Waspada Dari Kejahatan dan Tipu Daya ‘Ali Hasan bin Abdul Hamid al Halaby cs
Simak saja persembahan mantap nan ilmiah dari Fadhilatusy Syaikh Ahmad bin ‘Umar Bazmul Hafidhahullah untuk menyingkap salah satu Gembong Turotsiyun Internasional yang sering diundang ke Indonesia. Ya, para ‘ulama’ seisi markaz Al Albani, Yordania (Urdun) ditegur keras para ulama Ahlussunnah, dan yang dianggap paling senior yang disebut disini, ‘Ali Hasan bin Abdul Hamid Al Halaby. Semoga Bermanfaat, amin.
Berikut nukilan terjemahan Siyanat Salafy jilid 1 yang diterjemahkan al Ustadz Umar al Indunisy :
“Kemudian lihatlah keadaanmu wahai Halaby! Kau memuji dan membela pentolan-pentolan mubtadi’ pada zaman ini seperti Al-Maghrawy, Al-Ma’riby, Al-Huwainy dan selain mereka dari kalangan takfiry. Engkau menamai dan mensifati mereka –-dengan sangat disayangkan– bahwa mereka itu du’at kepada aqidah yang benar, dan merek itu adalah para sahabat. Bahkan engkau sendiri menyelisihi ucapanmu sendiri di sini maka kau mensifati mereka bahwa mereka itu du’at kepada manhaj as-salaf sebagaimana pada hal. 24,49,189. Ya, dia tidak menegaskan nama-nama mereka dan dia menyamarkan nama mereka, akan tetapi perselisihannya dengan masyayikh salafiyin itu Karen mereka dan terkait dengan mereka. Dan majelisnya terekam dengan suaranya ada padanya, memeuji mereka dan membela mereka. Dan dia bertaqwa kepada Allah dalam membid’ahkan mereka.
Dan kau pernah ditanya pada salah satu majelis dengan pertanyaan berikut: “Apa pendapatmu tentang orang yang menyelisihi manhaj ahlus sunnah seperti Al-Huwainy, Al-Maghrawy, Al-Ma’riby dan ‘Ar’ur?”
Dan jawabanmu: “Ushul mereka, ushul aqidah mereka sunniyah salafiyah. Dan tidak seorangpun dari mereka mengatakan: “Aku bukan seorang salafy, atau saya seorang quthby, atau saya hizby, atau saya takfiry”. Bahkan semuanya berlepas diri dari hal itu, meskipun hal itu maksudnya sebatas waktu tertentu dan derajat tertentu. Maka aku takut kepada Allah dan aku bertaqwa kepadaNya dari sikap mengatakan mereka itu takfiriyun atau quthbiyun atau hizbiyun”.
Mereka itu dedengkot fitnah bagi para pemuda salafiyin dan dakwah salafiyah!! Akan tetapi kau di sini, hawa nafsumu, uji cobamu dan perasaanmu yang menghukumi. Dan ini adalah perkara nyata yang kau tolak dalam kitabmu “Ru’yah Waqi’iyah” hal. 22 sebagaimana telah lewat penyebutannya.
Dan cukup pada permasalahan ini ucapan Asy-Syaikh Rabi’ Al-Madkhaly sebagaimana dalam “Al-Mauqif Ash-Shahih min Ahlil Bida’”: “Kami mewanti-wanti pemuda salafy dari bercampur dengan mereka, bergaul dengan mereka, dan percaya kepada mereka. Maka ambilah pelajaran dari para salaf dari orang-orang yang tertipu dengan dirinya dan memandang dirinya bahwa dia akan bisa menunjuki pengikut kesesatan, dan mengembalikan mereka dari penyimpangan mereka dan kesesatan mereka. Tiba-tiba dia terhuyung dan terombang-ambing kemudian terbanting dalam pelukan ahlu bida’.Maka engkau lihat orang ini berjalan dalam lingkup dan lingkungan salafy sesuai kehendak Allah, tidaklah engkau merasa kecuali orang perlu dikasihani telah berbalik arah, tiba-tiba dia memerangi ahlus sunnah. Sesuatu yang mungkar menjadi ma’ruf baginya dan yang ma’ruf menjadi sesuatu yang mungkar baginya. Ini adalah kesesatan dari semua kesesatan. Maka kami mewanti-wanti pemuda salafy dari tertipu oleh ahlul bida’ dan percaya pada mereka.” (/ah)
Download terjemah Siyanat Salafy edisi 1 (PDF) disini http://sites.google.com/site/faktakanyghaq/home/siyanatsalafy1-terjemah.pdf?attredirects=0&d=1
Download kitab aslinya Siyanat Salafy edisi 1 (PDF) disini http://sites.google.com/site/faktakanyghaq/home/siyanatsalafi1.pdf?attredirects=0&d=1
Barakallahufiikum…
***
Berkenaan dengan usulan dan masukan dari pengunjung, maka kami tampilkan versi online-nya. Selamat menyimak..
Penjagaan Salafy Dari Was-was Dan Tipu Daya Ali Al-Halaby
(Pembahasan Pertama)
Oleh:
Fadhilatu Asy Syaikh Ahmad bin Umar Bazmul Hafidzhahullah
Muqoddimah
Sesungguhnya segala puji hanyalah milik Allah Subhanahu Wa Ta’ala, kami menyanjung, memohon pertolongan dan memohon ampunan hanya kepada-Nya. Kami berlindung kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala dari kejahatan-kejahatan jiwa kami dan keburukan-keburukan amalan kami. Barangsiapa yang Allah Subhanahu Wa Ta’ala beri hidayah maka tidak ada yang sanggup menyesatkannya serta siapa saja yang Dia Subhanahu Wa Ta’ala sesatkan maka tidak ada yang mampu memberinya hidayah. Dan aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang haq selain Allah Subhanahu Wa Ta’ala saja tanpa ada serikat bagi-Nya dan aku bersaksi bahwa Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa salam adalah hamba dan Rasul-Nya. Shalawat bagi Beliau, keluarga, para shahabat, dan semua yang mengikuti mereka dengan baik sampai hari kiamat.
Sesungguhnya perkataan yang paling benar ialah Kalamullah dan sebaik-baik hidayah ialah hidayah Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa salam, seburuk-buruk perkara adalah perkara yang diada-adakan, setiap perkara yang diada-adakan adalah bid’ah, dan setiap perkara bid’ah adalah sesat, dan semua kesesatan tempatnya di neraka.
Amma ba’du:
Sungguh aku telah sebutkan pada “Peringatan salafy dari kitab Manhaj As-Salaf karya Al-Halaby” beberapa komentar atas kitab tersebut (Manhaj As-Salaf). Dan Alhamdulillah aku telah menyebutkan kritikan tersebut berdasarkan ilmu bukan berdasar hawa nafsu, bukan pula berdasar kebodohan ataupun tuduhan belaka. Dan dalam kesempatan ini dan kesempatan berikutnya –biidznillah- saya akan mendiskusi ‘Ali bin Hasan Al-Halaby terkait kitabnya “Manhaj As-Salaf Ash-Shalih” untuk menjelaskan ucapannya. Itulah kritikan beserta penjelasannya dengan hujjah dan dalil.
Dan aku namai pembahasan ini dengan: “Penjagaan Salafy Dari Was-was Dan Tipu Daya ‘Ali Al-Halaby”.
Saya sampaikan sembari memohon pertolongan kepada Allah Ta’ala:
Ulasan Pertama
Pencanangan dan peletakan Al-Halaby landasan dan kaidah yang menyelisihi manhaj As-Salaf Ash-Shalih dalam bergaul dengan ahlul bida’ dan ahwa’.
Al-Halaby berkata dalam kitabnya hal. 139 dibawah judul (Permasalahan yang ke sebelas: “Antara Aqidah dan Manhaj”): “Kesimpulannya, setelah adanya isyarat akan adanya perbedaan dalam tubuh ahlus sunnah dalam menentukan perbedaan antara aqidah dan manhaj: Manhaj adalah pagarnya aqidah dan benteng yang kuat baginya. Seandainya terjadi, ada seseorang yang memiliki aqidah salafiyah dalam dirinya namun dia menyimpang dari sisi manhajnya entah kepada hizbiyah atau yang lainnya, maka sesuatu yang kuat pada dirinya -entah manhajnya atau aqidahnya- itulah yang akan menentukan dirinya, yang akan berpengaruh padanya dari sisi hal itu tidak akan berlanjut sebagaimana dikatakan pada saat tidak adanya timbangan yang menghidupkannya. Entah manhajnyalah yang akan berpengaruh pada aqidahnya maka jadilah dia mubtadi’ yang terkoyak. Entah aqidahnyalah yang akan berpengaruh sehingga jadilah dia seorang salafy yang dikenal. Dan kemungkinan terakhir inilah yang lebih kita cintai dari pada yang pertama, oleh karena itu kita menyeru, bersungguh-sungguh, bersabar dan tabah”.
Saya berkata: Dan saya memiliki koreksi padanya
Koreksi Pertama: Al-Halaby menganggap bahwa ukuran kesalafiyahan seseorang adalah aqidahnya, adapun manhaj maka mungkin saja manhajnya diampuni jika selamat aqidahnya. Bisa saja seseorang itu menjadi salafy dari sisi aqidahnya bersamaan dengan adanya penyimpangan dari sisi manhajnya, dengan syarat aqidahnyalah yang berpengaruh.
Ini adalah suatu ucapan yang bathil, dan penjelasannya ada pada koreksi yang kedua:
Koreksi Kedua: Ucapan Al-Halaby: “Perbedaan dalam diri ahlus sunnah”.
Saya berkata: Dia mengisyaratkan pada perbedaan yang terjadi di antara ahlul ilmi terkait dengan perkara aqidah dan manhaj, apakah kedua merupakan satu perkara atau satu dengan yang lainnya ada perbedaan?
Adapun menurut Asy-Syaikh Ibnu Baz rahimahullah dan selainnya dari para ulama bahwasannya keduanya merupakan satu perkara.
Adapun menurut Asy-Syaikh Al-Albany rahimahullah dan para ulama yang lain bahwasannya manhaj itu berbeda dengan aqidah.
Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah berkata seperti dalam Al-Ajwibah Al-Mufidah hal. 123: “Manhaj itu lebih umum dari aqidah, manhaj itu ada dalam aqidah, metode, akhlak, pergaulan (interaksi) dan dalam setiap kehidupan seorang muslim. Setiap kesempatan yang dijalani oleh seorang muslim itulah dinamakan manhaj. Adapun aqidah, maka yang dimaksud dengannya adalah pokok dari keimanan, makna dua kalimat syahadah dan konsekuensi dari keduanya itulah yang dinamakan aqidah”.
Maka siapa yang tidak membedakan antara manhaj dan aqidah maka dia itu bukanlah setuju dengan kaidahmu bahkan membantahnya. Karena manhaj dan aqidah merupakan satu perkara sehingga penyimpangan dalam manhaj adalah penyimpangan dalam aqidah pula.
Dan siapa yang membedakan antara aqidah dan manhaj, bukanlah dia membedakan antara keduanya dengan pembedaan yang mutlak, bahkan menjadikan aqidah itu bagian dari manhaj. Maka dia tidak menerima aqidahnya disebut salafy dan manhajnya menyimpang dari manhaj salaf. Karena aqidah menurut mereka masuk dalam bagian manhaj.
Dengan demikian nampaklah bagimu kesalahan Al-Halaby dalam masalah ini. Aqidah dan manhaj itu saling berkaitan dan tidak bisa dipisahkan.
Asy-Syaikh Al-Albany rahimahullah berkata dalam “Fitnah At-Takfir” hal. 53 dengan ta’liq Al-Halaby terkait dengan firman Allah Ta’ala;
“Dan barangsiapa menentang Rasul setelah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan bukan jalan orang-orang mu’min, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam jahannam dan jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali”. (An-Nisa: 115)
(Asy-Syaikh Al-Albany rahimahullah berkata): “Mengikuti jalannya kaum mu’minin atau tidak mengikuti jalan mereka merupakan perkara yang sangat penting dari sisi terwujudnya hal itu atau tidak. Siapa yang mengikuti jalannya kaum mu’minin maka dialah orang yang selamat di sisi Rabb semesta alam, dan siapa yang menyelisihi jalannya kaum mu’minin maka cukup baginya jahannam dan betapa jelek tempat kembalinya.”
Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah berkata dalam “Al-Ajwibah An-Nafi’ah” hal. 125: “Manhaj itu jika benar maka orang yang berada padanya merupakan orang yang berhak masuk surga. Jika dia di atas manhaj Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam dan manhaj As-Salaf Ash-Shalih maka dia akan menjadi penduduk surga –biidznillah-. Dan jika dia berada di atas manhaj kesesatan maka dia diancam dengan neraka. Maka benarnya manhaj dan tidak benarnya manhaj menentukan seseorang kepada surga atau neraka.”
Ucapan Asy-Syaikh Al-Albany dan Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahumallah menunjukkan secara jelas bahwa disana ada keterkaitan antara aqidah dan manhaj.
Asy-Syaikh ‘Ubaid Al-Jabiry hafizhahullah berkata dalam “Al-Idhah wa Al-Bayan Fi Kasyfi Ba’dhi Thara’iq Firqah Al-Ikhwan”: “Islam itu tersusun dari dua perkara ini: Aqidah yang benar dan manhaj yang selamat dan lurus. Maka salah satunya tidak bisa berpisah dari yang lain. Siapa yang rusak manhajnya maka percayalah bahwa hal itu muncul akibat rusaknya aqidahnya. Jika aqidah itu bisa berjalan lurus secara benar maka manhaj juga akan berjalan lurus.”
Koreksi Ketiga: Apa dalilnya bahwa kaidah ini dari manhaj as-salaf? Dan bagaimana kau menyelisihi ulama kibar dengan manhaj baru yang diada-adakan? Tentu saja bahwa manhaj as-salaf berbeda dengan ucapanmu ini.
Sulaiman bin Harb rahimahullah berkata: “Barangsiapa tergelincir dari as-sunnah sebatas rambut maka jangan engkau anggap dia”. Diriwayatkan oleh Al-Harawy dalam “Dzam Al-Kalam wa Ahlih” (2/400 no. 480).
Ibnu ‘Aun rahimahullah berkata: “Siapa yang duduk bersama ahlu bida’ maka lebih keras terhadap kami dari pada ahlul bida'”. Diriwayatkan oleh Ibnu Baththah dalam Al-Ibanah (2/473 no. 486).
Siapa berteman dengan ahlul bida’ maka dia harus diingatkan dari mereka, jika dia menerima dan meninggalkan mereka (itu yang dituntut) kalau tidak maka dia digabungkan dengan mereka dan tidak ada kehormatan lagi baginya. Al-Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah berkata: “Barangsiapa duduk bersama ahlul bida’ maka peringatkan dia”. Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam “Hilyah Al-Auliya’ (8/103) dan Ibnu Baththah dalam “Al-Ibanah” (2/459 no. 437).
Abu Dawud bertanya kepada Al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahumallah : “Aku melihat seorang dari ahlus sunnah bersama seorang dari ahlul bida’, apakah aku harus meninggalkan perkatannya?
Imam Ahmad berkata: “Tidak, atau engkau beri tahu dia (yang ahlus sunnah) bahwa orang tersebut yang engkau lihat bersamanya adalah ahlul bid’ah. Jika dia meninggalkan ucapannya maka ajaklah dia berbicara, jika tidak maka gabungkan dia bersama dengannya (si ahli bid’ah)”. Sebagaimana disebutkan dalan Thabaqat Al-Hanabilah (1/160) karya Ibnu Abi Ya’la.
Al-Barbahary rahimahullah berkata: “Jika engkau melihat seseorang duduk bersama seseorang dari ahlu ahwa’ maka peringatkan dia dan beri tahu. Jika dia masih tetap duduk dengannya setelah diberi tahu maka hindari dia karena dia adalah ahlul ahwa'”. Syarhus Sunnah (112 no. 145).
Mubasyir bin Isma’il Al-Habaly rahimahullah berkata: “Dikatakan kepada Al-Auza’iy: “Sesungguhnya seseorang berkata: “Aku duduk bersama ahlus sunnah, dan aku juga duduk bersama ahlul bida’.” Al-Auza’iy berkata: “Ini adalah orang yang ingin menyamakan antara kebenaran dan kebathilan”. Diriwayatkan oleh Ibnu Baththah dalam “Al-Ibanah” (2/456 no. 430).
Sungguh Asy-Syaikh Muqbil Al-Wadi’iy rahimahullah telah mentahdzir dari orang-orang yang di atas kebaikan dan cinta kebaikan namun mereka memiliki syubhat yang tersamarkan atas mereka, maka beliau menasehatkan untuk tidak menghadiri majelis mereka. Sebagaimana tersebut dalam kaset “Ishbiru Ya Ahlas Sunnah”, seperti dinukilkan oleh Ihsan Abu Nu’aim dalam artikelnya di Sahab dengan judul “Mauqif ‘Azhim Li Imam ‘Azhim: Asy-Syaikh Muqbil Yuhadzir Min Majalasah Syahsh Ma’a Annahu ‘Ala Khair wa Muhibb Lil Khair, Lakin ‘Indahu Syubuhat! Li Abi Nu’iam Ihsan”.
Asy-Syaikh Shalih Al-Luhaidan hafizhahullah ditanya sebagaimana dalam pelajaran beliau di Masjid An-Nabawy tanggal (22/10/1418H), pertanyaannya sebagai berikut: “Seorang penuntut ilmu duduk bersama ahlus sunnah dan bersama ahlul bida’, dan berkata: “Cukup ummat ini berpecah belah, dan aku akan duduk bersama semuanya”.
Maka Asy-Syaikh menjawab dengan ucapannya: “Orang ini mubtadi’. Orang yang tidak membedakan antara al-haq dan kebathilan dan menganggap bahwa ini untuk menyatukan kalimat maka inilah yang dinamakan kebid’ahan. Kita memohon kepada Allah Ta’ala agar memberinya petunjuk”.
Asy-Syaikh Rabi’ Al-Madkhaly hafizhahullah berkata dalam “Al-Mauqif Ash-Shahih Min Ahlil Bida'”: “Jika duduk bersama orang-orang yang jelek itu mesti ada dharar, maka mengapa engkau bersemangat untuk duduk dan bercampur bersama mereka, apa dalil yang membolehkanmu? Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa salam telah mewanti-wanti. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa salam telah mengingatkan, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa salam telah menjelaskan bahayanya, lalu apa udzurmu? Dan para Imam Islam telah mewanti-wanti dan mengingatkan, dan mereka telah menunaikan arahan dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa salam dan bimbingan Al-Qur’an Al-Karim dan juga As-Sunnah. Maka dengan dalil apa kau menyelisihi manhaj ahlus sunnah wal jama’ah, dan menantang saudaramu yang mencintai kebaikan untukmu dan takut kalau kau itu jatuh pada kejelekan?”.
Jika dikatakan: “Al-Halaby tidak menyelisihi hal ini! Karena ucapan Al-Halaby itu terkait dengan ahlus sunnah!
Saya katakan: “Subhanallah!! Dimana akal salafiyin? Apakah ulama salafiyin mengingkari duduknya seorang salafy sunny dengan salafy sunny? Kalau para ulama dianggap mengingkari hal ini maka itu adalah tuduhan atas mereka.
Tapi Al-Halaby ini membuat teka-teki dan menganggap Al-Maghrawy, Al-Ma’riby, Muhammad Hasan dan selain mereka sebagai salafiyun dan pemilik aqidah yang lurus, oleh karena itu dia dalam kitabnya tidaklah menyebutkan dan tidak mengespos mereka.
Kenapa?!
Karena, kalau dia menyebutkan nama mereka maka salaafiyun akan berkata kepadanya: “Wahai Syaikh ‘Ali, mereka itu mubtadi’ah”.
Dan dia akan membantah: “Itu menurutmu dan para masyayikhmu salafiyin, adapun menurutku mereka adalah ahlus sunnah”.
Mereka akan berkata kepadanya: “Orang yang memuji ahlul bida’ maka dia termasuk golongan mereka jika dia mengetahui keadaan mereka setelah diingatkan, lebih lagi jika dia menamai ahlul bida’ itu dengan ahlus sunnah, maka ini lebih bahaya tanpa diragukan. Masyayikh salafiyin menganggap mereka itu ahlul bid’ah dan mereka memiliki pemikiran takfir terhadap pemerintah dan selain mereka”.
Jika dikatakan: “Para dedengkot tersebut telah bertaubat dan meninggalkan pemikiran mereka”.
Maka jawaban atasnya sebagai berikut: “Asy-Syaikh Rabi’ bin hadi Al-Madkhaly hafizhahullah ditanya: “Banyaknya yang terjadi kekurangan dan perselisihan antara pemuda salafy adalah dengan sebab kembalinya atau dakwaan kembalinya orang yang menyimpang dari manhaj salaf kepada manhaj salaf. Apa nasehat engkau kepada para pemuda tersebut? Karena sebagian mereka menerima taubatnya dan sebagian mereka tidak menerimanya.”
Maka Asy-Syaikh menjawab: “Intinya, kalau seseorang telah terjatuh pada suatu dosa, atau terjatuh pada suatu syubhat, atau jatuh dalam kebid’ahan, lalu dia taubat dan kembali kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala maka tidak boleh seorangpun menutup pintu taubat pada wajahnya, karena pintu taubat itu terbuka sampai terbitnya matahari dari barat. Jika ada seseorang yang bertaubat dan kembali pada al-haq maka wajib bagi kita memujinya dan menyemangatinya. Akan tetapi sebagian manusia terkadang sudah dikenal sebagai pendusta dan plin-plan maka dia pura-pura bertaubat, maka yang seperti ini kita mengatakan: “Insya Allah taubatmu diterima akan tetapi kami menjaga diri darinya sampai nampak taubatnya yang benar”.
Abul Hasan Al-Asy’ary mengumumkan taubatnya di atas mimbar, sebelumnya dia adalah mu’tazily yang kukuh bahkan merupakan dedengkotnya. Dan dia bertahan selama empat puluh tahun membela manhaj yang jelek ini kemudian bertaubat dan mengumumkan taubatnya. Dan merupakan bukti taubatnya adalah dia memulai mengarang kitab bantahan yang mematikan terhadap mu’tazilah. Dia membantah mereka syubuhat mereka. Maka disana ada tanda jujurnya taubat tersebut. Operasi itu menghilangkan keraguan. Maksudnya, mengumumkan dan menampakkan pada hadapan manusia bahwa dia mengikuti al-haq. Disana ada perkara-perkara yang menunjukkan akan kejujurannya dan juga kadang menjadi tanda akan kadustaannya. Jika disana ada tanda yang menunjukkan akan kejujurannya maka didukung, namun jika disana ada tanda yang menunjukkan atas dakwaannya semata maka disini salafiyun wajib untuk sadar karena orang ini bisa jadi seorang penipu, karena zaman ini adalah zaman politik, kemunafikan dan pengkamuflasean dengan kejujuran. Tersebarlah sempalan-sempalan, mereka tidak mampu menghempaskan pemuda salafy dan menghalangi mereka dari manhaj salafy kecuali dengan pura-pura menjadi salafy atau pura-pura taubat dari kesalahan yang bertentangan dengan manhaj salafy. Jika mereka tidak menyadarinya dia akan mampu menggaet dari mereka siapa-siapa yang mereka mampu untuk digaet ke manhaj yang rusak. Hal ini terjadi. Yang penting siapa yang nampak darinya taubat didukung dan siapa yang nampak darinya main-main maka wajib di ingatkan darinya dan hendaknya salafiyun sadar akan orang-orang seperti mereka”.
Apakah kita akan mengedepankan akal dan hawa nafsu serta pengalaman di atas manhaj as-salaf ash-shalih?
Pertanyaan ini akan dijawab oleh ‘Ali Al-Halaby dengan ucapannya di sela-sela bantahannya terhadap orang-orang yang sepakat dengan kami dalam hal keyakinan dan menyelisihi kami dalam hal manhaj dalam kitabnya “Ru’yah Waqi’iyah” (22-23): “Disaat mereka semuanya menghindari untuk menamai diri mereka dengan salafiyah dan menjauhi untuk bergabung dengan mahaj salaf secara penyandaran!! Lebih-lebih lagi terhadap kenyataan dan realita.
Ini adalah perkara yang biasa di sisi kami Alhamdulillah. Karena merupakan sesuatu yang sudah diketahui oleh para penyeru kepada Al-Kitab dan As-Sunnah dengan pemahaman salaf ummah: (Bahwa syi’ar ahlu bida’ adalah meninggalkan madzhab salaf), karena padanya ada penyelesaian terhadap perselisihan antara orang-orang yang dalam pemahamannya pada zaman ini. Dari sisi sebagian mereka berhukum dengan akalnya dan bagian yang lain dengan pengalamannya dan yang ketiga dengan perasaannya!!
Dan demikian tanpa melihat akan jalannya kaum mukminin yang wajib diikuti dan didakwahkan. Dan hal itu sendiri merupakan jalannya salaful ummah yang kepadanya kita menyandarkan diri dan dengan cahayanya kita mengambil petunjuk.
Oleh karena itu merupakan syi’ar ahlus sunnah ikutnya mereka terhadap as-salaf ash-shalih dan mereka meninggalkan setiap perkara bid’ah dan yang diada-adakan”.
Bukankah mahaj as-salaf ash-shalih dalam semua permasalahan syar’iyah lebih utama dari pada kedunguan akal-akal kita?
Bukankah yang kau canangkan itu merupakan perkara yang diada-adakan tidak dikenal dari salaf?
Lalu apa faedahnya kalau begitu?!
Engkau wahai Halaby akan menjawab hal ini dengan ucapanmu seperti dalam kitabmu “Ru’yah Waqi’iyah” hal. 19 yang mana kau sebutkan dalam kitabmu “Manhaj As-Salaf Ash-Shalih” hal. 136: “Ini adalah bagian dari keutamaan manhaj As-Salaf Ash-Shalih dan berbedanya manhaj ini dari manhaj-manhaj yang lain yang diada-adakan dan yang menyimpang, bahwasanya manhaj ini berdiri di atas dasar ketundukan terhadap perintah Allah Ta’ala dan Rasul-Nya tanpa melihat kepada maslahah atau tanpa menoleh kepada anggapan baik atau bersandar terhadap perasaan atau semangat atau pandangan”.
Kalau begitu pandanganmu itu tiada bernilai.
Kalau Al-Halaby tidak mau mencukupkan dengan ucapan ahlul ‘ilm, maka aku akan sebutkan ucapan dari ucapan-ucapannya yang terdahulu mungkin saja dia akan merasa cukup dan tenang, dimana dia berkata dalam komentarnya terhadap “Tarikh Ahli Al-Hadits” karya Ad-Dahlawy hal. 145 komentar no. 1 yang bunyinya: “Bermudah-mudahan dalam menempelkan gelar “Ahlus Sunnah” terhadap siapa saja karena sebab apa saja murni sebuah kesalahan.
Entah dimaksudkan: untuk mengumpulkan manusia dan menghimpun mereka di atas gelar penuh kelonggaran yang tidak memiliki kandungan yang dalam!! Atau entah tidak dimaksudkan: yang keluar dari tidak adanya pengetahuan terhadap manhaj yang wajib yang benar dalam mewujudkan pemahaman yang benar terhadap manhaj ahlus sunnah wal jama’ah”.
Saya katakan: Cukup bagiku bekal dalam membatah dirimu dengan dirimu. Perhatikanlah!!
Koreksi Keempat: Bantahan ‘Ali Al-Halaby terhadap ‘Ali Al-Halaby
‘Ali Al-Halaby berkata dalam kitabnya “Ru’yah Waqi’iyah Fi Al-Manhaj Ad-Da’awiyah” hal. 15 di tengah ucapannya tentang du’at yang mencocoki keyakinan salaf dan menyelisihi manhaj salaf: “Gambaran perpecahan nampak dengan jelas dalam manhaj dan jalan yang ditempuh oleh para du’at kepada Allah Ta’ala tersebut untuk mewujudkan perkara aqidah dan sasarannya. Dan ini adalah perselisihan yang boleh saja terjadi antara dakwah salafiyah dengan dakwah yang lain yang mengadopsi aqidah dan menyelisihi dalam hal manhaj …”.
Kemudian dia berkata dalam halaman yang sama berbicara tentang sebab penulisan kitabnya “Ru’yah Waqi’iyah”: “Hanya saja kitab ini aku tulis untuk membantah orang yang sepakat dengan kami dalam hal aqidah dan menyelisihi kami dalam hal manhaj yang wajib untuk ditempuh dan wajib untuk (kita) berjalan diatas hidayahnya”.
Kemudian Al-Halaby berkata dalam kitab yang sama “Ru’yah Waqi’iyah” hal.20 setelah membedakan antara aqidah dan manhaj: “Dengan nampak –alhamdulillah- perbedaan secara umum antara aqidah dan manhaj yang mana hal itu terwujud pada penerimaan yang mutlak maka aku tidak akan memperpanjang. Akan tetapi di sini ada perkara yang harus dijelaskan dan diterangkan, yaitu terus-menerusnya penyimpangan dari manhaj akan menyebabkan peyimpangan dalam aqidah itu sendiri dan dalam tauhid itu sendiri. Dan orang yang memperhatikan jama’ah-jama’ah dakwah masa kini akan melihat secara jelas bukti akan hal itu”.
Hal ini begitu jelas dan gamblang sebagai bentuk bantahan dia terhadap apa yang dia tetapkan dalam kitabnya “Manhaj As-Salaf”.
Dan yang lebih mengherankan dan lebih jelas dari hal itu, bahwa Al-Halaby menyebutkan ucapan ini dengan potongannya dalam kitabnya “Manhaj As-Salaf” hal. 131-137 pada tempat yang dia tetapkan padanya kaidah yang telah lewat, dan sepertinya tidak ada diantara keduanya pertentangan dan perbedaan.
Dan merupakan bentuk bantahan Al-Halaby kepada Al-Halaby
Ucapannya dalam kitabnya “Manhaj As-Salaf” hal. 138 pada catatan kaki no. 2: ketika dia –semoga Allah Subhanahu Wa Ta’ala menunjukinya kepada kebenaran-: “Dan sebagian mereka mengubah dalam rangka penipuan dan pengkaburan, maka dia mengatakan: “Aqidahnya salafy dan arah pegerakannya mengikuti jaman (njamani)”.
Saya katakan: Kaidah baru yang disebutkan oleh Al-Halaby di sini bisa disebut secara singkat dengan “Aqidahnya salafy, manhajnya khalfy atau bid’iy”.
Dan merupakan bentuk bantahan Al-Halaby kepada Al-Halaby
Ucapannya dalam muhadharah dengan judul “Ushul fi Al-Manhaj”: “Saya berkeyakinan bahwa manhaj itu dengan makna yang mendalam yang kami sebutkan itu lebih penting dari aqidah. Karena engkau tidak akan bisa membayangkan bahwa pemilik manhaj yang benar itu memiliki aqidah yang bathil”.
Dan dikatakan pula: “Tidak terbayangkan bahwa pemilik aqidah yang benar itu memiliki manhaj yang bathil”.
Dan merupakan bentuk bantahan Al-Halaby kepada Al-Halaby
Komentarnya terhadap ucapan Ibnul Qayyim Al-Jauziyah rahimahullah dalam “Al-Fawa’id” hal. 43 di tengah ucapannya tentang pentingnya tauhid dan bahwasanya manfaat tauhid itu sangat besar bagi pemiliknya: “Pemilik kebaikan yang banyak yang menimbun kesalahan-kesalahan untuk memaafkan dengan apa yang tidak dimaafkan dengannya orang yang datang membawa kesalahan seperti itu dan dia juga tidak memiliki kebaikan-kebaikan tersebut”.
Maka Al-Halaby berkata dalam komentarnya no. 1 dengan ucapannya: “Dan kaidah dalam mengukur hal itu adalah keselamatan manhaj dan jelasnya penggambaran dan bersihnya keyakinan”.
Saya katakan: Dan disimpulkan bahwa ucapan Ibnul Qayyim Al-Jauziyah rahimahullah bukanlah tentang ahlul bida’, namun terkait dengan para pemilik kesalahan dan dosa, wallahu a’lam.
Dan dia juga mengomentari ucapan Ibnul Qayyim Al-Jauziyah rahimahullah dalam “Al-Fawa’id” hal. 64: “Seandainya para da’i itu menempuh jalan yang Allah Ta’ala dan Rasul-Nya menyeru manusia dengannya kepadanya niscaya alam ini akan menjadi baik dengan kebaikan yang tiada kerusakan padanya”.
Al-Halaby mengomentarinya dalam catatan kakinya no. 1 dengan ucapannya: “Ini adalah manhaj yang benar yang mana kita terang-terangan dengannya dan kita berkumpul di atasnya dan kita menyeru kepadanya”.
Koreksi Kelima: Dan kau wahai Al-Halaby, dengan kaidah ini engkau menghantam kitabmu “At-Tashfiyah wa At-Tarbiyah” dan apa yang ada padanya hal. 90: “Disimpulkan dari perkara yang telah lewat akan wajibnya pemurnian dakwah dan semua perkara yang terkait dengannya, dan dikonsentrasikan pada dua perkara yang asas:
Pertama: Pemurnian dakwah dari manhaj-manhaj yang diada-adakan yang menyelisihi manhaj para nabi secara umum dan menyelisihi manhaj rasul kita Shallallahu ‘Alaihi Wa salam secara khusus.
Kedua: Pemurnian dakwah dari sebagian pemahaman yang keliru dan salah serta menyelisihi –dalam landasan dan hekekatnya- terhadap Al-Kitab dan As-Sunnah dan apa yang ditempuh oleh salaf ummah”.
Koreksi Keenam: Kemudian penyelisihan manhaj ini, bukankah hal ini dikarenakan sedikit bagian yang ada pada pandanganmu. Semua kita mengetahui kisah para pemanah yang menyelisihi perintah Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa salam pada perang Uhud, maka mereka tertimpa musibah tujuh puluh orang terbunuh sebagaimana disebutkan dalam Shahih Al-Bukhary.
Bukankah engkau orang yang berkata dalam “At-Tashfiyah wa At-Tarbiyah” hal. 125: “Pendidikan di atas hukum-hukum Allah Subhanahu Wa Ta’ala dengan ilmu yang bermanfaat dan amal shalih adalah sebab pertolongan dan pembuka pertolongan. Dan bahwasannya melepaskan diri dari sebagian darinya terkadang menjadi sebab secara langsung dari sebab-sebab kekalahan”.
Kemudian apa batasan penyelisihan ini di sisimu?
Kau belum menjelaskannya dan kau belum menerangkannya bahkan engkau menjadikannya samar. Dan praktek secara amalan di sisimu menunjukkan bahwa kau belum meletakkan batasan akan berapa kadar penyelisihan ini!!!
Sikapmu terhadap Al-Huwainy dan ucapanmu tentangnya yang terkenal itu menunjukkan akan tidak adanya batasan akan masalah ini disisimu dengan jelas.
Bisa saja engkau ditanya dengan pertanyaan berikut: “Ada orang yang aqidahnya menyelisihi manhajnya?”
Maka engkau akan menjawab dengan ucapanmu: “Mungkin saja, ini ada, ini ada, sekarang ditemukan. Kami mengenal sebagian orang yakni dalam hal aqidah engkau melihatnya memiliki tauhid dalam hal uluhiyah, asma’ wa shifat, bab Al-Qadr dan dalam setiap bab, akan tetapi terkait dengan kepemerintahan dia mengkafirkan pemerintah, dalam manhaj kita lihat dia seorang hizby. Sebagaimana gelas, gelas yang bersih jika engkau taruh air di dalamnya yang bersih maka gelas itu akan menjaga kebersihan air, namun jika engkau taruh pada gelas yang kotor maka kotoran ini akan bercampur dengan air dan merusak air yang bersih itu. Demikian pula keadaan sebuah manhaj dan aqidah, demikian cepat salah satunya mengalahkan yang lain. Entah aqidahnya yang benar akan mengalahkan manhajnya maka jadilah manhajnya itu salafy, atau manhaj khalafinya yang akan berpengaruh terhadap aqidahnya sehingga aqidahnya menjadi seperti madzhabnya, yang paling ringan aqidahnya akan goncang”.
Saya katakan: Asy-Syaikh Muhammad Aman Al-Jamy rahimahullah berkata terkait dengan orang yang membolehkan bahwa aqidah seseorang itu boleh saja salafy bersamaan dengan adanya penyimpangan manhajnya, seperti menjadi seorang ikhwany: “Ucapan seperti ini tidak bisa terpahami, tidak lurus, ucapan ini bertolak belakang dan tidak lurus”.
Dan Asy-Syaikh Rabi’ hafizhahullah berkata tentang pembedaan ini sebagaimana dalam “At-Taqwa wa Atsaruha Ath-Thayyibah” terkait ucapan seperti ini: “Ini ucapan yang tak berisi dan sia-sia”.
Kemudian kau telah menukilkan ucapan Asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi Al-Madkhaly hafizhahullah dengan adanya perubahan dalam kitabmu “At-Tashfiyah wa At-Tarbiyah” hal. 82 di tengah ucapanmu terkait pemurnian dan pendidikan dalam dakwah: “Dan yang paling penting dari berbagai kecenderungan ini ada tiga:
Pertama: Dipermisalkannya suatu jama’ah yang mengikuti manhaj Rasul Shallallahu ‘Alaihi Wa salam dalam aqidahnya dan dakwahnya, serta berpegang teguh dengan kitab Rabbnya dan sunnah nabinya, dan juga mengikuti langkah As-Salaf Ash-Shalih dalam aqidahnya, ibadahnya dan dakwahnya. Dan ini adalah kecenderungan dakwah yang ilmiyah dan amaliyah yang wajib bagi kaum muslimun untuk mengitarinya.
Kedua: Dipermisalkannya suatu jama’ah yang perhatian dengan sebagian amalan dari Islam, dan dia terkalahkan oleh kecenderungan-kecenderungan yang bersifat sufi yang menggoncangkan aqidah tauhid pada kebanyakan jiwa pengikutnya. Dan mereka pantas mendapatkan kritikan dalam aqidah dan ibadah mereka.
Ketiga: Dipermisalkannya suatu jama’ah yang berkosentrasi pada sisi tertentu dalam Islam, entah sisi politik atau ekonomi atau perkumpulan dan mengedepankan suara terbanyak… Akan tetapi mereka –semoga Allah Ta’ala memberinya taufiq ke jalan yang lurus- pada saat mereka konsentrasi pada sisi-sisi ini mereka melalaikan permasalahan aqidah dengan kelalaian yang nyata”.
Dan pertanyaannya di sini: Siapa yang selamat aqidahnya dan menyimpang dalam manhaj bukanlah termasuk kecenderungan yang pertama, maka termasuk dari kecenderungan yang mana? Yang kedua atau ketiga?
Dan pada setiap anggapan (dianggap masuk yang kedua atau yang ketiga) maka mereka memiliki kritikan dan kelalaian yang nyata dalam aqidah sesuai dengan apa yang kau tetapkan. Bagaimana mungkin aqidah akan lurus sementara keadaannya seperti ini?!
Koreksi Ketujuh: Ucapannya: “Sesungguhnya suatu yang paling kuat padanya secara manhaj atau secara aqidah itulah yang akan mendominasi dan berpengaruh padanya, dari sisi tidak terus berlangsung seperti yang dikatakan disaat tidak adanya timbangan yang menghidupkannya. Maka entah manhajnya yang akan berpengaruh terhadap aqidahnya sehingga dia menjadi mubtadi’ yang terkoyak. Dan entah aqidahnya yang akan berpengaruh terhadap manhajnya maka jadilah dia salafy yang dikenal”.
Saya katakan: Ucapan ini, landasannya adalah anggapan bahwa manhaj itu perkara yang terpisah dari aqidah. Dan bantahan terhadap ucapan ini telah lewat.
Akan tetapi: Al-Halaby telah mencukupi bekalku dalam membantah. Maka dia membatah dirinya dengan dirinya dengan ucapannya dalam kitabnya “Ru’yah Waqi’iyah” sebagaimana telah lewat penukilannya dengan ucapannya: “Akan tetapi di sini ada perkara yang harus dijelaskan dan diterangkan, yaitu terus-menerusnya penyimpangan dari manhaj akan menyebabkan penyimpangan dalam aqidah itu sendiri dan dalam tauhid itu sendiri”.
Koreksi Kedelapan: Ucapannya: “Dan kemungkinan terakhir inilah yang lebih kita cintai dari pada yang pertama, oleh karena itu kita menyeru, bersungguh-sungguh, bersabar dan tabah”.
Saya katakan: Setiap muslim akan berangan-angan akan hal itu, terlebih lagi para ulama dan para thalibul ilmi yang salafy. Akan tetapi tidaklah sampai pada derajat bercampur padanya dengan ahlul bida’, membela mereka, memuji mereka, menyamarkan al-haq dengan kebathilan, menyia-nyiakan al-haq, merendahkan ahlus sunnah padanya dan menyia-nyiakan padanya ushul salafiyah.
Maka sengat kita untuk bisa memberi petunjuk kepada manusia bukanlah maksudnya untuk menyia-nyiakan apa yang kita miliki berupa orang-orang yang istiqamah, sebagaimana hal ini akan datang rinciannya –biidznillah- pada masalah pemboikotan seorang mubtadi’.
Asy-Syaikh Ahmad bin Yahya An-Najmy rahimahullah ditanya dalam “Al-Fatwa Al-Jaliyah” (2/141 no. 79): Asy-Syaikh yang mulia, Seseorang menganggap dirinya salafy, akan tetapi dia duduk bersama para hizbiyin. Dan dia telah dinasehati akan hal itu namun dia berkata: “Sesungguhnya aku berusaha untuk mengarahkan mereka dan menasehati mereka”. Bagaimana kita menghukumi orang yang seperti ini?
Asy-Syaikh rahimahullah berkata: “Saling memberi nasehat itu tidak mengharuskan engkau untuk berjalan bersama mereka. Dan nasehat itu dilaksanakan pada waktu-waktu tertentu. Adapun kondisimu berjalan bersama mereka dengan alasan engkau menasehati mereka niscaya terlihat adanya perubahan pada amalan mereka, dan meninggalkan apa yang mereka pegang. Jika engkau katakan misalnya engkau menasehati mereka dan mereka tidak mendengarkan atau tidak menerimanya darimu, kalau begitu mengapa engkau duduk bersama mereka dan berjalan bersama mereka, pergi dan datang bersama mereka? Jika mereka tidak mendengarkan darimu maka jangan engkau pergi dan jangan pula datang bersama mereka, jangan duduk bersama mereka. Akan tetapi ketika kami melihat engkau pergi dan datang bersama mereka dan duduk bersama mereka maka kami mengetahui bahwa engkau adalah bagian dari mereka”.
Kemudian lihatlah keadaanmu wahai Halaby! Kau memuji dan membela pentolan-pentolan mubtadi’ pada zaman ini seperti Al-Maghrawy, Al-Ma’riby, Al-Huwainy dan selain mereka dari kalangan takfiry. Engkau menamai dan mensifati mereka –dengan sangat disayangkan- bahwa mereka itu du’at kepada aqidah yang benar, dan mereka itu adalah para sahabat. Bahkan engkau sendiri menyelisihi ucapanmu sendiri di sini maka kau mensifati mereka bahwa mereka itu du’at kepada manhaj as-salaf sebagaimana pada hal. 24,49,189. Ya, dia tidak menegaskan nama-nama mereka dan dia menyamarkan nama mereka, akan tetapi perselisihannya dengan masyayikh salafiyin itu karena mereka dan terkait dengan mereka. Dan majelisnya terekam dengan suaranya ada padanya, memuji mereka dan membela mereka. Dan dia bertaqwa kepada Allah dalam membid’ahkan mereka.
Dan kau pernah ditanya pada salah satu majelis dengan pertanyaan berikut: “Apa pendapatmu tentang orang yang menyelisihi manhaj ahlus sunnah seperti Al-Huwainy, Al-Maghrawy, Al-Ma’riby dan ‘Ar’ur?”
Dan jawabanmu: “Ushul mereka, ushul aqidah mereka sunniyah salafiyah. Dan tidak seorangpun dari mereka mengatakan: “Aku bukan seorang salafy, atau saya seorang quthby, atau saya hizby, atau saya takfiry”. Bahkan semuanya berlepas diri dari hal itu, meskipun hal itu maksudnya sebatas waktu tertentu dan derajat tertentu. Maka aku takut kepada Allah dan aku bertaqwa kepada-Nya dari sikap mengatakan mereka itu takfiriyun atau quthbiyun atau hizbiyun”.
Mereka itu dedengkot fitnah bagi para pemuda salafiyin dan dakwah salafiyah!! Akan tetapi kau di sini, hawa nafsumu, uji cobamu dan perasaanmu yang menghukumi. Dan ini adalah perkara nyata yang kau tolak dalam kitabmu “Ru’yah Waqi’iyah” hal. 22 sebagaimana telah lewat penyebutannya.
Dan cukup pada permasalahan ini ucapan Asy-Syaikh Rabi’ Al-Madkhaly hafizhahullah sebagaimana dalam “Al-Mauqif Ash-Shahih min Ahlil Bida’”: “Kami mewanti-wanti pemuda salafy dari bercampur dengan mereka, bergaul dengan mereka, dan percaya kepada mereka. Maka ambillah pelajaran dari para salaf dari orang-orang yang tertipu dengan dirinya dan memandang dirinya bahwa dia akan bisa menunjuki pengikut kesesatan, dan mengembalikan mereka dari penyimpangan mereka dan kesesatan mereka. Tiba-tiba dia terhuyung dan terombang-ambing kemudian terbanting dalam pelukan ahlu bida’.
Maka engkau lihat orang ini berjalan dalam lingkup dan lingkungan salafy sesuai kehendak Allah Subhanahu Wa Ta’ala, tidaklah engkau merasa kecuali orang perlu dikasihani telah berbalik arah, tiba-tiba dia memerangi ahlus sunnah. Sesuatu yang mungkar menjadi ma’ruf baginya dan yang ma’ruf menjadi sesuatu yang mungkar baginya. Ini adalah kesesatan dari semua kesesatan. Maka kami mewanti-wanti pemuda salafy dari tertipu oleh ahlul bida’ dan percaya pada mereka.
Maka aku nasehatkan kepada para pemuda salafy:
Pertama: Hendaknya mereka menuntut ilmu dan duduk bersama pembawa kebaikan dan menjauhi pembawa kejelekan. Karena Rasul Shallallahu ‘Alaihi Wa salam yang mulia telah menyebutkan permisalan bagi teman duduk yang jelek dan pengaruhnya yang jelek, dan teman duduk yang baik dan pengaruhnya yang baik. Beliau Shallallahu ‘Alaihi Wa salam bersabda;
“Permisalan teman duduk yang shalih dan teman duduk yang jelek seperti pembawa minyak wangi dan peniup api tukang besi. Maka pembawa minyak wangi, entah dia akan memberimu dan entah engkau bisa membeli darinya dan entah engkau akan bisa temukan darinya bau yang enak”.
Maksudnya engkau beruntung dan bisa mengambil faedah darinya pada setiap keadaan. Engkau tidak dapatkan darinya kecuali kebaikan, sebagaimana sebuah pohon korma semuanya terdapat kebaikan dan manfaat sebagaimana hal itu adalah permisalan seorang mukmin. Adapun teman duduk yang jelek seperti peniup api tukang besi, entah dia akan membakar pakaianmu, dan entah engkau tidak akan selamat dari asapnya. Maka gangguan akan terus mengarah padamu dan kejelekan juga akan mengarah padamu, entah berat ataupun ringan.
Jika memang duduk bersama pembawa kejelekan itu ada dhararnya mengapa engkau bersemangat untuk duduk dan becampur dengan mereka?
Apa yang melandasimu untuk memperbolehkannya?
Rasul Shallallahu ‘Alaihi Wa salam mewanti-wanti. Rasul Shallallahu ‘Alaihi Wa salam telah mengingatkan. Rasul Shallallahu ‘Alaihi Wa salam telah menjelaskan bahayanya. Lalu apa udzurmu? Dan para Imam Islam telah mewanti-wanti dan mengingatkan, dan mereka telah menunaikan arahan dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa salam dan bimbingan Al-Qur’an Al-Karim dan juga As-Sunnah. Maka dengan dalil apa kau menyelisihi manhaj ahlus sunnah wal jama’ah, dan menantang saudaramu yang mencintai kebaikan untukmu dan takut kalau kau itu jatuh pada kejelekan?”.
Dan sebagai penutup diskusi ini saya kedepankan beberapa pertanyaan kepada setiap pembaca yang bisa berlaku adil yang perhatian terhadap agamanya dan manhaj as-salaf ash-shalih menjawab dengan dirinya agar dia tahu bahaya dan tidak benarnya kaidah ini:
Apakah ‘Ali Al-halaby lebih paham terhadap agama Allah Subhanahu Wa Ta’ala dibanding as-salaf ash-shalih dan ulama umat?
Apakah ‘Ali Al-halaby lebih bersemangat untuk menunjuki manusia dibanding salaf?
Apakah ‘Ali Al-Halaby mampu untuk berkata: “Aku menjamin bahwa seseorang tidak akan menyimpang dikarenakan bercampur dengan pemilik manhaj yang rusak?
Yang terakhir. Ini adalah permisalan bagi kaidah bathilah yang dicanangkan oleh ‘Ali Al-Halaby untuk mensahkan jalannya yang bahaya dalam bergaul dengan ahlul bida’ yang menyelisihi manhaj as-salaf ash-shalih, dan agar sekelompok dari ahlul bida’ bisa masuk dalam kategori ahlus sunnah dan ahlul haq. Dan tidak tercapai pembedaan antara ahlul haq yang berpegang teguh dengan manhaj as-salaf ash-shalih dengan manhaj ahlul bathil yang hawa nafsu sepakat dengan mereka.
Aku memohon kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang Maha Pemurah Rabb Al-‘Arsy yang Agung agar menunjukkan al-haq kepada ‘Ali Al-Halaby dan membawanya kepada jalan yang lurus, dan agar dia bisa berjalan dengan sungguh-sungguh dalam berdakwah kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Dan aku memohon kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala agar Allah Subhanahu Wa Ta’ala menjaga kita semua dari semua perkara yang jelek dan dibenci, dan agar mengokohkan kita di atas al-kitab dan as-sunnah sesuai dengan pemahaman as-salaf ash-shalih dalam aqidah dan manhaj. Semoga shalawat dan salam tercurah kepada nabi kita Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa salam dan kepada keluarga dan shahabat beliau.
Yang Mencintai Kalian
Ahmad bin ‘Umar bin Salim Bazmul
23/01/1430H
Diterjemahkan oleh
‘Umar Al-Indunisy
(Yaman, 03/03/2010)
Diteliti dan diedit kembali serta ditampilkan oleh tukpencarialhaq.wordpress.com