan kepada mereka lalu mereka menghukumi berdasarkan bukti-bukti yang berupa buku-buku pelajaran tersebut.

Demikian pula ketika tahkim di hadapan Syaikh Abdullah Al Bukhary, maka Ustadz Muhtar cukup menunjukkan buku pelajaran yang ada di Al Madinah sebagai bayyinah bahwa Al Madinah mengajarkan pelajaran tersebut tanpa Ustadz menyebutkan: “Saya melihat sendiri atau mendengar sendiri GURU MENGAJARKANNYA”. Maka Syaikh Al Bukhari menerima bayyinah tersebut tanpa bertanya: “Apakah engkau melihat sendiri atau mendengar sendiri?” Demikian pula pihak yang membantah hanya menunjukkan buku yang baru dicetak dan belum selesai sembari mengatakan: “Buku yang itu sudah tidak kami pakai ya Syaikh, tapi sudah kami ganti dengan yang ini”. Mereka tidak membantah ustadz Muhtar dengan perkataan: “Muhtar tidak melihat dan tidak mendengar sendiri GURU MENGAJARKANNYA ya Syaikh”. Tapi cukup menunjukkan buku barunya yang belum selesai itu. Jadi, adanya buku-buku pelajaran merupakan bukti pengajaran adalah diakui oleh semua pihak.

Jika kamu tanya: “Apakah kamu hadir ketika tahkim itu hai Muslim?”

Saya katakan: “Rekaman ustadz Muhtar merupakan khobaruts tsiqoh yang cukup sebagai bayyinah. Apalagi ustadz Muhtar telah menegakkan hujjah di hadapan khalayak dengan menunjukkan bukti adanya mata pelajaran dan buku-bukunya, bahkan soal ujian. Jadi, ustadz Muhtar telah mewakili yang lain dalam menegakkan hujjah. Sehingga jika yang lain dituntut untuk menunjukkan bukti, cukup ia katakan: “Dengarkan khobar dari ustadz Muhtar yang telah menunjukkan hujjah atas Al Madinah”.

Nah, dengan pemahaman seperti ini sekarang kamu tahu bahwa tidak salah dikatakan Al Madinah Mengajarkan Ilmu Kalam, Tasawuf atau yang lain. Karena memang ada mata pelajarannya dan bukunya diberikan kepada murid. Sehingga kalau kamu tanya buktinya, maka tidak perlu Dwi Supriyanto menunjukkan bukti, karena telah diketahui banyak orang termasuk olehmu sendiri bahwa di Al Madinah ada materi pelajaran Ilmu kalam, ada tasawufnya dalam pelajaran ahlaq, dan buku-bukunya diberikan kepada murid.

Hanya saja kamu gagal faham, sehingga kamu anggap itu tidak cukup untuk dikatakan diajarkan bid’ah ILMU KALAM,TASAWUF di Madrasah Al Madinah, dan baru bisa dikatakan “mengajarkan (bid’ah) ilmu kalam dll itu” jika guru-guru mengajarkannya kepada murid-muridnya agar mereka meyakini dan mengamalkan penyimpangannya. Man salafuka bihadza?

GAGAL FAHAMmu ini rupanya yang membuat kamu menuduh pihak yang mengatakan diajarkan bid’ah ILMU KALAM oleh Al Madinah sebagai pendusta dan poitikus. Padahal ulama besar menganggap bukti-bukti adanya pelajaran ilmu kalam dan bukunya diberikan kepada murid itu sudah mencukupi untuk menghukumi. Mengapa bagi kalian tidak cukup ya Aba Bakr هداك الله?

Itu baru sebatas pembicaraan tentang ilmu kalam dan bukunya yang diberikan kepada murid. Belum BUKU AJAR TAFSIR, BUKU FIQH, SEJARAH KEBUDAYAAN ISLAM atau yang lain. Tanyakan kepada koncomu Al madinah; siapa penulisnya yang terpampang di cover itu? Ahlus sunnah atau bukan? Atau mungkin kamu sudah tahu tetapi kamu diam aja? Atau mungkin Al Madinah sudah mengubah isinya tetapi nama penulisnya tidak dirubah? Penipuan atau bukan itu namanya wahai pembela kebatilan? Atau kamu akan menjawab: “KAMI KAN TERPAKSA LAGI NIH”?

Buku-buku kayak gitu di Gotanon ada. Soal-soal ujiannya di Gotanon ada. Enggak ngada-ada. Kapan-kapan tak photokan kalok sempat. Gak sah kamu ke Gotanon. Percaya aja. Enggak bohong!! Bener! Wallohi, ada betul di Gotanon. Semua didapat dari murid Al Madinah.

والله المستعان وعليه التكلان

ولله الحمد والنعمة وبه التوفيق والعصمة

 

 

C. SUDAH MENJELASKAN PENYIMPANGANNYA SUDAH CUKUP?

Di antara syubhat Abu Bakr adalah Mengajarkan ilmu kalam dll.. dalam kondisi diiringi menjelaskan beberapa kebatilan dalam buku tersebut agar siswa mengerti kesalahannya kemudian mereka meninggalkannya tidak bisa dikatakan mengajarkan ilmu kalam atau bid’ah yang lain itu.

Gunakan akal sehat wahai Abu Bakar!

Jika seseorang memberi tulisan kepada seorang murid yang di dalam tulisan itu ada kesesatannya, dan ia menjelaskan kesesatan tersebut, lalu ia memberikan tulisan itu kepada murid untuk dibaca dan dipelajari di rumah sebagai bekal ujian, apakah itu sudah cukup untuk dikatakan bahwa orang itu tidak mengajarkan kesesatan?

Jawabnya: Belum. Karena ia masih meninggalkan kewajiban lain, yaitu memusnahkan tulisan itu atau membakarnya jangan sampai dibaca orang lain. Bukan justeru menerbitkan dan memberikannya kepada murid, lalu dibawa pulang oleh murid dan dibaca sendiri. Karena hal ini bisa menimbulkan banyak bahaya.

Di antaranya:

  1. Tidak bisa dipastikan bahwa murid itu aman dan selamat dari kesalahan yang ada di dalamnya, meskipun sudah dijelaskan. Apalagi murid satu kelas tidak dipastikan semua memiliki kemampuan yang sama dalam memahami penjelasan guru. Dan di antara yang faham, apa dipastikan memahaminya seratus persen? Lalu bagaimana kalau ia membaca tulisan itu sendiri untuk murojaah dan memahami yang belum ia fahami? Apalagi untuk bekal mencapai KKM jika ujian nanti.
  2. Tidak bisa dijamin bahwa tulisan itu tidak dibaca oleh selain si murid. Mungkin dibaca juga oleh bapaknya, ibunya, kakaknya, adiknya …. Siapa bisa menjamin bahwa orang-orang itu selamat dari kesesatan yang ada di dalam tulisan itu? Sedangkan murid yang sudah mendapat penjelasan tentang kesesatannya saja tidak bisa dijamin. Lalu bagaimana dengan bapaknya, ibunya, kakaknya, adiknya yang ikut membaca? Siapa yang bisa menjamin keselamatannya?

Saya yakin mereka menjelaskan kesalahannya, dan itu wajib. Namun, apakah cukup berdalih dengan “telah menjelaskan kesalahannya”, -sementara  bukunya diterbitkan dan terus diberikan kepada murid untuk dikatakan “tidak mengajarkan kesesatan”? Jelas  tidak cukup.

Tapi menurut kaidah buatanmu, thariqah itu cukup menjamin murid aman dari kesesatan tersebut (karena sudah menerima penjelasan guru) dan sekolah tidak bisa dikatakan mengajarkan kesesatan. Man salafuka bihadza?

Berarti menurut kaidahmu itu, pabrik-pabrik rokok itu sudah cukup aman dan tidak berdosa untuk terus memproduksi rokok. Karena mereka telah menulis di setiap bungkus rokok “Awas! Rokok membunuhmu, …. gangguan janin dan kehamilan, …. Kanker …. Impotensi … dan .. dan.

Memang itu wajib. Tetapi apakah cukup dengan menjelaskan bahaya rokok yang sekian banyak, lalu terus memproduksi rokok dan menjualnya? Jelas belum. Mereka harus menghentikan produksi rokok, tidak menyebarkannya dan tidak menjualnya. Jangan gagal faham ya Abu Bakr! Bahkan menanam tembakaunya untuk itupun terlarang.

Dan menurut kaidahmu pula, berarti tidak mengapa memberikan buku-buku ilmu mantiq, filsafat, buku syi’ah atau ahmadiyah atau khawarij kepada murid, yang penting sudah menjelaskan kesalahan-kesalahannya agar murid memahami kesalahan itu dan meninggalkannya. Siapa salafmu dalam hal ini ya Abu Bakr وفقك الله? Apa ada ulama salaf yang berfatwa demikian?

Menurutmu baru dikatakan mengajarkan jika Para guru di sekolah Al madinah Solo mengajarkan kepada murid-muridnya agar mereka meyakini dan mengamalkan beberapa kekeliruan yang terdapat di dalam pelajaran ilmu kalam..”.

Apakah untuk dikatakan megajarkan kebatilan itu disyaratkan agar orang yang diajari meyakini kebatilan itu dan melakukannya? Apa dalilmu dalam masalah ini? Tidak demikian ya Abu Bakr! Jangan GAGAL FAHAM!

Seseorang cukup bisa dikatakan mengajari berzina dengan ia memberi seorang pemuda gambar-gambar porno atau sex dan menunjukkan tempat berzina, meskipun ia juga menjelaskan: “Tapi awas, berzina itu haram lho, jangan dilakukan”. Meski ia tidak mengajari untuk meyakini zina itu boleh.

Seseorang bisa dikatakan mengajari mencuri dengan ia memberitahu orang lain cara dan jalan mencuri dari sebuah rumah, denah rumah itu maupun jam-jam yang sepi, meskipun ia juga menjelaskan: “Tapi mencuri itu haram lho, jangan dilakukan”. Meskipun ia tidak mengajari untuk meyakini mencuri itu boleh

Tapi menurut kaidahmu itu sudah cukup aman, tidak bisa dikatakan ngajari zina atau mencuri. Pantas saja kamu manganggap aman keberadaan pelajarn ilmu kalam dalam pendidikan kalian hanya dengan alasan sudah menjelaskan kebatilannya. Laa haula walaa quwwata illaa billaah.

Sejak dahulu para salaf menjelaskan kebatilan ilmu kalam, tasawuf, syi’ah, khowarij dan bid’ah-bid’ah yang lain. Tetapi tidak pernah ada yang memasukkan ilmu kalam di dalam kurikulum pendidikannya. Mereka tidak merasa aman dan tidak ada kebutuhan. Lalu siapa salaf kalian dalam hal ini? “Terpaksa” lagi jawab kalian?

والله المستعان وعليه التكلان

ولله الحمد والنعمة وبه التوفيق والعصمة

 

D. MURID-MURID MENGIKUTI UJIAN

Hal yang telah diketahui bahwa murid-murid Al Madinah mengikuti pelajaran ILMU KALAM dan mengikuti ujian, termasuk ujian ILMU KALAM. Maka dua perkara ini di antara bukti lain yang menunjukkan bahwa Al Madinah mengajarkan ILMU KALAM. Karena murid-murid itu diberi BUKU AJAR ILMU KALAM tujuannya untuk bekal belajar menghadapi ujian.

Seandainya murid-murid itu membangkang dan mengatakan: “Kami tidak mau mengikuti pelajaran ILMU KALAM dan tidak mengikuti ujian ILMU KALAM karena itu ilmu yang sesat dan menyesatkan”, apakah diizinkan dan dipersilahkan? Ataukah mereka ditakut-takuti dengan ancaman tidak akan lulus karena tidak mendapat nilai ILMU KALAM yang sesat itu? Ataukah mereka akan dibuatkan nilai buatan? Atau disiasati dengan cara lain?

Taruhlah BUKU AJAR ILMU KALAM itu dipihih-pilih dan penyimpangannya dijelaskan, namun dari mana soal ujian itu? Dari Al Madinah atau pihak lain? Siapa yang membuat soal ujian itu? Ahlus Sunnah atau ahli bid’ah?

Apakah ketika menjawab soal ujian murid-murid itu berpegang dengan penjelasan guru –yang menjelaskan kesesatan dan penyimpangan dalam ILMU KALAM? Ataukah mereka menjawab sesuai dengan tuntutan ilmu kalam itu dalam rangka meraih nilai KKM -meskipun mereka meyakini bahwa itu merupakan kesesatan-?

Misalnya jika ada pertanyaan: “Apa manfaat ilmu kalam atau tasawuf?” apakah murid disuruh untuk menjawab: “Ilmu kalam atau tasawuf adalah ilmu yang sesat dan menyesatkan”, ataukah menjawab sesuai dengan tuntutan Ilmu kalam itu dalam rangka meraih nilai KKM -meskipun mereka meyakini itu merupakan kesesatan-?

Jawabannya terdapat di dalam perkataan us Jauhary: ” … Kita mengiktui Depag ataupun Depdiknas itu masing-masing pelajaran ada KKM, Kriteria Kelulusan Minimal, yaitu nilai paling kecil untuk dikatakan lulus itu berapa, 60 atau 70 … Pelajarannya pun juga demikian, hanya diberikan dekat-dekat dengan ujian atau bahkan ketika kelas 3, na’am akan ada ujian bersama madrasah nasional. Kita berikan tentunya ….”.

Jadi, murid-murid itu diajari untuk meyakini bahwa ILMU KALAM ITU BID’AH YANG SESAT MENYESATKAN, tetapi di sisi lain mereka juga harus MEMPELAJARI BUKU AJAR ILMU KALAM dan MEMILIKI KEMAMPUAN KEILMUAN MENJAWAB SOAL UJIAN untuk mencapai nilai KKM itu.

Kau anggap jalan seperti ini jalan yang aman hai Abu Bakr? Para ulama lari menjauh dari ILMU KALAM, sementara murid-murid kalian harus memiliki kemampuan keilmuan dalam hal ILMU KALAM sebatas KKM?

 

Jadi, mereka diarahkan agar mengatakan apa yang tidak diyakini oleh hatinya? Bukankah ini bermuka dua? Bukankah ini main-main dalam agama hai Aba Bakr? Hadza Luka’ bin Luka’ ya Aba Bakr!! Man salafuka bihadza?

Susah amat jalan kalian jika demikian. Alangkah baiknya sekiranya kalian mencukupkan dengan manhaj salaf saja. Alangkah selamat jika kalian bakar dan musnahkan saja buku-buku itu. Alangkah selamat sekiranya kalian tinggalkan saja pendidikan model kayak gitu, lalu mencukupkan dengan pondok pesantren salaf yang bisa selamat dari bid’ah. Dan keselamatan agama itu sesuatu yang menjadi tujuan pencari al haq. Wallohu a’lam.

نسأل الله لنا ولكم السلامة والعافية. ووفقنا الله جميعا لما يحب ويرضاه

  

E. MANHAJ SALAF DALAM MENYIKAPI BUKU AHLI BID’AH

Ketahuilah hai Abu Bakr – هداك الله -, bahwa manhaj salaf dalam menyikapi buku-buku ahli bid’ah atau buku-buku yang mengandung bid’ah atau yang mengandung kesesatan sangat jelas. Yakni mentahdzirnya, membakarnya atau memusnahkannya. Tidak membacanya kecuali dengan tujuan untuk dibantah dan hanya dilakukan oleh orang-orang yang ahli dan mumpuni. Tidak pula menghadiahkannya atau memberikan kepada orang lain.

Berkata Imam Ibnu Abdil Barr di dalam Jami’ Bayanil Ilmi 2/117:

قال مالك: لا تجوز الإجارات في شيء من كتب الأهواء، والبدع والتنجيم وذكر كتبا ثم قال: كتب أهل الأهواء والبدع عند أصحابنا هي كتب أصحاب الكلام من المعتزلة وغيرهم، وتفسخ الإجارة في ذلك

Imam Malik berkata: “Tidak boleh sewa-menyewa (menghadiahkan / jual beli) sedikit saja dari buku-buku ahlil ahwa’ wal bida’ maupun astrologi”. Lalu beliau menyebutkan beberapa contoh buku-buku itu. Kemudian kata beliau: “Yang dimaksud buku-buku ahlil ahwa’ wal bida’ menurut para sahabat kami adalah buku-buku ahli kalam dari kalangan mu’tazilah dan yang lain. Dan batal (tidak sah) sewa-menyewa dalam hal ini”.

Berkata Imam Ibnu Qudamah Al Maqdisy di dalam Lum’atul I’tiqad:

ومن السنة : هجران أهل البدع ومباينتهم، وترك الجدال والخصومات في الدين ، وترك النظر في كتب المبتدعة والإصغاء إلى كلامهم

“Termasuk tuntuna As Sunnah adalah menghajr ahli bid’ah dan menjauhinya, tidak berdebat dan berbantahan dengan mereka dalam perkara agama, tidak melihat kitab-kitab ahli bid’ah dan mendengarkan perkataan mereka”.

Berkata Imam Ibnu Muflih di dalam Al Adabusy Syar’iyah (1/232):

وكان السلف ينهون عن مجالسة أهل البدع والنطر في كتبهم والاستماع لكلامهم

“Para salaf dulu melarang dari bermajelis dengan ahli bid’ah, melihat kitab-kitab ahli bid’ah dan mendengarkan perkataan mereka”.

Berkata Imam Ibnul Qoyyim di dalam Ath Thuruqul Hukmiyyah Fis Siyaasatisy Syar’iyyah hal 282: “Demikian pula tidak ada tanggungan (ganti rugi) dari membakar dan memusnahkan buku-buku yang menyesatkan. Al Marwazy berkata, Aku bertanya kepada Imam Ahmad: “Saya meminjam buku-buku yang mengandung beberapa perkara yang jelek. Apakah anda memandang untuk saya robek-robek atau saya bakar?” Beliau menjawab: “Na’am. Nabi صلى الله عليه وسلم melihat Umar membawa suatu kitab yang dia salin dari Taurat dan dia terkagum oleh kesesuaiannya dengan Al Qur’an, maka memerahlah wajah Nabi صلى الله عليه وسلم. Akhirnya Umar membawanya ke cerobong api lalu ia lemparkan kitab itu ke sana. Lalu bagaimana seandainya Nabi صلى الله عليه وسلم melihat kitab-kitab yang ditulis sepeninggal beliau yang sebagiannya menentang apa yang ada di dalam Al Qur’an dan As Sunnah? Wallahul musta’an”.

Kemudian kata Imam Ibnul Qoyyim:

وَالْمَقْصُودُ : أَنَّ هَذِهِ الْكُتُبَ الْمُشْتَمِلَةَ عَلَى الْكَذِبِ وَالْبِدْعَةِ يَجِبُ إتْلَافُهَا وَإِعْدَامُهَا ، وَهِيَ أَوْلَى بِذَلِكَ مِنْ إتْلَافِ آلَاتِ اللَّهْوِ وَالْمَعَازِفِ ، وَإِتْلَافِ آنِيَةِ الْخَمْرِ ، فَإِنَّ ضَرَرَهَا أَعْظَمُ مِنْ ضَرَرِ هَذِهِ ، وَلَا ضَمَانَ فِيهَا ، كَمَا لَا ضَمَانَ فِي كَسْرِ أَوَانِي الْخَمْرِ وَشَقِّ زِقَاقِهَا

“Maksudnya bahwa buku-buku yang mengandung kedustaan dan bid’ah itu wajib dimusnahkan dan dilenyapkan. Dan buku-buku itu lebih layak dimusnahkan dari pada memusnahkan alat-alat musik dan nyanyian atau memusnahkan gelas-gelas khamr. Karena bahaya buku-buku itu lebih besar dari pada bahaya alat musik dan khamr. Dan tidak ada tanggungan (ganti rugi) dari memusnahkan buku-buku itu sebagaimana tidak ada tanggungan (ganti rugi) dari memecah gelas-gelas khamr dan membelah botol-botolnya”.

Syaikh Muhammad Al Utsaimin berkata dalam Syarah Lum’atul I’tiqad:

ومن هجر أهل البدع: ترك النظر في كتبهم خوفاً من الفتنة بها، أو ترويجها بين الناس فالابتعاد عن مواطن الضلال واجب.   …… لكن إن كان الغرض من النظر في كتبهم معرفة بدعتهم للرد عليها فلا بأس بذلك لمن كان عنده من العقيدة الصحيحة ما يتحصن به وكان قادراً على الرد عليهم، بل ربما كان واجباً، لأن رد البدعة واجب وما لا يتم الواجب إلا به فهو واجب

“Termasuk dari menghajr ahli bid’ah adalah tidak melihat kepada buku-buku mereka karena khawatir terfitnah olehnya, atau menyebarkannya di tengah-tengah manusia. Maka menjauhi tempat-tempat kesesatan adalah wajib. ……. Akan tetapi jika tujuan dari melihat kepada buku-buku mereka itu adalah untuk mengenali bid’ah mereka dalam rangka untuk dibantah, maka tidak mengapa hal itu bagi orang yang memiliki aqidah yang shahih yang bisa membentengi diri (dari terpengaruh kesesatannya) dan ia mampu untuk membantah mereka. Bahkan acapkali hukumnya wajib. Karena membantah bid’ah adalah wajib. Dan perkara yang kewajiban itu tidak bisa sempurna kecuali dengannya, maka perkara tersebut hukumnya wajib”.

Syaikh Shalih Al Fauzan ditanya di dalam Al Ajwibah Al Mufidah:

س 48 : ما هو القول الحق في قراءة كتب المبتدعة، وسماع أشرطتهم ؟ .

جـ/ لا يجوز قراءة كتب المبتدعة، ولا سماع أشرطتهم؛ إلا لمن يريد أن يَرُدَّ عليهم ويُبيِّن ضلالهم. أما الإنسان المبتدئ، وطالب العلم، أو العامي، أو الذي لا يقرأ إلا لأجل الاطلاع فقط، لا لأجل الرَّد وبيان حالها؛ فهذا لا يجوز له قراءتها؛ لأنها قد تؤثر في قلبه

Pertanyaan ke 48: “Bagaiman pendapat yang haq dalam hal membaca kitab-kitab ahli bid’ah dan mendengarkan rekaman-rekaman mereka?

Beliau menjawab: “Tidak boleh membaca kitab-kitab ahli bid’ah, tidak boleh pula mendengar rekaman-rekaman mereka, kecuali bagi orang yang bermaksud untuk membantah mereka dan menjelaskan kesesatannya. Adapun seorang yang masih pemula atau thalibul ilmi atau orang awam atau orang yang tidak membaca kecuali dalam rangka mentelaah saja bukan tujuan membantah dan menjelaskan keadaannya, maka yang demikian tidak boleh baginya membaca kitab-kitab itu karena kadang berpengaruh dalam hatinya”.

Perhatikan perkataan Syaikh Fauzan di atas! Thalibul ilmi saja tidak boleh membaca kitab ahli bid’ah! Apakah kalian menganggap bahwa murid-murid kelas 3 Aliyah sudah seperti Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, atau Imam Ibnu Qoyyim, atau Imam Ibnu Baz dan yang setingkat mereka sehingga anak-anak itu dididik membaca buku imu kalam dan membantahnya?

Mungkin kamu akan mengatakan: “Fatwa para ulama di atas kan terkait dengan kitab-kitab ahli bid’ah? Apakah kamu -wahai Dwi- telah menghukumi Al Madinah sebagai ahli bid’ah? Datangkan bukti atas perkataanmu! Jika tidak, berarti kamu pendusta!”

Sabaar, sabaar hai Abu Bakr sabaar. Santai saja. Kita tidak menghukumi orangnya, tetapi kita menghukumi bukunya. Buku ilmu kalam itu asalnya bukan dari ahlus sunnah. Kemudian oleh Al Madinah dipilih-pilih yang nampaknya tidak menyimpang, lalu diterbitkan oleh pihak sekolah dan dijelaskan jika masih ada penyimpangannya. Jadi, Buku ilmu kalam itu asalnya buku ahli bid’ah. Maka mestinya disikapi sebagai buku ahli bid’ah

Maka, kita sepakat bahwa ilmu kalam adalah bid’ah dalam perkara aqidah atau ushulud diin. Sementara langkah yang ditempuh Al Madinah tidak sesuai dengan thariqah salaf dan tidak pasti aman. Sehingga buku-buku itu dihukumi sebagaimana asalnya.

Dalam kaidah ushul disebutkan:               اليقين لا يزول بالشك

Yang meyakinkan tidak bisa digeser oleh yang meragukan.

Apa kamu tega mengatakan “BUKU AJAR ILMU KALAM” itu buku ahlus sunnah?  Apa kamu meyakini memilih-milih yang baik dari buku ahli bid’ah lalu memberikan kepada murid itu thariqah yang benar? Siapa salafmu dalam hal ini?

Kata Imam Ibnu Sirin:       أن هذا العلم دين, فانظروا عمن تأخذون دينكم

“Sesungguhnya ilmu ini adalah agama, maka perhatikan dari mana kamu mengambil agamamu?”

Seharusnya buku-buku ahli bid’ah itu dimusnahkan. Kecuali jika hendak dibantah oleh ahlinya (orang yang mumpuni). Bukan thalibul ilmu. Apalagi pemula atau orang awam!! Kata Imam Ibnu Qoyyim: “… buku-buku itu lebih layak dimusnahkan dari pada memusnahkan alat-alat musik dan nyanyian atau memusnahkan gelas-gelas khamr. Karena bahaya buku-buku itu lebih besar dari pada bahaya alat musik dan khamr”.

Bandingkan manhaj salaf dengan manhaj Al Madinah dalam menyikapi buku ahli bid’ah! Mungkin kamu kembali mengatakan: “Kami kan darurat“.

Selain itu, perlu kamu tahu –hai Abu Bakar- bahwa ahlus sunnah sangat cukup dengan buku-buku ahlus sunnah dalam pendidikannya. Tidak butuh buku-buku ahlui bid’ah. Buku-buku ahlus sunnah sangat banyak pilihan dan aman, sehingga tidak perlu menjelaskan penyimpangan. Ngapain milih-milih dari ilmu kalam? Jangan main-main dalam agama! Di belakang kalian itu ada banyak umat.

 

F. THARIQAH SALAF DALAM MEMBANTAH KEBATILAN SUATU BUKU

Selain itu, hai Abu Bakr  وفقك الله, perlu kamu ketahui bahwa thariqah salaf

dalam membantah kebatilan dalam suatu buku ahli bid’ah itu bukan dengan cara mengambil yang baik-baik dan membuang yang jelek-jelek. Bukannya memilih-milih dari buku tersebut yang mencocoki Al Qur’an dan As Sunnah, dan mengeluarkan dari buku itu kebatilan-kebatilannya kemudian memberikan buku tersebut kepada murid atau pemula yang jelas aqidah dan manhajnya belum kokoh.

Bukan pula dengan cara membantah kebatilan yang ada di dalam buku itu (baca: menta’liq) kemudian memberikan buku yang mengandung kebatilan itu kepada murid untuk dibaca. Bukan begitu thariqah salaf.

Kalau kamu perhatikan dalam kitab-kitab rudud, justeru yang dinukil adalah kebatilannya saja lalu dibantah di dalam kutub rudud itu. Adapun kebaikan atau kebenaran yang ada di dalam buku itu, para ulama tidak melihatnya dan tidak pula membawakan di dalam kutub rudud itu. Dan mereka hanya menganjurkan untuk membaca kutub rudud itu serta memperingatkan umat dari buku-buku yang ada kebatilan di dalamnya. Bukan menganjurkan untuk membaca buku yang sudah dibantah itu. Bukan pula memberikan buku kepada murid setelah dipilih-pilih. Bukan pula dengan cara menta’liq buku-buku ahli bid’ah atau buku-buku yang sesat!!

Namun apa yang dilakukan Al Madinah terhadap buku ilmu kalam itu?

Perhatikan perkataan us Jauhari ini:

Itu pun sudah kita pilih-pilih materinya, na’am yang tidak jauh penyimpangannya atau bahkan tidak ada penyimpangannya. Dan kemudian ketika menyampaikan kita pun kalau ada yang sedikit melenceng, kita luruskan. …. Namun apa boleh dikata kita sudah terlanjur mendaftar mengikuti depag dan kemudian ada kode-kode itu dalam keadaan kita dulu belum tahu kalau ada materi seperti itu“.

Siapa salaf kalian dalam hal ini ya us? Mengapa tidak dimusnahkan saja buku-buku itu? Alangkah selamat jika kalian tinggalkan saja sistem pendidikan model kayak gitu. Jangan katakan sudah terlanjur jika yang kamu maukan adalah pantang mundur.

Disebutkan Imam As Sa’dy di dalam Al Qawa’id Al Fiqhiyyah:

ما يبنى على الفاسد فهو فاسد، وما يبنى على الباطل فهو باطل

Apa yang terbangun di atas perkara yang rusak, maka itu rusak.

            Dan apa yang terbangun di atas perkara yang batil, maka itu batil

Nah, ilmu kalam itu batil. Maka memilih-milih dari buku ilmu kalam itu batil, menerbitkannya itu batil, dan memberikannya kepada murid adalah batil. Itu semua bukan thariqah salaf.

Adapun thariqah salaf, mentahdzir dan melarang dari membaca buku-buku ahli bid’ah dan memerintah untuk memusnahkannya. Dan mereka membantah penyimpangannya dalam kitab-kitab rudud.

Bukan menta’liq buku itu atau meluruskan jika ada yang melenceng lalu buku itu diberikan kepada murid. Tetapi mereka (para salaf) menukil kebatilannya saja, lalu dibantah di dalam kutub rudud dan menganjurkan agar membaca kutub rudud itu, serta mentahdzir dari kitab yang dibantah.

Bandingkan thariqah salaf dengan thariqah Al Madinah dalam menyikapi buku-buku ahli bid’ah! Mungkin kamu akan kembali mengatakan: “Kami kan darurat”.

Dan menurut kaidah kalian, berarti tidak mengapa memilih-milih kebenaran dan kebaikan dari buku-buku ahli bid’ah kemudian diajarkan dan diberikan kepada murid? Siapa salaf yang berkata demikian itu ya ust?

Jadi, dengan thariqah Al Madinah yang seperti itu tidak cukup untuk dikatakan: Al Madinah Tidak megajarkan ILMU KALAM dll itu. Karena thariqah yang mereka tempuh bukan thariqah salaf dan tidak pula aman dari kesesatan dan penyimpangan!

Kebatilan dan kesesatan Ilmu Kalam adalah perkara yang meyakinkan, sementara thariqah kalian tidak bisa menjamin aman dan selamat. Tentu tidak bisa sesuatu yang meyakinkan digeser oleh yang tidak pasti.

      اليقين لا يزول بالشك

Yang meyakinkan tidak bisa digeser oleh yang meragukan.

نسأل الله لنا ولكم السلامة والعافية. ووفقنا الله جميعا لما يحب ويرضاه


G. SIAPA YANG POLITIKUS?

Sebagaimana telah kita baca perkataan Abu Bakr ketika ia menuduh Ustadz Luqman Ba’abduh dan yang bersamanya yang tegas dalam mengingkari bid’ah dan hizbiyyah sebagai politikus. Yakni dalam perkataannya: Cara menuduh seperti ini hanya dilakukan oleh politikus saja, seperti Luqman Ba’abduh dan pengikutnya seperti kamu.

Dan di sini Abu Bakar ada salafnya, yakni us Jauhari yang mengatakan kalimat politis semisal ini. Yaitu dalam perkataannya:

Na’am, Cuma memang ya namanya aja politikus itu pandai memanfaatkan moment. Ya kalau ada celah untuk menghancurkan lawan, na’am, itu akan digunakan semaksimal mungkin. Meskipun ditambahi dengan kedustaan dengan menggunakan kata-kata yang global“.

Ini bukan masalah global atau rinci ustadz. Tetapi dipandang dari asalnya ILMU KALAM itu batil. Dan semua yang dibangun di atasnya juga batil.

Apa pantas orang yang mengatakan bahwa diajarkan ilmu kalam di Al Madinah dituduh dusta atau politikus padahal ia menunjukkan bukti berupa:

  1. Ada mata pelajaran ILMU KALAM di sana.
  2. Milih-milih dari ILMU KALAM untuk diajarkan.
  3. BUKU AJAR ILMU KALAM diberikan kepada murid.
  4. Murid harus menguasai ilmu kalam sebatas KKM.
  5. Murid harus mengikuti ujian ILMU KALAM.
  6. Soal ujian Ilmu Kalam jelas bukan dari ahlus sunnah.

Apakah pantas ia dikatakan dusta atau politikus hanya dengan alasan Al Madinah sudah memilih-milih dan menjelaskan kebatilannya? Bukankah manhaj Al Madinah dalam hal menyikapi buku-buku batil dan sesat itu tidak sesuai dengan manhaj salaf? Tidak aman dan tidak selamat.

Apakah pantas dikatakan dusta atau politikus, orang yang menasehati kalian agar meninggalkan sistem pendidikan semacam itu? Bukankan ia menginginkan kebaikan dan keselamatan dunia dan agama kalian?

Apakah jika kalian meninggalkan sistem pendidikan seperti itu berarti dunia dan agama kalian akan hancur ya ust? Ataukah dunia dan agama kalian justeru selamat? Mengapa orang yang menasehati kalian untuk kebaikan dan keselamatan dunia dan agama kalian justeru kalian katakan politikus? Bukankah mereka telah berupaya untuk kebaikan kalian dengan membawa urusan ini kepada para ulama sejak bertahun-tahun yang lalu? Apakah untuk kebaikan kalian ataukah untuk kehancuran kalian upaya mereka itu? Mengapa kalian sikapi sebagai lawan dan dikatakan politikus?

Bukankah mereka juga mengajak kalian untuk ijtima’ menyusun pertanyaan bersama berdasar nasehat Syaikh Abdullah Mar’i dan Syaikh Abdullah Al Bukhary? Bukankah sudah sekian tahun mereka bersabar menasehati kalian? Mengapa dikatakan politikus? Siapa yang politikus?

Thariqah yang ditempuh oleh para asatidz itu thariqah yang tidak diingkari oleh para ulama kibar. Para ulama itu menerima informasi dan bukti-bukti yang ditunjukkan berupa buku-buku pelajaran dan materi ujian.

Dan itu semua sudah cukup bagi para ulama untuk menghukumi. Mengapa bagi kamu tidak cukup? Lalu kamu katakan bahwa tindakan asatidz itu adalah tindakan poitikus? Jika kalian mengikuti nasehat para asatidz itu lalu meninggalkan sistem pendidikan seperti itu apakah berarti dunia dan agama kalian akan hancur? Ataukah akan selamat ya ustaaaadz?

Mengapa kamu taqlid buta -hai Abu Bakr- sehingga kamu ikut-ikutan mengatakan: “politikus”?

Sementara orang yang memilih-milih dari sampah ilmu kalam, lalu mengatakan ‘kami darurat dan sudah terlanjur’ tidak kamu katakan sebagai politikus? Orang yang mencari ulama yang dicocoki lalu mengatakan ‘Kami juga punya ulama’ tidak kamu katakan sebagai politikus?

Orang Makasar yang memajang taubatnya ‘YANG JUJUR DAN IHLASH TANPA PAKSAAN’ di websitenya lalu ia langgar dan ia hapus, tidak kamu katakan sebagai politikus? Orang yang hendak melawan tahdzir Syaikh Roby dengan sebutan ‘SYAIKH’ dari Syaikh Fauzan itu tidak kamu katakan sebagai politikus? Orang  yang mengatakan bahwa akhinaa Dzulqornain itu adalah paman gurunya Syaikh Roby, tidak kamu katakan sebagai politikus?

Orang Fiyus yang menuduh thulab Indonesia di Fiyus dengan tuduhan Jihady dan ia berusaha memanfaatkan kekuatan ulil amri untuk mendeportasi thulab itu tidak kamu katakan sebagai politikus? Ia juga melawan perintah pemerintah Yaman untuk jihad melawan pemberontak dengan menggembosi: “Jangan jihad, ini hanya perang kepentingan politik”. Padahal Rasul صلى الله عليه وسلم memerintahkan untuk jihad memerangi bughat (pemberontak), dan pemerintahnya juga telah memerintahkan untuk jihad. Tapi mengapa ia tidak kamu katakan sebagai politikus?

Ada orang Ma’bar yang mengkritik pedas di mimbar Jumat gara-gara hancurnya masjid saudara-saudaranya yang Rafidhah bughat. Sementara saudara-saudaranya itu memberontak pemerintahnya yang sah dan mereka membunuh kaum muslimin, ia bungkam membisu terhadap pemberontakan saudaranya itu. Mengapa ia tidak kamu katakan sebagai politikus?

Yang lebih aneh, ia malah menganjurkan pemerintah Yaman untuk damai dengan para bughat. Padahal Rasulullah صلى الله عليه وسلم memerintahkan untuk memerangi bughat dan pemerintah Yaman juga telah memerintahkan untuk jihad mempertahankan negara dari bughat. Laa haula walaa quwwata illaa billaah. Tidak kamu katakan sebagai politikus?

Terlalu banyak konco-koncomu yang pantas untuk mendapat gelar politikus. Lebih-lebih dirimu. Namun justeru kamu tuduhkan sifat itu pada orang lain. Apa yang kamu jadikan timbangan untuk mengatakan seseorang itu politikus? Atau kamu punya definisi sendiri tentang istilah poitikus, sehingga bisa kamu pukul rata Luqman Ba’abduh dan pengikutnya sebagai politikus? Sepintarnya-pintarnya seorang politikus menuduh, maka sesungguhnya hakikat politikus pada dirinya tidak bisa ditutupi. Atau kamu cumak ela-elu sama ustadz sana AJA? Yaaah, Luka’ bin Luka’.

والله المستعان وعليه التكلان. ولله الحمد والنعمة وبه التوفيق والعصمة

H. BARA’ TANPA RINCIAN BERARTI MENGKAFIRKAN?

Dalam tulisannya yang berjudul MELACAK PEMAHAMAN SESAT KHOWARIJ MUSLIM DWI SUPRIYANTO, Abu Bakr menyimpulkan secara serampangan dan ceroboh bahwa saya berfaham sesat khowarij dan takfir karena saya telah mengajak untuk bara’ kepada orang yang mengajarkan bid’ah. Yakni dalam perkataan saya:

” … wala’ itu kepada pihak yang bersih dari bid’ah dan bara’ itu kepada pihak yang mengajarkan bid’ah …”

Perkataan saya di atas dikomentari oleh Abu Bakr:  ” … secara tidak langsung ia telah mengkafirkan kaum muslimin yang memiliki penyimpangan bid’ah walaupun bid’ahnya bukan mukaffiroh …   Oleh karena itu, secara tidak langsung, baik kamu sadari atau tidak kamu sadari kamu telah mengkafirkan segenap pengurus dan pengasuh Al Madinah Solo serta orang-orang yang kamu anggap telah membela mereka …“.

Di sini Abu Bakr juga GAGAL PAHAM yang sangat fatal. Ia tidak membedakan antara bahasa TANFIR atau TAHDZIR dengan bahasa TAFSHIL atau TAFSIR. Bahasa TANFIR atau TAHDZIR itu kalimat untuk menakuti atau mengancam agar orang lari dari suatu kejelekan. Nah kebanyakan bahasa yang digunakan adalah global tanpa dirinci. Lain halnya dengan bahasa tafshil atau tafsir, maka dirinci panjang lebar dan detail. Semisal penjelasan tentang wala’ wal bara’ oleh Syaikhul Islam atau Syaikh Fauzan.

Banyak nash-nash TANFIR atau TAHDZIR dari Nabi صلى الله عليه وسلم maupun dari para ulama yang menggunakan bahasa global dan tanpa rincian.

Di antaranya sabda-sabda Rasulullah صلى الله عليه وسلم:

لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ قَاطِعٌ

“Orang yang memutus silaturrahim tidak akan masuk surga”. HR Imam Bukhari

اللَّهُمَّ إِنِّي أَبْرَأُ إِلَيْكَ مِمَّا صَنَعَ خَالِدٌ مَرَّتَيْنِ

“Ya Allah, saya bara’ kepadaMu dari apa yang diperbuat oleh Kholid”. Beliau ucapkan 2 kali. HR Imam Bukhari dan Imam Nasaa’i

لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَطَمَ الْخُدُودَ وَشَقَّ الْجُيُوبَ وَدَعَا بِدَعْوَى الْجَاهِلِيَّةِ

” … Tidak termasuk golonganku orang yang menampar-nampar pipi (ketika mendapat musibah) atau menyobek-nyobek baju atau menyeru dengan seruan jahiliyah”. HR Imam Bukhari dan Imam Muslim.

أَنَّهُ مَنْ عَقَدَ لِحْيَتَهُ أَوْ تَقَلَّدَ وَتَرًا أَوِ اسْتَنْجَى بِرَجِيعِ دَابَّةٍ أَوْ عَظْمٍ فَإِنَّ مُحَمَّدًا -صلى الله عليه وسلم- مِنْهُ بَرِىءٌ

“Bahwa siapa yang mengikat jenggotnya atau mengalungkan watar (senar bekas panah) atau beristinja’ dengan kotoran ternak atau tulang, sesungguh-nya Muhammad صلى الله عليه وسلم bara’ darinya”. HR Imam Abu Dawud.

أَنَا بَرِىءٌ مِنْ كُلِّ مُسْلِمٍ يُقِيمُ بَيْنَ أَظْهُرِ الْمُشْرِكِينَ

“Aku bara’ dari setiap muslim yang tinggal di tengah-tengah kaum musyrikin”. HR Imam Abu Dawud.

Di dalam contoh-contoh di atas Rasulullah صلى الله عليه وسلم menyebutkan tanfir dan tahdzir dengan kalimat global “Aku bara'” (tanpa dirinci bara’nya), atau “tidak termasuk golonganku” (tanpa dirinci juga), atau “tidak akan masuk surga” (tanpa dirinci “tidak masuk surga sama sekali buat selamanya” ataukah tidak masuk surga “di awal waktu saja”).

Dan masih teramat sangat banyak hadist-hadits semisal yang Rasulullah صلى الله عليه وسلم mengucapkan bahasa tanfir atau tahdzir dengan bahasa global tanpa dirinci. Kalau saja Abu Bakr mau sedikit saja membaca kitab-kitab hadits, ia akan mendapatkannya.

Tetapi konyolnya, secara politis Abu Bakr membawa bahasa yang saya pakai kepada bahasa TAFSHIL/TAFSIR, lalu menafsirkannya secara ngawur dan serampangan. Padahal jelas, bahwa bahasa yang saya pakai adalah bahasa tanfir. Jika Abu Bakr tidak tahu hal ini, maka ini musibah. Sedangkan jika ia tahu, tetapi memang secara sengaja ia membawa kepada pemahaman yang lain, maka musibahnya lebih besar. Ini salah satu contoh tindakan politis, agar orang lain memahami sesuai yang ia inginkan.

Kalau Abu Bakr mau sedikit saja membaca keterangan para ulama’ dalam penggunaan bahasa ini, niscaya ia mendapatkannya, sehingga tidak usah menyesat-nyesatkan orang lain dan tidak terjatuh dalam kesalahan yang fatal yaitu menuduh seseorang berpemahaman khowarij.

Dijelaskan oleh Syaikh Shalih Fauzan di dalam I’aanatul Mustafid pada

bab ما جاء في التنجيم. Beliau berkata:

قوله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “ثلاثة لا يدخلون الجنة” هذا وعيد يُجرى على ظاهره ولا يُؤَوّل ولا يُفَسّر، لأن تفسيره وتأويله يقلِّل من أهميِّته، فيُترك على ظاهره للزجر والوعيد، وإن كان أصحاب هذه الجرائم لا يخرجون من الإسلام، ولكن هذا من باب الوعيد الشديد لهم.

Perkataan Rasul صلى الله عليه وسلم: ” Ada tiga golongan yang tidak akan masuh surga” ini adalah ancaman yang diperjalankan (disampaikan) sesuai dhahirnya tanpa dijelaskan dan dirinci. Karena merincinya dan menjelaskannya akan mengurangi pentingnya ancaman ini. Maka ancaman ini dibiarkan sesuai dhahirnya dalam rangka untuk mencegah dan mengancam, meskipun pelaku dosa-dosa tersebut tidak keluar dari Islam. Akan tetapi hal ini termasuk dari bab ancaman yang keras bagi mereka”.

Juga kata beliau:

وأخبر النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أنّ المصدِّق بالسحر- ومنه المصدِّق بالنجوم- أنه لا يدخل الجنة، وهذا وعيدٌ شديد، قد لا يدخل الجنة لكفره، وقد لا يدخلها لمعصيته. وهذا من أحاديث الوعيد التي تُجرى على ظاهرها ولا تُفسَّر.

“Dan Nabi صلى الله عليه وسلم memberitakan bahwa orang yang membenarkan sihir -yang di antaranya membenarkan ramalan bintang- tidak akan masuk surga. Dan ini merupakan ancaman yang keras. Bisa jadi tidak masuk surga karena kekafirannya, dan bisa jadi tidak masuk surga karena maksiat biasa. Dan ini termasuk di antara hadits-hadits ancaman yang diperjalankan (disampaikan) sesuai dhahirnya tanpa dirinci”.

Juga beliau jelaskan dalam bab   من الإيمان بالله الصبر على أقدار الله:

ليس منا من ضرب الخدود، وشق الجيوب، ودعا بدعوى الجاهلية

“ليس منا” هذه الكلمة كثيراً ما تأتي عن الرسول صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ على معاص تصدُر من النّاس من باب التحذير منها، مثل قوله: “من غشّنا فليس منا” ، وقوله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “ليس منا من تشبّه بغيرنا” ، ومنه هذا الحديث.

وهذه الكلمة “ليس منا” معناها: البراءة ممّن فعل ذلك، ولكن ليس معناها أنه يخرُج من الإسلام، وإنما معناها: التنفير من هذا العمل. وأحسن ما يُقال فيها: أنها من ألفاظ الوعيد، ولا تُفسّر، لكن مع اعتقاد أنّ هذا لا يدل على الخروج من الدين لأدلّة أخرى دلَّت على أن أصحاب الكبائر التي دون الشرك لا يخرجُون من الدين.

Sabda Rasulullah صلى الله عليه وسلم: “Tidak termasuk golongan kami orang yang menampar-nampar pipi (ketika mendapat musibah) atau menyobek-nyobek baju atau menyeru dengan seruan jahiliyah”.

Kalimat “Tidak termasuk golongan kami” ini banyak datang dari Rasul صلى الله عليه وسلم berkaitan dengan maksiat-maksiat yang dilakukan oleh manusia sebagai bentuk TAHDZIR dari maksiat-maksiat itu. Ini semisal sabda beliau: “Siapa menipu (mengkhianati) kami, maka bukan dari golongan kami”, juga sabda beliau: “Tidak termasuk golongan kami orang yang tasyabuh dengan selain kami”. Termasuk contohnya pula adalah hadits bab ini.

Dan makna kalimat “Tidak termasuk golongan kami” adalah bara’ dari orang yang melakukan perbuatan itu, akan tetapi bukan artinya ia keluar dari Islam. Maknanya hanyalah TANFIR (agar orang menjauh) dari perbuatan tersebut. Dan yang terbaik dikatakan bahwasanya ini termasuk lafadl-lafadl ancaman dan tidak dirinci, akan tetapi dengan keyakinan bahwa hal itu tidak menunjukkan keluar dari agama Islam berdasarkan dalil-dalil lain yang menunjukkan bahwa pelaku dosa besar yang bukan syirik tidak keluar dari Islam”. Sekian dari Syaikh Fauzan.

Jadi, perkataan saya: “… bara’ itu kepada pihak yang mengajarkan bid’ah …”, ini adalah bahasa tanfir yang lebih baik tidak dirinci. Sehingga aneh kalau Abu Bakr membawa kepada pamahaman takfir dengan berbagai susah payahnya, lalu ia membawakan rincian wala’ wal bara’.

Bahkan seorang sahabat mulia membawakan ayat tentang syirik besar dalam rangka mengingkari orang yang berbuat syirik kecil. Dan tindakan sahabat yang demikian ini tidak dianggap takfir. Padahal jelas-jelas ayat yang beliau bawa berbicara tentang syirik besar.

Dibawakan oleh Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab di dalam Kitabut Tauhid pada bab من الشرك لبس الحلقة والخيط ونحوهما لرفع البلاء أو دفعه  :

وَلابْنِ أبِي حاتِمٍ عَنْ حُذَيفَةَ: أَنَّهُ رَأى رَجُلاً فِي يدِهِ خَيطٌ مِنَ الْحُمَّى فقَطَعَهُ وتَلا قَوْلَهُ تَعالى: {وَمَا يُؤْمِنُ أَكْثَرُهُمْ بِاللَّهِ إِلَّا وَهُمْ مُشْرِكُونَ}

“Dan disebutkan di dalam riwayat yang ada pada Imam Ibnu Abi Hatim dari Hudzaifah, bahwasannya beliau pernah melihat seorang lelaki yang di tangannya ada seutas benang untuk menangkal demam. Maka beliau pun langsung memutus benang tersebut lalu membaca firman Allah Ta’aalaa:

وَمَا يُؤْمِنُ أَكْثَرُهُمْ بِاللَّهِ إِلَّا وَهُمْ مُشْرِكُونَ

Dan sebahagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah (dengan sembahan-sembahan lain)”, (QS Yunus: 106).

Lalu Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab dalam masail ke 9 berkata:

“Tindakan Hudzaifah رضي الله عنه membaca ayat tersebut menunjukkan bahwa para sahabat berdalil dengan ayat-ayat yang menyebutkan tentang syirik besar untuk mengingkari perbuatan syirik kecil. Sebagaimana juga apa yang disebutkan oleh Ibnu Abbas tentang sebuah ayat di dalam Surat Al Baqarah”.

Kalau menurut kaidah buatan Abu Bakr, tindakan Hudzaifah رضي الله عنه ini adalah  bentuk takfir. Karena jelas-jelas ayat yang beliau bawakan itu tentang syirik besar, bukan sekedar kalimat bara’ yang tanpa rincian.

Nah, bandingkan kaidahmu yang aneh ini dengan kaidah para ulama salaf hai Abu Bakr. Mengapa kamu ngawur dan serampangan menuduh takfir hanya bermodal kalimat saya: “bara’ itu kepada pihak yang mengajarkan bid’ah“? Kalau saja kamu sabar dan teliti, tidak ngawur dan serampangan, niscaya tidak terjatuh dalam kesalahan yang fatal seperti ini.

Jika kamu tidak tahu hal ini, maka ini musibah. Sedangkan jika kamu tahu, tetapi memang secara politis kamu membawa kepada pemahaman yang lain, maka musibahnya lebih besar. Ini salah satu contoh tindakan politis, agar orang lain memahami sesuai yang ia inginkan

Bahkan Rasulullah صلى الله عليه وسلم dalam banyak hadits menyebut dengan istilah kufur atas tindakan maksiat dan dosa besar yang tidak sampai derajat kafir. Dan yang demikian tidak difahami oleh para ulama salaf sebagai takfir. Padahal secara dlahir jelas-jelas lafadlnya takfir, bukan sekedar kalimat bara’ yang tanpa rincian.

Di antaranya sabda beliau:

لاَ تَرْجِعُوا بَعْدِى كُفَّارًا ، يَضْرِبُ بَعْضُكُمْ رِقَابَ بَعْضٍ

Jangan kalian kembali menjadi kafir sepeninggalku nanti, yaitu sebagian kalian membunuh sebagian yang lain“. HR Imam Bukhari dan Imam Muslim.

سِبَابُ الْمُسْلِمِ فُسُوقٌ وَقِتَالُهُ كُفْرٌ

“Memaki-maki seorang muslim itu kefasikan dan membunuhnya adalah kekufuran”. (HR Imam Al Bukhari dan Imam Muslim)

اثْنَتَانِ فِى النَّاسِ هُمَا بِهِمْ كُفْرٌ الطَّعْنُ فِى النَّسَبِ وَالنِّيَاحَةُ عَلَى الْمَيِّتِ

Ada dua hal yang jika keduanya ada pada mereka menyebabkan kekufuran.Yaitu mencela nasab keturunan dan meratapi mayit“. HR Imam Ahmad dan Imam Muslim.

Dan masih banyak hadits lain yang Nabi صلى الله عليه وسلم menyebut tindakan maksiat dan dosa besar yang tidak sampai derajat kafir dengan istilah kufur. Dan tidak didapati seorang ulama salaf yang memahami kalimat semacam itu sebagai takfir. Padahal secara dlahir jelas-jelas lafadlnya takfir, bukan sekedar kalimat bara’ yang tanpa rincian. Juga bara’ Rasul صلى الله عليه وسلم terhadap Ka’ab bin Malik dengan hajr, tidak salam, tidak membalas salamnya, para sahabat diperintah memboikotnya, sampai istrinya disuruh menjauh, itu semua tidak dianggap sebagai takfir. Demikian pula bara’nya para salaf –termasuk Syaikhul Islam Ibnu Taimyah dan Imam Ibnu Abil ‘Izz- terhadap ahli bida’h dengan tidak salam, tidak bicara, tidak bermajelis dengannya, tidak mengambil ilmu darinya, tidak menshalati jenazahnya maupun perlakuan yang lain itu tidak difahami sebagai takfir.

Tapi, kalau menurut kaidahmu yang ngawur dan serampangan itu, kamu fahami berarti Rasul صلى الله عليه وسلم mengkafirkan orang yang melakukan perbuatan-perbuatan tersebut. Dan menurut kaidahmu tindakan bara’ para salaf itu kamu fahami sebagai takfir terhadap ahli bid’ah.

Hati-hati kamu bicara. BAHAYA ITU. Masak hanya bermodal perkataan seseorang yang mengatakan: “ bara’ itu kepada pihak yang mengajarkan bid’ah” lalu kamu secara MEMBABI BUTA menghukumi bahwa ia berfaham khowarij yang sesat dan menyesatkan. Padahal itu bahasa TANFIR atau TAHDZIR yang tidak dianggap takfir sama sekali berdasarkan As Sunnah maupun penjelasan para ulama’.

Begitu mudahnya kaidahmu untuk memvonis seseorang itu berpemahamn bid’ah. Kalau dengan kalimat seseorang yang kamu gagal memahaminya saja kamu gampang memvonis sesat, lalu apa kiranya vonismu terhadap Imam Nawawi atau Imam Ibnu Hajar Asqalany yang kekeliruannya jelas sekali.

Selain itu, kalau kamu mau teliti membaca tulisan saya, akan kamu dapati kalimat yang sangat jelas:

Mungkin ada yang bertanya: “Apakah kesesatan Al Madinah sudah sampai kekafiran? Jawabnya: belum. Tetapi ilmu kalam dan tasawwuf akan berujung ke sana. Maka harus dibasmi sebersih-bersihnya walau hanya masih bibit atau embrio. Jangan sampai terlambat. (lihat hal 8).

Namun mungkin kamu menjadi korban konco-koncomu sesama politikus yang di Jawa yang hanya mengirim postingan kecil tidak lengkap dengan tujuan agar kamu terprovokasi untuk bicara berdasarkan informasi yang sempit? Yakni yang dikirim hanya bagian kalimat yang dikira bisa dijadikan celah untuk mengantam? Sementara kalimat di atas yang sangat jelas keterangannya tidak mereka kirimkan. Maklum, dunia para politikus itu sangat penuh kemungkinan saling mengorbankan sesama teman dan meminjam tangan orang demi meraih kepentingannya.

Wallahu a’lamu bish shawab. Wa laa haula walaa quwwata ilaa billah.

 

I. AFWAN, KAGAK MINAT

Pada penutup tulisannya ia katakan:

Catatan: Jika ada ingin diskusi dengan saya terhadap tulisan ini ataupun tulisan saya yang lainnya, saya siap bertemu tatap muka. Saya tunggu di Daarul Hadits Ma’bar Yaman. … .

Demikian tertulis “Jika ada”. Kalau difahami apa adanya, berarti yang dimaksud adalah umum, yakni siapa saja yang ingin diskusi dengannya. Tetapi bisa jadi yang ia maksud adalah “Jika anda”. Hanya saja kurang huruf ‘N’ ketika mengetik. Jika demikian, yang dimaksud adalah Dwi Supriyanto secara pribadi.

Al hasil saya katakan: “Pangapunten mas! Saya tidak punya kebutuhan untuk berdiskusi dengan anda atau tulisan anda yang lain. Karya para ulama aja terlalu banyak yang saya tidak sempat membacanya, karena keterbatasan kemampuan, waktu dan tenaga. Maklum, ajal semakin dekat, kesehatan sudah menurun dan tambah banyak urusan. Jadi, ya pangapunten mas, saya gak punya kebutuhan untuk diskusi dengan sampeyan”.

Adapun perkataan anda: “Saya tunggu di Daarul Hadits Ma’bar Yaman”, maka saya katakan: “Sekali lagi pangapunten mas, gak ada kebutuhan ke Ma’bar. Kalau saya punya kemampuan dana dan yang lain, tidak saya gunakan untuk ke Ma’bar. Ngapain ke Ma’bar sedangkan Masyayikh kibar masih banyak. Kalau tidak bisa ke masyayikh kibar, ya ke ulama’ yang bersama masyayikh kibar, atau mustafid yang bersama masyayikh kibar, atau ke asatidz yang bersama masyayikh kibar”.

Terus terang saya tidak punya minat kepada orang yang dijarah oleh alim kabir. Apakah yang dikatakan mughofal, atau majhul, apalagi mubtadi’. Saya merasa tidak aman dekat dengan orang-orang yang seperti itu. Apalagi yang menjarah adalah ulama yang mu’tabar jarhnya, dan semakin hari semakin nampak kebenaran jarahnya. Jadi, pangapunten aja ya mas Abu Bakr”.

Saya berangan-angan; duhai sekiranya kamu tidak menyebutkan bahwa kamu seorang thalib Ma’bar, niscaya lebih menutup kalau-kalau ada orang berkomentar: “Kasihan yaa, ternyata thalib Ma’bar kayak gitu ya! Miskiin!”. Maksudnya, orang bisa menilai dirimu sebagai thalib Ma’bar dari ahlaq dan adab yang engkau tampilkan dalam tulisanmu itu. Kalau kami tidak perlu komentar bahwa thalib Ma’bar itu kayak gitu. Tapi orang kan lain-lain.

Juga bisa menutup kalau-kalau ada orang yang mengomentari konco-koncomu yang di situ -yang mendiamkan tulisanmu itu- dengan komentar: “Kambing itu kumpulnya sama kambing, dan bebek kumpulnya sama bebek”.

Maksudnya, orang bisa menilai konco-koncomu thalib yang di situ dari ahlaq dan adab yang engkau tampilkan dalam tulisanmu itu. Adapun kami cukup bisa mengenal mereka dengan hadits {الرَّجُلُ عَلَى دِينِ خَلِيلِهِ} seseorang itu sesuai dengan agama temannya.

Bahkan bisa menutup kalau-kalau ada orang mengomentari gurumu dengan komentar: “Guru kencing berdiri, murid kencing berlari”. Maksudnya, orang bisa menilai gurumu yang di situ dari ahlaq dan adab yang engkau tampilkan dalam tulisanmu itu. Adapun kami, cukup bisa mengenalnya dengan kaidah yang disebutkan Syaikh Shalih Fauzan di dalam muhadhoroh

dengan tema: ما يجب في التعامل مع العلماء   , kata beliau:

القاعدة التربوية المعروفة: أن الطالب سيتأثر بمدرسه دائما وأبدا

“Kaidah pendidikan yang dikenal adalah: Selamanya murid itu akan terpengaruh oleh gurunya”.

Nah, sebenarnya sekiranya kamu tidak menyebutkan bahwa kamu seorang thalib Ma’bar, niscaya lebih menutup komentar-komentar orang tentang dirimu sebagai thalib Ma’bar, konco-koncomu yang di situ -yang mendiamkan tulisanmu itu-, bahkan gurumu. Tapi apa boleh dikata, kamu sudah menyebutkan bahwa kamu salah seorang thalib Ma’bar. Saya tidak tahu apa tujuanmu dengan mengatakan itu dan apa manfaatnya. Yang jelas, cuma ada dua kemungkinan yang dua-duanya pahit. Kalau ucapanmu benar dan jujur, ya pahit kayak gitu komentar orang. Kalau kamu dusta ya pahit juga mestinya.

Maka, di sini ada pelajaran besar dari menjaga lisan. Bahwa keselamatan lisan adalah keselamatan yang sangat besar. Dan ketergelinciran lisan pun merupakan musibah yang sangat besar. Sebagaimana ma’ruf di dalam hadits yang shahih dari Rasulullah صلى الله عليه وسلم.

نسأل الله لنا ولكم السلامة والعافية. ووفقنا الله جميعا لما يحب ويرضاه

 

J. BANTAHAN BUAT RANGGA

Sama seperti Abu Bakr, Rangga pun membela Al Madinah. Dan sebagaimana Abu Bakr, Rangga juga tidak memulai tulisannya dengan basmallah tidak pula shalawat atas Nabi صلى الله عليه وسلم. Sekali lagi, ini bukan wajib, tetapi sekedar mengigatkan kaum muslimin agar menghidupkan sunnah Nabi صلى الله عليه وسلم dan agar mendapatkan taufiq kepada keikhlashan niat dan mutaba’ah kepada sunnah Nabi صلى الله عليه وسلم.

Judul tulisan Rangga panjaaang banget; MELACAK PEMAHAMAN SESAT MUSLIM DWI SUPRIYANTO KARANGANYAR “LOYAL KEPADA PIHAK YANG MENGAJARKAN BID’AH”, meskipun tulisannya cuma pendek.

SAMA SEPERTI Abu Bakr, Rangga وفقه الله ini juga GAGAL FAHAM sangat parah, hanya saja GAGAL FAHAMnya Rangga lebih ngenes. Asalnya ia juga gagal faham seputar masalah bahasa. Tetapi konyolnya dengan bahasa politis ia menjadikan  GAGAL FAHAMnya itu untuk menuduh penyimpangan aqidah pada diri saya.

Kalimat saya yang ia komentari adalah: “Solusinya (dari perselisihan) mudah jika mau; tinggalkan bid’ah dan wala’ kepada pihak yang mengajarkan bid’ah. Cukupkan dengan As Sunnah dan wala’ kepada pihak yang membela As Sunnah dan mengingkari bid’ah“.

Dengan berapi-api ia mengomentari dengan perkataannya: “Muslim Dwi Supriyanto Nggotanon Karanganyar mengajak untuk mencintai orang yang mengajarkan bid’ah!! Pemahaman sesat dan menyesatkan. Anak kemarin sore bicara agama, ini akibatnya”. Juga ia katakan: “Si ‘anak TK no kecil’ Abu Yahya Muslim Dwi Supriyanto mengajarkan paham sesat dan menyesatkan. Mengajak untuk loyal kepada pihak yang mengajarkan bid’ah! Wala’ artinya loyalitas …..”. Maa syaa Allah asepnya ngepul dan keringatnya tuh!!

Komentar kayak gini kalau ketahuan ustadz dari Al Madinah itu atau Abu Bakr pasti akan dikatakan Rangga itu poitikus. Mengapa? Karena ia mencoba mencari celah yang dikira bisa digunakan untuk menghancurkan lawan. Kata us  Jauhari: “ya namanya aja politikus itu pandai memanfaatkan moment. Ya kalau ada celah untuk menghancurkan lawan, na’am, itu akan digunakan semaksimal mungkin. Meskipun ditambahi dengan kedustaan dengan menggunakan kata-kata yang global”. Kasihan Rangga ini.

Atau mungkin Abu Bakr tahu tapi ia tidak mengatakan bahwa Rangga politikus? Yang kedua ini yang nampak. Kayaknya saudara kembar ini.

Ranggaaaa Rangga! Kok bisa kamu seperti itu. Dari namamu saja bisa diketahui bahwa kamu itu orang Indonesia. Tapi, masak kamu bisa gagal paham separah itu dalam memahami kalimat bahasa Indonesia!!

Orang yang paham sedikit saja bahasa Indonesia bisa memahami kalimat saya di atas dengan tanpa kegagalan. Sebab kalimat saya itu akan difahami: “tinggalkan bid’ah dan tinggalkan wala’ kepada pihak yang mengajarkan bid’ah”. Hal seperti ini contohnya dalam bahasa Indonesia sangat banyak.

Sampai-sampai seorang abang becak saja ketika dikatakan kepadanya: “Jika kalian ingin hidup baik, tinggalkan khomer dan berdekatan dengan peminum khomer”, ia bisa memahami dari kalimat ini agar meninggalkan khomer dan meninggalkan berdekatan dengan peminum khomer.

Tidak difahami sama kalimat ini dengan kalimat: “Tinggalkan khomer dan berdekatanLAH dengan peminum khomer”. Jadi, tukang becak Indonesia bisa memahami kalimat seperti di atas dengan baik dan benar. Sehingga ia tidak memahami dari kalimat itu ajakan untuk berdekatan dengan peminum khomer. Ini abang becak lho, yang biasa mangkal di perempatan.

Anak TK pun bisa memahami kalimat semisal ini dengan baik dan benar. Misalnya jika dikatakan kepada mereka: “Anak-anakku, agar kalian tidak sakit, tinggalkan hujan-hujanan dan bermain di tempat becek“. Mereka tidak memahami kalimat ini sebagai perintah untuk bermain di tempat becek. Ini yang anak TK betulan lho, yang umurnya sekitar 5 – 6 tahun, bisa memahami dengan baik dan benar. Tidak seperti tingkat kefahamanmu hai Rangga.

Selain dalam bahasa Indonesia, dalam bahasa Arab pun KADANG demikian (yakni dalam peng-athaf-an). Misalnya firman Allah Ta’aalaa:

وَإِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ ( الاعراف 23)

” … dan jika Engkau tidak mengampuni Kami dan memberi rahmat kepada Kami, pastilah Kami termasuk orang-orang yang merugi”. QS Al A’raf 23).

Menurut pemahaman Rangga berarti ayat ini difahami bahwa jika Allah memberi rahmat kepada hambaNya berarti itu menjadikan hamba rugi. Bahaya sekali pemahaman Rangga jika seperti itu.

Contoh lain; perkataan Imam Ibnu Qudamah dalam Lum’atul I’tiqad:

ومن السنة : هجران أهل البدع ومباينتهم ، وترك الجدال والخصومات في الدين

وترك النظر في كتب المبتدعة والإصغاء إلى كلامهم

“Termasuk tuntunan AsSunnah ialah menghajr ahli bid’ah dan menjauhinya, tidak berdebat dan berbantahan dengan mereka dalam perkara agama, tidak melihat kitab-kitab ahli bid’ah dan mendengarkan perkataan mereka“.

Menurut pemahaman Rangga berarti Imam Ibnu Qudamah Al Maqdisy ini sesat dan mengajak kepada kesesatan, karena mengajak untuk mendengar perkataan ahli bid’ah. Parah sekali pemahaman Rangga ini.

Jika Rangga tidak bisa memahami hal seperti ini, maka ini musibah. Adapun jika sebenarnya ia memahami, tetapi secara politis ia maknakan yang lain, maka musibahnya lebih besar. Tepat sekali ucapan ustadz Al Madinah dikenakan untuknya: “ya namanya aja politikus itu pandai memanfaatkan moment. Ya kalau ada celah untuk menghancurkan lawan, na’am, itu akan digunakan semaksimal mungkin. Meskipun ditambahi dengan kedustaan dengan menggunakan kata-kata yang global”.

Bagaimana tidak, sedangkan kalimat saya dalam satu alenia saja jelas saling menjelaskan. Perhatikan kalimat saya ini:

Solusinya (dari perselisihan) mudah jika mau; tinggalkan bid’ah dan wala’ kepada pihak yang mengajarkan bid’ah. Cukupkan dengan As Sunnah dan wala’ kepada pihak yang membela As Sunnah dan mengingkari bid’ah.

Yakni; kalimat saya yang kedua “Cukupkan dengan As Sunnah dan wala’ kepada pihak membela As Sunnah… “, ini menjelaskan agar tidak wala’ kepada pihak yang mengajarkan bid’ah.

Memang, seandainya kalimat saya ditambahi dengan kata “tinggalkan” sebelum kalimat “wala’ kepada pihak yang mengajarkan bid’ah “, tentunya lebih sempurna. Sehingga menjadi: “tinggalkan bid’ah dan tinggalkan wala’ kepada pihak yang mengajarkan bid’ah”. Tetapi meskipun tidak ada kata “tinggalkan” yang kedua, tidak bisa difahami seperti pemahaman Rangga. Karena kaidah penggabungan dua kalimat dalam bahasa Indonesia itu dengan cara membuang salah satu dari kata-kata yang sama. Contohnya;

Ali makan roti. Ali makan pisang.

Jika digabung menjadi: Ali makan roti dan pisang

 

Jadi, meskipun tidak ada kata “tinggalkan” sebelum kalimat “wala’ kepada pihak yang mengajarkan bid’ah” itu tetap difahami agar kaum muslimin meninggalkan bid’ah dan meninggalkan sikap wala’ kepada pihak yang mengajarkan bid’ah. Hal ini berdasarkan beberapa alasan. Di antaranya:

  1. Konteks tulisan saya, yakni mengingkari sikap pembelaan terhadap Al Madinah yang secara politis Rangga membawa keluar dari konteks ini.
  2. Kalimat saya yang kedua dalam alenia yang sama: Cukupkan dengan As Sunnah dan wala’ kepada pihak membela As Sunnah…“.
  3. Kaidah bahasa Indonesia dalam penggabungan dua kalimat.
  4. Kalimat saya dalam tulisan itu pada bagian akhir: ” … meluruskan manhaj wala’ wal bara’, sehingga wala’ kepada pihak yang membela As Sunnah dan bara’ kepada yang mengajarkan bid`ah”. (lihat hal 11).

Ranggaaa, Rangaa! Begitu mudahnya kaidahmu memfonis seseorang itu berpemahaman sesat. Coba sedikit hati-hati kamu!! Jangan ceroboh! Kalau dengan kalimat seseorang yang kamu gagal memahaminya saja kamu gampang memvonis sesat, lalu apa kiranya vonismu terhadap Imam Nawawi atau Imam Ibnu Hajar Asqalany yang kekeliruannya jelas sekali.

Sebenarnya ini masalah bahasa yang sederhana dan mudah difahami dengan baik dan benar oleh orang Indonesia. Bahkan setingkat abang becak atau anak TK (yakni anak TK beneran yang umurnya sekitar 5 atau 6 tahun lho) itu pun bisa memahami dengan baik dan benar.

Maka, sebenarnya saya malu terlalu panjang lebar menjelaskan masalah ini. Dan terus terang saya khawatir kalau ada yang komentar: “Musliiim Muslim, menjelaskan perkara yang jelas dan mudah difahami saja kok panjang lebar kayak gitu”. Namun, dalam rangka mengantisipasi kalau-kalau ada orang lain yang tingkat kefahamannya seperti Rangga, maka saya memandang perlu untuk menjelaskannya agar tidak terjatuh dalam kesalahan yang sangat fatal seperti Rangga, yang didiamkan oleh Abu Bakr ini. Entah diamnya karena setingkat dengan pemahaman Rangga, atau sebenarnya ia tahu tapi diam. Namanya sesama politikus. Wallahu a’lam.

 

K. SIFAT PEMBELA AL MADINAH BERTAMBAH

Setelah membaca beberapa komentar Abu Bakr dan Rangga terhadap tulisan saya tersebut, maka kita semakin tahu keadaan para pembela Al Madinah. Ternyata keadaan mereka tidak sebatas yang saya sebutkan dalam tulisan Penjelasan Hakekat Perselisihan di Ar Rodhiyah. Bahkan semakin nampak banyak sifat lain yang tercela yang mengharuskan kita mewaspadai diri kita jangan sampai tertular sifat seperti itu, dan kita harus waspada terhadap orang yang memiliki sifat seperti itu.

Semoga Allah selamatkan kita semua dari sifat-sifat tercela tersebut.

Kalau sebelumnya saya hanya menyebutkan 5 sifat, yaitu; Ta’ashub, penyimpangan dalam manhaj Al Wala’ Wal bara’, mengedepankan hawa nafsu, jahil akan hakekat permasalahan, Tertipu oleh syubhat.

Nah, sekarang pengetahuan kita tentang sifat mereka bertambah; yakni  ada yang ngawur, serampangan, kasar, membabi buta, politikus, mudah memvonis seseorang berpaham sesat atau bid’ah dan merendahkan orang lain serta menganggap orang lain tidak mampu menjawab argumennya. Bahkan ada yang siap membawa urusan kayak gini ke meja hijau, tidak peduli walaupun itu termasuk berhukum kepada selain yang Allah turunkan. Dan itu semua merupakan sifat ahlul batil dan pembela kebatilan. Laa haula walaa quwwaata illa billah. Wallahu a’lamu bish shawab.

Semoga Allah selamatkan diri kita dan mereka semua dari sifat-sifat tercela semacam ini. Sesungguhnya Dia Maha Pemurah.


 ****

 

PENUTUP

Sebagai penutup dari tulisan saya ini, saya nasehatkan buat diri saya sendiri dan buat saudara-saudara saya kaum muslimin untuk:

  1. Bertaqwa kepada Allah sebatas kemampuan.
  2. Mengikhlashkan semua perkataan maupun perbuatan dalam rangka untuk mendapatkan wajah Allah تعالى.
  3. Iitiba’ sunnah Rasul صلى الله عليه وسلم dalam mengamalkan agama ini, baik dalam masalah aqidah, ibadah, mu’amalah dakwah maupun yang lain.
  4. Menetapi manhaj salaf dalam memahami dan mengamalkan Al Qur’an maupun As Sunnah, dan tidak mengambil manhaj yang lain.
  5. Menetapi para ulama’ ahlus sunnah zaman ini terutama yang dikenal teguh dalam membela sunnah dan memerangi bid’ah, penyimpangan dan hizbiyyah. Baik ulama’ yang sudah meninggal seperti Syaikh Albany, Syaikh Utsaimin, Syaikh Bin Baz, Syaikh Yahya An Njmy, Syaikh Muqbil رحمهم الله, maupun yang masih hidup semisal Syaikh Roby’, Syaikh Ubaid, Syaikh Fauzan, Syaikh Al Bukhory, Syaikh Muhammad bin Hady maupun ulama’ lain yang bersama mereka حفظهم الله.
  6. Semangat untuk menimba ilmu dari majelis para ulama itu maupun asatidz yang bersama mereka.
  7. Semangat untuk membela Sunnah dan ahlinya serta memerangi bid’ah maupun ahlinya dan pembela-pembelanya.
  8. Senantiasa jujur, sabar dan teliti dalam menyikapi berbagai persoalan dan terus memohon pertolongan kepada Allah تعالى.
  9. Berhati-hati dalam membicarakan kekurangan seorang muslim. Jangan sampai kita menjatuhkan kehormatannya tanpa alasan yang haq. Baik dalam membantahnya atau menjarhnya atau mentahdzir umat darinya. Jangan sampai kita terjatuh ke dalam ghibah yang dilarang, atau buhtan atau penghinaan dan perendahan seorang muslim tanpa alasan haq.
  10. Mengenali kadar dirinya dan memposisikan diri kita pada tempatnya. Karena Allah merahmati hamba yang mengenali kadar dirinya.
  11. Tidak masuk ke dalam urusan yang jauh lebih besar dari pada diri kita. Agar kita tidak termasuk dalam celaan dengan istilah Ruwaibidhoh

Sekali lagi, nasehat ini yang pertama saya tujukan buat saya sendiri, buat saudara-saudara saya ahlus sunnah pada khususnya dan kaum muslimin pada umumnya. Semoga dengan nasehat dan penjelasan ini Allah memberi manfaat bagi penulisnya yang banyak kekurangan, para pembacanya yang dengan murah hati suka meluruskan saudaranya dan semua kaum muslimin.

Jika ada benarnya, maka itu datang dari Allah Ta’aala semata. Adapun kesalahannya yang pasti ada adalah dari keterbatasa saya. Semoga Allah mengampuni saya dan kita semua dan meluruskan apa yang kita keliru padanya. Sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

وصلى الله وسلم على نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين

Pustaka

  1. Lum’atul I’tiqad – Imam Ibnu Qudamah Al Maqdisy
  2. Kitabut Tauhid – Imam Muhammad bin Abdil Wahhab
  3. Al Qawa’id Al Fiqhiyyah – Imam AbdurRahman bin Nashir As Sa’dy
  4. Syarah Lum’atul I’tiqad – Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin
  5. I’aanatul Mustafid Bi Syarhi Kitabit Tauhid – Syaikh Shalih bin Fauzan
  6. Al Ajwibah Al Mufidah – Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan.
  7. Maa Yajibu Fit Ta’aamuli Ma’al “ulama’ – Syaikh Shalih bin Fauzan.
  8. Minhaju Ahlis Sunnati Wal Jama’ati Fii Naqdir Rijal Wal Kutubi Wath Thawa’if – Syaikh Roby bin Hady Al Madkholy
  9. Maktabah Asy Syamilah
  10. Rekaman suara Al Ustadz Al Fadhil Abu Nashim Mukhtar
  11. Transkrip Rekaman us Jauhary
  12. Rekaman suara Orang Fiyus dan Orang Ma’bar.
  13. Kamus Besar Bahasa Indonesia.

وصلى الله وسلم على نبينا محمد وعلى آله أجمعين

اللهم اجعلني من عبادك الصالحين

والحمد لله رب العالمين 

.

3 thoughts on “Menyimak NASEHAT, Menyumbat SYUBUHAT

  1. Bismillah;
    RALAT BAGI TULISAN DG JUDUL;
    MENYIMAK NASEHAT MENYUMBAT SYUBUHAT

    RALAT;
    SETIAP KALIMAT YANG MENYEBUTKAN BAHWA AL MADINAH MENERBITKAN BUKU AJAR ILMU KALAM ADALAH KESALAHAN DARI KAMI.

    YANG BENAR
    BUKU AJAR ILMU KALAM BUKAN TERBITAN AL MADINAH

    DEMIKIAN RALAT ATAS KESALAHAN TERSEBUT PADA HARI RABU 8 APRIL 2015.

    WAASTAGFIRULLOHA WA ATUUBU ILAIH

    AL FAQIR ILAA ‘AFWI RABBIH
    ABU YAHYA MUSLIM

  2. Allohu Akbar..! Allohu Akbar..! Alohu Akbar..!
    Semoga Alloh mencatat sebagai amal sholeh atas apa2 yg telah antum paparkan wahai akhi muslim abu yahya kpd para pencari dan pecinta AL-HAQ ttg “selubung gelap” yg menaungi almadinah tsb.. yg mrk para “mumayyiun” berbaris rapat menghadang dan melawan siapa saja dari kalangan yg mrk anggap sbg penghalang hawa nafsu mrk dlm rangka terus menerus mengusung kefanatikan kpd pembesar mrk yg mengaku sdh bertaubat…

    Wal ‘iyaadzubillaah

  3. Masya Allah, terlihat jelas hawa nafsu telah menguasai pembela2 Al Madinah dan diperparah lagi mereka pembela Al Imam. Kaum muslimin yg bisa menggunakan akal dan pikiran nya dengan bersih & ikhlas bisa melihat jelas sekarang dimana Al Haq dan mana bathil layaknya melihat putih dan hitam.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *