Bolehkah Belajar Kepada Ahlul Bid'ah ?

Bolehkah Belajar Kepada Ahlul Bid’ah ?

Oleh Al Ustadz Muhammad Umar As Sewed Hafizahullah

new1a

Pada edisi yang lalu telah kita bahas bantahan terhadap syubhat yang ditebar oleh kelompok mudzabdzabin sururiyyin yang mengharuskan kita untuk menyebutkan kebaikan ahlul bid’ah ketika mengkritik mereka.

Kali ini kita bahas bantahan terhadap syubhat berikutnya yang keluar dari mulut-mulut mereka juga. Mereka dengan berani memelintir ucapan Rasulullah untuk kepentingan hawa nafsunya. Syubhat tersebut adalah: “Bolehnya menimba ilmu dari mana saja, termasuk dari setan la’-natullahu ‘alaihi”.

Seperti biasa, senjata pamungkas salafy gadungan ini adalah melempar syubhat (kalimat bersayap) yaitu kalimat-kalimat yang hak, akan tetapi yang dimaukan dengannya adalah kebatilan. Kalimat-kalimat tersebut seperti:

انْظُرْ مَا قَالَ وَلاَ تَنْظُرْ مَنْ قَالَ

“Lihatlah pada apa yang dikatakan, dan janganlah melihat siapa yang mengatakannya”.

Atau kalimat: “Kebenaran itu harus diterima darimana pun datangnya”.

Dari satu sisi, kalimat-kalimat tersebut adalah benar. Bahkan jika kita menghendaki, maka teramat banyak ucapan para ulama yang bisa kita nukil untuk maksud-maksud tersebut, yang mana kalimat-kalimat mereka jauh lebih bermakna dan jernih dari berbagai kepentingan. Seperti ucapan imam Syafi’i, Ibnu Taimiyah dan lain-lainnya. Sungguh pun demikian, bukan berarti para ulama kemudian memperbolehkan kepada umat untuk belajar kepada mu’tazilah, syi’ah, dan ahlul bid’ah lainnya, apalagi kepada setan, tidak seperti  apa yang diyakini oleh kelompok aneh tadi.

Apa yang dikatakan oleh para ulama tersebut sungguh sangat berbeda dengan apa yang dipahami oleh para politikus hizbiyyun. Para ulama tersebut dengan kalimat-kalimat di atas menasehatkan kepada kaum muslimin bahwa kebenaran itu adalah tetap kebenaran walaupun disebutkan oleh sejelek-jelek manusia. Sebaliknya kebatilan tetap kebatilan, walaupun diucapkan oleh orang yang paling terdekat dengan kita. Inilah yang dinamakan keadilan. Mereka tidak pernah sekalipun menyatakan bolehnya mengambil ilmu dari ahlul bid’ah dan orang-orang yang sesat, apalagi dari setan.

Berkaitan dengan hal tersebut, kelompok ini menjadikan hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah ketika beliau menjaga harta baitul maal sebagai dasar pijakan diperbolehkannya belajar kepada ahlul bid’ah bahkan kepada setan. Hadits tersebut dikeluarkan oleh Imam Bukhari dalam Shahih-nya:

Dari Abu Hurairah, ia berkata: Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam pernah mewakilkanku sebagai penjaga baitul maal. Pada suatu ketika datanglah seseorang mencuri harta darinya, maka Abu Hurairah menangkap orang tersebut dan berkata: “Demi Allah, sungguh akan aku laporkan kepada Rasulullah. Pencuri itu memelas kepadanya seraya berkata: “Sesungguhnya aku adalah orang yang membutuhkan (harta itu), karena aku mempunyai tanggungan keluarga, dan bagiku ada kebutuhan yang sangat. Berkata Abu Hurairah: “Maka aku lepaskan dia”. Kemudian pada pagi harinya Nabi bersabda: “Wahai Abu Hurairah, apa yang dilakukan oleh tawananmu tadi malam”. Abu Hurairah menjawab: “Ya Rasulullah, dia mengeluh bahwa dia sangat membutuhkan harta dan mempunyai tanggungan keluarga”. Aku aku merasa kasihan kepadanya kemudian aku bebaskan dia”. Rasulullah bersabda:

أَمَا إِنَّهُ قَدْ كَذَّبَكَ وَسَيَعُوْدُ

Ketahuilah sesungguhnya dia berdusta kepadamu dan dia akan kembali.

Maka aku tahu bahwa dia akan kembali dari ucapan Rasulullah tadi. Maka akupun mengawasinya, maka datanglah ia mencuri makanan itu. Maka aku menangkapnya dan aku katakan kepadanya:  “Sungguh akan aku laporkan perbuatan ini kepada Rasulullah”. Ia mengatakan: “Biarkanlah aku sesungguhnya aku adalah orang yang sangat butuh dan aku mempunyai tanggungan keluarga. Aku berjanji tidak akan kembali”.  Akupun merasa kasihan terhadapnya dan melepaskannya. Pada pagi harinya kembali Rasulullah mengatakan kepadaku: “Wahai Abu Hurairah, apa yang dilakukan oleh tawananmu tadi malam?” Aku katakan; “Wahai Rasulullah dia memelas seraya berkata bahwa dia sangat membutuhkan harta tersebut karena dia mempunyai tanggungan keluarga. Maka aku pun kasihan kepadanya dan aku bebaskan dia”. Maka bersabda Rasulullah :

أَمَا إِنَّهُ قَدْ كَذَّبَكَ وَسَيَعُوْدُ

Ketahuilah sesungguhnya dia berdusta kepadamu dan dia akan kembali.

Akupun kembali mengawasinya pada malam yang ketiga. Kemudian datanglah orang tersebut mencuri makanan kembali dan aku tangkap. Aku katakan: “Sungguh aku akan angkat permasalahanmu kepada Rasulullah. Ini adalah yang ketiga kalinya engkau berjanji untuk tidak kembali ternyata kembali (perbuatanmu). Orang tadi berkata: “Jangan biarkan aku!. Aku akan mengajarimu beberapa kalimat yang Allah akan memberikan manfaat kepadamu dengannya”. Aku tanyakan: “Kalimat apakah itu?”. Ia menjawab: “Jika engkau telah berbaring di tempat tidurmu, bacalah ayat kursi hingga selesai ayat tersebut. Maka sesungguhnya engkau akan tetap dalam lindungan Allah dan tidak akan didekati setan sampai pagi harinya.”  Akupun kembali membebaskannya. Pada pagi harinya Rasulullah bertanya kembali: “Apa yang dilakukan oleh tawananmu tadi malam?” Ia menjawab: “Wahai Rasulullah dia mengaku bahwa dia telah mengajariku beberapa kalimat yang Allah akan memberikan manfaat kepadaku dengannya, maka akupun membebaskannya”. Beliau berkata: “Apa itu?” Aku katakan: “Dia mengajariku jika engkau berbaring di tempat tidurmu, maka bacalah ayat kursi dari awal sampai akhir ayat. Kemudian ia berkata kepadaku bahwa engkau akan tetap dalam lindungan Allah dan tidak akan didekati oleh setan sampai pagi hari.  Dan para shahabat ketika itu adalah orang-orang yang sangat semangat dalam mencari kebaikan”. Maka Nabi bersabda:

أَمَا إِنَّهُ قَدْ صَدَقَكَ وَهُوَ كَذُوْبٌ. تَعْلَمُ مَنْ تُخَاطِبُ مُنْذُ ثَلاَثِ لَيَالٍ يَا أَبَا هُرَيْرَةَ؟ قَال:َ لاَ قَال:َ ذَاكَ شَيْطَانٌ

(رواه البخاري)

Ketahuilah bahwa dia telah berkata benar kepadamu, padahal dia adalah pendusta. Tahukah engkau siapa yang engkau ajak bicara selama tiga malam itu wahai Abu Hurairah? Ia menjawab: “Tidak”.  Maka beliau bersabda: “Itu adalah setan”. (HR. Bukhari)

Hadits di atas adalah berita yang hak. Ucapan Rasulullah adalah ucapan yang hak. Akan tetapi oleh para hizbiyyun. Ucapan tersebut dianggap sebagai legitimasi untuk bolehnya belajar kepada siapapun, termasuk kepada ahlul bid’ah. Padahal ucapan beliau:

أَمَا إِنَّهُ قَدْ صَدَقَكَ وَهُوَ كَذُوْبٌ

“Ketahuilah, sesungguhnya ia telah berkata benar kepadamu, tapi ia pendusta”

tidaklah menunjukkan sedikitpun  diperbolehkannya belajar kepada setan. Hal ini berbeda jauh dengan apa yang mereka takwilkan. Sungguhpun demikian, secara ilmiah syubhat di atas bisa kita bantah dalam bebera sisi:

Pertama, betapa banyaknya ayat-ayat yang memerintahkan kepada kita -kaum muslimin- untuk membenci, menjauhi dan memusuhi setan.

Allah berfirman:

وَكَذَلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا شَيَاطِينَ اْلإِنْسِ وَالْجِنِّ يُوحِي بَعْضُهُمْ إِلَى بَعْضٍ زُخْرُفَ الْقَوْلِ غُرُورًا وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ مَا فَعَلُوهُ فَذَرْهُمْ وَمَا يَفْتَرُونَ

الأنعام: 112

Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu setan-setan (dari jenis) manusia dan (dan jenis) jin, sebahagian mereka membisikkan kepada sebahagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia)499. Jikalau Rabb-mu menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya, maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka ada-adakan. (al-An’aam: 112)

إِنَّ الشَّيْطَانَ لَكُمْ عَدُوٌّ فَاتَّخِذُوهُ عَدُوًّا إِنَّمَا يَدْعُو حِزْبَهُ لِيَكُونُوا مِنْ أَصْحَابِ السَّعِيرِ

فاطر: 6

Sesungguhnya  syaitan  itu  adalah musuh bagimu, maka anggaplah ia musuh(mu), karena sesungguhnya setan-setan itu hanya mengajak golongannya supaya mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala.

وَلاَ يَصُدَّنَّكُمُ الشَّيْطَانُ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ.

الزحروف: 62

Dan janganlah kamu sekali-kali dipalingkan oleh setan sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu.(az-Zuhruuf: 62)

Dan masih banyak ayat-ayat lainnya.

Kedua, Rasulullah di dalam hadits tersebut hanya mengajarkan kepada kita bahwa kebenaran adalah tetap kebenaran, walaupun keluar dari mulut setan -biangnya para pendusta-. Akan tetapi beliau tetap memperingatkan kepada Abu Hurairah dengan potongan kalimat berikutnya:

وَهُوَ كَذُوْبٌ

“…dan dia adalah pendusta”

agar dia dan seluruh kaum muslimin waspada dari tipu daya setan.

Ketiga, adalah salah besar jika ada anggapan bahwa Abu Hurairah mengambil ilmu dari setan dalam peristiwa di atas. Yang dipahami oleh para ulama dan mereka yang berpikiran jernih adalah beliau mengambil ilmu itu dari Rasulullah. Karena beliaulah yang mengatakan bahwa ucapan itu adalah benar. Jika Nabi tidak membenarkan ucapan itu dari mana Abu Hurariah tahu bahwa ucapan setan itu adalah ilmu yang hak? Dengan ucapan Rasulullah itulah, akhirnya Abu Hurairah dan kita kaum muslimin yakin dengan berita dan ilmu tersebut.

Keempat, terlalu banyak ayat-ayat dan hadits-hadits yang memperingatkan kita untuk hati-hati dan tidak duduk bersama ahlul bid’ah, apalagi mengambil ilmu dari mereka. Di antaranya ketika Rasulllah membacakan ayat Allah:

هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ ءَايَاتٌ مُحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ فَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيلِهِ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلاَّ اللَّهُ وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ آمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلاَّ أُولُو اْلأَلْبَابِ

ال عمران: 7

Dia-lah yang menurunkan al-Kitab (al- Qur’an) kepadamu. Di antara isinya ada ayat-ayat yang muhkamat (ayat-ayat yang tegas maknanya), itulah pokok-pokok isi al- Quran dan yang lain (ayat-ayat) mutasyabihat (yang samar-samar maknanya). Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya. Padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: “Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Rabb kami.” Dan tidak dapat mengambil pelajaran (dari padanya) melainkan orang-orang yang berakal. (Qs. Ali Imran: 7)”

Maka beliaupun berkata kepada Aisyah:

إِذَا رَأَيْتِ الَّذِيْنَ يَتَّبِعُوْنَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ فَأُولَئِكَ الَّذِيْنَ سَمَّى اللهُ، فَاخْذَرُوْهُمْ

(رواه البخار ومسلم)

Jika engkau melihat orang-orang yang mengikuti apa-apa yang mutasyabihaat dari-nya maka merekalah orang-orang yang disebut oleh Allah, maka berhati-hatilah dari mereka. (HR. Bukhari dalam Fathul Bari (8/209) dan Muslim hadits ke 2665)

Kalau Rasulullah mengatakan agar kita berhati-hati terhadap pengikut hawa nafsu dan ahlul bid’ah seperti dalam hadits di atas, maka apakah pantas orang yang mengaku ahlus sunnah itu menganjurkan untuk duduk bersimpuh di hadapan mereka dengan alasan mencari ilmu?!

Kelima, demikian pula para ulama telah sepakat secara ijma’ untuk menjauhi ahlul bid’ah dan menghindari mereka. Sebagaimana dikatakan oleh imam Abu Utsman ash-Shaabuny dalam kitabnya Aqidatus Salaf Ash-habul Hadits setelah menyebutkan hampir seluruh para ulama ahlus sunnah sebagai berikut: “Dan mereka semua bersepakat untuk bersikap keras terhadap ahlul bid’ah merendahkan, menghinakan, menjauhkan, memisahkan diri dari mereka, menjauhi dan tidak bersahabat dengan mereka serta tidak bergaul dengan mereka. Dan mendekatkan diri kepada Allah dengan memboikot mereka”.  (hal. 123)

Berkata Imam Ahmad: “Hati-hati kalian, jangan menulis (ilmu) dari seorang pun dari kalangan ahlul ahwa (ahlul bid’ah) sedikit atau banyak. Atas kalian untuk mengambil dari ash-habul atsar dan sunnah (ahlus sunnah)”. (Siyar a’laamu Nubala, juz 11, hal. 231)

Kalau telah sepakat secara ijma’ para ulama ahlus sunnah untuk menjauhi ahlul bid’ah dan tidak duduk bersama mereka, maka pengikut siapakah para politikus hizbiyyun tersebut yang menyatakan kita boleh mengambil ilmu dari mana saja dan boleh duduk belajar mencari ilmu dari ahlul bid’ah bahkan dari setan?!

Keenam, lagi pula ketika kita duduk mengambil ilmu dari ahlul bid’ah, bagaimana kita memilah mana yang hak dan mana yang batil (untuk mengambil yang hak dan membuang yang batil seperti anggapan mereka), sementara kita kita tidak mempunyai barometernya. Sebaliknya jika kita sudah punya barometer tersebut, yaitu al-Qur’an dan as-Sunnah dengan pemahaman salaf, untuk apa kita ngaji dengan ahlul bid’ah?!

Setelah semuanya ini, kita katakan sebagai nasehat kepada seluruh ahlus sunnah agar jangan tertipu dengan kebaikan ahlul bid’ah. Karena umpan yang ada di mata kail untuk menjebak mangsanya sama sekali tidak  dapat dikatakan sebagai kebaikan. Karena dengan beberapa kebaikan tersebut, mereka akan menyeret mangsanya kepada kesesatan.

Berkata Rafi’ bin Asyras rahimahullah: “Adalah dikatakan termasuk dari hukuman bagi pendusta ialah untuk tidak diterima kejujurannya. Dan aku katakan: “Termasuk dari hukuman bagi orang yang fasik dan ahlu bid’ah ialah untuk tidak disebutkan kebaikan-kebaikannya”. (Lihat Syarah ‘Ilal at Tirmidzi, Ibnu Rajab 1/353 dan Irsyadul Bariyyah, Hasan bin Qasim hal.198-201)

Sumber: Bolehkah  Belajar Kepada Ahlul Bid’ah ?  (Bantahan Syubhat ke- 6)

http://dhiyaussunnah.or.id/articles/view_article/413

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *