Tanya Jawab Manhaj Bersama Asy Syaikh Ahmad Bazmul hafizhahullah (Al-Ajwibah Al-Makiyyah Alal As-Ilah Al-Manhajiyyah Al-Libbiyah)

tanya jawab manhaj

Al-Ajwibah Al-Makiyyah Alal As-Ilah Al-Manhajiyyah Al-Libbiyah
 ~ TANYA JAWAB MANHAJ ~

Asy-Syaikh Ahmad bin Umar Bazmul hafizhahullah

==============================================

بسم الله الرحمن الرحيم
إنَّ الحمد لله نحمده ونستعينه ونستغفره، ونعوذ بالله من شرور أنفسنا، ومن سيئات أعمالنا، من يهده الله فلا مضل له، ومن يضلل فلا هادي له، وأشهد أن لا إله إلا الله، وحده لا شريك له، وأشهد أن محمداً عبده ورسوله.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ.
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا * يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا.
ألا وإن أصدق الكلام كلام الله، وخير الهدى هدى محمد، وشر الأمور محدثاتها، وكل محدثة بدعة، وكل بدعة ضلالة، وكل ضلالة في النار. أما بعد:

Berikut ini adalah kumpulan tanya jawab tentang manhaj yang diajukan kepada saya oleh saudara kita Abu Dzar bin Ali Al-Libby ketika saya mendapatkan kehormatan dengan kunjungannya ke rumah saya di Makkah, pada hari Selasa 2 Jumadal Akhirah 1430 H. Maka saya menjawabnya sebatas kemudahan yang Allah berikan kepada saya. Lalu dia merekamnya kemudian mentranskripnya dan ingin menyebarkannya, agar faedahnya merata. Mudah-mudahan Allah membalasnya dengan kebaikan atas apa yang dia lakukan ini yang saya sendiri memohon kepada Allah agar mencatat bagi saya, baginya dan bagi semua kaum Muslimin berupa pahala dan ganjaran, serta mengaruniakan keikhlasan kepada kita semua dalam perkataan dan perbuatan serta dalam upaya mengikuti Sunnah Nabi kita yang mulia shallallahu alaihi was sallam dan bimbingan Salafus Shalih ridhwanullahi alaihim.

وصلى الله وسلم على نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين.

==============================================

APAKAH DISYARATKAN MENASEHATI ORANG YANG MENYELISIHI KEBENARAN SEBELUM MENTAHDZIRNYA

PERTANYAAN PERTAMA

Penanya: Apakah disyaratkan menasehati orang yang menyelisihi kebenaran sebelum mentahdzirnya, karena sebagian manusia jika Anda mengingatkannya dari bahaya penyimpangan seseorang tanpa memperhatikan jenis tahdzirnya, dia membantah Anda dengan mengatakan: “Apakah engkau telah menasehatinya?” Padahal si fulan tersebut telah menyebarkan berbagai pemikiran yang buruk yang terkadang menjadikan Anda ingin segera mentahdzirnya?

Asy-Syaikh:

بسم الله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه ومن والاه أما بعد:

Sesungguhnya seseorang jika dia melakukan kesalahan dan kesalahan tersebut tidak tersebar, maka termasuk perkara yang baik adalah dengan menasehatinya secara rahasia dan membimbingnya atau mengarahkannya kepada kebaikan, dengan harapan mudah-mudahan dia benar-benar mau bertaubat dan kembali kepada kebenaran. Jika dia telah dinasehati secara rahasia namun dia tidak mau rujuk dari kesalahannya, maka dia diingkari secara terang-terangan dan dijelaskan kesalahan serta penyelisihannya terhadap kebenaran. Adapun jika kesalahannya telah tersebar di tengah-tengah manusia, maka dia dibantah secara terang-terangan, dan jika memungkinkan untuk menasehatinya secara rahasia maka hal itu boleh dilakukan.

Adapun menyatakan bahwasanya wajib untuk menasehatinya secara rahasia sebelum menasehatinya secara terang-terangan, maka pernyataan ini menyelisihi manhaj Salaf. Jika kita memperhatikan manhaj Salaf; ketika sebuah kesalahan sampai kepada mereka, maka mereka langsung mengingkari kesalahan tersebut dan membantahnya. Dan mereka tidak mengatakan: “Kita tunggu terlebih dahulu sampai kita menasehatinya secara rahasia.” Demikan juga mereka tidak mengatakan: “Apakah kalian telah menasehatinya?!” Sebelum kalian bertanya, tidak ada riwayat dari Salaf yang semacam ini. Yang ada dari mereka –semoga Allah membalas mereka dengan kebaikan, dan apa yang mereka lakukan adalah benar– hanyalah dengan mereka langsung mengingkari kesalahan, wallahu a’lam.

Sumber artikel:
http://www.sahab.net/forums/index.php?showtopic=108091

Alih bahasa: Abu Almass
Jum’at, 25 Jumaadats Tsaniyah 1435 H

 

Sumber: http://forumsalafy.net/?p=2930

.

APAKAH ADA BATASAN WAKTU UNTUK BERSABAR TERHADAP ORANG YANG MENYELISIHI KEBENARAN

Pertanyaan Kedua

Asy-Syaikh Ahmad bin Umar Bazmul hafizhahullah

Penanya: Apakah di sana ada waktu batasan tertentu untuk bersabar terhadap orang yang menyelisihi kebenaran, ataukah perkaranya sesuai dengan maslahat, sehingga terkadang dia disabari dan terkadang tidak, atau terkadang kesabaran tersebut lama dan terkadang sebentar?

Asy-Syaikh:

Hukum asalnya jika orang yang menyelisihi kebenaran dia adalah orang yang suka menentang, maka berdasarkan manhaj Salaf dia ditahdzir, dan terkadang hingga memvonisnya sebagai mubtadi’ sesuai kadar penyelisihannya. Tetapi hal ini kembali kepada seorang ulama yang menasehatinya dan kembali kepada penilaiannya karena berharap agar orang yang menyelisihi kebenaran tersebut bertaubat. Terlebih lagi jika dia terjatuh pada sebagian syubhat atau penakwilan yang rusak dan dia belum mengetahui dengan jelas mana yang benar, maka bisa saja dia diberi kesempatan sekian waktu lamanya sesuai dengan upaya nasehat yang ditempuh ulama tersebut, sehingga bisa lama atau sebentar sesuai dengan berbagai indikasi yang ada. Dan hal ini –sebagaimana yang nampak– kembalinya kepada para ulama yang memperhatikan kasus pihak yang dinasehati dan juga dengan memperhatikan keadaan masyarakat Islam serta sejauh mana hubungan erat kedua perkara ini secara bersamaan.

Jadi terkadang para ulama bersabar terhadap sebagian pihak-pihak yang diberi nasehat dengan harapan agar tidak terjadi perpecahan dan dengan harapan tidak terjadi kekacauan. Terlebih lagi jika pihak yang dinasehati menampak sikap rujuk kepada kebenaran, menampakkan kecintaan kepada kebaikan serta nampak bahwa dia menginginkan kebenaran. Maka dalam keadaan semacam ini, para ulama terkadang bersabar sekian lama hingga pihak yang dinasehati sampai tingkatan yang padanya nampak sikapnya yang membangkang dan menyelisihi kebenaran. Ketika itulah mereka mentahdzirnya dan memvonisnya sebagai seorang mubtadi’ jika dia terus-menerus pada sikapnya yang salah tersebut.

Sumber artikel:
http://www.sahab.net/forums/index.php?showtopic=108091

Alih bahasa: Abu Almass
Jum’at, 25 Jumaadats Tsaniyah 1435 H

Sumber: http://forumsalafy.net/?p=2944

.

APAKAH SIKAP MENENTANG PADA SELAIN MASALAH AQIDAH BISA MENJATUHKAN SESEORANG

Pertanyaan Ketiga

Asy-Syaikh Ahmad bin Umar Bazmul hafizhahullah

Penanya: Apakah sikap menentang memberikan pengaruh dengan menjatuhkan seseorang walaupun bukan pada perkara yang berkaitan dengan aqidah dan prinsip, jika nampak jelas sikap menentang tersebut dengan berbagai indikasi?

Asy-Syaikh:

Salaf –ridhwanullahi alaihim– dahulu mereka tidak membedakan masalah-masalah ilmu antara masalah perkara aqidah dengan perkara fikih yang sifatnya cabang, jika nampak jelas dari orang yang menyelisihi kebenaran sikap menentang dan terus-menerus dalam kebathilan. Dan tidak ada dalil yang lebih jelas yang menunjukkan hal ini dari firman Allah Azza wa Jalla:

فَلْيَحْذَرِ الَّذِيْنَ يُخَالِفُوْنَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيْبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيْبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيْمٌ.

“Maka hendaklah orang-orang yang menyelisihi perintahnya (Rasulullah shallallahu alaihi was sallam) takut akan ditimpa fitnah atau adzab yang pedih.” (QS. An-Nuur: 63)

Jadi semata-mata menyelisihi sebuah perintah Nabi shallallahu alaihi was sallam terkadang menyeret seseorang untuk tertimpa fitnah pada agamanya atau tertimpa adzab yang pedih. Al-Imam Ahmad mengatakan: “Tahukah engkau apa yang dimaksud dengan fitnah tersebut? Fitnah adalah kesyirikan.” Maksudnya: seseorang akan terus menyimpang dari kebenaran hingga dikhawatirkan akan menyimpang dari Islam.

Jadi seorang yang menentang jika nampak darinya sikap menyelisihi kebenaran dan terus-menerus menyelisihi kebenaran, maka dia dijatuhkan keadilannya, dicela dan terkadang dihajr (diboikot). Sikap semacam inilah yang dipastikan keshahihannya dari sekelompok Salaf, seperti hajr yang dilakukan oleh Abdullah bin Al-Mughaffal radhiyallahu anhu terhadap anaknya sendiri pada masalah mengetapel hewan buruan (lihat: Shahih Muslim no. 1954 –pent) serta para shahabat yang lain ridhwanullahi alaihim.

Mereka menghajr anak-anaknya hanya semata-mata karena menyelisihi hadits, bukan karena menentang, hanya menyelisihinya saja. Mereka menghajrnya dan tidak mau mengajaknya berbicara dalam rangka membela Sunnah Nabi shallallahu alaihi was sallam. Maka bagaimana pendapat kita dengan seseorang yang menentang kebenaran, menampakkan penentangan dan terus-menerus melakukannya. Tidak diragukan lagi bahwa orang semacam ini perlu ditahdzir, walaupun bukan pada masalah-masalah aqidah. Karena penilaiannya ditujukan kepada sikapnya terhadap masalah-masalah agama dan bagaimana dia menyikapinya.

Sumber artikel:
http://www.sahab.net/forums/index.php?showtopic=108091

Alih bahasa: Abu Almass
Jum’at, 25 Jumaadats Tsaniyah 1435 H

 

Sumber: http://forumsalafy.net/?p=2957

.

SAMPAI KAPAN KITA MENASEHATI SESEORANG

(PERTANYAAN KEEMPAT)

Asy-Syaikh Ahmad bin Umar Bazmul hafizhahullah

Penanya: Sebagian orang menasehati seseorang sebanyak-banyaknya dan terus bersamanya hingga waktu yang lama, dia terus bolak-balik mendatanginya seakan-akan Allah mengkhususkannya untuk menangani orang itu saja. Apakah cara semacam ini termasuk amalan Salaf? Dan sebagian mereka ini kami jumpai terpengaruh dengan orang itu.

Asy-Syaikh:

Mereka terpengaruh dengan pihak yang menasehati?

Penanya: Dengan pihak yang dinasehati.

Asy-Syaikh:

Ya, nasehat bagi Allah, bagi Rasul-Nya, bagi Kitab-Nya, bagi pemimpin kaum Muslimin dan bagi mereka secara umum adalah dengan cara menjelaskan kebenaran kepada mereka dan mengingatkan mereka agar mewaspadai keburukan. Jadi seseorang jika dia menasehati orang lain, mengharapkan kebaikannya, serta mengharapkan rujuknya kepada kebenaran, maka tidak ada hal yang melarang untuk terus menasehati. Hanya saja, jika nampak tanda-tanda yang menunjukkan rasa tidak senang dari pihak yang dinasehati terhadap nasehat tersebut, atau nampak tanda-tanda dia ingin terus-menerus dalam menentang kebenaran, maka semacam ini tidak sepantasnya untuk terus menasehatinya, agar manusia tidak tertipu dengan pihak yang dinasehati tersebut dan menyangkanya di atas kebaikan.

Bahkan, jika pihak yang menasehati merasa bahwa pihak yang dinasehati terus-menerus dalam kebathilannya atau dia suka bermain-main atau pandai bersilat lidah dalam menerima kebenaran serta manusia bisa menyangka yang baik terhadap pihak yang dinasehati tersebut, maka dalam keadaan seperti ini wajib untuk memperingatkan manusia dari bahayanya agar mereka tidak terjebak dalam jerat-jeratnya.

Juga hendaknya setiap orang dari kita mengoreksi kembali niat dan keihlasannya dalam menyampaikan nasehat tersebut, apakah dia melakukannya ikhlas karena Allah dan dalam rangka menolong agama Allah Azza wa Jalla?! Ataukah dia melakukannya hanya karena kepentingan-kepentingan pribadi atau tujuan-tujuan dirinya sendiri, atau karena si fulan dan si alan yang memiliki kedudukan dalam hatinya?! Jika nasehat tersebut dilakukan semata-mata karena Allah, maka jika dia telah mengerahkan segenap kemampuannya dalam menyampaikan nasehat, namun dia tidak menjumpai sikap menerima pada pihak yang dinasehati, ketika itu hendaknya dia menghajrnya atau mentahdzirnya atau menjelaskan keadaannya kepada manusia dan tidak mendiamkan kebathilannya. Adapun jika nasehat tersebut dilakukan karena kepentingan-kepentingan lain, maka tidak diragukan lagi bahwa orang tersebut terjatuh pada hal-hal yang menyelisihi hakekat nasehat itu sendiri, wallahu a’lam.

Sumber artikel:
http://www.sahab.net/forums/index.php?showtopic=108091

Alih bahasa: Abu Almass
Jum’at, 25 Jumaadats Tsaniyah 1435 H

 

Sumber: http://forumsalafy.net/?p=2990

.

BAGAIMANA MENYIKAPI ORANG YANG TIDAK MENGAKU SEBAGAI SALAFY

Pertanyaan Kelima

Asy-Syaikh Ahmad bin Umar Bazmul hafizhahullah

Penanya: Jika seseorang tidak mengaku sebagai seorang salafy dan tidak mentazkiyah dirinya dengan menisbahkan dirinya kepada manhaj Salaf, padahal dia banyak menyampaikan pelajaran, ceramah dan fatwa, apakah orang semisal mereka ini perlu kita jelaskan kesalahan-kesalahan mereka ataukah cukup dengan mentahdzir mereka karena mereka tidak mengakui mengikuti manhaj Salaf? Karena sebagian mereka jika saya memperingatkan agar berhati-hati dari orang-orang semacam Amr Khalid dan Umar Abdul Kafy, mereka mengatakan: “Saya menginginkan bantahan ulama terhadap mereka.” Jadi terkadang kami menjawab mereka dengan mengatakan bahwa para ulama tidak akan meluangkan waktu untuk mengurusi semua orang, tetapi cukup dengan mereka tidak mentazkiyah diri mereka sendiri dengan mengaku mengikuti manhaj Salaf. Apakah hal ini benar?

Asy-Syaikh:

Seseorang yang tidak mengaku mengikuti manhaj Salaf atau tidak menampakkan pengakuan mengikuti manhaj Salaf, keadaannya tidak terlepas dari dua hal:

Bisa jadi ucapan dan perbuatannya dibangun di atas manhaj Salaf dan memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan manhaj Salaf dan perbuatan mereka, maka orang semacam ini dihukumi sebagai seorang salafy, walaupun dia tidak terang-terang menyatakan manhaj Salaf dengan jelas. Hanya saja jika dia mengingkari penamaan dengan Salafiyah, maka dijelaskan dan diberitahukan kepadanya serta disampaikan perkataan para ulama kepadanya. Khususnya perkataan Al-Imam Al-Albany rahimahullah di dalam mendudukan masalah ini, serta menjelaskan penisbahan kepada Salafiyah. Juga disampaikan kepadanya perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah bahwa beliau menyukai penisbahan kepada Salafiyah dan merasa bangga dan mulia dengan manhaj Salaf.

Keaadan kedua bisa jadi orang tersebut tidak mengaku mengikuti manhaj Salaf, di samping memang perbuatan-perbuatannya menyelisihi manhaj Salaf, dan bisa jadi ketika dia ditanya: “Apakah engkau seorang salafy?” Dia mengingkarinya dan tidak ridha dengan penjelasan para ulama yang menjelaskan kebenaran berkaitan dengan keadaan sebagian orang seperti Amr Khalid atau selainnya, maka ini menunjukkan bahwa orang tersebut memiliki jalan lain yang menyimpang, hanya saja dia tidak terang-terangan menyatakan sikap permusuhan dari kepada manhaj Salaf. Dia melakukan hal itu bisa jadi karena takut dicela, atau bisa jadi sebagai makar jahat agar dia tetap bisa mengumpulkan para pemuda di sekitarnya untuk dia didik di atas manhajnya yang menyelisihi manhaj Salaf dalam figur seorang dai yang mendakwahkan agama Allah.

Maka hendaknya perkara semacam ini diwaspadai, karena orang seperti ini termasuk mata-mata yang disusupkan oleh Al-Ikhwan Al-Muslimun dan ahli bid’ah.

Jadi sebagian ahli bid’ah memiliki cara-cara yang penuh makar, yaitu mereka mengetahui bahwa seandainya mereka menampakkan permusuhan terhadap dakwah Salafiyah atau seandainya mereka menampakkan jalan mereka yang menyelisihi manhaj Salaf, tentu para ulama akan membantah habis mereka dan para pemuda pun akan lari meninggalkan mereka. Tetapi mereka menggunakan cara lain dengan menampakkan kepada para pemuda berupa ilmu, nasehat, dan perhatian terhadap pelajaran-pelajaran ilmiah umum, agar para pemuda tetap berkumpul di sekitar mereka, lalu mereka pun mendidik para pemuda berdasarkan manhaj semacam ini untuk:

  • Mendiamkan atau  tidak membantah orang-orang yang menyelisihi kebenaran.
  • Tidak mengingkari siapa saja yang menyelisihi manhaj Salafus Shalih.
  • Tidak berani menamakan diri atau mengaku mengikuti manhaj Salafus Shalih.

Jadi yang ada adalah tidak berbuat begini atau begitu atau yang lain. Sampai akhirnya seorang salafy menjadi sesuatu yang tidak ada hakekatnya atau menjadi orang yang menyelisihi manhaj Salaf, padahal sebenarnya dia ingin mencari dan mengikuti manhaj Salaf.
Maka saya katakan: Jika orang ini termasuk jenis kedua, maka orang semacam ini tidak ada kehormatan dan harganya. Bahkan dia harus ditahdzir, dijelaskan kesalahannya kepada manusia, dan dijelaskan bahwa dia dalam keadaan yang seringnya lebih berbahaya dibandingkan orang lain yang terang-terangan. Jadi orang yang menyatakan terang-terangan menyelisihi manhaj Salaf, walaupun dia orang yang berbahaya, namun para pemuda akan mewaspadainya. Adapun orang yang tidak terang-terangan, maka para pemuda seringnya tertipu dengannya dan mendekatinya, kemudian mereka pun terpengaruh kejahatannya, wallahu a’lam.

Sumber artikel:
http://www.sahab.net/forums/index.php?showtopic=108091

Alih bahasa: Abu Almass
Ahad, 27 Jumaadats Tsaniyah 1435 H

 

Sumber: http://forumsalafy.net/?p=3005

APAKAH HAJR TERHADAP SESEORANG HANYA KETIKA DIA SEDANG BERMAKSIAT SAJA

Pertanyaan Keenam

Asy-Syaikh Ahmad bin Umar Bazmul hafizhahullah

Penanya: Apakah hajr (menjauhi, mendiamkan dan memutus hubungan –pent) terhadap seseorang terkadang dilakukan hanya ketika dia sedang melakukan kemaksiatan saja dan tidak terus-menerus?

Asy-Syaikh:

Hajr atau pengingkaran dengan hati terkadang dilakukan setelah pengingkaran dengan perkataan, kemudian jika pelaku maksiat tersebut tidak menggubrisnya maka tetap diingkari dengan hati. Jika pelaku maksiat tersebut terus-menerus melakukan kemungkaran maka wajib atas orang yang mengingkarinya untuk menghajrnya ketika dia sedang berbuat maksiat.

Adapun setelah dia selesai melakukan kemaksiatannya maka boleh baginya untuk bergaul dengannya, menasehatinya dan melanjutkan nasehatnya jika dia merasa bahwa jika pelaku maksiat tersebut dinasehati dia akan mengambil manfaat dari nasehat ini. Namun jika dia merasa bahwa pihak yang diberi nasehat tersebut jika dia menghajrnya dan tidak mau berbicara dengannya, dia akan mendapatkan manfaat dengan perkara ini dan menyadari dosanya, maka yang tepat adalah melakukan hajr terhadapnya walaupun setelah dia melakukan kemaksiatan. Namun jika pelaku maksiat tersebut menentang dan terus-menerus melakukan kemaksiatannya, maka boleh baginya untuk menghajrnya walaupun setelah dia berbuat maksiat jika dirasa dia akan terpengaruh dengan nasehat ini. Dan hal semacam ini disebut oleh para ulama sebagai hajr ta’dib (hajr yang sifatnya mendidik –pent).

Tolong diperhatikan juga bahwa kita sedang membicarakan permasalahan hajr terhadap para pelaku maksiat, dan ini tidak sama dengan hajr terhadap para ahli bid’ah. Jika pelaku maksiat tersebut menentang dan terus-menerus melakukan kemaksiatannya dan pihak yang memberi nasehat tidak bisa mempengaruhinya baik dengan cara hajr maupun tidak, dan pihak yang menasehati mengkhawatirkan dirinya dengan terus bergaul bersama orang yang suka berbuat maksiat tersebut, maka boleh baginya untuk melakukan hajr terhadapnya sebagai bentuk penjagaan bagi dirinya dari keburukan orang tersebut dan dari kemaksiatannya. Jadi dia menjauhinya dan tidak bergaul dengannya. Dan jika dia tetap menasehatinya dengan harapan dia mau menerimanya maka tidak ada yang melarang dari hal tersebut.

Sumber artikel: http://www.sahab.net/forums/index.php?showtopic=108091

Alih bahasa: Abu Almass
Selasa, 29 Jumaadats Tsaniyah 1435 H

 

Sumber: http://forumsalafy.net/?p=3037

.

BAGAIMANA MENYIKAPI KHATIB AWAM YANG SUKA MENCELA PARA ULAMA

[ Pertanyaan Ketujuh ]

Asy-Syaikh Ahmad bin Umar Bazmul hafizhahullah

Penanya:  Ini adalah pertanyaan tentang masalah yang muncul diantara para pemuda, walaupun banyak para pemuda dari kedua belah pihak adalah orang-orang yang baik dan mereka menginginkan kebenaran, namun kami tetap membutuhkan penjelasan mana yang benar agar jelas dan keakraban diantara para pemuda kembali seperti semula.

Kasusnya adalah ada seorang khatib Jum’at yang bodoh, suka ngawur dan mencampur aduk dalam menghukumi permasalahan dan suka mencela para ulama, maka sebagian pemuda ada yang mentahdzirnya dan mengatakan: “Dia ini bodoh dan suka mencela para ulama.” Namun sebagian pemuda yang lain ada yang emosi dan tidak menerimanya seraya membantah: “Dia ini orang awam yang memiliki kebaikan, dia bukan seorang penuntut ilmu sehingga tidak bisa kita vonis sebagai mubtadi’ atau kita tahdzir, dan memang tidak sepantasnya untuk mentahdzirnya.” Lalu mereka pun mentahdzir para pemuda lain yang mentahdzirnya dengan menganggap mereka sebagai orang-orang yang keras yang mana hal itu termasuk yang menyebabkan perpecahan diantara para pemuda itu. Jadi mereka membela khatib yang bodoh tersebut seakan-akan dia adalah seorang shahabat, sebaliknya siapa saja yang mencelanya maka dia dijatuhkan dan dianggap sebagai orang yang keras, karena menurut mereka yang tepat adalah mengatakan bahwa khatib tersebut adalah orang yang bodoh?

Jawaban:

Pertanyaan ini aneh bin ajaib dan menunjukkan sejauh mana lemahnya keilmuan para pemuda itu:

Pertama:  Pertanyaan ini –sebagaimana dikatakan– memiliki jawaban, jika kita semua sepakat bahwa khatib tersebut adalah orang yang bodoh, maka orang semacamnya jelas tidak pantas untuk diambil ilmunya dan tidak pantas orang seperti dia dijadukan rujukan, dia hanya boleh berbicara ketika menyampaikan nasehat sebatas yang dia mampu saja dan pada sebagian hukum yang telah dia pelajari saja. Maka jika di samping kebodohannya dia suka mencela para ulama, tidak diragukan lagi bertambahlah kebodohannya dengan kebodohan yang lain yang berlipat ganda, bahkan lebih buruk karena dia suka mencela para ulama, karena sesungguhnya termasuk cirri-ciri ahli bid’ah adalah suka mencela para ulama. Jadi orang yang semacam ini jika dia mencela para ulama lalu dia diingatkan namun tetap ngeyel, maka dia harus dijauhi dan ditinggalkan (dihajr). Bahkan menurut bimbingan Salaf, orang yang semacam dia ini bisa saja divonis sebagai mubtadi’ dan tidak boleh duduk bersamanya serta tidak boleh mendengar ucapannya, apalagi dengan para pemuda bolak-balik mendatanginya!

Ini merupakan kesalahan tanpa diragukan lagi. Jadi terhadap orang semacam ini sikap kalian wajib untuk bersatu dengan meyakini bahwa dia tidak pantas untuk berdakwah, bahkan dia sangat membahayakan. Karena kalau dia sudah berani dengan lancang mencela para ulama, maka celaan terhadap para ulama yang mereka merupakan pewaris para nabi, tidak diragukan lagi hal itu sangat jelas menunjukkan penyimpangan yang sangat berbahaya pada orang tersebut. Ini perkara kedua.

Perkara ketiga: Para pemuda Salafiyun itu ketika mereka mengatakan bahwa khatib tersebut adalah orang awam yang memiliki kebaikan, maka kita katakan kepada mereka: jika seseorang memiliki ilmu namun dia suka mencela para ulama, maka kita tetap akan metahdzirnya. Maka jika dia adalah orang yang bodoh namun suka mencela para ulama, tentunya dia lebih pantas lagi untuk ditahdzir setelah menasehatinya.
Perkara terakhir yang ingin saya ingatkan: kita menjumpai sebagian pemuda Salafiyun –sangat disayangkan– mereka tidak mau merujuk kepada para ulama dan mengambil bimbingan mereka, yang engkau jumpai adalah salah seorang dari mereka jika merasa dirinya telah mengikuti manhaj Salaf, dia mengandalkan pikirannya dan ijtihadnya sendiri serta berani menilai bahwa perkara ini baik sedangkan yang ini tidak baik!
Maka menyikapi kasus semacam ini kita katakan kepadanya: Perkataan yang engkau katakan ini: “Si fulan adalah khatib awam yang memiliki kebaikan.” Apakah engkau mengatakannya berdasarkan ilmu dan pengetahuan, ataukah hanya semata-mata ijtihad dari dirimu sendiri?!
Jika hal itu berdasarkan ilmu maka tunjukkan buktinya kepada kami! Dan fatktanya tidak ada buktinya.

Namun jika hal itu hanya ijtihad dari dirimu sendiri, maka wajib untuk engkau ketahui bahwa engkau telah salah! Karena yang wajib dalam permasalahan semacam ini adalah dengan engkau merujuk kepada para ulama dan bertanya kepada mereka dengan mengatakan: “Bagaimana sikap yang benar terhadap seorang khatib yang bodoh namun dia suka mencela para ulama?”
Maka tidak diragukan lagi para ulama akan mengatakan kepadamu: “Engkau wajib mewaspadainya dan mentahdzirnya setelah menasehatinya jika hal itu memungkinkan bagi dirimu. Namun jika engkau tidak memungkinkan bagimu untuk menasehatinya, maka tahdzirlah dia dan tidak ada kemuliaan bagi orang semacam dia!”

Maka saya katakan sebagai kesimpulan: wajib bagi para pemuda Salafiyun untuk bertakwa kepada Allah Azza wa Jalla dalam urusan manhaj dan jangan menggunakan pendapatnya dan pemikirannya sendiri dalam masalah-masalah manhaj dengan menyatakan ini baik dan ini buruk, sebagaimana yang kita lihat dari pertanyaan sebelumnya di mana sebagian mereka ada yang menyatakan bahwa: “Engkau wajib untuk menasehati sebelum engkau mengingkari dengan terang-terangan!” Siapa yang telah mengatakan hal semacam ini kepadamu?! Apa dalilnya?! Apakah Salaf ada yang pernah mengatakan semacam ini?! Apakah para ulama ada yang pernah mengatakannya?!

Oleh karena itulah wajib atas kita untuk bertakwa kepada Allah Azza wa Jalla dalam urusan manhaj Salafus Shalih serta pada masalah-masalah ilmu yang lainnya.

Penanya: Wahai Syaikh, anggaplah para pemuda tersebut ada yang sedikit berlebihan dalam bersikap, apakah hal ini boleh menjadikan kita berselisih dan berpecah hanya gara-gara seseorang yang awam?

Asy-Syaikh:

Kami katakan: jika dipastikan bahwa sebagian pemuda Salafiyun ada yang telah bersikap terlalu keras terhadap khatib yang awam yang suka mencela para ulama tersebut, maka kami katakan kepada pihak lain yang mengingkari para pemuda Salafiyun tersebut: “Kalian bersikap demikian lembutnya terhadap orang yang bodoh yang suka mencela para ulama tersebut, maka kenapa kalian tidak bersikap lembut terhadap saudara-saudara kalian Salafiyun yang terkadang ucapan dan sikap mereka keras terhadap orang yang bodoh tersebut?! Jadi bersikaplah juga dengan kelembutan terhadap mereka, nasehatilah mereka, dan tunjukkanlah mereka kepada kebaikan! Jadi para pemuda Salafiyun yang kalian anggap keras itu lebih layak untuk disikapi dengan lembut dibandingkan khatib awam yang bodoh dan suka mencela ulama tersebut!

Sumber artikel:  http://www.sahab.net/forums/index.php?showtopic=108091

Alih bahasa: Abu Almass
Rabu, 1 Rajab 1435 H

 

Sumber: http://forumsalafy.net/?p=3046

.

APA NASEHAT ANDA BAGI ORANG YANG HANYA MENGAKU-NGAKU SEBAGAI SALAFY

[ PERTANYAAN KEDELAPAN ]

Asy-Syaikh Ahmad bin Umar Bazmul hafizhahullah

Penanya: Apa nasehat Anda bagi para pemuda yang terpengaruh dengan slogan-slogan kosong dan aqidah serta sikap mereka tidak bersandar pada Al-Qur’an dan As-Sunnah serta manhaj Salaf. Anda menjumpai sikap-sikap mereka berupa menolak berbuat atau slogan-slogan kosong yang tidak berdasarkan ilmu. Misalnya di tengah-tengah kami ada orang-orang yang lari dari manhaj Hadadiyah namun terjatuh pada sikap lembek. Sebaliknya yang lain ada yang lari dari sikap lembek namun terjatuh pada manhaj Hadadiyah. Sedangkan yang lainnya ada orang-orang yang suka mengulang-ulang sikap hikmah dan lembut, namun mereka tidak meletakkannya pada tempatnya yang tepat, dan hal ini nampak jelas dari tindakan-tindakan mereka dengan mereka tidak menyukai sikap keras dan hajr, walaupun cara-cara yang merupakan ajaran Salaf ini diletakkan pada tempat yang semestinya disertai kelembutan dan keramahan yang mana kedua hal ini merupakan asal?

Asy-Syaikh:

Seorang pemuda salafy wajib untuk memperhatikan perkara-perkara berikut:

Pertama: hendaknya engkau memohon kepada Allah Azza wa Jalla agar mengokohkanmu di atas al haq, menunjukkannya kepadamu, dan memberi taufik kepadamu. Jadi jangan menyangka wahai pemuda, bahwa semata-mata dengan engkau mengaku mengikuti manhaj Salaf berarti engkau di atas kebenaran, karena di sana ada syetan-syetan dari jenis manusia dan syetan-syetan dari golongan jin serta para penyeru di atas pintu-pintu Jahannam yang mengajakmu agar engkau bersama mereka dengan cara mereka menampakkan kepadamu bahwa mereka adalah Salafiyun dan menampakkan bahwa kebenaran bersama mereka. Maka engkau jangan tertipu dengan dirimu sendiri dan merasa sebagai seorang salafy, lalu bersandar kepada pendapatmu sendiri. Jangan demikian, tetapi mohonlah kepada Allah Azza wa Jalla agar mengokohkanmu di atas al haq, menunjukkannya kepadamu, dan memberi taufik kepadamu.

Kedua: hendaklah berpegang teguh dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah serta manhaj Salafus Shalih, meyakini bahwa kebenaran ada pada mereka, dan tidak keluar dari manhaj Salafus Shalih selamanya.

Ketiga: seorang pemuda salafy wajib untuk merujuk kepada para ulama besar yang dikenal salafiyahnya dan manhaj yang benar, dan manhaj mereka yang suka menasehati dan terpercaya. Hendaklah dia dekat dengan para ulama itu, merujuk kepada mereka, dan bertanya kepada mereka pada masalah-masalah, perkara-perkara besar, dan perkara-perkara yang butuh pemecahan, terlebih lagi jika perkara itu rumit baginya dan terjadi perselisihan padanya.

Keempat: Tidak boleh bagi seorang pemuda salafy untuk mengandalkan pemikirannya dan ijtihadnya pada masalah-masalah yang diperselisihkan, karena jika dia tidak memiliki ilmu yang dengannya dia bisa menjaga dirinya, maka sesungguhnya akal dan pikirannya tidak akan bisa menuntunnya kepada al haq kecuali jika Allah menghendaki. Jadi jika perkaranya ruwet maka jangan engkau berijtihad dengan pendapatmu sendiri, tetapi kembalikanlah kebenaran kepada Al-Qur’an, As-Sunnah, pemahaman Salafus Shalih, dan kembalikanlah kepada yang bisa menjelaskannya kepadamu, dan mereka adalah para ulama pewaris para nabi.

Kelima: jangan sekali-kali engkau hanya bisa melontarkan slogan-slogan kosong, dan jangan sekali-kali engkau berdekatan dengan orang-orang yang suka mencela para ulama Salafiyun dengan mengatakan: “Kebenaran bersama kami, kebenaran bersama kami!” Jadi jangan sekali-kali engkau tertipu dengan orang-orang semisal mereka, karena sesungguhnya serigala itu hanya akan memangsa kambing yang meninggalkan kawanannya sendirian. Maka jangan tinggalkan kelompok yang benar dan jangan merasa kesepian walaupun orang-orang yang menempuh jalan kebenaran hanya sedikit. Jangan sampai engkau tertipu dengan sebagian penampilan yang menyilaukan, ungkapan yang nyaring dan kata-kata yang berdesing sehingga engkau digiring kepada sikap lembek dalam kebenaran atau kepada sikap berlebihan dalam kebathilan. Jadi waspadailah dua hal yang menggelincirkan dan menyimpang dari manhaj Salafus Shalih ini.

Keenam: Jika terjadi fitnah dan perselisihan diantara para pemuda, maka jangan sekali-kali engkau terburu-buru ikut-ikutan dalam perdebatan dan pertikaian tersebut, bahkan berhentilah dan tunggulah pendapat para ulama besar, berhentilah dan bertanyalah apa yang dikatakan oleh para ulama besar, berhentilah dan mohonlah kepada Allah Azza wa Jalla agar menyelematkan dirimu dari fitnah-fitnah. Karena ketika terjadi permasalahan, kami melihat banyak para pemuda terburu-buru ikut masuk dan membela pihak tertentu, terus menerus dalam kesalahan, menentang kebenaran, bersikap keras, melampaui batas, dan seterusnya. Akhirnya dia tergelincir ke dalam jurang hizbiyah atau jurang kesesatan atau penyimpangan dari manhaj Salaf. Coba datangi dan tanyailah dia: “Apa yang engkau inginkan? Apakah engkau mengharap keridhaan Allah dan Rasul-Nya dan mengharapkan kebenaran?! Ataukah engkau hanya menginginkan hawa nafsu dan membela si fulan?! Jika engkau menginginkan kebenaran maka kebenaran diketahui dengan Al-Qur’an, As-Sunnah, dan manhaj Salafus Shalih yang ditempuh oleh para ulama besar. Maka bersamalah mereka dan jangan mendahului mereka! Tetapi jika engkau hanya menginginkan si fulan dan fulan, maka sesungguhnya engkau akan diserahkan kepada mereka dan kepada dirimu sendiri.

Jadi waspadailah dari jalan semacam ini karena itu merupakan jalan yang sangat berbahaya dan termasuk sebab-sebab yang membahayakan yang akan menyeret para pemuda Salafaiyun kepada penyimpangan. Yaitu jika muncul permasalahan langsung tanpa menunggu pendapat para ulama besar, tidak mau merujuk kepada mereka, tidak mau bertanya kepada mereka, dan tidak mau bersikap hati-hati atau pelan-pelan. Jadi sering ketika muncul sebuah masalah dan fitnah, kita jumpai para ulama besar bersikap sabar dan memperhatikan dengan penuh kehati-hatian, namun datang kepadamu anak muda yang sudah berani berbicara, seakan-akan dia adalah Ibnu Taimiyah di zamannya. Dia menyesatkan yang ini, memvonis yang itu sebagai mubtadi’, membenarkan yang ini, dan merajihkan yang itu. Tanpa diragukan lagi sesungguhnya hal ini merupakan kesalahan, karena termasuk jalan para Salaf dan adab mereka adalah bahwa seorang anak muda jika dia ada di hadapan para ulama atau di negerinya ada para ulama atau dengan adanya mereka, dia tidak akan mendahului mereka, tetapi dia menunggu pendapat dan perkataan mereka agar dia bersama mereka, karena kebenaran –insya Allah– tidak jauh dari mereka dengan izin Allah Azza wa Jalla.

Ini sebagian nasehat dan bimbingan yang saya berharap –insya Allah– jika seorang pemuda salafy istiqamah di atasnya, maka dengan sesizin Allah dia akan selamat dari banyak fitnah dan hal-hal yang membinasakan, wallahu a’lam.

Sumber artikel:
http://www.sahab.net/forums/index.php?showtopic=108091

Alih bahasa: Abu Almass
Kamis, 2 Rajab 1435 H

 

Sumber: http://forumsalafy.net/?p=3060

.

BENARKAH KAEDAH “KEBUTUHAN MENDUDUKI KEBUTUHAN DARURAT”

[ PERTANYAAN KESEMBILAN ]

Asy-Syaikh Ahmad bin Umar Bazmul hafizhahullah

Penanya: Apakah kaedah “kebutuhan menduduki kedudukan darurat” adalah kaedah yang benar? Dan apakah batasan kebutuhan itu?

Asy-Syaikh:

Para ulama membagi hal-hal yang dibutuhkan oleh manusia menjadi 3 jenis:

1. Darurat (primer).
2. Sekunder.
3. Pelengkap.

Kebutuhan darurat adalah hal-hal yang kehidupan manusia tidak akan terwujud kecuali dengannya dan jika kehilangan hal-hal tersebut dia terancam binasa.

Sedangkan kebutuhan sekunder adalah hal-hal yang seandainya manusia kehilangan hal-hal tersebut atau dia tidak mendapatkannya, dia akan merasakan sebagian hal yang menyusahkan, keletihan dan berat dirasakan.

Adapun kebutuhan pelengkap adalah hal-hal yang sifatnya menyempurnakan dan bermewah-mewahan.

Para ulama telah menyebutkan bahwa kebutuhan yang sifatnya pelengkap terkadang bagi sebagian manusia menjadi kebutuhan sekunder, sebagaimana kebutuhan sekunder bagi sebagian manusia yang lain terkadang sampai kepada tingkatan darurat. Dan ini termasuk masalah-masalah fikih Islam yang sifatnya luas yang dijadikan oleh para ulama sebagai pondasi bagi tujuan-tujuan syariat Islam, dan ini termasuk masalah yang ditangani oleh para ulama besar. Jadi tidak bisa masing-masing orang mengatakan: “Ini termasuk kebutuhan darurat.” Atau: “Ini termasuk kebutuhan sekunder.” Atau: “Ini telah sampai pada tingkatan darurat.” Ini semua diukur oleh para ulama karena termasuk masalah-masalah ijtihad yang penanganannya dikembalikan kepada ulama.

Sumber artikel:
http://www.sahab.net/forums/index.php?showtopic=108091

Alih bahasa: Abu Almass
Jum’at, 3 Rajab 1435 H

 

Sumber: http://forumsalafy.net/?p=3072

.

BENARKAH TUJUAN MEMBENARKAN SEGALA CARA

[ Pertanyaan Kesepuluh ]

Asy-Syaikh Ahmad bin Umar Bazmul hafizhahullah

Penanya: Bagaimana kita mendudukan dengan tepat serta mengompromikan bantahan ulama terhadap kaedah “tujuan membenarkan segala cara” dengan fatwa sebagian ulama yang membolehkan melakukan sebagian hal-hal yang diharamkan untuk maslahat, seperti mengikuti keinginan manusia pada sebagian bid’ah, menghadiri tempat-tempat yang diharamkan, dan mengurangi atau mencukur habis jenggot dalam rangka dakwah, dan fatwa-fatwa lain yang semisalnya?

Asy-Syaikh:

Perkataan sebagian orang bahwa “tujuan membenarkan segala cara” ini termasuk musibah yang menimpa sebagian kelompok-kelompok yang berlabel Islam seperti Al-Ikhwan Al-Muslimun dan selain mereka yang menggunakan kaedah ini pada hamba-hamba Allah. Mereka menzhalimi hamba-hamba Allah dan berbuat jahat kepada mereka dengan melanggar kehormatan, darah, serta hak-hak mereka dengan dalih “tujuan membenarkan segala cara.” Bahkan dengan menggunakan kaedah ini mereka merubah-rubah agama Allah seenaknya, dan ini merupakan kaedah yang diambil dari orang-orang kafir.

Adapun Islam maka memperhatikan tujuan dan juga memperhatikan sarana. Jika tujuan tersebut mulia dan sarananya benar atau dibolehkan, maka Islam tidak mengingkarinya.

Adapun jika tujuannya mulia namun sarananya mengandung kezhaliman atau pelanggaran terhadap hak orang lain, atau mengandung perbuatan maksiat atau hal-hal yang tidak pantas dilakukan atau terjatuh pada hal-hal yang diharamkan oleh Allah Azza wa Jalla, maka sesungguhnya tidak dijumpai seorang ulama pun yang membolehkan sarana-sarana yang diharamkan ini untuk meraih tujuan yang dibenarkan oleh syari’at.

Walhamdulillah tidak ada di dalam syari’at Islam tujuan yang yang dibenarkan oleh syari’at namun sarananya haram, kecuali yang disebutkan oleh Ibnul Qayyim yaitu pada perkara nadzar, karena nadzar ini sarananya makhruh dan tidak sampai pada tingkatan diharamkan.
Adapun perkataan sebagaian ulama dan fatwa-fatwa mereka maka itu bukan karena “tujuan membenarkan segala cara” sebagaimana anggapan orang yang mengatakan dan menganalogikannya dengan qiyas yang rusak ini. Tetapi dalam rangka menempuh yang paling ringan kerusakan atau bahayanya, dan dalam perkara yang bisa jadi telah sampai pada tingkatan darurat, yaitu jika seseorang mengkhawatirkan dirinya akan tertimpa bahaya nyata maka boleh baginya untuk melakukan sebagian hal-hal yang diharamkan karena darurat. Perkara yang sifatnya darurat itu sendiri ditakar seperlunya ketika melakukan hal-hal yang diharamkan atau ketika membolehkan perkara yang darurat ini.

Sebagai contoh; memakan bangkai hukumnya haram, tetapi seandainya seseorang khawatir dirinya akan mati (ketika tidak mendapatkan makanan yang halal –pent) maka dia boleh memakan dari bangkai tersebut. Demikian juga misalnya seseorang ada sesuatu yang tersangkut di tenggorokannya, sementara yang ada di dekatnya hanya khamer, maka dia boleh meminum khamer tersebut sekedar untuk bisa menghilangkan sesuatu yang tersangkut di tenggorokannya itu. Jadi di sini sifatnya darurat, bukan karena “tujuan membenarkan segala cara.” Wallahu a’lam.

Sumber artikel: http://www.sahab.net/forums/index.php?showtopic=108091

Alih bahasa: Abu Almass
Jum’at, 3 Rajab 1435 H

 

Sumber: http://forumsalafy.net/?p=3090

.

BENARKAH SEORANG ULAMA YANG TERJATUH PADA BID’AH TIDAK BOLEH DIVONIS SEBAGAI MUBTADI’

[ Pertanyaan Kesebelas ]

Asy-Syaikh Ahmad bin Umar Bazmul hafizhahullah

Penanya:  Kami ingin mengetahui dengan jelas tentang masalah bahwa seseorang (yang terjatuh pada sebuah kebid’ahan –pent) jika dia telah sampai tingkatan ulama maka dia tidak boleh divonis sebagai mubtadi’, apakah tidak bolehnya dia divonis sebagai mubatdi’ tersebut disyaratkan orang tersebut harus seorang ulama, padahal hujjah telah tegak atasnya, berbeda keadaannya dengan orang yang bodoh, ataukah hal tersebut disyaratkan dengan diketahui apakah ulama tersebut jujur dan menginginkan kebenaran ataukah tidak?

Asy-Syaikh:

Masalah memvonis seseorang yang terjatuh pada sebuah kebid’ahan sebagai mubtadi’; jika kebenaran telah nampak baginya namun dia terus-menerus menyelisihinya, maka para ulama akan memvonisnya sebagai mubtadi’ setelah menasehatinya. Ini gambaran pertama.
Gambaran kedua: seseorang dari Ahlus Sunnah yang terjatuh pada sebuah kebid’ahan, jika dia telah meninggal maka dijelaskan bahwa ucapan yang pernah dia katakan itu bathil, hanya saja dia masih termasuk Ahlus Sunnah. Dia salah dalam masalah ini, tetapi tidak divonis sebagai mubtadi’.
Adapun jika dia masih hidup, maka dinasehati dan dijelaskan kesalahannya. Jika dia benar-benar seorang salafy, dia akan segera rujuk kepada kebenaran dengan izin Allah Azza wa Jalla.

Adapun perkataan bahwa “seorang ulama tidak boleh divonis sebagai mubtadi” maka ini merupakan ucapan yang salah. Karena sesungguhnya jika kita memperhatikan perbuatan Salaf, maka sungguh mereka telah memvonis  banyak dari orang-orang yang dianggap berilmu sebagai mubtadi’, bahkan terhadap orang-orang yang termasuk menonjol ilmunya di masanya. Jadi mereka telah memvonis mubtadi’ sekelompok orang-orang yang dikenal memiliki ilmu jika mereka terjatuh pada kebid’ahan setelah menasehatinya. Jadi mereka yang menyatakan bahwa seorang ulama yang terjatuh pada kebid’ahan tidak boleh divonis sebagai mubtadi’, tidak diragukan lagi mereka ini telah membawa manhaj yang baru. Maka kita katakan kepada mereka: “Apa dalil yang berasal dari manhaj Salaf bagi ucapan tersebut?!” Bahkan manhaj Salaf menyelisihi ucapan kalian ini. Wallahu a’lam.

Sumber artikel: http://www.sahab.net/forums/index.php?showtopic=108091

Alih bahasa: Abu Almass
Ahad, 5 Rajab 1435 H

 

Sumber: http://forumsalafy.net/?p=3107

.

SIAPAKAH YANG BERHAK MENILAI BAHWA SESEORANG TELAH MENJADI MUBTADI’

[ Pertanyaan Keduabelas ] ~ Terakhir

Asy-Syaikh Ahmad bin Umar Bazmul hafizhahullah

Penanya: Dalam memvonis seseorang sebagai mubtadi’ atau orang yang menyelisihi manhaj Salaf, apakah disyaratkan harus dengan fatwa dari seorang ulama tertentu, ataukah boleh bagi siapa saja yang mengetahui hujjah dan dalil bahwa seseorang telah terjatuh pada sebuah bid’ah atau penyelisihan, dalam keadaan orang tersebut telah diberi penjelasan dan nasehat, namun dia terus-menerus dan menentang?

Asy-Syaikh:

Seseorang yang terjatuh pada sebuah bid’ah dan telah dinasehati, namun dia terus-menerus dalam bid’ahnya dan menentang, maka orang ini divonis sebagai mubtadi’ oleh para ulama dengan menanyakan keadaannya kepada mereka. Dan hal ini cukup dengan bertanya kepada seorang ulama saja dan tidak disyaratkan ke beberapa ulama. Cukup bertanya kepada seorang ulama tentang keadaan orang tersebut dan tentang kesalahan yang dia terjatuh padanya. Jika ulama tersebut memvonisnya sebagai mubtadi’ maka dia pun dianggap sebagai seorang mubtadi’. Bisa juga jika di sana ada seorang penuntut ilmu yang mapan dan kokoh serta dipersaksikan oleh para ulama bahwa dia kokoh dalam ilmu syari’at dan dia memiliki kemampuan untuk menjelaskan kebenaran serta membantah kebathilan dan menilai orang tersebut, maka semisal dia ini diakui oleh para ulama dan diterima perkataannya. Jadi bukan syarat untuk memvonis seorang mubtadi’ harus seorang ulama besar.

Bahkan jika ada seorang penuntut ilmu yang kokoh dan mendapatkan persaksian ilmu dan pengetahuan yang cukup, dan dia memiliki kemampuan serta keahlian dalam hal tersebut, maka wajib menerima penilaian dan perkataannya, dan ini merupakan prinsip yang benar, wallahu a’lam.

Namun perlu diingatkan bahwa para penuntut ilmu pemula atau menengah atau orang-orang yang tidak memiliki kemampuan menilai manusia secara personal, maka mereka ini tidak boleh untuk menghukumi manusia. Bahkan wajib atas mereka untuk merujuk kepada para ulama atau kepada para penuntut ilmu yang kokoh keilmuannya agar para ulama atau penuntut ilmu yang mapan itu yang menjelaskan kebenaran kepada mereka.

Penanya: Jika di sebagian negeri tidak terdapat para ulama, tetapi yang ada hanya sebagian penuntut ilmu yang mengikuti bimbingan ulama dan mereka memiliki pengetahuan tentang bid’ah, apa hukumnya dalam keadaan semacam ini?

Asy-Syaikh:

Jika di sebuah negeri terdapat para pemuda dari para penuntut ilmu yang kebanyakannya mereka belum mencapai derajat ilmu yang tinggi, tetapi di negeri tersebut tidak ada para ulama, maka jawabannya sebagai berikut:
Pertama perlu diperhatikan keadaan seseorang yang terjatuh pada perkara-perkara ini, jika bid’ahnya nampak jelas dan telah disampaikan kepadanya perkataan para ulama dan fatwa-fatwa mereka, namun nampak darinya kelicikan atau suka bersilat lidah, maka seorang penuntut ilmu jika dia memiliki sedikit ilmu dan sedikit kemampuan, boleh baginya untuk memvonis orang tersebut sebagai mubtadi’. Namun jika perkaranya mengandung kemungkinan lain dan padanya ada hal-hal yang tidak jelas, jika di negeri mereka tidak terdapat para ulama, maka wajib untuk menghubungi para ulama di negeri lain dan menanyakan keadaan orang tersebut kepada mereka. Jadi mereka menghubungi salah seorang masayikh dan mengatakan kepada syaikh tersebut: “Di negeri kami ada seseorang yang mengatakan demikian dan berbuat demikian, kami telah menasehatinya demikan demikian tetapi dia membantahnya dengan menyatakan demikian demikian, maka bagaimana menilai orang tersebut dan bagaimana sikap kami terhadapnya?” Jadi ulama tersebutlah yang akan menjelaskan sikap terhadap orang yang semacam dia itu, wallahu a’lam.

هَذَا وَاللهُ أَعْلَمُ وَصَلَّى اللهُ وَسَلَّمَ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ وَالْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ.

Sumber artikel
http://www.sahab.net/forums/index.php?showtopic=108091

Alih bahasa: Abu Almass
Senin, 6 Rajab 1435 H

 

Sumber: http://forumsalafy.net/?p=3121

 

 

 

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *