Antara Menjaga Dakwah dan Menjaga Pribadi Tertentu (Bag. 3)

Bismillahirrohmanirrohim. o

antara menjaga dakwah dan individu tertentu 3_resize

Asy-Syaikh Hani bin Buraik hafizhahullah

الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه ومن والاه وبعد:

Makalah ini adalah bagian ketiga yang ditulis oleh salah seorang ulama yang Insya Allah sebentar lagi akan datang dalam daurah Masyayikh di Jogjakarta minggu depan. Sebuah tema yang sangat penting dan sangat bermanfaat insya Allah.

….

Penghalang kedua: Mendiamkan kesalahan di kalangan Ahlus Sunnah

Sebagaimana wajib atas orang-orang yang terjun dan mengurusi dakwah untuk menutup telinga mereka dari sikap memuji yang berlebihan, demikian juga wajib atas mereka untuk memfokuskan pendengaran terhadap orang-orang yang memberi nasehat. Terlebih lagi jika nasehat tersebut dari orang-orang yang berakal yang dipersaksikan kebaikan, ilmu, kematangan dan pengalaman mereka, dan wajib atas mereka untuk menghilangkan berbagai prasangka dan tuduhan-tudahn yang buruk.

وَمَا كُلُّ ذِيْ نُصْحٍ بمُؤْتِيْكَ نُصحَـهُ       وَمَا كُلُّ مُؤتٍ نُصحَهُ بِلُبِيْبِ

وَلَكنْ إِذَا مَا استُجْمِعَا عِنْدَ واحـدٍ       فَحُقَّ لَهُ مِنْ طَـــــاعةٍ بِنَــــصِيْـبِ

Tidak setiap orang yang bisa menasehati mau menasehatimu

Dan tidak setiap yang menasehati orang yang cerdas

Tetapi jika dua hal itu tidak terkumpul pada seseorang

Tidak ada salahnya mengikuti nasehat seperlunya

Juga wajib atas mereka untuk berkata jujur kepada orang-orang di sekitar mereka, sebagaimana yang dikatakan oleh Abu Bakr Ash-Shiddiq radhiyallahu anhu ketika menjadi khalifah seperti yang diriwayatkan di dalam Al-Muwaththa’ bahwasanya Abu Bakr Ash-Shiddiq radhiyallahu anhu berkhutbah setelah wafatnya Rasulullah shallallahu alaihi was sallam dengan memuji Allah dan menyanjungnya lalu berkata:

أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّمَا أَنَا مُتَّبِعٌ وَلَسْتُ بِمُبْتَدِعٍ، فَإِنْ أَنَا أَحْسَنْتُ فَأَعِيْنُوْنِيْ، وَإِنْ زِغْتُ فَقَوِّمُوْنِيْ، أَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ.

“Wahai manusia, sesungguhnya aku hanyalah mengikuti dan aku tidak mengada-adakan hal yang baru, jika aku berbuat baik bantulah aku, dan jika aku menyimpang maka luruskanlah aku, demikian yang aku katakan dan aku memohon ampunan untuk diriku dan kalian.”

Al-Imam Malik berkata, “Tidak ada seorang pun menjadi pemimpin kecuali di atas syarat ini.”

Muwaththa’ Malik dengan tahqiq Al-A’zhamy 1/161.

Duhai alangkah agungnya komentar Al-Imam Malik terhadap perkataan yang agung pula dari pemimpin ummat ini setelah nabi mereka shallallahu alaihi was sallam, yaitu Ash-Shiddiq Al-Akbar radhiyallahu anhu.

Dan tidak ada kebaikan bagi siapa saja yang mengurusi satu urusan dari urusan-urusan dakwah dan kekuasaan yang lainnya baik kecil maupun besar, jika dia tidak mau menerima nasehat. Dan tidak ada kebaikan pula bagi orang-orang yang ada di sekitarnya jika mereka tidak mau menyampaikan nasehat kepadanya. Dengan cara seperti inilah dakwah ini akan lurus dan selamat dari kebengkokan, keruwetan dan selamat dari sikap berpaling dari jalan yang benar.

Dan di atas jalan ini pula sunnah salaf kita yang saleh radhiyallahu anhum di dalam memandang nasehat dan usaha memperbaiki kesalahan orang yang salah dan membantah pihak yang menyelisihi dalil sebagai pintu terbesar perbuatan amar ma’ruf nahi mungkar yang dengannya akan terwujud terjaganya agama ini dan terjaganya jalan dakwah agama Allah, bukan dengan mendiamkannya atau justru memujinya di saat yang seharusnya dijelaskan dan disampaikan nasehat.

Bahkan para ulama menganggapnya termasuk jihad yang paling utama. Bagaimana tidak demikian sementara itu merupakan arena pewaris para nabi dan medan perang mereka yang tidak pernah berhenti. Di sanalah mereka mencurahkan inti sari ilmu yang mereka dapatkan dari Al-Kitab dan As-Sunnah, petunjuk dari salaf ummat ini serta pengalaman mereka. Diantara mereka ada yang terbunuh atau disiksa ketika melakukan amar ma’ruf nahi mungkar, atau ketika membantah sebuah bid’ah atau hal yang menyelisihi kebenaran.

Dari pintu inilah mereka membangkitkan cita-cita ummat ini untuk meninggikan kalimat Allah Jalla wa Alla di semua sisi kehidupan. Jadi mereka seperti yang dikatakan oleh Al-Imam Ahmad rahimahullah: “Mereka menjaga kitab Allah dari penyimpangan orang-orang yang melampaui batas, kayakinan orang-orang yang membawa kebathilan dan penafsiran yang salah dari orang-orang yang bodoh yang mengikat panji-panji bid’ah dan melepas tali fitnah…” Ar-Radd Alal Jahmiyyah waz Zanadiqah 1/56.

Mereka ketika menasehati setiap muslim dan memperbaiki kesalahan dari orang yang melakukannya –betapapun tinggi kedudukannya dan mulia derajatnya– mereka menganggap ada berbagai perbedaan antara orang salah dari ulama Ahlus Sunnah dengan orang yang salah dari ahli bid’ah, serta menilai kesalahan sesuai dengan ukurannya dengan timbangan syariat. Jadi mereka tidak berlebihan dan tidak mengurangi serta tidak menunda penjelasan pada waktu yang dibutuhkan.

Adz-Dzahaby berkata pada biografi Al-Hafizh Ibnu Abdil Barr pada kitab Siyar A’lamin Nubala’ 18/157, “Setiap orang bisa diambil dan ditinggalkan ucapannya kecuali Rasulullah shallallahu alaihi was sallam, tetapi jika seorang imam melakukan kesalahan dalam ijtihadnya, kita tidak boleh melupakan kebaikan-kebaikannya dan tidak boleh menutupi keutamaan-keutamaannya, bahkan kita memohon ampunan untuknya dan memberinya udzur.”

Mereka dalam masalah ini dan selainnya mengikuti langkah para nabi yang Allah jelaskan sifat mereka dengan firman-Nya:

الَّذِينَ يُبَلِّغُونَ رِسَالَاتِ اللهِ وَيَخْشَوْنَهُ وَلَا يَخْشَوْنَ أَحَدًا إِلَّا اللهَ وَكَفَى بِاللهِ حَسِيبًا) [الأحزاب: ٣٩]

“Yaitu orang-orang yang menyampaikan risalah-risalah Allah dan mereka takut kepada-Nya dan tidak takut kepada seorang pun selain Allah, dan cukuplah Allah yang menghisab amal hamba-hamba-Nya.” (QS. Al-Ahzab: 39)

Sifat yang agung ini yaitu “mereka takut kepada-Nya dan tidak takut kepada seorang pun selain Allah” demikianlah sepantasnya sifat pewaris para nabi.

 Mereka pada kedudukan ini dan selainnya seperti yang disifati oleh Syaikhul Islam dengan perkataan beliau, “Mereka melarang dari sifat membanggakan diri, sombong, melanggar dan menindas hamba-hamba Allah dengan alasan yang benar ataupun tidak benar. Mereka memerintahkan akhlak-akhlak yang mulia serta melarang akhlak-akhlak yang rendah. Dan semua yang mereka ucapkan dan mereka katakan dari semua ini dan selainnya, mereka hanyalah mengikuti salafus saleh.” (Syarah Al-Aqidah Al-Wasithiyyah karya guru dari masayikh kita yaitu Al-Harras 1/258)

Tidak pernah suatu hari pun salah seorang diantara mereka mengatakan bahwa mendiamkan kesalahan dan menunda penjelasan pada waktu yang dibutuhkan padanya terdapat penjagaan terhadap dakwah atau termasuk maslahat dakwah, apalagi memuji pihak yang salah atau menyimpang.

Dan senantiasa para pengikut salaf orang yang kedudukannya di bawah berani membantah orang yang lebih mulia diantara mereka, orang yang tidak memiliki kedudukan dan kemuliaan berani membantah orang yang memilikinya. Bahkan terkadang orang yang tidak dikenal membantah orang yang masyhur. Mereka tidak menganggap hal tersebut sebagai sikap lancang selama pihak yang membantah membawa kebenaran, penjelasan dan hujjah.

Saya sebutkan secara khusus –yaitu memperbaiki kesalahan yang dilakukan oleh orang yang tidak dikenal terhadap kesalahan orang yang masyhur– apa yang dikisahkan oleh Al-Qadhy Al-Kabir Ibnul Araby Al-Maliky di dalam kitabnya Ahkamul Qur’an (1/248), dan saya telah menyebutkannya di sebuah ceramah yang saya sampaikan di Yaman di kota Al-Huthah ibukota provinsi Lahj di masjid Jami’ Al-Khathib. Ceramah ini memberikan pengaruh yang baik pada hati manusia karena kita menghadapi anggapan sebagian orang bahwa orang-orang yang membantah Abul Hasan (Al-Ma’riby) adalah orang-orang yang tidak dikenal dan tersembunyi sehingga mereka tidak diterima.

Duhai alangkah samanya malam ini dengan tadi malam. Maka kita hari ini perlu untuk menyebutkan sikap ini, karena sesungguhnya kita tidak akan mengambil manfaat dari apa yang telah lalu jika kenyataannya kesalahan-kesalahan ini terus berulang. Berikut ini apa yang dikatakan oleh Al-Qadhy Ibnul Araby:

«أَخْبَرَنِي مُحَمَّدُ بْنُ قَاسِمٍ الْعُثْمَانِيُّ غَيْرَ مَرَّةٍ: وَصَلْت الْفُسْطَاطَ مَرَّةً، فَجِئْت مَجْلِسَ الشَّيْخِ أَبِي الْفَضْلِ الْجَوْهَرِيِّ، وَحَضَرْت كَلَامَهُ عَلَى النَّاسِ، فَكَانَ مِمَّا قَالَ فِي أَوَّلِ مَجْلِسٍ جَلَسْت إلَيْهِ: إنَّ النَّبِيَّ r طَلَّقَ وَظَاهَرَ وَآلَى، فَلَمَّا خَرَجَ تَبِعْته حَتَّى بَلَغْت مَعَهُ إلَى مَنْزِلِهِ فِي جَمَاعَةٍ، فَجَلَسَ مَعَنَا فِي الدِّهْلِيزِ وَعَرَّفَهُمْ أَمْرِي، فَإِنَّهُ رَأَى إشَارَةَ الْغُرْبَةِ وَلَمْ يَعْرِفْ الشَّخْصَ قَبْلَ ذَلِكَ فِي الْوَارِدِينَ عَلَيْهِ، فَلَمَّا انْفَضَّ عَنْهُ أَكْثَرُهُمْ قَالَ لِي: أَرَاك غَرِيبًا، هَلْ لَك مِنْ كَلَامٍ؟ قُلْت: نَعَمْ. قَالَ لِجُلَسَائِهِ: أَفْرِجُوا لَهُ عَنْ كَلَامِهِ. فَقَامُوا وَبَقِيت وَحْدِي مَعَهُ. فَقُلْت لَهُ: حَضَرْت الْمَجْلِسَ الْيَوْمَ مُتَبَرِّكًا بِك (هذا لا يستقيم؛ لأن طلب البركة لا يكون إلا من الله جل وعلا، أو ما نص عليه أنه مبارك من الله، إلا إن أراد بركة العلم ومجالس العلم، وحينها نقدر الكلام (متبركا بمجلس العلم))، وَسَمِعْتُك تَقُولُ: آلَى رَسُولُ اللهِ r وَصَدَقْت، وَطَلَّقَ رَسُولُ اللهِ r وَصَدَقْت. وَقُلْت: وَظَاهَرَ رَسُولُ اللهِ r وَهَذَا لَمْ يَكُنْ، وَلَا يَصِحُّ أَنْ يَكُونَ؛ لِأَنَّ الظِّهَارَ مُنْكَرٌ مِنْ الْقَوْلِ وَزُورٌ؛ وَذَلِكَ لَا يَجُوزُ أَنْ يَقَعَ مِنْ النَّبِيِّ r. فَضَمَّنِي إلَى نَفْسِهِ وَقَبَّلَ رَأْسِي، وَقَالَ لِي: أَنَا تَائِبٌ مِنْ ذَلِكَ، جَزَاك اللهُ عَنِّي مِنْ مُعَلِّمٍ خَيْرًا. ثُمَّ انْقَلَبْت عَنْهُ، وَبَكَّرْت إلَى مَجْلِسِهِ فِي الْيَوْمِ الثَّانِي، فَأَلْفَيْته قَدْ سَبَقَنِي إلَى الْجَامِعِ، وَجَلَسَ عَلَى الْمِنْبَرِ، فَلَمَّا دَخَلْت مِنْ بَابِ الْجَامِعِ وَرَآنِي نَادَى بِأَعْلَى صَوْتِهِ: مَرْحَبًا بِمُعَلِّمِي؛ أَفْسِحُوا لِمُعَلِّمِي، فَتَطَاوَلَتْ الْأَعْنَاقُ إلَيَّ، وَحَدَّقَتْ الْأَبْصَارُ نَحْوِي، وَتَعْرِفنِي: يَا أَبَا بَكْرٍ -يخاطب القاضي ابن العربي رحمه الله ناقل القصة عنه يُشِيرُ إلَى عَظِيمِ حَيَائِهِ، فَإِنَّهُ كَانَ إذَا سَلَّمَ عَلَيْهِ أَحَدٌ أَوْ فَاجَأَهُ خَجِلَ لِعَظِيمِ حَيَائِهِ، وَاحْمَرَّ حَتَّى كَأَنَّ وَجْهَهُ طُلِيَ بِجُلَّنَارٍ- قَالَ: وَتَبَادَرَ النَّاسُ إلَيَّ يَرْفَعُونَنِي عَلَى الْأَيْدِي وَيَتَدَافَعُونِي حَتَّى بَلَغْت الْمِنْبَرَ، وَأَنَا لِعَظْمِ الْحَيَاءِ لَا أَعْرِفُ فِي أَيْ بُقْعَةٍ أَنَا مِنْ الْأَرْضِ، وَالْجَامِعُ غَاصٌّ بِأَهْلِهِ، وَأَسَالَ الْحَيَاءُ بَدَنِي عَرَقًا، وَأَقْبَلَ الشَّيْخُ عَلَى الْخَلْقِ، فَقَالَ لَهُمْ: أَنَا مُعَلِّمُكُمْ، وَهَذَا مُعَلِّمِي؛ لَمَّا كَانَ بِالْأَمْسِ قُلْت لَكُمْ: آلَى رَسُولُ اللهِ r وَطَلَّقَ، وَظَاهَرَ؛ فَمَا كَانَ أَحَدٌ مِنْكُمْ فَقُهَ عَنِّي وَلَا رَدَّ عَلَيَّ، فَاتَّبَعَنِي إلَى مَنْزِلِي، وَقَالَ لِي كَذَا وَكَذَا؛ وَأَعَادَ مَا جَرَى بَيْنِي وَبَيْنَهُ، وَأَنَا تَائِبٌ عَنْ قَوْلِي بِالْأَمْسِ، وَرَاجِعٌ عَنْهُ إلَى الْحَقِّ؛ فَمَنْ سَمِعَهُ مِمَّنْ حَضَرَ فَلَا يُعَوِّلْ عَلَيْهِ. وَمَنْ غَابَ فَلْيُبَلِّغْهُ مَنْ حَضَرَ؛ فَجَزَاهُ اللهُ خَيْرًا؛ وَجَعَلَ يَحْفُلُ فِي الدُّعَاءِ، وَالْخَلْقُ يُؤَمِّنُونَ» قال القاضي ابن العربي: «فَانْظُرُوا رَحِمَكُمْ اللهُ إلَى هَذَا الدِّينِ الْمَتِينِ، وَالِاعْتِرَافِ بِالْعِلْمِ لِأَهْلِهِ عَلَى رُءُوسِ الْمَلَإِ مِنْ رَجُلٍ ظَهَرَتْ رِيَاسَتُهُ، وَاشْتُهِرَتْ نَفَاسَتُهُ، لِغَرِيبٍ مَجْهُولِ الْعَيْنِ لَا يُعْرَفُ مَنْ وَلَا مِنْ أَيْنَ، فَاقْتَدُوا بِهِ تَرْشُدُوا»

“Telah mengabarkan kepadaku Muhammad bin Qasim Al-Utsmany tidak hanya sekali: ‘Saya pernah suatu kali sampai di daerah Al-Fusthath, maka saya mendatangi majelis Asy-Syaikh Abul Fadhl Al-Jauhary ketika beliau menyampaikan ilmu kepada manusia. Pertama kali yang beliau katakan di majelis yang baru saya hadiri pertama kali itu adalah bahwasanya Nabi shallallahu alaihi was sallam pernah melakukan thalaq, zhihar dan ila’. Ketika beliau keluar maka saya ikuti beliau hingga saya sampai di rumahnya bersama beberapa orang. Beliau duduk bersama kami di teras dan menjelaskan keadaanku kepada manusia, karena beliau melihat ada yang asing dan tidak mengenal seseorang di tengah-tengah orang-orang yang hadir sebelum itu. Ketika sebagian besar manusia telah pulang maka beliau berkata kepadaku, “Saya melihatmu sebagai orang yang asing, apakah ada yang ingin engkau sampaikan?” Saya jawab, “Ya.” Beliau berkata kepada orang-orang yang duduk di sekitarnya, “Biarkan dia sendiri menyampaikan ucapannya!” Maka mereka pun pergi dan tinggal saya sendiri bersama beliau. Maka saya katakan kepada beliau, “Hari ini saya datang ke majelis Anda untuk mencari berkah[1]

dari Anda dan saya mendengar Anda mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu alaihi was sallam pernah melakukan ila’ dan Anda benar, Rasulullah shallallahu alaihi was sallam pernah melakukan thalaq dan Anda benar, dan Anda mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu alaihi was sallam pernah melakukan zhihar, dan tidak pernah terjadi dan tidak benar jika terjadi, karena zhihar adalah kemungkaran dan ucapan dusta, dan hal itu tidak boleh terjadi pada Nabi shallallahu alaihi was sallam.” Maka beliau memelukku dan mencium kepalaku lalu berkata kepadaku, “Aku bertaubat darinya, semoga Allah membalasmu dengan kebaikan atas jasamu kepadaku sebagai orang yang mengajarkan kebaikan.” Kemudian saya meninggalkan rumah beliau. Pada hari kedua saya mendatangi majelis beliau agak awal, ternyata beliau telah mendahuluiku ke masjid Jami’ dan telah duduk di atas mimbar. Ketika saya masuk melalui pintu masjid dan beliau melihatku maka beliau memanggilku dengan suara keras, “Marhaban wahai guruku, berikan tempat buat guruku!” Maka leher-leher manusia menengadah kepadaku dan pandangan manusia melihatku dengan tajam dan mereka mengenalku wahai Abu Bakar.” –Muhammad bin Qasim Al-Utsmany memanggil Al-Qadhy Ibnul Araby rahimahullah yang menukilkan kisah ini dari beliau, beliau (Muhammad bin Qasim Al-Utsmany) mengisyaratkan besarnya rasa malu beliau. Beliau jika ada seseorang yang menyampaikan salam kepadanya atau ada yang datang dengan tiba-tiba maka beliau merasa rikuh karena besarnya rasa malu beliau dan memerah mukanya seakan-akan wajahnya diolesi dengan bunga pohon delima– Muhammad bin Qasim melanjutkan ceritanya: ‘Manusiapun segera memberi jalan kepadaku dan saling membentangkan tangan hingga saya tiba di dekat mimbar. Karena begitu malu saya tidak menyadari di bumi bagian mana saya sedang berada. Sementara masjid penuh sesak dengan manusia dan rasa malu membuat badanku bercucuran keringat. Dan Asy-Syaikh menghadap ke arah manusia lalu berkata kepada mereka, “Aku adalah guru kalian dan ini adalah guruku. Kemarin aku mengatakan kepada kalian bahwa Rasulullah shallallahu alaihi was sallam telah melakukan ila’, thalaq dan zhihar. Namun tidak ada seorang pun diantara kalian yang menyadari kesalahanku dan berani membantahku. Lalu dia ini mengikutiku hingga ke rumahku dan mengatakan kepadaku demikian dan demikian.” Beliau menceritakan kembali apa yang terjadi antara diriku dengannya.” Lalu beliau berkata: “Dan aku bertaubat atas ucapanku kemarin dan rujuk kepada kebenaran. Maka siapa yang mendengarnya janganlah menjadikannya sebagai sandaran, dan siapa yang tidak hadir maka hendaklah yang hadir menyampaikan kepadanya, semoga Allah membalasnya dengan kebaikan.” Lalu beliau nampak bersungguh-sungguh berdoa dan manusia mengamini.’

Al-Qadhy Ibnul Araby berkata, “Perhatikanlah –semoga Allah merahmati kalian– agama yang kokoh serta pengakuan terhadap ilmu bagi pemiliknya di hadapan manusia yang banyak dari seseorang yang telah nampak kepemimpinannya dan telah terkenal keutamaannya, kepada seseorang yang tidak dikenal dan tidak diketahui siapa dia dan dari mana asalnya. Maka teladanilah niscaya kalian akan terbimbing ke jalan yang lurus.”

Maka wahai saudaraku pembaca, Anda bisa membandingkan komentar Al-Qadhy Ibnul Araby terhadap sikap yang agung dari Asy-Syaikh yang agung dan pendidik yang mulia ini yang sejarah tidak berbuat zhalim terhadap beliau dan terhadap sikap beliau yang akan terus dikenang agar menjadi pelajaran bagi generasi-generasi setelahnya, dengan orang yang mengatakan tentang sebagian penulis di forum-forum salafy di internet bahwa mereka adalah orang-orang yang majhul dan tidak dikenal, sehingga tidak boleh diambil apa yang mereka bawa, tanpa merinci mana yang termasuk kebenaran dan mana yang termasuk kebathilan. Lebih dari itu mereka terus berupaya untuk menutup forum ini.

Dan sesungguhnya saya benar-benar mengatakan demi Allah kemudian demi Allah, seandainya yang membawa kebenaran adalah seorang musuh yang sangat jelas permusuhannya, niscaya tetap wajib menerima kebenaran darinya dan tunduk kepada kebenaran yang dia bawa dan meninggalkan kebathilan yang ada padanya. Dan ini merupakan perkara yang telah tertanam kokoh pada Ahlus Sunnah wal Jama’ah.

Sesungguhnya sikap diam total dari kesalahan orang yang salah, bahkan memujinya yang dilakukan oleh orang-orang yang memiliki kewajiban untuk menjelaskan yang mereka mengetahui hal-hal yang menyelisihi kebenaran atau yang melampaui batas, apalagi mendudukannya seperti kedudukan para hakim yang memutuskan perkara, ini semua tidak pernah sehari pun termasuk dari manhaj salaf dan bukan pula termasuk maslahat menurut syariat untuk menjaga dakwah sama sekali. Dan barangsiapa mengklaim bahwa ini termasuk sikap yang sesuai syariat yang sesuai dengan jalan para salaf maka hendaklah dia mendatangkan hujjah kepada kami dan kami –insya Allah– akan tunduk kepadanya.

Tidak lupa pada kesempatan ini untuk saya ingatkan sebuah hal yang mungkin akan disalahpahami oleh sebagian pihak, yaitu bahwasanya di sana ada perbedaan antara menyembunyikan ilmu yang sifatnya sementara demi maslahat dengan mendiamkan kesalahan orang yang salah, bahkan lebih dari itu yaitu dengan memujinya, padahal keadaannya membutuhkan nasehat dan penjelasan.

Menyembunyikan ilmu yang sifatnya sementara karena ada perkara-perkara yang mungkin tidak akan bisa dipahami oleh sebagian orang, hal ini adalah sesuatu yang diakui oleh para salaf disertai sikap tidak menyembunyikan ilmu secara mutlak. Hal itu jika pada penjelasan tersebut dikhawatirkan akan menimbulkan fitnah bagi sebagian orang yang bisa menyebabkan syariat ditolak atau didustakan. Dan sebagian ulama mengkhususkan hal ini pada perkara-perkara yang tidak berkaitan dengan sahnya suatu ibadah atau akidah. Sedangkan sikap mendiamkan kesalahan dalam agama, padanya terdapat persetujuan terhadap kebathilan yang disandarkan kepada agama padahal bukan termasuk bagian darinya. Dan terkadang kesalahan ini disertai tindakan zhalim kepada manusia sehingga wajib untuk mencegah orang yang zhalim dan memberikan keadilan kepada pihak yang dizhalimi.

Walaupun di sana ada pihak yang mendapatkan udzur secara syariat ketika dia tidak ikut menjelaskan suatu kesalahan karena sebab-sebab yang bisa diterima dan mencukupkan dengan orang yang sudah menjelaskan dari orang-orang yang terkena kewajiban yang sifatnya fardhu kifayah yang seandainya tidak ada orang lain yang menjelaskan niscaya wajib juga atasnya untuk menjelaskan, hanya saja perkara yang tidak ada udzur bagi seorang pun adalah dengan mengesankan sikap diam ini sebagai pakaian yang sesuai syariat dan dijadikan sikap untuk menyalahkan orang yang menasehati dan menjelaskan kebenaran dan memuji pihak yang salah.

Kemudian setelah ini ada yang mengatakan bahwa sesungguhnya ini adalah perkara yang Allah jadikan bermanfaat dan padanya terdapat maslahat bagi dakwah –yaitu mendiamkan kesalahan pihak yang salah dan lebih dari itu bahkan dengan memujinya– maka ini adalah kezhaliman yang tidak bisa dibiarkan, dan siapa saja yang mengatakan dan mengklaimnya tidak boleh disetujui, walaupun dia orang yang dekat dan tercinta. Jadi kebenaran lebih kita cintai, karena sikap itu akan menyebabkan disandarkannya kepada syariat ini hal-hal yang bukan termasuk bagian darinya.

ظُلْمُ ذَوِيْ القُرْبَى أَشَدُّ مَضَاضَةً          عَلَى الْمَرْءِ مِنْ وَقعِ الحُسَامِ المُهَنَّدِ

Kezhaliman dari kerabat dekat yang menimpa seseorang

Lebih pedih rasanya dibandingan tebasan pedang dari India

Disebabkan sikap seperti inilah banyak orang-orang yang bersembunyi dengan penampilan As-Sunnah di sisi sebagian ulama yang mulia merasa aman ketika menampakkan perbuatannya yang menyelisihi kebenaran karena tidak khawatir mereka akan menyalahkannya dan tidak akan mengingkarinya dengan terang-terangan sebagaimana dia mnempakkan kesalahannya dengan terang-terangan. Bahkan cukup baginya dengan pura-pura menangis dan merasa dizhalimi oleh pihak yang menasehatinya dan menjelaskan kesalahannya. Juga dengan menceritakan dirinya apa yang diketahui darinya berupa manhaj salaf yang selama ini dia tempuh, atau mencukupkan dengan ketenarannya sehingga dia bisa meraih simpati dan pembelaan. Bahkan terkadang mereka menyalahkan pihak yang mengingkari kesalahannya dengan slogan demi maslahat dakwah dan menjaga persatuan, tanpa memperhatikan berbagai kerusakan akibat sikap semacam ini yang diantaranya adalah akan tertipunya orang-orang bodoh dengan pihak yang menyelisihi kebenaran dan juga akan tertipu siapa yang saja yang tidak bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah, serta akan menyalahkan pihak yang menasehati yang jujur dan menilainya sebagai orang yang tidak bisa menimbang maslahat dan mafsadat dan sebagai biang perpecahan di barisan kaum muslimin.

Oleh karena inilah kita menjumpai sebagian pemuda kita ada yang mengatakan, “Kenapa syaikh fulan membantah sedangkan ulama lain tidak membantah, kenapa syaikh fulan sering berseberangan dengan seorang dai atau seorang syaikh Ahlus Sunnah.” Dan ucapan-ucapan lainnya yang dibangun di atas pemahaman yang rusak dalam prinsip membantah pihak yang menyelisihi kebenaran. Padahal membantah pihak yang menyelisihi kebenaran sebagaimana hal itu telah disepakati para ulama adalah termasuk fardhu kifayah dan tidak mengharuskan semua ulama untuk membantah, kemudian juga karena kebid’ahan dan orang-orang yang mengusungnya terus bermunculan sedangkan Ahlus Sunnah yang masih hidup tidak memiliki jaminan selamat dari fitnah.

Dan kita berhak untuk mengatakan: “Mengapa mereka tidak berhenti dari sikap menyelisihi As-Sunnah dan membuat prinsip-prinsip serta kaedah-kaedah untuk menghancurkan kaedah-kaedah Ahlus Sunnah, padahal manhaj Ahlus Sunnah berlepas diri darinya. Bukankah termasuk kezhaliman dan ketidakadilan dengan kita membungkam orang-orang yang menyampaikan nasehat, berusaha merusak pena-pena mereka, menumpahkan tinta-tinta mereka dan merobek-robek kertas mereka?!” Ini adalah hal-hal yang tidak menyenangkan bagi orang-orang yang membela kebenaran, yang merasa senang dan berbinar-binar matanya hanyalah orang-orang yang memusuhi As-Sunnah.

Dahulu Al-Husain bin Ali Al-Karabisy teranggap sebagai salah seorang Ahlus Sunnah, bahkan termasuk tokoh-tokohnya. Maka tatkalan dia mengada-adakan keyakinan yang tidak ada pendahulunya dan menyeret kepada kesesatan, bangkitlah Imam Ahlus Sunnah Ahmad bin Hanbal untuk membantahnya. Kemudian Al-Karabisy merasa perlu untuk merubah cara dan metode di dalam mengusung kesesatannya, namun Al-Imam Ahmad tetap mengingkarinya sehingga Al-Karabisy merasa tersudut dan mencela Al-Imam Ahmad dengan mengatakan, “Apa yang akan kita lakukan terhadap anak kecil ini?!” Dan ketika itu A-Imam Ahmad mengatakan, “Bencana mereka hanyalah berasal dari kitab-kitab yang mereka ada-adakan ini dan meninggalkan atsar.” Maksudnya mereka menulisnya tidak berdasarkan atsar, tetapi hanya dengan pendapat-pendapat, kaedah-kaedah serta prinsip-prinsip yang dibuat-buat sebagian manusia.

Jadi apa dosa Asy-Syaikh Rabi’ hafizhahullah dan siapa saja yang bersama beliau jika kebathilan tidak berhenti dan berbagai bid’ah terus bermunculan, sementara seorang sunni tidak terjamin selamat dari fitnah?! Seakan-akan pihak yang menyelisihi kebenaran dan dibantah ada yang mengatakan, “Apa yang telah diketahui dariku berupa manhaj salaf yang selama ini aku tempuh, cukup untuk memaklumi semua kesalahan-kesalahanku betapapun besarnya bahaya dan kerusakannya.”

Yang lebih mengerikan dari hal itu adalah engkau jumpai sebagian ulama ada yang fanatik terhadap pihak yang dibantah[2] tanpa memperhatikan penyimpangannya dan sisi bantahannya, karena dia memandang siapa saja yang berpegang teguh dengan manhaj salafus saleh dari orang awam tidak akan mungkin terjatuh pada kesalahan, apalagi jika dia termasuk ulama.

Maslahat yang sifatnya baru sebatas dugaan ini pada sikap mendiamkan kesalahan pihak yang salah yaitu demi menjaga dakwah, ini akan menyeret kepada berbagai kerusakan besar yang intinya bisa kita ringkas pada dua hal:

Pertama: Memunculkan manhaj baru yang diada-adakan dalam menasehati dan memperbaiki kesalahan ilmiah yang sifatnya manhaj dan perilaku yang melampaui batas yang telah tersebar jika muncul dari orang yang dianggap termasuk Ahlus Sunnah. Dan hal ini berarti menganggap cara salaf salah atau kurang tepat sehingga perlu dibenahi atau dikoreksi. Ini sudah cukup menunjukkan kesalahan untuk membantah cara semacam ini.

Kedua: Menunda-nunda penjelasan dari waktu yang dibutuhkan oleh manusia, dan inilah yang menyebabkan berbagai kerusakan. Satu kerusakan saja sudah cukup untuk menunjukkan bathilnya cara semacam ini.

Diantara kerusakan-kerusakan yang diakibatkan oleh sikap menunda-nunda penjelasan dari waktu yang dibutuhkan itu adalah semakin lamanya fitnah dan semakin banyaknya orang-orang yang terjatuh padanya, memecah belah persatuan, saling membelakangi dan bermusuhan, menimbulkan kebingungan di tengah-tengah orang-orang yang terjun di medan dakwah serta orang-orang di sekitar mereka. Juga menjadikan orang yang mengikuti kebathilan terus-menerus di dalam kebathilannya, serta para dai dan orang-orang yang mengurusi dakwah hingga para ulama besar akan dilecehkan.

Maka keadaannya seperti tanaman kecil yang tumbuh di tengah jalan yang setiap hari semakin besar sementara manusia hanya mengatakan, “Urusannya gampang.” Akhirnya dia semakin membesar dan memiliki akar yang kuat dan cabang yang banyak, padahal dia tidak memiliki buah yang bisa dimanfaatkan, bahkan dauan-daunnya yang bertebaran mengganggu orang-orang yang lewat di jalan itu hingga menjadi kotor disebabkan daun-daun yang berjatuhan dari pohon tersebut, sementara sebagian manusia ada yang beralasan bahwa pohon tersebut memberikan naungan yang bermanfaat, padahal naungan yang terbatas itu tidak bisa dibandingkan dengan besarnya gangguan yang diakibatkan oleh pohon itu. Setiap hari yang berlalu semakin bertambah gangguan yang ditimbulkan oleh pohon tersebut dan daun-daunnya, hingga akhirnya orang tidak bisa melewati jalan itu kecuali dengan cara yang sulit. Ketika itulah muncullah suara-suara keras dari tetangga sekitar bahwa tembok rumah-rumah mereka retak dan mereka khawatir bahaya akan menjadi semakin besar, dan mungkin saja diantara mereka adalah orang dahulu beralasan bahwa pohon itu memiliki naungan yang bisa memberi manfaat walaupun terbatas. Ketika itu barulah mereka bertekad untuk mencabut pohon tersebut yang tentunya sangat memberatkan mereka. Mereka pun mengerahkan para pekerja hingga terpaksa menghancurkan sebagian pagar rumah-rumah terdekat agar mereka bisa mencabut seluruh akarnya. Padahal bisa bagi mereka untuk mencabutnya sejak awal hanya dengan menggunakan dua jari, ibu jari dan telunjuk, tidak perlu dengan jari yang lain.

Dan ini adalah keadaan banyak orang yang bersembunyi dengan penampilan As-Sunnah dan namanya naik daun karena pujian ulama kepadanya. Maka tatkala dia sudah merasa aman, dia pun berani menampakkan hakekatnya yang sesungguhnya sedikit demi sedikit. Kemudian dia mulai bertameng dengan sebagian ulama Ahlus Sunnah yang mulia agar bisa melawan kritikan ulama yang lain yang kepalsuannya di dalam mengaku sebagai pengikut Ahlus Sunnah telah tersingkap oleh mereka berdasarkan hujjah dan dalil. Dia pun mulai menabur benih-benih perpecahan, menyusun kekuatan dan mengotak-ngotak para pemuda Ahlus Sunnah di sekitarnya. Akhirnya keadaan mereka menjadi seperti pohon yang dibuat sebagai permisalan di atas.

Jadi berapa banyak fitnah membesar dan semakin dahsyat kobarannya, dan tidaklah kobaran api itu ketika masih berupa titik memberatkan nafas untuk memadamkannya, namun dia akan susah dipadamkan setelah membesar hingga membakar sekian kaum atau hawa panasnya mengenai kaum yang lain, dan orang selamat hanyalah yang Allah selamatkan, sebagaimana pepatah mengatakan: “Api yang besar itu berasal dari percikan api yang diremehkan.”

Demikianlah seandainya kalimatul haq itu diucapkan tanpa basa-basi atau sungkan serta tanpa dihalangi oleh alasan-alasan yang tidak tepat untuk menunda-nunda penjelasan dan mengamalkan manhaj salaf di dalam memperbaiki kesalahan sejak awal, niscaya semua itu tidak dikhawatirkan akan terjadi dan fitnah akan terkubur di tempat tidurnya, serta orang yang menyelisihi kebenaran tidak akan merasa dirinya besar dan tidak akan dianggap besar oleh para pengikutnya.

Dan –insya Allah Ta’ala– akan menjadi jelas dengan berbagai contoh berupa sikap-sikap para salaf dan sejauh mana bertentangannya maslahat yang sifatnya masih sebatas dugaan pada sikap mendiamkan kesalahan pihak yang salah terhadap manhaj salaf.

Dan jika mendiamkan kesalahan ini ditambah dengan pujian yang besar kepada pihak yang salah dan memberinya kedudukan yang besar kepadanya tanpa melihat kesalahan-kesalahannya pada waktu yang membutuhkan penjelasan dan nasehat, apalagi disertai menyalahkan pihak yang melakukan perbaikan kesalahan tersebut dan menjelaskan kebenaran, serta mensifatinya sebagai orang yang mengobarkan fitnah, maka akan nampak dengan jelas bagi kita sejauh mana kejahatan dan bahaya yang mengancam upaya nasehat dan memperbaiki kesalahan.

Kerusakan-kerusakan cara seperti ini telah nampak dalam bentuk yang lebih buruk yaitu dengan semakin menjadinya sebagian orang yang dibiarkan kesalahannya dan sikap dia yang merendahkan orang-orang yang memujinya yang mendiamkan kesalahannya dari orang-orang yang menganggap sikap itu sebagai maslahat. Dan alangkah bagusnya perkataan seorang penyair:

وَمَنْ يَجْعَلِ المَعْرُوفَ فِي غَيْرِ أَهْلِهِ         يَكُنْ حَمْدُهُ ذَماً عَلَيْهِ وَيَنْدَمِ

Siapa yang memberikan kebaikan kepada orang yang tidak pantas menerimanya

Pujiannya justru menjadi celaan atasnya dan dia akan menjadi orang yang menyesal

Dan setelah ini maka saya menilai bukan sebuah dosa jika saya mengatakan bahwa munculnya ijtihad semacam ini dari sebagian orang-orang yang memiliki keutamaan yaitu orang-orang yang benar-benar kita cintai dan kita hormati serta kita jaga keutamaan dan senioritas mereka dalam dakwah –dan kita tidak mensucikan seorang pun di sisi Allah– tidak berarti menjadikan hal ini sebagai sesuatu yang boleh dengan alasan muncul dari mereka, dan kita tidak akan menilai maksud dan kejujuran niat mereka karena hal ini termasuk sikap menyelisihi salaf dalam masalah ini sebagaimana yang telah kita jelaskan.

Terlebih lagi jika tidak diiringi dengan sikap yang sesuai syariat terhadap pihak yang zhalim dan yang dizhalimi yang timnnyabang adalah hadits Anas bin Malik radhiyallahu anhu yang dia berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi was sallam bersabda:

«انْصُرْ أخَاكَ ظَالماً أوْ مَظْلُوْماً»

“Tolonglah saudaramu baik yang berbuat zhalim maupun yang dizhalimi.”

Maka ada seseorang yang bertanya, “Wahai Rasulullah, saya akan menolongnya jika dia terzhalimi, tetapi bagaimana caranya saya menolongnya jika dia yang berbuat zhalim?” Beliau menjawab:

«تَحْجُزُهُ أَوْ تَمْنَعُهُ عَنْ الظُّلْمِ، فَإِنَّ ذَلِكَ نَصْرُهُ»

“Engkau halangi atau engkau cegah dari kezhaliman, maka sesungguhnya hal itu merupakan bentuk menolongnya.”

Di dalam riwayat lain para shahabat bertanya, “Bagaimana kami menolongnya ketika dia berbuat zhalim?” Rasulullah shallallahu alaihi was sallam menjawab:

«تَأْخُذُ فَوْقَ يَدَيْهِ»

“Engkau pegang kedua tangannya.”

Diriwayatkan oleh Al-Bukhary 5/70 di dalam kitab Al-Mazhalim, bab A’in Akhaaka Zhaaliman au Mazhluuman, dan di dalam kitab Al-Ikrah, bab Yamiinur Rajuli li Shaahibihi Annahu Akhuuhu Idzaa Khaafa alaihil Qatlu au Nahwuh serta diriwayatkan oleh At-Tirmidzy di dalam kitab Al-Fitan, bab no. 68 no. hadits 2256.

Dan tidak ada salahnya jika kita katakan bahwa cara ini merupakan hasil ijtihad pribadi yang tidak pada tempatnya, dan munculnya dari orang-orang yang memiliki keutamaan tidak berarti menghalangi untuk menyalahkannya serta menyikapinya dengan kritis dan menilainya dengan manhaj salaf yang kita semua –insya Allah– komitmen dengannya dalam ucapan dan perbuatan, dan saya tidak menyangka jika mendiskusikan masalah seperti ini akan menggoncang seseorang yang menghormati manhaj salaf dan berpegang teguh dengannya.

Manhaj yang banyak diikuti manusia ini di dalam menyikapi pihak yang menyelisihi kebenaran tujuan sebenarnya adalah untuk melindungi orang-orang tertentu betapapun muncul penyimpangan darinya dan betapapun jauhnya dia dari As-Sunnah, dengan label menjaga maslahat dakwah.

Dan terkadang dengan dalih karena mereka adalah orang-orang yang ditazkiyah oleh para ulama besar. Padahal kita mengetahui bahwa tazkiyah para ulama besar bagi para dai dan para penuntut ilmu berlaku selama mereka masih istiqomah di atas As-Sunnah. Inilah persangkaan kita terhadap para ulama, karena mereka tidak pernah mengikat manusia kecuali dengan Al-Kitab dan As-Sunnah.

Salaf kita yang saleh radhiyallahu anhum telah menjelaskan bahwa orang yang masih hidup tidak ada jaminan akan selamat dari fitnah, dan bahwasanya meneladani yang benar adalah dengan meneladani orang-orang yang telah meninggal dalam keadaan kokoh di atas As-Sunnah. Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu anhu dia berkata:

«مَنْ كَانَ مُسْتَنًّا، فَلْيَسْتَنَّ بِمَنْ قَدْ مَاتَ، فَإِنَّ الْحَيَّ لَا تُؤْمَنُ عَلَيْهِ الْفِتْنَةُ، أُوْلَئِكَ أَصْحَابُ مُحَمَّدٍ r، كَانُوْا أَفْضَلَ هَذِهِ الْأُمَّةِ: أَبَرَّهَا قُلُوْبًا، وَأَعْمَقَها عِلْمًا، وَأَقَلَّهَا تَكَلُّفًا، اخْتَارَهُمْ اللهُ لِصُحْبَةِ نَبِيِّهِ وَلِإِقَامَةِ دِيْنِهِ، فَاعْرِفُوْا لَهُمْ فَضْلَهُمْ، وَاتَّبِعُوْهُمْ عَلَى أَثَرِهِمْ، وَتَمَسَّكُوْا بِمَا استَطَعْتُمْ مِنْ أَخْلَاقِهِمْ وَسِيَرِهِمْ، فَإِنَّهُمْ كَانُوْا عَلَى الْهُدَى الْمُسْتَقِيْمِ»

“Siapa yang ingin mengambil teladan, hendaklah dia meneladani orang yang telah meninggal, karena orang yang masih hidup tidak ada jaminan akan selamat dari fitnah. Mereka itu adalah para shahabat Muhammad shallallahu alaihi was sallam. Mereka adalah yang paling mulia dari ummat ini. Paling baik hatinya, paling dalam ilmunya, dan paling sedikit di dalam memaksakan diri. Allah telah memilih mereka untuk menemani nabi-Nya dan menegakkan agama-Nya. Maka kenalilah keutamaan mereka, ikutilah petunjuk mereka, berpegang teguhlah dengan akhlak dan jalan hidup mereka semampu kalian, karena sesungguhnya mereka di atas petunjuk yang lurus.”

Diriwayatkan oleh Abu Umar bin Abdil Barr di dalam kitab Jami’ Bayanil Ilmi wa Fadhlihi 2/97, namun di dalam sanadnya ada yang terputus, hanya saja para ulama sering menukilnya karena menyukainya.

Sedangkan maslahat dakwah otomatis terkandung dengan cara menjaga prinsip-prinsip pokok agama dan penguat-penguatnya, hal itu dengan cara menetapkannya berdasarkan dalil-dalil syariat, membelanya, membuang apa saja yang disandarkan kepadanya padahal bukan termasuk darinya, menasehati siapa saja yang menyelisihinya serta menjelaskan penyimpangannya agar orang lain tidak mengikutinya. Tentunya dengan tetap komitmen dengan firman Allah Ta’ala:

ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ

“Serulah ke jalan Rabbmu dengan cara yang hikmah, nasehat yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. Sesungguhnya Rabbmu yang paling mengetahui siapa tersesat dari jalan-Nya dan Dia yang paling mengetahui siapa orang-orang yang mendapatkan petunjuk.” (QS. An-Nahl: 125)

Bahkan sesungguhnya sebagian ulama ada yang membantah ulama lain yang salah pada beberapa permasalahan yang mereka telah rujuk dan bertaubat darinya. Hal itu bertujuan agar mereka tidak diikuti kesalahannya dan agar kesalahan itu tidak diyakini sebagai bagian dari agama. Hal itu sebagaimana yang dilakukan oleh Al-Allamah Ibnu Qudamah rahimahullah terhadap Al-Allamah Abul Wafa’ Ibnu Aqil Al-Hanbaly rahimahullah penulis kitab Al-Funun, ketika beliau menulis tentang taubatnya Ibnu Aqil.[3]

 Padahal beliau telah meninggal dan telah bertaubat. Lalu apa yang mendorong beliau untuk tetap membantah kesalahan-kesalahan tersebut. Tidak lain hanyalah sebagai bentuk nasehat agar kesalahannya tidak diikuti.

Mungkin ada yang menyanggah dengan mengatakan: “Bukankah para salaf selalu membela para pengusung manhaj al-haq yang mereka ketahui?!” Jawabannya: memang, tetapi bedakan antara membela mereka dengan mendiamkan kesalahan yang muncul dari mereka. Dan saya menduga bahwa bencana itu munculnya dari pintu ini. KARENA SEBAGIAN PIHAK ADA YANG MENYANGKA BAHWA MENJELASKAN KESALAHAN SEORANG SUNNI BERARTI MENCELA DAN MENJATUHKANNYA, PADAHAL HAL INI TIDAK MESTI.

Sejarah salaf sebagai saksinya, berapa banyak kesalahan pada sebagian Ahlus Sunnah dibantah dalam keadaan kehormatan mereka tetap dijaga. Tentunya hal ini selama kesalahan tersebut tidak mengeluarkan seseorang dari As-Sunnah.

Kemudian, sesungguhnya membela para pengusung As-Sunnah hanyalah semata-mata karena mereka adalah orang-orang yang menunjukkan jalan As-Sunnah dan membawanya serta mengagungkannya. Adapun jika mereka melepaskan diri darinya dan menyimpang dari jalan yang lurus maka tidak ada kehormatan bagi mereka. Mereka hakekatnya adalah orang-orang yang mengetahui kebenaran sementara kebenaran itu sendiri lebih dahulu dari mereka. Allah akan mengganti dengan orang yang lebih baik siapa saja yang menyimpang dan mengikuti hawa nafsunya serta mengikuti bisikan-bisikan syetan, dan tanpa mengikuti manhaj salaf dengan membela orang-orang yang menyelisihi dakwah yang benar dengan alasan hanya semata-mata karena mereka asalnya Ahlus Sunnah.

Lebih mengherankan lagi ketika kita mendengar ada yang mengatakan bahwa cara ini –yaitu mendiamkan kesalahan orang yang salah dan mentazkiyahnya tanpa menjelaskan kesalahannya– Allah jadikan bermanfaat sebagaimana yang telah lalu. Maka saya katakan bahwa duri tidak akan bisa berbuah anggur. Dan lebih dari itu dengan rasa pahit dan menyedihkan bahwasanya ini termasuk menabur abu di mata manusia. Bagaimana tidak, sedangkan realita merupakan sebaik-baik saksi atas bathilnya hal itu. Tidakkah kita perhatikan kebingungan yang menimpa sekian banyak orang dan berapa banyak orang yang tertipu dengannya akibat pujian terhadap orang yang menyelisihi kebenaran dan menutup mata dari kesalahan-kesalahannya.

Dan yang paling mengherankan adalah sikap menolak total untuk mendiskusikan hal-hal yang menyelisihi dalil itu atau memperhatikan dengan seksama serta menilainya berdasarkan tuntutan syariat, dan juga memandang pihak yang telah melaksanakan kewajiban sesuai syariat dengan cara menasehati dan menjelaskan dengan pandangan merendahkan dan penuh kesombongan yang ditunjukkan oleh luapan emosi yang aneh terhadap salafiyyun.

Maka hendaklah mereka menyiapkan jawaban di hadapan Allah Jalla wa Alla ketika mereka nanti berjumpa dengan orang tertipu dengan mereka dan orang-orang yang kebingungan yang mengatakan, “Si syaikh fulan dan syaikh fulan tidak berbicara, bahkan mereka mentazkiyah, memuji dan menyanjung.” Dan alasan-alasan lain yang mereka lontarkan berupa keterkaitan mereka dengan para masayikh, kemudian dia akan mengatakan, “Saya mengikuti mereka.”

Dan mereka tidak bisa memberikan syafa’at dengan cara mentazkiyah pihak yang lain, karena syariat tidak mengenal model basa-basi politik dan diplomasi, dan ini bukan termasuk mencari simpati yang sesuai syariat karena rusaknya kedua belah pihak. Karena perkaranya adalah agama dan waktunya menyampaikan nasehat dan menjelaskan, dan perkaranya tidak mungkin untuk mentazkiyah orang yang salah dengan melalaikan kesalahannya.

Tetapi yang wajib jika orang yang salah termasuk Ahlus Sunnah adalah dengan mengatakan kepadanya, “Ini merupakan kesalahan, dan rujuk kepada kebenaran merupakan keutamaan, dan ini tidak akan mengurangi kemuliaan Anda, bahkan justru akan meninggikan derajat Anda dan hati manusia akan menerima Anda, Anda adalah saudara kami dan tidak ada seorang pun dari kita kecuali dia bisa membantah atau dibantah.” Atau ucapan-ucapan lain yang lembut yang simpatik dan sesuai syariat yang benar. Juga dengan membelanya jika ada yang membantahnya dengan cara yang melampaui batas dan dengan menyempurnakan sikap adil kepadanya. Kalau dia mau bertaubat dan menjelaskan kesalahannya maka itulah yang diharapkan, kalau tidak maka wajib menjelaskan kesalahan tersebut kepada manusia dan memperingatkan agar tidak mengikuti kesalahannya. Dan jika kesalahan tersebut memiliki konsekwensi yang hukum-hukum yang lain, misalnya kesalahan tersebut sifatnya memfasikkan, atau mentabdi’kan atau mengkafirkan, maka seharusnyalah bagi para ulama untuk menerapkan hukum-hukum ini sedangkan manusia mengikuti mereka.

http://wahyain.com/forums/showthread.php?t=2933


[1] Ungkapan ini kurang tepat, karena mencari berkah tidak boleh kecuali dari Allah Jalla wa Ala, atau dari hal-hal yang ada nashnya bahwa dia memiliki berkah, karena inilah maka kita menggantinya dengan ungkapan yang tepat yaitu; mencari berkah dengan majelis ilmu.

[2] Seperti yang dilakukan oleh Bakr Abu Zaid rahimahullah yang menyalahkan bantahan Asy-Syaikh Rabi’ hafizhahullah terhadap Sayyid Quthub, lalu Asy-Syaikh Rabi’ membantahnya dengan menulis kitab “Al-Hadd Al-Faashil baina Al- Haqq wa Al-Bathil. Bahkan Asy-Syaikh Ubaid Al-Jabiry mengatakan, “Bakr Abu Zaid tidak berhak dipuji, bahkan dia seorang Quthby yang terbakar dan membela Sayyid Quthub dengan pembelaan yang sengit…” (pent)

[3] Hanya saja beliau rahimahullah di dalam bantahannya beliau terjatuh pada hal-hal yang bisa dipahami sebagai akidah mufawwidhah di dalam masalah sifat-sifat Allah, maka hendaklah hal itu diperhatikan.

 

Baca artikel terkait:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *