Kisah Ash-habul Manhaj: Tuduhan Sepihak Terhadap Orang-Orang yang Memiliki Perhatian Serius terhadap Pembahasan Manhajiyyah

Bismillahirrohmanirrohim. o

Kisah Ash-habul Manhaj

Tuduhan Sepihak Terhadap Orang-Orang yang Memiliki Perhatian Serius terhadap Pembahasan Manhajiyyah

الحمد لله رب العالمين
وصلی الله علی نبينا محمد وعلی آله وصحبه أجمعين.
وبعد:

Aku tidak tahu apa yang menjadi sebab sikap tidak adil terhadap orang-orang yang memiliki perhatian serius terhadap pembahasan-pembahasan Manhaj Salafy.

a. Muhammad al-Imam dalam kitabnya “al-Ibanah” mengatakan:
“Dan tatkala suatu waktu asy-Syaikh Muqbil pergi untuk berdakwah, dalam waktu lebih dari sebulan. Kemudian beliau pulang, ternyata beliau mendapati sebagian thullab telah mengambil sebuah thariqah dan mereka menamakan diri mereka sebagai “ash-habul manhaj”. Maka beliau segera memadamkan fitnah ini setelah beberapa urusan. Di antaranya dengan menasehati mereka, bersikap lembut kepada mereka, dan berusaha merangkul mereka. Lalu kebanyakan mereka meninggalkan kelompok ash-habul manhaj dan mereka ruju’ kepada kebenaran, walhamdulillah.” 1

b. ‘Abdul ‘Aziz al-Bura’i mengatakan:
“Sesungguhnya banyak pemuda yang menekuni sejumlah kitab; seperti kitab-kitab asy-Syaikh Rabi’ yang berisi tentang kritik terhadap beberapa kelompok yang menyimpang, kitab “ath-Thariq ilal Jama’atil Umm”, kitab “Waqafaat”, dan lainnya, yang mereka menamakan dengan “Kitab-Kitab Manhaj”; Sesungguhnya mereka menekuni kitab-kitab tersebut, dengan tidak butuh lagi terhadap banyak ilmu, tindakan ini teranggap sesuatu yang membahayakan dakwah dan membelok dari jalannya yang benar” 2

c. Di sela-sela kunjunganku ke Indonesia, sebagian ikhwah menyodorkan kepadaku rekaman Utsman as-Salimy yang direkam di tengah-tengah kunjungannya ke Indonesia. Di dalam rekaman itu, dia menyebutkan tentang orang yang dinamakan dengan “Ash-habul Manhaj”, dan sungguh aku sangat terheran terhadap apa yang dia sebutkan. Asy-Syaikh Utsman as-Salimy mengatakan dalam “Jalsah di Bandara Jakarta, rekaman kedua”:
“Aku ingat, dulu ketika asy-Syaikh Muqbil rahimahullah masih hidup dan ketika itu para pemuda mengambil beberapa kitab-kitab kecil dari kitab-kitabnya Syaikh Rabi’, kitab-kitabnya Syaikh Muqbil, kitabnya Fulan, sekumpulan kitab, dan diletakkan di rak khusus, sambil mengatakan: “inilah manhaj kami”, dan dia menulis dalam selembar kertas “Inilah Manhaj Kami” di bawah kumpulan kitab-kitab ini, 10 atau 20 kitab yang membicarakan tentang hizbiyyiin. Dan ketika itu asy-Syaikh Muqbil sedang bepergian. Aku katakan kepada mereka: “Janganlah kalian mempelajari bab manhaj ini hingga asy-Syaikh Muqbil datang dan meminta izin kepada beliau”. Aku dulu bertindak sebagai pengganti Syaikh Muqbil dalam pelajarannya. Maka ketika beliau telah datang dari bepergian, aku katakan kepada beliau: “Ya Syaikh, saat ini telah datang kelompok ini dan menyia-nyiakan manhaj ini”. Dan ketika beliau telah melihat kelompok itu….. dan merobek kertas ini, lalu beliau mengatakan: “Manhaj kita adalah al-Quran dan Sunnah”. Kemudian beliau berbicara di atas kursi dan mengatakan: “Manhaj kami adalah al-Bukhary dan Muslim, dan al-Quran dan Sunnah adalah manhaj kami, bukan yang ada dalam kitab-kitab kecil itu, dan kita katakan: mereka telah menyelisihi manhaj. Siapa yang mengatakan ini? “. Semoga Allah merahmati beliau. Dulu beliau memerangi pemikiran ini karena di dalamnya terdapat pembatasan untuk kebaikan dan agama. Dan siapa yang tidak mentahdzir Bani Fulan, ya sudah…, dia bukan sunny dan dia tidak tahu manhaj!? Ini adalah serangan syaithan, Wallaahi. Syaithon menyerang pemikiran-pemikiran ini dan membatasi manhaj dalam perkara (kitab-kitab kecil) ini saja.  Manhaj kita adalah al-Quran dan Sunnah berdasarkan pemahaman salaful ummah”.

Aku (Ali Hudzaifi) katakan:
Informasi-informasi ini TIDAK BENAR. Ada beberapa orang yang mereka menamakan saudara-saudara mereka dengan penamaan tersebut, adalah semata-mata karena mereka memiliki perhatian terhadap kitab-kitab rudud (bantahan). Hingga sekarang, aku tidaklah melihat satu orang pun yang mementingkan perkara-perkara manhajiyyah kecuali dia kini menjadi seorang mustafid di salah satu cabang keilmuan minimalnya, kecuali beberapa gelintir orang saja. Maka tidak bisa dikatakan bahwa perhatian terhadap permasalahan-permasalahan manhajiyyah telah menyibukkan mereka dari ilmu atau membuat mereka tidak butuh terhadap ilmu. Bahkan justru kita melihat bahwa mereka adalah di antara ikhwah yang paling rajin belajar, walillaahil hamd. Dan tidak mungkin ucapannya dalam perkara-perkara manhajiyyah dibawa ke sesuatu yang lain. Dan sungguh kita melihat di markiz-markiz kita orang yang menyibukkan dirinya dengan syi’ir, nahwu, tajwid atau selainnya disertai dengan kelalaiannya terhadap perkara-perkara yang lebih penting dari pelajaran tersebut, seperti: tauhid, aqidah, atau selainnya. Maka apakah kita sudah cukup dengan pelajaran nahwu dan tajwid? Aku telah memperingatkan Abdul Aziz al-Bura’i terhadap ucapan Muhammad al-Imam setelah keluarnya kitab “al-Ibanah”, dan bahwasanya ucapan tersebut tidak benar, agar al-Bura’i mau meluruskan Muhammad al-Imam. Namun ternyata aku tidak mendapatkan adanya tindak lanjut yang memuaskan. Padahal pada waktu itu al-Bura’i dan al-Imam belum ada (di Dammaj). Ada yang mengatakan kepadaku: “Sesungguhnya ucapan Muhammad al-Imam dalam kitab “al-Ibanah” tentang “ash-habul manhaj” itu tiada lain dia dapatkan dari Muhammad bin Qa-id”. Akan datang penjelasan keadaan orang ini, in sya Allah Ta’ala.

Permasalahan manhajiyah ini bermula di Dammaj pada tahun 1415 H, lebih dari 20 tahun yang lalu. Awalnya ketika muncul beberapa thullab pada saat itu, yang berusaha mencari informasi tentang bantahan para ulama terhadap yayasan-yayasan hizby dan kelompok-kelompok menyimpang. 3 Berikut ini beberapa peristiwanya :

a. Aku pernah duduk bersama Muhammad bin Qaid ash-Shaghir, pengarang kitab “al-Hulal adz-Dzahabiyyah ‘ala Syarhil Aajurruumiyyah”, di kamar al Akh ‘Abdul Wahhab asy-Syamiiry. Lalu dia berkata: “Kenapa kalian selalu membicarakan Ikhwanul Muslimin? Apakah kalian tidak bersikap lembut kepada mereka?”. Maka aku jawab: “Katakanlah pada mereka: Merekalah yang seharusnya bersikap lembut kepada kita.”

b. Berkata juga Muhammad bin Qaid ash-Shaghiir: “Abdul Majid az-Zindani lebih baik dari para thullab itu seluruhnya”, yakni thullab asy-Syaikh Muqbil rahimahullah Ta’ala. Ini adalah pernyataan terkenal (dari dia), yang asy-Syaikh Muqbil telah menuntutnya untuk bertaubat dari pernyataan itu di hadapan para pelajar/murid. 4

c. Dulu asy-Syaikh Muqbil rahimahullah pernah mengatakan kepadanya di depan para thullab: “Aku khawatir sifat hizbiyyah menimpamu, wahai Muhammad bin Qaid”.

d. Dulu Abdullah al-Marfady 5 membela Salman al-‘Audah, Safar al-Hawaly, dll, dan menikam siapa saja yang membicarakan kejelekan kedua orang itu. Dia dulu memperingatkan para thullab berasal dari Aden (di dalam kamar para thullab ‘Aden tersebut) dari fitnah “ash-habul Madinah” (orang-orang Madinah), yaitu: kesalafiyahan para masyayikh Madinah yang memiliki keutamaan yang ada pada waktu itu, Syaikh Rabi’, Syaikh Ubaid, Syaikh Muhammad bin Hadiy, dan selain mereka bertiga yang termasuk diantara orang yang mengambil sikap tegas terhadap para Quthbiyyin yang ada pada waktu itu. Akhunaa Hany bin Braik sebagai saksi bahwa ‘Abdullah al-Marfady pernah bersama dengan para thullab dari Aden (di kamar anak-anak Aden tersebut), dia mengambil kitab “Haqiqatush Shufiyyah” karya Muhammad bin Rabi’ al-Madkhaly dan mengangkatnya seraya berkata: “Fitnah akan datang dari arah mereka ini”, dan dia mengisyaratkan kepada para masyayikh Madinah, yaitu asy-Syaikh Rabi’ dan yang bersama beliau. Bahkan dulu ‘Abdullah al-Marfady berprasangka baik kepada Hasan al-Banna dan memberikan udzur untuknya. Lalu aku telah berdiskusi dengannya setelah pelajaran fiqh “ad-Durrary al-Madhiyyah”, lalu aku berikan padanya sebuah kaset rekaman asy-Syaikh al-Albany agar dia mengoreksi kembali sikapnya terhadap Hasan al-Banna.

e. Dia juga pernah berkata: “Perkara pemilu adalah perkara ijtihadiyah, dimana orang yang berbeda pendapat dalam masalah tersebut tidak perlu diingkari”. Maka akupun berdiskusi dengannya bersama sejumlah ikhwah terkait dengan apa yang ia katakan itu. Dia pun marah kepada kami dan tetap fanatik buta (ta’asshub). Beberapa hari sesudahnya, asy-Syaikh Muqbil ditanya: “Apa pendapat anda terhadap orang yang mengucapkan: Pemilu adalah perkara ijtihadiyah?”, maka beliau menjawab: “Ini adalah orang yang MUGHAFFAL. Sungguh aku telah mengajari orang-orang tua di desa Dammaj tentang kerusakan-kerusakan Pemilu.”, atau dengan ungkapan yang semisal dengan ini.

Paradigma ini muncul dari Ikhwah dan banyak orang terpengaruh dengan mereka, terlebih lagi mereka dulu adalah orang-orang yang terkenal dan dekat dengan asy-Syaikh Muqbil, sedangkan kami bukanlah orang yang terkenal dan sangat sedikit jumlahnya. Sementara di tengah-tengah para pemuda (yang disebut sebagai “al-Manhajiyyun”) itu ada orang yang baru-baru saja menuntut ilmu dan tidak tahu bagaimana menghadapi orang-orang yang semisal mereka ini yang menekan para pemuda itu.
Pada hari-hari itu terjadilah problem. Al-Marfady mengumpulkan para ikhwah untuk menjatuhkan kami. Ini peristiwa yang sudah banyak diketahui. Lalu Abdul Aziz al-Bura’i mengirimi aku sebuah surat lisan (tidak tertulis) melalui salah seorang ikhwah, menanyakan tentang apa yang terjadi di sana. Kemudian aku menjawabnya dengan sebuah surat yang panjang dan tertulis. Sebagian ikhwah thullabul ilmi lebih memilih diam, karena mereka memandang hal itu menyia-nyiakan waktu. Adapun aku terpaksa membuka majelis pekanan sekedar 30 menit per pekan setelah pelajaran “Shahihul Bukhari”, ba’da ‘Ashr pada hari Jum’at. Ketika itu yang aku sampaikan berisi tentang nasehat dan penerangan seputar perpecahan ummat dan penjelasan siapakah itu al-Firqah an-Najiyah, bahwasanya bantahan terhadap orang-orang yang menyelisihi termasuk sunnah para salaf. Demikian pula berisi tentang tahdzir terhadap pemikiran takfiriy, dan perhatian yang sangat besar terhadap ilmu syar’i. Aku sebutkan pula di dalamnya bahwa para ulama al-Jarh wa at-Ta’dil tidaklah diterima penilaian mereka terhadap pribadi-pribadi tertentu kecuali karena kekokohan dan kepemimpinan mereka dalam ilmu. Juga aku sebutkan perkara-perkara yang lain. Dan mulailah mereka bereaksi dungu mereka terhadap majelis (yang aku adakan) tersebut.

Pada suatu hari, dalam salah satu majelis, aku memperingatkan ikhwah dari tindakan memvonis kafir pemerintah secara mutlak sebagaimana yang dilakukan oleh para takfiriyyun. Aku sebutkan Abdul Majid ar-Raimy sebagai model/contoh para takfiriyyun, karena dia telah mengkafirkan pemerintah dalam sebuah khutbah Jum’at, dalam sebuah kaset rekaman, dan dia berdalil dengan ayat:

و من لم يحكم بما أنزل الله ….

Artinya : “Barangsiapa yang tidak berhukum dengan hukum yang Allah turunkan, maka mereka adalah orang-orang KAFIR.”

Tiba-tiba salah seorang berdiri, di depan para ikhwah semuanya, mengingkari ucapanku tentang Abdul Majid ar-Raimiy dan menuntutku untuk menunjukkan bukti atas ucapanku itu. Padahal dia sendiri mendengar asy-Syaikh Muqbil sering berbicara tentang kejelekan Abdul Majid ar-Raimiy. Namun akan hilang keherananmu apabila kamu tahu bahwa ternyata orang yang mendebat kami adalah orang yang sering singgah di sisi Abdul Majid ar-Raimiy di Shan’a. 6

Kemudian pada majelis Jum’at yang kedua, aku datangkan padanya suara rekaman Abdul Majid ar-Raimiy (yang sedang menyampaikan khutbah Jum’at), lalu aku perdengarkan pada majelis seluruhnya, maka mereka pun puas (rela) dengan ucapanku. Salah seorang ikhwah mengumpulkan kitab-kitab yang berkaitan dengan dakwah dan bantahan terhadap kelompok-kelompok (menyimpang), lalu menyendirikannya di suatu rak khusus di perpustakaan dan menulis di atasnya: “كتب المنهج” (Kitab-kitab tentang manhaj), dia tidaklah menulis “هذا منهجنا” (Inilah Manhaj kamu) seperti yang dikatakan oleh asy-Syaikh Utsman. Antara kedua ungkapan ini SANGAT BERBEDA dengan perbedaan yang besar, yang mengandung konsekuensi hukum yang berbeda pula. Inilah yang membuat Asy-Syaikh Muqbil marah. Ungkapan yang pertama (كتب المنهج), bermakna pengkhususan kitab-kitab yang berkaitan dengan pembahasan manhaj ini pada suatu tempat khusus. Ini TIDAK MENGAPA, sebagaimana ada “kitab-kitab tafsir”, “kitab-kitab fiqh”, “kitab-kitab hadits”, dan lain-lain. Sedangkan pada ungkapan yang kedua, maknanya adalah pembatasan, dan ini tidak terjadi sama sekali, dan ini adalah murni waham (salah ingat) dari asy-Syaikh Utsman as-Salimy, dan ikwah semuanya sebagai saksi akan hal ini, dan aku termasuk dari mereka. Lafazh manhaj itu sendiri sudah dikenal dalam kitab-kitab aqidah dan dakwah, bahkan dalam fiqh Islam. Ada kitab “Minhajut Thalibiin” karya an-Nawawy, dan diringkas oleh Zakariya al-Anshary dengan “Manhajuth Thullaab”, dan seterusnya. Aku telah membuka beberapa majelis ketika asy-Syaikh masih ada. Beliau sering melewati kami di suatu lembah dalam keadaan berjumlah banyak, dan beliau tidak mengingkarinya.

Ketika beliau (asy-Syaikh Muqbil) pergi untuk berdakwah, beliau safar selama sebulan lebih. Datanglah akhuna ‘Utsman as-Salimiy menghadiri pelajaran dia berkeliling di sekitarnya, dan dia pun berdiri di dekatku, sedangkan kami semua duduk. Dia mendengarkan sebagian pelajaran, kemudian pergi dari kami. Kemudian di Dars ‘Amm (pelajaran umum), dia (‘Utsman as-Salimi) memerintahkan untuk menghentikan pelajaran, padahal pelajaran ini sudah dimulai sejak sebelum Syaikhuna Muqbil rahimahullah Ta’ala safar (dari Markiz, dan beliau tidak mengingkari, pen). 7

Inilah kejadian yang disaksikan oleh Robb-ku Subhanahu wa Ta’ala, kemudian para ikhwah yang memiliki keutamaan,  yaitu akhuna Sholaah Kentusy dan yang selainnya yang dulu termasuk orang-orang yang berjalan bersamaku. Ketika asy-Syaikh Muqbil telah kembali (dari safarnya) dan duduk sehari atau dua hari, kami semua merasa bahwa beliau marah sekali. Lalu akupun merasa berita-berita yang sampai kepada beliau adalah salah. Maka aku keluar dari Dammaj beberapa hari setelah kedatangan beliau. Maka aku putuskan untuk tinggal di Baihan. Dua hari setelah kepergianku, beliau (asy-Syaikh Muqbil) menanyakan tentangku di depan para thullab dalam keadaan marah, namun mereka mengatakan kepada beliau: “Sesungguhnya al-Akh Ali sedang safar”. Para ikhwah mengatakan: “Jika seandainya engkau ada, maka beliau pasti mengusirmu, alhamdulillaah engkau sudah keluar sebelum itu”. Aku telah tahu berita apa yang sampai kepada asy-Syaikh Muqbil, dan aku pun bersabar (atas hal tersebut) selama bertahun-tahun lamanya.

Hingga asy-Syaikh Muqbil datang ke Baihan kurang lebih setelah 3 tahun, dan ketika itu aku juga ada di Baihan. Tatkala aku melihat beliau dan memeluk beliau, aku tidak kuasa menahan diriku, maka tumpahlah air mataku. Tatkala asy-Syaikh Muqbil sudah melihat kondisi Markiz Baihan dan sebagian thullab-nya, dan melihat kebaikan padanya disertai dengan minimnya fasilitas dan jauhnya tempat, maka berubahlah gambaran yang ada pada beliau. Beliau telah mendengar dari sebagian orang kabilah Balharits pujian yang baik, dan mereka telah mengunjungi beliau sebelum itu dan menawarkan kepada beliau undangan untuk hadir di Baihan.
Tatkala asy-Syaikh Muqbil duduk untuk istirahat ba’da Zhuhur, aku duduk berdua dengan beliau. Lalu aku pun menyampaikan kepada beliau sebuah pesan berbentuk pertanyaan. Kemudian aku pun bertanya kepada beliau tentang beberapa masalah musthalah dan sebagiannya adalah pertanyaan-pertanyaan yang cukup rumit, yang membuat asy-Syaikh sangat terkagum dengannya.

Tersampaikanlah kepada asy-Syaikh sebuah pesan, yang terkandung di dalamnya “Bahwasanya apa yang tampak di depan Anda sekarang ini adalah orang-orang yang perhatian terhadap ilmu syar’i dan bersemangat untuk meraihnya, tidak seperti apa yang telah mereka gambarkan kepada Anda.”

Dalam muhadharah antara Maghrib dan Isya’, asy-Syaikh Muqbil pun menyebut-nyebutku, memujiku dan menasehatkan para ikhwah untuk mengambil faidah dari pelajaran-pelajaranku. Bahkan dalam jalsah khusus, beliau mengatakan kepadaku: “Perlukah aku menulis sebuah tazkiyah/rekomendasi untuk mendukung maktabah/perpustakaan kalian?” Maka aku jawab: “Terserah Anda, wahai Syaikh”. Lalu beliau menulisnya.

Allah memberi kemudahan kepadaku untuk mengunjungi beliau di Dammaj berkali-kali. Dalam kesempatan itu, aku sampaikan kepada beliau beberapa pertanyaan. Semoga Allah merahmati beliau, mengampuni dosanya, dan mengangkat derajatnya ke jajaran orang-orang yang mendapat petunjuk.

—————————————————————————————————————————————–
1 [Lihat al-lbanah, hal 170.  Berita ini TIDAK BENAR, sebagaimana yang akan datang penjelasannya, in sya Allah. Ada yang mengatakan  bahwa kabar ini didapatkan oleh Muhammad al-Imam dari Muhammad bin Qa-id as-Shaghir, penulis buku :”al-Hulal adz-Dzahabiyyah, ala Syarhil Aajurumiyyah”, wallaahu a’lam.]

2 [Qarra’ al-Asinnah, hal 141. Subhanallaah, Padahal asy-Syaikh Muqbil menasehatkan untuk membaca kitab-kitab asy-Syaikh Rabi’ dan mengambil faidah dari kitab-kitab tersebut. Demikian pula asy-Syaikh al-Fauzan mengataan wajib untuk menyebarkan kaset-kaset Syaikh Rabi’ dan pelajaran-pelajaran beliau, dan mengambil manfaat dari kaset/pelajaran tersebut. Asy-Syaikh Muhammad as-Subayyil ketika ditanya tentang orang yang melarang (mendengar) kaset-kaset asy-Syaikh Muhammad Aman al-Jamiy dan kaset-kaset asy-Syaikh Rabi’ bin Hadiy al-Madkhaliy maka beliau ber-isti’adzah kepada Allah dari keadaannya itu. Silakan melihat kitab “Majmu’ Kutub wa Rasail wa Fatawa asy-Syaikh Rabi’ bin Hady”, juz 11, hal 1-12.]

3 [Menurut yang tampak bagiku, bahwa ini adalah upaya menyulut api terhadap Markiz Dammaj oleh orang-orang yang berpihak kepada Jum’iyyat. Sungguh kami melihat di antara thullab asy-Syaikh Muqbil ada yang terus berhubungan dengan Jum’iyyah dan singgah bersama mereka di Shan’a. Dan sebagian golongan ini telah diusir pada masa asy-Syaikh Muqbil dan sebagian yang lain diusir pada masa al-Hajury. Ditambah lagi, adanya golongan yang lain yang datang ke Dammaj, yaitu orang-orang telah terdidik dengan iklim pendidikan/lingkungan ikhwaniyyah.]

4 [Mereka mengatakan bahwa dia sudah bertaubat dari pernyataan tersebut. Namun bukanlah topik pembicaraan kita dia bertaubat atau tidak. Yang aku maksudkan adalah agar pembaca tahu siapakah mereka yang mendebat kami pada hari-hari tersebut. Dia sendiri pernah menggandeng tanganku menuju perpustakaan asy-Syaikh Muqbil untuk menunjukkan kepadaku ucapan Abu Ishaq al-Huwainy al-Qasiy yang merendahkan hak (kedudukan) Syaikhuna Muqbil rahimahullah Ta’ala di awal jilid ketiga dari kitab “Ghautsul Makdud”, dan dia menjelaskan bahwa Abu Ishaq al-Huwainy mengucapkan ucapan yang paling kasar kepada Syaikh Muqbil. Muhammad bin Qaid ini menyebutkan kepadaku seperti orang gembira atas musibah yang menimpa Syaikh. Dan pada hari ini, Muhammad bin Qaid termasuk orang-orang yang dekat dengan Muhammad al-Imam, dan Muhammad bin Qaid masih terus berhubungan dengan sebagian hizbiyyin di luar Yaman.]

5 [Dia ini tumbuh di Aden dalam lingkungan ikhwaniyyah. Dia datang (ke Dammaj) untuk menuntut ilmu kepada Syaikh Muqbil. Namun sayang, dia tidak bisa mencerna manhaj salafy hingga sekarang. Abdullah al-Murfady hari ini berjalan bersama para Quthbiyyun dan para pengikut jum’iyyah hizby. Teman-temannya membela para pengikut al-Qaidah. Nas-alullaaha as-salamata wal ‘afiyah. Ikhwah yang tepercaya menyebutkan bahwa baru-baru ini dia mengunjungi Muhammad al-Imam di Ma’bar.]

6 [Saat ini Abdul Majid ar-Raimiy adalah seorang takfiry tulen, dia termasuk pendukung organisasi ISIS. Nas-alullaah as-salamata wal afiyah.]

7 [Ketika itu, memungkinkan baginya untuk duduk bersamaku sebelum melakukan itu. Datanglah asy-Syaikh Utsman as-Salimy dalam keadaan aku sedang menjelaskan tentang keutamaan ilmu dan ulama, dan sangat urgennya perhatian terhadap ilmu syar’i, dan siapa yang ingin berkhidmat kepada agama dan manhajnya maka wajib baginya untuk menuntut ilmu.]

Ditulis oleh:
Abu ‘Ammar ‘Ali al-Hudzaify
16 Shafar 1436 H
http://www.sahab.net/forums/index.php?showtopic=149102#entry704160

 

 

 

 

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *