Ahmadiyah Dalam Sorotan (3)

بسم الله الرحمن الرحيم

AHMADIYAH SEBAGAI CRYPTO – ISLAM [x]
[x] Crypto-Islam: aliran/gerakan yang secara diam-diam dan terselubung menjiplak, memanipulasi ajaran-ajaran Islam.CIUMAN JUDAS (xx)
[xx] Dalam kisah Bibel disebutkan, bahwa jika Judas mencium Yesus, itu tidak berarti ia cinta pada gurunya, melainkan ia telah merencanakan pengkhianatan keji terhadapnya. Bukan bermaksud membenarkan kisah Bibel di atas jika kita menggunakan judul tersebut, tetapi semata “membantu” Mirza Ghulam Ahmad yang berupaya memerankan diri secara totalitas sebagai seorang Yesus dari India. Hal ini bukanlah pernyataan yang berlebih-lebihan, pada paparan-paparan selanjutnya, para pembaca sekalian akan menyaksikan bagaimana Mirza benar-benar terobsesi dengan sosok Yesus dan kisah-kisah di dalam Bibel, juga kedatangannya yang kedua kalinya ke dunia ini. Bukan hanya ayat-ayat di dalam Al Qur’an, Mirza dan Ahmadiyahnya juga mencaplok ayat-ayat di dalam Bibel Kristen demi menguatkan pangkat dan derajat kenabiannya (baca: paranoidnya)!

 

Kedudukan, pangkat-pangkat serta tingkah laku yang dipamerkan oleh Mirza Ghulam Ahmad, putera dan cucunya maupun oleh pengikut-pengikutnya yang tiada tolok bandingannya, pada hakikatnya hanyalah merupakan perisai atau selubung dari kelemahan, kepalsuan yang terdapat di dalam diri Mirza Ghulam Ahmad dan Ahmadiyahnya. Demikianlah satu kelemahan harus dilindungi banyak “kekuatan” gadungan, barulah persembunyian itu berhasil lolos dari setiap pencaharian. Akan tetapi satu keanehan telah terjadi, bahwa kekuatan-kekuatan yang dipamerkan Ahmadiyah itu, ternyata menjadi boomerang yang memukul balik pada dirinya sendiri.
Kekuatan-kekuatan dalil yang dipakai tentang keMahdian Mirza Ghulam Ahmad, kealMasihannya, keNabian dan keRasulannya akhirnya menjadi satu bahan yang menarik untuk dibicarakan. Justru pada posisi-posisi Mirza Ghulam yang berat itulah, ia dan alirannya menutup semua kemungkinan bagi lolosnya suatu penelitian terhadap dirinya. Kubu-kubu pertahanan yang dibangun Mirza dan Ahmadiyahnya dalam masalah ke-Mahdian, kealMasihan, keNabian maupun keRasulannya, merupakan kubu-kubu yang ampuh untuk diterobos.
Akan tetapi, sebagaimana dikatakan tadi, satu keanehan telah terjadi; justru dari pertahanan yang tertutup rapat itu, secara tidak sengaja pintu-pintu rahasia dari kubu-kubu pertahanan Ahmadiyah terbuka lebar dan mereka sendirilah yang membukanya. Bahkan boleh dikata ibarat tubuh bertelanjang bulat di hadapan cermin sejarah. Mirza Ghulam Ahmad dan Ahmadiyahnya telah mempertontonkan segala jenis kemunafikannya yang paling samar sekalipun. Padahal, Ahmadiyah pada dzahirnya menyuguhkan ajaran-ajarannya ke tengah-tengah masyarakat di luar jemaatnya, dengan segala macam kalimat-kalimat puji dan puja kepada Allah dan Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
http://img160.imageshack.us/img160/927/ahmadiyahpujinabikitasn0.jpg

Penjelasan-penjelasan yang menarik yang disajikan Mirza dan Ahmadiyahnya tentang sebab-sebabnya mengapa ia harus menjadi nabi, rasul dan sebagainya, menurut Ahmadiyah sama sekali tidak mengandung maksud untuk mengecilkan kedudukan Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Mirza Ghulam Ahmad, kata Ahmadiyah, tidak lain hanyalah khadim Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, melanjutkan serta menerangkan ajaran-ajaran tuannya [1]. Bahkan Mirza Ghulam adalah orang pertama yang jatuh cinta pada Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Dalam syairnya Mirza Ghulam berkata:
“Lihatlah kepadaku dengan pandangan rahmat dan kasih wahai penghuluku
aku adalah seorang sahayamu yang paling hina dina
wahai kekasihku, cinta kepadamu sudah amat meresap dalam jiwa ragaku,
ke dalam jantungku dan benakku.
wahai taman firdaus dari seluruh kegembiraanku!
alam’ pikiranku tidak pernah sunyi sesaat atau sedetikpun dari mengenang engkau.
Jiwaku sudah menjadi milikmu. Jisimkupun bercita-cita benar ingin terbang ke hadiratmu.
alangkah bahagianya bila dalam diriku ada daya untuk terbang”[2].

Dalam syairnya yang lain, Mirza Ghulam berkata lagi:
“Sesudah asyik kepada Allah, akupun mabuk pula pada keasyikan terhadap Muhammad.
Kalau ini dikatakan kufur, maka demi Tuhan akulah orang yang sangat kafir!”[3].

Bahkan dari keasyikan Mirza Ghulam kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, menurut Ahmadiyah, ia telah fana’ fir-rasul yakni pada dirinya membayang wujud yang mulia Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam [4]. Malah bila diperhatikan benar-benar, Mirza Ghulam adalah kenabian Muhamadiyah juga, yang dzahir dalam suatu cara yang baru.
Ibarat melihat cermin, demikian Ahmadiyah melanjutkan, kamu tidak menjadi dua, bahkan kamu tetap satu juga adanya, kendatipun nampaknya dua [5].

Salah seorang pengikut Mirza yang setia menceritakan bahwa ia pernah melihat dalam mimpi, wujud suci Hadrat Rasulullah Muhammad Mustafa Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah juga merupakan wujud suci Hadrat Mirza Ghulam Ahmad, Masih Mau’ud a.s.
Aku tidak ingat, demikian sahibul mimpi melanjutkan, apakah lebih dahulu melihat Mirza sahib (Mirza Ghulam Ahmad) atau melihat wujud suci nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Tetapi yang jelas ialah kedua wujud suci itu telah diperlihatkan dalam keadaan hanya merupakan satu wujud suci. Hal ini mengandung arti, bahwa pada masa kini, pantulan dan kadzahiran yang sempurna dari wujud suci nabi Muhammad adalah wujud Mirza Ghulam Ahmad [6].
Apakah yang demikian itu, tidak suatu penghormatan pada nabi Muhammad oleh Mirza Ghulam?! Maka, terimalah nabi yang datang dari Allah ini, demikian seru seorang Ahmadiyah [7].
Akan tetapi, di lain kesempatan datang ancaman keras dari Ahmadiyah pada mereka yang tidak mau percaya pada kenabian Mirza, dengan kata-kata lantang:
“bahwa semua orang Islam harus percaya pada Nabi Mirza Ghulam Ahmad; kalau tidak, berarti mereka tidak mengikuti ajaran-ajaran Al-Qur’an. Dan siapa-siapa yang tidak mengikuti Al Qur’an maka ia bukan muslim. Dan barangsiapa mengingkari seorang nabi, menurut istilah agama Islam disebut kafir!” [8].
Demikian Ahmadiyah, mula-mula mereka memuji-memuji Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, kemudian minta agar Mirza diakui sebagai nabi, akhirnya ia mengancam vonis kafir bagi siapa-siapa yang tidak mau percaya kenabiannya! Jelas di sini adanya watak-watak munafik pada diri Mirza Ghulam maupun pengikut-pengikutnya.
Namun demikian, apakah benar kaum Muslimin tidak mengikuti ajaran-ajaran Al Qur’an bila tidak mengakui Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi?
Untuk menjawab soal di atas sebaiknya kita lebih jauh melihat ajaran-ajaran Ahmadiyah tentang sebab-sebabnya mengapa Mirza Ghulam memakai gelar nabi. Dalil-dalil yang dipakai Ahmadiyah guna menguatkan landasan bagi tegaknya kenabian maupun kerasulan Mirza Ghulam ialah dalil-dalil Al Qur’an dan Hadits. Tentu saja menurut penafsiran dan cara-cara mereka sendiri. Mula-mula dalil yang dipakai berkisar pada ayat “khataman nabiyin” dalam surah Al Ahzab ayat 40. Kata khatam di situ menurut Ahmadiyah bukan berarti “penutup” melainkan termulia. Jadi Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah nabi yang “termulia”, bukan Nabi penutup. Oleh karena itulah pengertian yang diberikan oleh sebagian orang-orang Islam terhadap kata khatam dengan pengertian pintu wahyu tertutup, bertentangan dengan kandungan Al Qur’an dan sabda-sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam [9].

VONIS YANG MENGEJUTKAN
Oleh karena itu, demikian Ahmadiyah melanjutkan, perlu kiranya dijelaskan ala kadarnya arti “khataman” di dalam ayat tersebut yang dijadikan sumber salah mengerti oleh sebagian orang [10].
Kata-kata: bertentangan dengan kandungan Al Qur’an dan sabda-sabda Rasulullah, dan kata-kata: sumber salah mengerti, tampaknya tidak mempunyai efek-efek yang berat pada mereka .,sebagian orang itu”. Padahal kenyataannya adalah sebaliknya. Efek-efek itu telah disuarakan sendiri oleh Ahmadiyah, yaitu efek yang paling berat bagi “sebagian orang itu”, yakni bagi orang-orang yang menentang kandungan Al Qur’an dan sabda Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah kafir buat mereka.

Kemudian kata-kata: “sebagian orang-orang Islam,” kami garis-bawahi, oleh karena kata-kata tersebut seolah-olah tidak mengandung problema yang serius atau persoalan-persoalan yang perlu dibahas; demikian kelihatannya. Padahal jika diteliti dengan seksama kata-kata sebagian orang-orang Islam itu, mengandung isi yang berat atau jumlah yang sangat banyak. Sebagian orang—tentunya orang-orang yang berada di luar Ahmadiyah—dan kalau dibandingkan dengan jumlah pengikut-pengikut Ahmadiyah, maka sebagian orang-orang itu, mungkin sudah dua ratus kali lebih banyak dari pengikut Ahmadiyah. Bahkan lebih dari itu. mungkin sudah satu milyar kaum Muslimin yang oleh Ahmadiyah dikatakan : “telah bertentangan dengan kandungan Al Qur’an dan sabda-sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam” atau dengan kata lain, tidak mengikuti Al Qur’an dan sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, atau dengan kata lain tidak mengakui Mirza Ghulam Ahmad sebagai Nabi atau dengan kata lain, mengingkari seorang nabi Mirza Ghulam, yang menurut istilah Islam adalah kafir! [11].

Tegasnya satu milyar kaum Muslimin yang non Ahmadiyah adalah kafir, demikian vonisnya kaum Mirza Ghulam Ahmad, Ahmadiyah. Maka untuk kata-kata: “sebagian orang-orang Islam” itu hendaknya dihapus saja dan sebaiknya Ahmadiyah berterus-terang bila menyebut jumlah yang sebenarnya, jangan bermain diplomasi.
Belum lagi kaum Muslimin yang hidup sebelum pendiri Ahmadiyah itu muncul, generasi-generasi terbaik yang Allah ta’ala munculkan bagi umat ini, sampai pada Tabi’in dan para Sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, mereka telah bertentangan dengan faham Ahmadiyah yang meNabikan orang dari Qadian itu! Dan alangkah malangnya nasib mereka. Ataukah bagi Ahmadiyah mereka adalah orang-orang hanifan, karena belum kedatangan seorang nabi (Mirza Ghulam Ahmad)?!

Pendirian bahwa Ahmadiyahlah yang haq, oleh karena hanya mereka yang memiliki nabi baru itu, maka untuk persiapan-persiapan yang menguatkan landasan berpijaknya Mirza Ghulam Ahmad di atas kenabiannya itu, tidak tanggung-tanggung lagi, mereka menggunakan dalil-dalil Al Qur’an dan sabda-sabda Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Kembali pada pegangan mereka yang mula-mula yakni kata “khatam” dari khataman nabiyin, menurut Ahmadiyah, perkataan khatam adalah perkataan yang ratusan kali dapat dijumpai dalam kata-kata lainnya yang menerangkan arti yang jelas yaitu bukan penghabisan atau penutup. Di dalam Itqaan juz I ditulis, bahwa Imam Suyuthi adalah “khatam” bagi orang-orang Muhaqqiq, padahal orang Muhaqqiq (penyelidik) tidak pernah henti-hentinya di dunia ini…. Singkatnya arti khatam tidak lain ialah mulia dan kalimat tersebut dalam ayat tadi dimaksudkan Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. sebagai Nabi termulia dari semua nabi-nabi [12]. Demikian Ahmadiyah menjelaskan.
Benarkah bahwa Imam Suyuthi adalah orang-orang yang digelari “khatam”? Jika salah seorang muridnya atau banyak muridnya mengatakan bahwa Imam Suyuthi adalah Muhaqqiq termulia, itu adalah satu pendapat.

Yang menjadi persoalan, jika Ahmadiyah mempopulerkan pengertiannya tentang “khatam” dalam “khataman nabiyin” dari Al-Ahzab ayat 40 itu dengan menuduhkan pada satu milyar kaum Muslimin bahwa pendapat mereka telah bertentangan dengan kandungan isi Al Qur’an dan sabda Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang pada akhirnya menimbulkan efek paling berat dalam pandangan Agama Islam, yakni menjadi kafir (belum lagi mereka-mereka yang hidup sebelum munculnya tokoh Qadian itu sampai pada para Tabi’in dan Sahabat-sahabat Nabi), maka atas penilaian Ahmadiyah yang gegabah itu, akan kita lihat satu persatu.

Selanjutnya, Ahmadiyah mengatakan bahwa sekiranya sebagai perumpamaan kita terima arti dan pengertian sementara orang-orang itu, bahwa khatam itu berarti penutup, dapat pula diartikan penutup, nabi-nabi yang membawa syariat [13].
Sekali lagi Ahmadiyah ingin mendekatkan pengertiannya dengan pengertian kaum Muslimin. Namun pernyataan bahwa Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah Nabi penutup yang membawa syariat, pengertian yang demikian tidak bisa diterima.
Pengertian yang benar adalah yang dipahami oleh satu milyar kaum muslimin, bahwa Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah penutup segala nabi-nabi. Tidak lagi ditambahi embel-embel: yang membawa syari’at. Itu hanya satu helah, dimana Ahmadiyah akan berkata bahwa kesempatan untuk datang nabi baru sesudah Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam akan ada. Dan satu hal yang pasti bagi mereka bahwa nabi yang akan datang itu telah ada, yakni Mirza Ghulam Ahmad, dengan tambahan di belakangnya: Nabi Ghair Tasyri’ (nabi yang tidak membawa syariat).

Jika Ahmadiyah mengatakan lagi bahwa sebab-sebab turunnya ayat 40 dari surah Al-Ahzab itu, juga dikarenakan atau dimaksudkan Allah Ta’ala untuk membela nama baik Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam karena beliau menikahi mantan istri anak angkatnya, maka andaikata yang diniatkan mereka itu demikian, justru jalan yang mereka tempuh itu keliru. Jelasnya, bahwa Ahmadiyah dengan hanya mengutamakan kata khataman nabiyin saja yang diartikan termulia, mereka merasa telah mengangkat nama baik Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam; padahal yang utama dari ayat 40 Al-Ahzab itu terletaknya pada ayat: “Aba Ahadin min rijalikum” (bukan ayah seorang di antara laki-laki kamu), hal ini telah diabaikan dan di sinilah letak salah jalannya mereka.
Surah Al-Ahzab ayat 40 mengandung salah satu hukum dari hukum-hukum Allah untuk menunjukkan pada kaum kuffar bahwa apa yang telah dilakukan Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, yakni menikahi mantan istri anak angkat beliau (Zaid Radhiyallahu ‘anhu) adalah boleh dan haq. Inilah hukum Allah dan inilah pembelaan Allah pada Rasul-Nya. Adapun ayat “Rasulullah” dan “khataman nabiyin” pengertiannya adalah pesuruh Allah dan Nabi penutup semua nabi. Pengertian inipun adalah hukum Allah, ketetapanNya yang harus diketahui semua manusia, termasuk orang-orangnya Mirza Ghulam Ahmad, bahwa jumlah 124 ribu nabi itu telah diakhiri dengan kenabian Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Ahmadiyah mengatakan, bahwa ayat tersebut tidak ada hubungannya sedikitpun dengan soal ada atau tidak adanya Nabi sesudah Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam., padahal justru beberapa kitab-kitab Ahmadiyah berbicara tentang khataman nabiyin dari Al Ahzab ayat 40 yang selalu mereka hubung-hubungkan dengan alasan-alasan yang memungkinkan munculnya nabi sesudah KeNabian Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Kenyataannya Ahmadiyah berbicara:
“Banyak orang mengatakan. bahwa kata “Khataman Nabi-“yin” yang tercantum dalam Al Qur’an Surah Ahzab ayat 40 maknanya ialah Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam itu Nabi penutup dengan pengertian, bahwa sesudah beliau tak akan datang lagi Nabi sekalipun hanya nabi-ikutan atau nabi tak membawa syari’at. Benarkah arti ayat termaksud demikian? Ahmadiyah menjawab: “Baik menurut sebab musabab turunnya ayat, menurut jalan uraian Al Qur’an mengenai soal kenabian menurut pengertian Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. dengan para sahabat menurut para pujangga dan orang suci terdahulu maupun menurut lughah, pengertian tersebut di atas tidak benar” [14].

Jelasnya, Ahmadiyah selalu menghubung-hubungkan ayat 40 Al Ahzab dengan soal ada atau adanya nabi sesudah nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam .
Maka untuk pengertian kata “khatam” dari “khataman nabiyin” surah Al Ahzab ayat 40 itu, tidak ada arti lain selain pengertian: penutup! Dan tidak perlu menambah embel-embel syari’at di belakang penutup itu. Demikian tafsir-tafsir para ulama dan tidak menyebutkan pengertian lain selain arti “penutup” dari semua nabi-nabi.

Selanjutnya Ahmadiyah berkata: “Bahwasanya kalimat khatam dapat pula dibaca “khatim” yang berarti hiasan bagi sang pemakainya. Apabila diartikan demikian, maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. itu bagaikan hiasan indah bagi nabi-nabi. Dalam Fathul-Bayan juga dikatakan, bahwa nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. adalah bagaikan hiasan cincin yang dipakai oleh para nabi karena beliau nabi termulia” [15].
Kemudian masih dalam pengertian khatam, Ahmadiyah berkata:
“Jadi, perkataan “khataman nabiyin” berarti cap atau stempel daripada nabi-nabi. Yakni Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ialah kebagusan daripada segala nabi-nabi”[16].
Ahmadiyah mengartikan cincin dan stempel bagi Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sebagai kiasan dan menafsirkannya dengan kebagusan atau termulia merupakan cara-cara orang yang telah kehabisan bahan bakar, hanya dengan maksud memanjang-manjangkan pujian palsu kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Apakah bukan satu penghinaan, kalau Nabi Muhammad dikiaskan sebagai cincin yang dipakai jari-jemari para Nabi dan stempel dari Nabi-nabi?!

DEMAGOOG QADIANI (x)
[x] Demagoog Qadiyani ialah seorang pendusta dari Qadian, yakni Mirza Ghulam.

Bukan itu saja yang dipakai oleh Ahmadiyah untuk meluruskan jalan buat kenabian Mirza Ghulam Ahmad, melainkan juga mereka pakai dalil-dalil Al Qur’an dan Hadits. Mula-mula Ahmadiyah berkata dengan lantangnya:
“Sekarang kita lihat arti khataman Nabiyin menurut pengertian Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sendiri. Apakah beliau memahaminya, dalam arti tidak akan ada lagi Nabi sesudah beliau” [17].
Apakah beliau memahaminya, benarkah kalimat itu dipakai dan ditujukan pada Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam?! Kiranya Ahmadiyah telah melakukan blunder, ceroboh dan kurang ajar dalam bahasa dan akhlak terhadap Nabi kita Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam!

Sebelum sampai pada ucapan-ucapan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sendiri, marilah kita lihat bagaimana Ahmadiyah mengutip ucapan Aisyah Radhiyallahu ‘Anha, isteri Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam :
“Katakanlah Rasulullah itu khataman Nabiyin, tapi jangan dikatakan tidak akan ada Nabi sesudah beliau” [18]

Sungguh menggembirakan bahwa Ahmadiyah memperoleh landasan berpijak yang kuat daripada ucapan permaisuri Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Dengan ucapan Aisyah Radhiyallahu ‘Anha itu, maka pintu kenabian sesudah Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam terbuka lebar-lebar. Sudah tentu para pengikut Mirza menyambut gembira ucapan Aisyah Radhiyallahu ‘Anha. Sekiranya perlu menambah maka tambahkanlah ucapan-ucapan dari isteri-isteri Nabi yang lain. Katakan juga bahwa Hafsah, Ummu Salamah berkata seperti apa yang dikatakan Aisyah itu. Tentu saja sangat lemah ucapan-ucapan demikian untuk dipakai menjadi dasar.
Apakah beliau memahaminya? Seperti apa yang dikatakan Ahmadiyah terhadap Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, demikian Ahmadiyah mulai menggunakan Hadits-hadits untuk kepentingan. Mirza Ghulam.
Lima tahun sesudah turunnya ayat khataman Nabiyin, demikian Ahmadiyah berkata, putera Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang bernama Ibrahim telah wafat. Dalam hubungannya dengan wafatnya putera beliau ini, Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda :
“Sekiranya dia (Ibrahim) terus hidup niscaya dia menjadi seorang Nabi yang benar. (Ibnu Majah)” [19].

Dari sabda Nabi tersebut di atas nyatalah pengertian Nabi kita yang sebenarnya, pengertian yang tidak membenarkan faham bahwa khataman Nabiyin berarti penutup Nabi-nabi. Lebih jelas lagi Ahmadiyah mengatakan, bahwa sekiranya Rasulullah berpengertian tidak akan ada Nabi lagi sesudah beliau, niscaya tidak beliau katakan yang tersebut di atas [20].

Ahmadiyah mengutip hadits tersebut dari Ibnu Majah jilid satu halaman 234, tanpa menyebut-nyebut kedudukan sanadnya. Sedangkan kata “sekiranya” itu memberi arti “tidak mungkin terjadi” sebab sekiranya Ibrahim hidup, padahal ia telah wafat.
Dan dengan ucapan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam (artinya):
”Tidak ada nabi setelahku”. (HR. Muslim)
Dan dengan ijma’ kaum muslimin bahwa tidak ada nabi setelah nabi kita Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Dan bahwasanya syariat Islam ini kekal sampai hari kiamat dan tidak dimansuhkan (tidak dibatalkan).
Turunnya kembali Nabi isa ‘Alaihis salam di akhir zaman nanti juga bukan untuk menghapus/merombak syariat Islam yakni sebagai Rasul yang membawa syariat yang baru, yang membatalkan syariat kita. Tidak ada dalam hadits-hadits maupun yang lainnya dalil yang menunjukkan hal tersebut. Bahkan telah shahih hadits-hadits tersebut dan dalam Kitabul Iman dan lain-lainnya bahwa Nabi Isa ‘Alaihis Salam turun sebagai hakim yang adil dengan hukum syariat yang dibawa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, serta menghidupkan perkara-perkara syariat-syariat kita yang sudah mulai ditinggalkan oleh manusia. (Syarh Shahih Muslim, Imam Nawawi, juz 18, hal. 278)

Anehnya, sesudah seribu tahun lebih dari wafatnya putera Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, tiba-tiba muncul sosok berkulit kuning langsat dari anak benua India, seorang yang berambisi besar untuk mengambil-alih kesempatan yang mungkin ada pada Ibrahim untuk menjadi Nabi, yakni Mirza Ghulam Ahmad! Ya, sebuah ambisi seorang psikopat paranoid Al Hindustani Al Mogholi.
Setelah segala kemungkinan adanya Nabi baru tidak akan pernah ada dan tidak akan ada sama sekali, bersabda Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:
“Kalau sekiranya ada Nabi sesudahku, maka Umarlah dia” (Musnad Ahmad ibn Hambal).
Umar bin Khaththab Radhiyallahu ‘Anhu masih hidup tatkala Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengucapkan ucapan tersebut. Dan tatkala beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah lama pergi (wafat), Umar Radhiyallahu ‘Anhu pun masih ada, namun beliau hanyalah seorang Khalifah, Amirul Mukminin dan bukan nabi. Tepat sebagaimana sabda Rasul Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam (artinya):
“Adapun bani Israil itu terpimpin oleh Nabi-nabi. Tiap seorang Nabi wafat maka datanglah Nabi yang lain mengikutinya. Dan sesungguhnya sesudah saya tidak akan ada Nabi, melainkan Khalifah” (Ahmad, Muslim, Ibnu Majah)

Akan tetapi ambisi yang meledak-ledak itu tidak memungkinkan bagi Mirza Ghulam dan Ahmadiyahnya untuk mundur selangkahpun demi membuang titel kenabiannya. Juga ia tidak akan berkompromi dengan siapa saja untuk meninggalkan keRasulannya, keYesusannya, KeKrishnaannya dan keMahdian serta keDajjalannya. Apakah anda akan menudingnya sebagai nabi palsu? Mirza tentu menjawab:
Saya ini Nabi, kata Mirza Ghulam Ahmad, dan saya bukan nabi palsu! Sebab nabi palsu sudah diberi definisi oleh Ahmadiyah, ialah, bahwa hidupnya singkat tidak lebih dari 23 tahun, setelah mana ia dan pengikut-pengikutnya hapus dari muka bumi dengan tiada meninggalkan bekas, mereka tidak memperoleh bantuan Tuhan [21].
Dan ketahuilah bahwa Mirza Ghulam Ahmad hidup lebih dari 23 tahun. Untuk ini Ahmadiyah berkata :
“Beliau hidup lebih dari 23 tahun setelah menerima wahyu dari pada Allah Ta’ala dan mengaku utusanNya. Orang yang mengaku terima wahyu dari Allah Ta’ala dan disiarkannya dengan pengakuannya sebagai ‘utusan daripada Allah Ta’ala dan dia hidup 23 tahun atau lebih, maka Qur’an mensahkan dakwaanya (seperti tersebut di dalam surat Al Haqqah: 45-47)” [22].
Menarik untuk ditelaah, bahwa Ahmadiyah menggunakan limit waktu 23 tahun atau lebih untuk kebenaran suatu pendakwaan kenabian sesudah Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Bahkan Al Qur’an yang mensahkan kenabian baru itu seperti tersebut dalam surah Al Haqqah ayat 45- 47. Padahal isi ayat tersebut tidak ada hubungannya dengan pengesahan sesuatu kenabian baru. Ayat dari Al Haqqah itu terjemahnya sebagai berikut:
“(45) Niscaya benar-benar Kami pegang dia pada tangan kanannya (46) Kemudian benar-benar Kami potong urat tali jantungnya (47) Maka sekali-kali tidak ada seorangpun dari kamu yang dapat menghalangi (Kami) dari pemotongan urat nadi itu.”

Jelas bahwa ayat-ayat tersebut tidak mempunyai kaitan atau hubungan apa-apa dengan dakwaan nabi baru sesudah ke-Nabian Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Adapun alasan limit waktu yang dipakai Ahmadiyah yakni 23 tahun itu, adalah masa perjuangan dakwah yang telah dilalui oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Jika 23 tahun tersebut diterapkan oleh Ahmadiyah pada Mirza Ghulam Ahmad, maka sungguh kelihatan bahwa pegangan yang demikian itu adalah lucu. Andaikata ada orang mengaku Nabi sesudah kenabian Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam., dan ia hidup lebih dari limapuluh tahun, menyiarkan kenabiannya dan matinya tidak terbunuh, maka kenabiannya itu tetap sebagai satu kepalsuan. Abad-abad terakhir ini banyak kepalsuan-kepalsuan bertahan berpuluh-puluh tahun bukan karena kebetulan saja, melainkan karena keorganisasiannya yang rapi dan landasan hidupnya yang kuat serta tameng pelindungnya yang ampuh.

Adalah satu contoh seperti Ahmadiyah ini yang datang menyusup-nyusup ke dalam tubuh Islam dengan merangkak-rangkak kemudian tegak dan mulai berbicara lantang bahwa ialah yang mewarisi kesejatian Agama, membawa ajaran-ajaran yang kacau dan mengacaukan ketenangan iman ummat Islam, mendakwakan diri dengan seribu macam pangkat, nama, keturunan, tingkah laku, merupakan contoh yang bisa diidentikkan dengan kelakuan-kelakuan biadab, penghinaan maupun maki-makian yang keji terhadap pribadi Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, berapa banyak orang-orang seperti ini memiliki hidup yang panjang?

Kembali kita pada persoalan-persoalan Ahmadiyah dimana disajikan berbagai dalil guna menguatkan kenabian Mirza Ghulam Ahmad, maka sampailah kita pada ucapan-ucapan tokoh-tokoh Ahmadiyah, antara lain Bashiruddin Mahmud Ahmad, putera Mirza Ghulam Ahmad berkata :
“Dan beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, sahkan kebenarannya semuanya Nabi-nabi baik yang dahulu baik yang akan datang” [23].
Maknanya Nabi Muhammad telah mensahkan kebenaranNabi-nabi, baik yang datang sebelum beliau maupun Nabi-nabi yang datang sesudah beliau. Jika yang dimaksud oleh Bashiruddin bahwa sesudah Nabi Muhammad ada Nabi seorang saja yang disahkan, maka itulah sebenarnya yang menjadi tujuannya dan tujuan Ahmadiyah. Akan tetapi kenyataan dari ucapan Bashir itu tidak demikian, sebab ia mengatakan nabi-nabi, yang berarti banyak Nabi.
Bukan begitu, tukas Ahmadiyah, melainkan banyak Nabi sebelum Nabi Muhammad dan hanya satu Nabi sesudah beliau. Itu hanyalah tergelincir pena atau keliru cetak.
Maka untuk sejenak kesalahan ucapan Bashir itu kita lampaui saja. Baiknya melihat keterangan-keterangan atau dalil-dalil lain seperti yang diucapkan tokoh-tokoh Ahmadiyah lainnya. Berkata Ahmadiyah:
“Bahwa Nabi sesudah Nabi Muhammad itu kita akui ada dan seterusnya akan ada”.[24]
Muncul lagi kata-kata “dan seterusnya akan ada” yang tentunya mengandung arti akan berdatangan Nabi-nabi sesudah Nabi Muhammad, bukan begitu? Dimana dan siapa-siapa mereka gerangan Nabi-nabi sesudah Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang disahkan itu? Bashiruddin tampil kemudian dengan memamerkan beberapa Nabi-nabi, akan tetapi sayangnya mereka Nabi-nabi palsu belaka, yaitu Musailamah, Aswad Al Ansi, Syajjah Al Kahinah, Abdul Latif, Maulawi Muhammad Jar, Zahiruddin Abdullah Timapuri, dan Nabi Bux [25].
Tentu saja bagi Ahmadiyah, kedudukan Mirza Ghulam Ahmad tidak berada di antara Nabi-nabi palsu itu; Lantas di mana dan siapa Nabi-nabi sah yang seterusnya akan ada itu? Jika memang dicukupkan satu orang saja menjadi Nabi dan “seterusnya akan ada” itu ternyata menjadi seterusnya tidak akan ada, maka Ahmadiyah sewajarnya menjelaskan bahwa hal itu kebetulan juga salah cetak atau tergelincir lidah. Satu-dua kali keliru tidak apa-apa, akan tetapi organisasi Khalifah Al Masih Al Mau’ud berulang-ulang salah, adalah memaalukan sekali.

Meskipun demikian, ternyata Ahmadiyah tidak kehilangan langkah buat menutup-nutupi kesalahannya, sebab kemudian Ahmadiyah berkata, “bahwa adanya Nabi sesudah Nabi India Mirza Ghulam Ahmad, bisa saja dan mungkin, bila Tuhan menghendaki.” [26]. Ahmadiyah masih memberi kesempatan, tentu saja bila Tuhan menghendaki, adanya Nabi pengganti Mirza Ghulam. Sikap lunaknya ini ternyata membelakangi sikapnya yang lain. Ahmadiyah masih menggoreskan ke dalam hati pengikut-pengikutnya satu kebulatan iman bahwa Tuhan hanya akan mengutus satu Nabi saja sesudah kenabian Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Cukup dan selesai dengan kenabian Mirza saja; Ahmadiyah berkata:
“Di dalam ummat Rasulullah yang mengikuti jejak beliau memperoleh berkah ribuan hingga mendapat kedudukan wali. Tetapi satu orang ada yang menjadi ummati dan juga menjadi Nabi”. [27]
Satu orang cukup dengan Mirza Ghulam Ahmad sebagai Nabi, yang lain wali-wali, ini adalah pembagian yang “adil” bagi Ahmadiyah!?

WATAK YAHUDI
Tingkah laku yang disukai oleh Mirza Ghulam Ahmad dan Ahmadiyahnya ialah merubah makna maupun tujuan dari ayat-ayat Al Qur’an dan Hadits dengan selera serta kepentingan mereka. Seperti watak yang dimiliki kaum Yahudi, yaitu yuharrifunal kalimah an mawadi-ih, maka begitulah sikap dan kelakuan kaum Ahmadiyah ini.
Dalam suatu penjelasan atas sebuah hadits yang menerangkan tentang kesudahan Nabi pada Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, Ahmadiyah menyatakan pendiriannya yang menarik.
Lebih dahulu kita ketahui isi hadits tersebut, yaitu:
“Misal aku dengan Nabi-nabi yang sebelum aku seperti seorang laki-laki yang telah mendirikan sebuah gedung yang indah tetapi ketinggalan satu bata dan mereka bertanya mengapa tidak engkau pasang sebata yang ketinggalan itu? Akulah bata itu dan aku juga kesudahan Nabi-nabi”. [28]
Apabila Hadits tersebut dipakai oleh ulama-ulama dengan mengkiaskan satu bata itu untuk menyatakan kenabian Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sebagai Nabi terakhir, maka menurut Ahmadiyah, itu adalah satu penghinaan atas diri beliau! Adakah beliau hanya seperti batu bata saja bagi sebuah gedung yang indah bentuknya itu? Jika dimisalkan dengan tiang mungkin juga diterima, tapi jika Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. cuma sekedar batu bata saja, sangat keterlaluan, padahal Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, lebih dari Nabi-nabi yang lain bahkan dari Malaikat malaikat sekalipun. [29]

Akhirnya karena itu satu penghinaan pada Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, maka Ahmadiyah mengajukan satu pembelaan juga. Adapun yang dimaksud dengan satu bata itu, kata Ahmadiyah, ialah syariat atau Agama. Syari’at yang telah diturunkan kepada Nabi-nabi yang dahulu merupakan satu gedung yang masih kurang (satu bata, bukan? pen.) maka dengan kedatangan Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. sempurnalah gedung itu. [30]
Yang menarik dari penjelasan Ahmadiyah di atas ialah bahwa satu bata itu jika dimisalkan Nabi Muhammad adalah satu penghinaan. Yang benar, kata Ahmadiyah, bahwa satu bata itu adalah syariat atau Agama, yakni Agama Islam yang dibawa Nabi
Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Sekarang kita kembalikan logika akal-akalan di atas kepada Ahmadiyah, si empunya logika:
Coba bayangkan bahwa gedung yang indah itu diibaratkan syariat-syariat Nabi-nabi yang sebelum Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Kemudian karena masih ketinggalan satu bata yaitu masih ada satu lobang bata pada gedung yang indah itu. Maka syariat Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam lah sebagai pengisi lubang sebata itu. Apakah ini bukan penghinaan juga?!
Ataukah ada pengertian lain dari Ahmadiyah, bahwa setiap batu-bata pada bangunan yang indah itu adalah syariat atau Agama nabi-nabi sebelum nabi Muhammad; Hal ini perlu kiranya minta bantuan Ahmadiyah untuk menaksir berapa jumlah batu-bata yang terdapat pada gedung yang indah itu? Jelasnya berapa puluh ribu syariat atau Agama sebelum syariat/Agama Islam datang? Sesungguhnya apa yang dikatakan Ahmadiyah itu adalah nonsense, omong-kosong dan bualan belaka. Itu tidak lain satu penghinaan atas diri Nabi dan atas syariat yang dibawa beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Selanjutnya Ahmadiyah mengatakan bahwa hadits tersebut adalah dha’if atau lemah dan para perawi dalam hadits itu tidak dapat dijadikan ukuran dan pegangan. [31] Pada akhirnya Ahmadiyah mengatakan bahwa dalam hadits itu ada satu keganjilan yang perlu dipikirkan di sini. Kalau hadits itu shahih dan Nabi kita Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sudah menyempurnakan gedung indah dengan penutup lubang yang tadinya terbuka dengan kedatangan beliau. Dalam gedung yang sudah demikian itu Nabi Isa ‘Alaihis Salam akan menjadi sebagai apanya? Kita berdasarkan Qur’an dan Hadits masih menunggu kedatangan Nabi, dalam hadits dikatakan Nabi Isa ‘Alaihis Salam akan datang [32].
Terakhir Ahmadiyah bertanya:
“Kalau kita ibaratkan Nabi Isa sebagai batu-bata pula dalam rangka susunan Nabi-nabi, maka di mana batu-bata ini akan ditempatkan dalam gedung yang sudah tak ada lobangnya itu?” [33].
Sekali lagi ulasan Ahmadiyah di atas menarik untuk dibahas. Untuk menjawab pertanyaan: “Di mana batu-bata Nabi Isa ‘Alaihis Salam akan ditempatkan dalam gedung yang sudah tak ada lobangnya itu? Ahmadiyah telah menjawab pertanyaan ini, akan tetapi dua jawaban, dari mereka satu sama lain sudah tidak sama.
Yang pertama Ahmadiyah menjawab: ‘”Hendaknya dikatakan, masih tinggal dua batu bata lagi yaitu batu-bata nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan batu-bata Nabi Isa ‘Alaihis Salam yang akan turun di akhir zaman. [34]
Jawaban mereka yang pertama ini jelas mengandung satu penghinaan pada Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.Beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam diibaratkan satu bata saja dan beliau disejajarkan dengan satu bata lainnya yakni batanya Nabi Isa ‘Alaihis Salam akhir zaman yaitu Mirza Ghulam Ahmad.
Kemudian pada jawaban yang kedua, Ahmadiyah berkata: “Itulah sebabnya untuk menyempurnakan syariat-syariat para nabi terdahulu itu datanglah nabi Muhammad membawa syariat Al Qur’an yang sempurna. Yang sempurna itu tak memerlukan lagi perubahan apapun dalam gedung indah itu. Tetapi untuk merawat, mengapur, membersihkan dan menjaga gedung itu diperlukan seorang petugas, dan untuk memelihara kebun dan halamannya diperlukan tukang kebun yang diberi tugas oleh Tuhan”. [35]

Di sini pada jawaban yang kedua, gedung indah itu sudah tidak ada lubangnya lagi sebab sudah terisi dengan Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Jadi yang ditanyakan oleh Ahmadiyah, di mana batu bata ini akan ditempatkan dalam gedung yang sudah tak ada lubangnya lagi? Telah dijawab sendiri oleh mereka, sedang Nabi Isa itu hanya tukang kapur, tukang sapu, tukang kebun dan tukang rawat atas gedung indah itu. Apa tidak kurang kalau hanya seorang tukang yang merangkap segala pekerjaan atas gedung yang indah itu? Salah-salah tukang itu (Mirza Ghulam Ahmad) bisa kelabakan, letih dan sakit-sakitan, bukan begitu? Memang ternyata demikian keadaan si tukang Mirza Ghulam. Ia sakit-sakitan saja dan kelak kita akan mengetahui betapa hebat sakitnya dan betapa pula efeknya terhadap tugas kenabiannya.

Dengan jawaban yang pertama yaitu bahwa seharusnya ada dua batu-bata pada gedung indah itu, dan pada jawaban yang kedua, bahwa sudah tidak ada lubang untuk pengisian satu bata lagi, sehingga Natal Isa (Mirza Ghulam) bukan lagi satu batu-bata melainkan nanya tukang kebun dan lain-lain itu, di sinilah Ahmadiyah berbeda jawab satu dengan yang lainnya.

Lebih menarik lagi kalau kita terus memperhatikan ulasan Ahmadiyah atas hadits tersebut di atas. Sebagaimana tersebut, Ahmadiyah menyatakan bahwa hadits itu adalah dha’if dan dengan sendirinya tidak dapat dijadikan ukuran dan pegangan [36]
Kalau sudah dinyatakan dha’if buat apa dipakai dan diperpanjang uraiannya bertele-tele?! Dha’if ya sudah, tidak perlu lagi. Akan tetapi rupa-rupanya tidak demikian yang diniatkan oleh Ahmadiyah. Sebab hadits itu masih dipakainya dan kemungkinan untuk terlaksananya satu pengisian batu-bata pada lubangnya masih diharapkan dan dipastikan ada.
Untuk ini lebih tepat kalau kita mendengar langsung ucapan yang disampaikan oleh Mirza Ghulam Ahmad sendiri. la berkata tentang hadits itu:
“Adalah golongan Nabi-nabi yang diibaratkan satu gedung itu kekurangan satu batu-bata, maka Allah Akan cukupkan dan sempurnakan gedung itu dengan satu bata yang akhir. Maka akulah bata yang terakhir itu, hai orang yang melihat!”[37]

MIRZA PELEPAS AZAB
ltulah yang diniatkan oleh Mirza Ghulam dan Ahmadiyahnya, bahwa hadits itu tidak dha’if dan bahwa satu bata itu memang ada, jadi bukan dua bata, dan bukan tukang kapur maupun tukang kebunnya gedung indah itu.
Yang jelas bagi Ahmadiyah, bahwa semua Nabi-nabi itu ibarat batu-batu bata, termasuk Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan kekurangan satu batu-bata pada gedung tersebut diisi oleh Mirza Ghulam Ahmad, sebab dialah Nabi yang terakhir itu!

Selanjutnya Ahmadiyah masih mengutarakan dalil-dalilnya yang lain, dalam rangka menyongsong kedatangan nabi baru sesudah kenabian Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Mereka lebih suka menggunakan ayat-ayat Al Qur’an dan sekaligus mengartikan sesuai dengan maksud-maksud mereka. Ayat 15 dari surah Bani Israil, oleh Ahmadiyah diartikan:
“Tidaklah kami menurunkan adzab, melainkan kami kirimkan Rasul lebih dahulu. Ini untuk mencegah agar jangan sampai orang-orang nanti pada hari qiamat menyoal (surah Thoha ayat 134): Wahai Tuhan kami kenapa Engkau tidak mengirimkan Rasul kepada kami lebih dahulu supaya kami dapat menurut ayat-ayat Engkau sebelum kami menderita kehinaan dan sengsara”

Kemudian ayat lain yang berbunyi, ayat 58 QS. Bani Israil:
“Tidaklah satu dusunpun sebelum berdirinya kiamat, melainkan kami akan membinasakan atau mengadzabnya dengan sehebat hebatnya”.
Dari kedua ayat ini, demikian Ahmadiyah menegaskan, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa kedatangan Rasul-rasul sebelum hari kiamat bukan mungkin saja, bahkan harus dan pasti.[38]
Lagi-lagi Ahmadiyah mengatakan Rasul-rasul yang akan datang. Kedatangan Rasul-rasul itu justru untuk menyelamatkan kaum Muslimin dari kehancuran dan kesengsaraannya. Bilakah kehancuran itu terjadi? Ahmadiyah menjawab:
“Ummat Islam telah mengalami kehancuran dua kali.
‘Kehancuran pertama tatkala penyerbuan raja Moghol, Hulagu Khan, pada tahun 1258 itu, dan kehancuran yang kedua tatkala berada di bawah penjajahan imperialisme Barat”. [39]
Karena dua kali kehancuran inilah maka Allah mengirim Rasul-rasulNya. Siapakah rasul yang dikirim Allah pada tahun 1258 dan siapa Rasul yang dikirim pada masa penindasan imperialisme Barat? Kaum Ahmadiyah tidak pernah menyebut-nyebut nama rasul yang diutus Allah pada tahun penyerbuan Hulagu Khan. Melainkan hanya satu rasul yang diutus pada masa penindasan imperialisme Barat, yakni Mirza Ghulam Ahmad!
Ada kemungkinan, diammya Ahmadiyah tentang jati diri Rasul yang diutus oleh tuhannya pada saat terjadinya penyerbuan bala tentara Hulagu Khan, karena Mirza juga merangkap jabatan sebagai rasul tahun 1258 itu juga.
Sungguh menarik, bagaimana ia dapat menyelamatkan adzab sengsara kaum Muslimin pada tahun 1258 itu, padahal Mirza Ghulam Ahmad baru muncul ke dunia ini lima ratus tahun kemudian? Tentunya dari saat ke saat kaum Muslimin yang hidup antara 500 tahun itu akan mengajukan soal pada Ahmadiyah: “Wahai tuan kami, kenapa tuan tidak mengirimkan rasul-rasul Ahmadiyahmu kepada kami?”
Justru pada waktu itulah saat yang paling tepat bila tuannya Mirza mengutus rasul-rasul Ahmadiyahnya, dan tidak menunggu sampai Mirza Ghulam Ahmad lahir kembar!
Kemudian pasca kehancuran kaum Muslimin yang kedua kalinya, (sebagaimana keyakinan Ahmadiyah) Allah telah mengirimkan rasulNya, yaitu Mirza Ghulam Ahmad. Yang panting untuk ditanyakan di sini, apakah gerangan kiranya yang dibuat Mirza Ghulam Ahmad untuk menyelamatkan kaum Muslimin dari penindasan imperialisme Barat?!
Berikut ini Ahmadiyah mengemukakan satu dalil dari Al-Qur-’an. Diambil dari surah An Nisa’ ayat 69 yang berbunyi (artinya):
“Barangsiapa yang menurut perintah Allah dan RasulNya nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mereka akan termasuk golongan orang-orang yang diberi nikmat oleh Allah yaitu, ‘nabi-nabi, orang-orang siddiq, syahid, dan saleh.” Jelasnya mereka sebagai ummat selaras dengan keimanan, kesetiaan dan keikhlasan. mereka masing-masing dan taufik Ilahi menyertainya pula dapat menerima keempat kedudukan tersebut. Dalam ayat ini dijelaskan bahwa ummat Islam sebagai ummat yang terbaik dan patuh serta setia kepada Allah dan Rasul-Nya Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. mereka akan diberi empat macam nikmat yaitu : menjadi nabi, menjadi siddiq, menjadi syahid dan menjadi orang saleh”. [40]

Ahmadiyah meneruskan lagi uraiannya tentang ayat An-Nisa’ itu dengan mengatakan, dan jika perkataan minan nabiyin (dari Nabi-nabi) dihubungkan dengan perkataan wa man yuthi’illaha warrusula (dan barangsiapa mengikut Allah dan Rasul) maka adalah perkataan minan nabiyin itu tafsir (penjelasan) dari kalimat wa man yuthi’illaha (barangsiapa yang mengikut Allah).
Akhirnya Ahmadiyah berkata: “Maka dengan susunan seperti ini sudah pasti adanya nabi-nabi pada masa rasul atau kemudian beliau yang akan mengikut beliau”.[41]

Yang menarik buat kita, bukan saja adanya nabi-nabi sesudah Nabi Muhammad melainkan kata-kata: ada nabi-nabi pada masa rasul; Untuk apa ditulis seperti itu? Apakah Ahmadiyah buta dengan sejarah atau berupaya untuk membodoh-bodohi pengikut-pengikutnya yang bodoh itu? Atau berupaya menyuguhkan atraksi “konyol dan tolol” bagi para pembelanya dari kalangan Jaringan Iblis Laknatullah yakni para gundik-gundik orientalis? “Lebih baik” (lebih jujur) sebut saja: Nabi-nabi setelah beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Inipun tidak terlepas juga dari blundernya, sebab nabi-nabi itu masih ditulisnya jua.

Lebih menarik lagi pada watak Ahmadiyah ialah merubah arti dan tujuan dari ayat-ayat Al Qur’an. Seperti dalam surah An Nisa’ di atas, pengertiannya, bukanlah dimaksud bahwa yang taat pada Allah dan RasulNya akan diberi nikmat menjadi Nabi-nabi, siddiqin, syuhada’ dan shalihin, melainkan bagi mereka yang taat akan diberi nikmat sebagaimana nikmat yang diterima oleh para Nabi, siddiqin, syuhada’ dan shalihin. Jika ada dari orang-orang itu muttaqin, shabirin, syakirin, mu’minin, maka Allah akan memberi nikmat sebagaimana yang diterima oleh Nabi-nabi, siddiqin, syuhada’ dan shalihin. Bukankah yang diharap mereka itu ialah nikmat keridhaan Allah di dunia dan di akhirat? Jadi jelas bukan diangkat menjadi Nabi-nabi karena hal ini jelas-jelas menentang ayat dan tafsir Al Qur’an, menentang penjelasan Rasul Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang menegaskan bahwa setelah beliau tidak akan ada lagi nabi baru dan tidak akan pernah ada lagi yang diangkat Allah menjadi Nabi setelah beliau Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam. Memang benar sudah banyak ummat Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang siddiqin, syuhada dan shalihin, tetapi tidak pernah ada yang nabiyin, bahkan tidak pernah ada yang nabi, yang demikian itu hanya satu kelicikan Ahmadiyah dengan tujuan membuka jalan bagi masuknya Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi.
Dan inipun juga satu kelicikan kaum Ahmadiyah yang lain. Diambilnya dari surah Al Maidah ayat 21: “dan ketika nabi Musa ‘Alaihis Salam berkata pada kaumnya (Bani Israil) wahai kaumku, ingatlah kamu pada nikmat Allah yang telah diberikannya kepadamu yaitu waktu ia mengangkat diantara kamu menjadi Nabi-nabi dan raja-raja”. Ayat ini tegas menjelaskan bahwa ummat Islam pasti akan menerima kedua macam nikmat tersebut. Nikmat yang kedua sudah sempurna yaitu sudah banyak sekali ummat Islam yang telah menjadi raja-raja dan nikmat yang kedua pasti sempurna pula”. [42] Demikian Ahmadiyah.
Yang dimaksud nikmat pertama yang ditunggu-tunggu kaum Muslimin ialah nikmat menjadi Nabi-nabi!! Ucapan Ahmadiyah ini hanyalah omong kosong. Apatah lagi datangnya nikmat menjadi Nabi-nabi sesudah Nabi Muhammad. Ini adalah puncak dari segala kegilaan ambisi. Tidak syak lagi, bahwa Ahmadiyah telah mencuri ayat-ayat Al Qur’an dan hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam untuk kemudian dipotong-potong sesuai kehendak hawa nafsu syaitannya dan diartikan maknanya seenak perut buncitnya. Semoga Allah menghinakan mereka, amin.

CABIKLAH TIRAI ITU
Satu ucapan tidak beres yang berkali-kali dilontarkan Ahmadiyah. Namun demikian kalau sekiranya hendak ditanggapi obrolan Ahmadiyah itu, hanya semata-mata for the sake of arguments saja, katakanlah bahwa menjadi raja-raja di kalangan ummat Islam itu adalah satu kenikmatan dari Allah, lantas menjadi nabi-nabi, yang mana mereka itu? Satu hal yang pasti ialah bahwa Ahmadiyah hanya memiliki satu nabi saja sesudah Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, yaitu Mirza Ghulam Ahmad. Jika ini dikatakan satu kenikmatan pula, maka yang dimaksud ialah kenikmatan buat Mirza sendiri, keluarganya maupun para pengikut-pengikutnya yang setia.

Bahkan kenikmatan itu begitu besarnya sehingga Ahmadiyah berani mengatakan bahwa ayat-ayat 6 dan 7 dari surah Al-Fatihah, tidak lain ditujukan bagi datangnya Mirza Ghulam!
Jelasnya, menurut Ahmadiyah bahwa dari surah Al-Fatihah ayat 6 dan ayat 7 yang berbunyi:
“Tunjukilah kami ke jalan yang lurus (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau Engkau beri nikmat kepada mereka…”.
Ayat ini, demikian Ahmadiyah, ialah ayat di mana Allah telah memerintahkan kepada ummat Islam supaya sebagai ummat meminta kepadaNya, agar nikmat-nikmat yang pernah diterima oleh ummat dahulu terutama kaum Bani Israil (Yahudi) diberikan pula pada mereka. Apakah nikmat-nikmat itu? Tidak lain, kata Ahmadiyah, ialah menjadi raja-raja dan nabi-nabi.[43]

Jadi (di sisi Ahmadiyah) bagi kaum Muslimin yang selalu mengucapkan do’a dalam Al Fatihah pada waktu mereka melakukan shalat wajib tujuh belas kali sehari semalam itu, ternyata do’a mereka telah dikabulkan Allah yaitu, dengan munculnya Mirza Ghulam Ahmad dari India, sebagai satu-satunya nabi!! Pantas juga kalau orang-orang pengikut Mirza mengatakan bahwa kedatangan Mirza sebagai fadhlan kabiran (buat siapa?!)

Last but not least, untuk lebih banyak mengenal model watak ke-Yahudian kaum Ahmadiyah ini, kita melihat lagi satu tirai kepalsuan dari mereka, dimana satu kabar gembira dari Allah telah turun pada Mirza Ghulam Ahmad, isi kabar itu ialah:
“Hai Mirza engkau dari Aku dan Aku dari engkau”. [44]
Wahyu tuhannya (baca: setannya) di atas tentu sangat menggembirakan hati Mirza Ghulam dan Ahmadiyahnya, akan tetapi bagaimana mengartikannya? Satu hal yang tidak beres pada Ahmadiyah, bagaimana Allah bisa dikatakan dari Mirza dan Mirza dikatakan dari Allah? Apanya yang dari Allah dan apanya Allah yang dari Mirza Ghulam? Mirip ataukah Mirza hanya menjiplak aqidah Wihdatul Wujud para sufi-sufi sesat?
Ada lagi “wahyu” yang membikin Mirza Ghulam Ahmad lebih bergembira:
“Wahai bulan (Mirza) engkau dari padaKu dan Aku dari padamu”. [45]
Andaikata wahyu Tuhan itu diartikan letterlek, maka kata-kata itu jelas keluar dari akal tidak waras. Tentu saja Ahmadiyah menolak tuduhan semacam itu. Maka inilah pengertian mereka yang disodorkan ke tengah-tengah pengikutnya.
Mula-mula dikemukakan bahwa Nabi Muhammad pernah bersabda pada shahabat Ali Radhiyallahu ‘Anhu:
“Hai Ali engkau dari padaku, dan aku dari padamu”. (46)
Kemudian dikemukakan contoh lain, yaitu ketika Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda pada suku Asy’ari, ialah:
“Mereka dari padaku dan aku. dari pada mereka”. [47]
Akhirnya Ahmadiyah bertanya tentang contoh-contoh yang dikemukakannya itu: “Anehkah itu dan ganjilkah?” Dijawab sendiri oleh Ahmadiyah: “Ini senafas dengan ilham di atas, yakni ilham Tuhan pada Mirza di atas”.[48]

Tentu saja kalau Ahmadiyah yang menjawab, tidak aneh dan tidak ganjil wahyu tuhannya (setannya) pada Mirza. Akan tetapi obrolan-obrolan mereka itu lebih dari aneh dan ganjil, malah sangat tidak beres maupun tidak karuan.
Terserah pada Ahmadiyah kini kalau mereka hendak menurunkan martabat Ketuhanan pada dan menjadi martabat manusia berpenyakit seperti Mirza Ghulam Ahmad; suatu kebodohan pada akal yang licik. Bahkan kelicikan itu bertambah-tambah karena blunder ucapan-ucapan mereka sendiri! Antara lain Ahmadiyah mengemukakan contoh ayat-ayat Al Qur’an yang diartikan menurut selera mereka, misalnya ayat 249 dari surah Al-Baqarah. Anak buah Mirza Ghulam Ahmad ini mengartikan ayat tersebut sebagai berikut:
“Siapa yang minum dari padanya (air sungai) dia bukan dari padaKU ” (faman syariba minhu falaisa minni). [49]
Kemudian Ahmadiyah bertanya: “Apakah ini berarti bahwa orang yang tidak minum air sungai itu dia dari TUHAN?” Inipun senada dengan ilham Tuhan pada Mirza di atas tadi.[50]

Cobalah perhatikan bagaimana Ahmadiyah telah merubah arti dan makna dari ayat tersebut dan sekaligus merubah jalannya sejarah. Mereka suka mengambil ayat-ayat Al Qur’an hanya potong-potongannya saja. Tentu saja mereka bermaksud untuk menguatkan ucapan-ucapan mereka. Padahal kelengkapan makna dari surah Al-Baqarah ayat 249 itu ialah sebagai berikut:
“Maka ketika Thalut keluar membawa tentaranya, ia berkata: Sesungguhnya Allah akan mengujimu dengan suatu sungai. Maka siapa di antara kamu yang meminum airnya bukanlah ia pengikutku. Dan barangsiapa tiada merasakan airnya kecuali orang yang hanya menciduk seciduk tangan, maka ia adalah pengikutku”.
ltulah arti Al Qur’an yang sebenarnya sesuai dengan sejarah terjadinya peristiwa itu. Bukan diartikan seperti kehendak kaum Ahmadiyah, bahwa yang minum air dari sungai itu, ia bukan dari padaKu (TUHAN). Ini pengertian yang dibuat-buat atau sikap ke-Yahudiannya dengan yuharrifunal kalimah ‘an mawadhi’ih, selalu tampak menyolok pada mereka.
Contoh lain daripada watak-watak menyalahgunakan arti dan tujuan dari ayat-ayat Al Qur’an, dikemukakan lagi oleh golongan Mirza Ghulam Ahmad. Ahmadiyah mengatakan bahwa kedatangan Imam Mahdi yang dinanti-nantikan itu telah disabdakan Nabi Muhammad dalam sabda beliau:
“Sesungguhnya bagi kedatangan Imam Mahdi itu ada dua tanda yang belum pernah terjadi sejak dijadikan langit dan bumi oleh Allah. Tanda itu ialah: akan terjadi gerhana bulan pada permulaan bukan puasa dan gerhana matahari pada pertengahan bulan puasa yang sama. Kejadian serupa ini belum pernah terjadi sejak dijadikannya langit dan bumi oleh Allah”.
Tanda-tanda tersebut.yang dinyatakan dalam hadits di atas, telah terjadi sesuai dengan berita yang tertera, yaitu terjadi pada tahun1311 Hijriah atau bertepatan dengan tahun 1894 Masehi.[51]
Tanda-tanda yang istimewa itulah yang menyongsong kedatangan Mirza Ghulam Ahmad sebagai Imam Mahdi yang dinanti-nantikan. Menurut Ahmadiyah keistimewaan tanda-tanda dari datangnya Mirza Ghulam Ahmad sebagaiA1 Mahdi Al Mau’ud telah disinggung secara nyata, baik klaim di kitab Perjanjian Baru (Injil) maupun dalam Al Qur’anul Karim. [52]

Lebih lanjut Ahmadiyah meneruskan bualan-bualannya, bahwa Yesus telah memberi isyarat akan saat-saat kedatangan beliau yang kedua kalinya itu dalam kitab Injil. Dalam surat Matius 24; 29, tanda-tanda itu:
“Maka sejurus kemudian daripada ketika sengsara itu,
matahari akan dikelamkan, dan bulan juga tiada akan bercahaya”.[53]
Itulah kutipan Ahmadiyah dari Injil yang menggambarkan saat-saat kedatangan Yesus kembali. Orang-orang Ahmadiyah ini ternyata berbicara cukup hanya pada dua tanda saja. Tanda pertama, matahari akan dikelamkan, dan tanda kedua, bulan tiada akan bercahaya. Apabila kita melihat sepintas saja akan kejadian-kejadian dari matahari dan bulan di atas, maka kita melihat seolah-olah memang sudah terjadi gerhana bulan dan matahari, dalam bulan yang sama pula. Akan tetapi pada kenyataannya peristiwa bulan tidak bercahaya dan matahari akan dikelamkan itu, sama sekali bukan satu gerhana, sebagaimana yang diuraikan kaum Ahmadiyah. Melainkan satu peristiwa yang terjadi pada saat-saat dunia akan kiamat. Dan bukan itu saja tanda-tanda yang ada dalam kalimat Mattius 24: 29 itu, melainkan lebih dari itu. Justru di sinilah kelihatan lagi hobby dari kaum Ahmadiyah, bahwa mereka senang sekali memotong-motong ayat-ayat Al Qur’an maupun kalimat-kalimat dalam Bibel. Padahal kalimat dalam Mattius 24: 29 itu masih panjang, dan bila diteruskan bunyinya :
,”dan segala bintang di langit akan gugur, dan segala
kuat-kuasa yang di langit itupun akan berguncang-guncang”.
Sekali lagi kuta tidak sedang membahas kebenaran ayat Bibel di atas, tetapi sekedar untuk menunjukkan bahwa segala cara yang licik ditempuh oleh Ahmadiyah untuk menguatkan ambisi paranoid dari Mirza Ghulam Ahmad agar diakui sebagai nabi!
Apa sebab Ahmadiyah membatasi tanda-tanda itu hanya pada matahari kelam dan bulan tiada bercahaya? Jawabannya diberikan oleh mereka sendiri. Hanya tanda-tanda itu saja yang disebut sebab tanda-tanda yang menyongsong datangnya Al-Mahdi A1-Mahuud Mirza Ghulam Ahmad Qadiani.
Yang menarik buat cerita di sini, ialah kepercayaan orang-orang Kristen tentang “the second coming”nya Yesus Knstus itu, telah diambil alih dan dioper oleh orang lain, yang mungkin mengaku dirinya sebagai baruz atau inkarnasinya Yesus Israeli. Justru orang istimewa si pengoper kedudukan Yesus ini, tidak lain juga Mirza Ghulam Ahmad. Alhasil entah harus berapa kali nama Mirza Ghulam disebut-sebut dalam tulisan ini. Pokoknya ia menjadi tokoh sentral dalam cerita ini. Tentu saja tokoh pahlawan buat keluarga pengikut-pengikutnya dan mereka yang antipati pada Islam dan ummatnya!

Alangkah bahagia Ahmadiyah bahwa kitab “suci” orang-orang Kristen telah menyambut kedatangan Mirza, dan sungguh lebih berbahagia lagi bila Al Qur’anul Karim ikut menyambut pula padanya. Kelihatannya tuhannya Mirza benar-benar menaruh segala pengharapan pada orang India ini.
Dan memang itulah yang dinyatakan sendiri oleh Ahmadiyah, bahwa Al Qur’anul Karim bukan saja menyambut Mirza Ghulam sebagai AHMAD yang DIJANJIKAN [54] melainkan juga sebagai IMAM MAHDI yang DINANTI-NANTIKAN.
Mengutip dari Al Qur’an, Ahmadiyah berkata :
“Kitab suci Al Qur’an berbicara tentang hari kebangkitan itu: Maka apabila pemandangan itu begitu mencengangkan, dan bulan telah gelap cahayanya (gerhana), dan matahari serta bulan telah dihimpunkan”. (Al Qur’an 75 : 7-10)
Maka pertemuan antara bulan dan matahari itu berkenaan jatuhnya dua gerhana sekaligus terjadi dalam satu bulan yang sama, yaitu bulan Ramadhan seperti yang tersebut dalam hadits. Dua gerhana sekaligus itu mengambil tempat persis pada tahun 1311 hijrah atau 1894 masehi. [55]
Demikian uraian Ahmadiyah dan kutipannya dari surah Al Qiyamah ayat 7 sampai dengan ayat 10. Marilah kita lihat bagaimana kaum Ahmadiyah dalam hal ini putera Mirza Ghulam sendiri, telah bersilat pena.
Mula-mula Ahmadiyah mengambil dari surah Al Qiyamah itu jumlah 4 (empat) ayat, yaitu dengan menulis di pojok kanan dari terjemahannya angka-angka: Al Qur’an 75 : 7-10, yang berarti ayat ketujuh sampai dengan kesepuluh dari surah Al Qiyamah telah dikutipnya. Akan tetapi anehnya, mereka tidak menterjemahkan empat ayat, melainkan hanya dua ayat saja, yaitu ayat ketujuh sampai dengan kedelapan.
Kedua, cara Ahmadiyah menterjemahkan dua ayat, tujuh dan delapan dari surah Al-Qiyamab itu jauh menyimpang dari maknanya bahkan dari peristiwa yang terkandung di dalamnya. Mereka, anak buah Mirza Ghulam menterjemahkannya ayat-ayat tersebut sebagai berikut:
“Maka apabila pemandangan itu begitu mencengangkan, dan bulan telah gelap cahayanya (gerhana), dan matahari serta bulan telah dihimpun”. [56]
Kemudian Ahmadiyah mengartikan matahari dan bulan telah dihimpun itu, dengan kata-kata:
“Maka pertemuan antara bulan dan matahari itu berkenaan dengan terjadinya dua gerhana dalam satu bulan, yaitu bulan Ramadhan. sebagaimana yang tersebut dalam hadits ” .[57]
Yang ketika, Ahmadiyah sengaja berbuat dengan memotong ayat-ayat Al Qur’an dan menterjemahkannya dengan semaunya, supaya bisa mengaitkan ayat-ayat yang menggambarkan peristiwa hari kiamat tersebut dengan peristiwa munculnya Imam Mahdi India, Mirza Ghulam Ahmad. Sungguh ini semua adalah perbuatan gila, lucu dan memalukan. Tetapi adakah orang gila yang memiliki rasa malu?!

Tidak lain surah 75 : 7-10 itu terkandung di dalamnya saat-saat terjadinya hari kiamat.
Dan salah satu tanda-tanda dekatnya hari kiamat adalah munculnya para dajjal pendusta yang mengaku sebagai nabi sebelum pada akhirnya tanda-tanda kiamat Kubra yakni munculnya Al Masih Ad Dajjal yang dibunuh oleh Nabi Isa ‘Alaihis salam sebagaimana yang termaktub dalam sebuah hadits:
“Ketika Allah telah mengutus Al masih Ibnu Maryam, maka turunlah ia di menara putih di sebelah timur Damsyiq dengan mengenakan dua buah pakaian yang dicelup dengan waras dan za’faran, dan kedua telapak tangannya diletakkan di sayap dua malaikat; bila ia menundukkan kepala maka turunlah rambutnya, dan jika diangkatnya, kelihatan landai seperti mutiara. Maka tidak ada orang kafir pun yang mencium nafasnya kecuali pasti meninggal dunia, padahal nafasnya itu sejauh mata memandang. Lalu Isa mencari Dajjal hingga menjumpainya di pintu Lodd, lantas dibunuhnya Dajjal. Kemudian Isa datang kepada suatu kaum yang telah dilindungi oleh Allah dari Dajjal, lalu Isa mengusap wajah mereka dan memberi tahu mereka tentang derajat mereka di surga” (Shahih Muslim, Kitabul Fitan wa Asyrathis Sa’ah, Bab Dzikir Ad Dajjal 18:67-68)

Maka bagaimana Mirza Ghulam Ahmad dapat mewujudkan ambisinya menjadi nabi Isa (gadungan) untuk membunuh Al Masih Ad Dajjal jika tulang belulangnya sudah mendekam di dalam tanah puluhan tahun yang lalu?! Tentu sebagaimana biasa, Ahmadiyah akan punya jawaban-jawaban “tolol dan konyol“ untuk menguatkan ambisi-ambisi gila Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi Isa dari Qadian.

Surahnya sudah jelas disebut, surah Al Qiyamah. Dan isi dari ayat-ayat 7 sampai dengan sepuluh itu adalah:
“Maka apabila mata terbelalak (ketakutan), dan apabila bulan telah hilang cahayanya, dan matahari dan bulan dikumpulkan, pada hari itu manusia berkata: “Ke mana tempat lari?”
Jelas bahwa ayat-ayat tujuh sampai dengan sepuluh itu menggambarkan peristiwa datangnya hari kiamat. Tidakkah kita lihat bahwa ayat sebelumnya, yakni ayat enam, merupakan soal: “Bilakah hari kiamat itu?” Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala menjawab soal itu pada ayat sesudahnya yaitu ayat-ayat tujuh sampai ayat-ayat seterusnya.
Satu penipuan dan kedustaanlah yang dilakukan orang-orang Yahudi dari desa Qadian India! Mereka selalu mencari jalan buat melogiskan maupun meyakinkan orang-orang yang di luar jemaatnya, dengan cara apa saja!

Satu hal yang ajaib, apakah orang-orang Ahmadiyah sendiri sudah tidak bisa memakai logika warasnya? Kita ingin tahu di mana tafsir Al Qur’an yang menyebut seperti model tafsir Ahmadiyah bahwa: “dan bulan telah gelap cahayanya”, diartikan: bulan gerhana. Kemudian,”dan matahari serta bulan telah dihimpun” diartikan: dua gerhana dalam satu bulan dari tahun 1311 hijrah?! Jelas tidak mungkin ada tafsir maupun pengertian seperti cara-cara yang dilakukan kaum Mirza itu. Mereka sudah sangat dan sangat keterlaluan dalam mempermainkan ayat-ayat Al Qur’anul Karim! Banyak sekali merubah-rubah arti, makna maupun tujuan dari ayat-ayat Al Qur’anul Karim secara seenaknya saja asal bisa dicocokkan dengan munculnya Mahdi Mirza Ghulam Ahmad dari Qadian.

ORGANISASI MUSAILAMAH MODERN
Inilah beberapa contoh yang dikerjakan organisasi Mirza Ghulam Ahmad dalam rangka merubah ayat-ayat Al Qur’an untuk kepentingan Imam Mahdi India.
Mereka berkata:
“Apabila tanda-tanda akhir zaman yang digambarkan olen Al Qur’an itu telah tampak dengan jelasnya, maka bersedialah hendaknya kita menerima kedatangan Imam Mahdi itu”[58]
Kemudian mereka meneruskan uraiannya berkenaan dengan turunnya ayat-ayat suci itu dengan penjelasan seperti berikut:
“Nubuwat-nubuwat Al Qur’an ini menyangkut beberapa perubahan besar yang bakal terjadi secara menyolok yang pada masa turunnya ayat-ayat tersebut belum ada. Tatkala mendengar tentang bakal terjadinya perubahan-perubahan besar itu orang tercengang karena tidak dapat melukiskan di dalam pikirannya hal-hal besar yang luar biasa itu”.[59]

Dan akhirnya Ahmadiyah melukiskan bahwa perubahan-perubahan besar yang luar biasa dan mencengangkan pula, kini tidak lagi bersifat luar biasa, bahkan kata Ahmadiyah:
“Tetapi sekarang telah menjadi kenyataan yang oleh kita sekarang dianggap sebagai soal biasa saja”.[60]
Apakah gerangan nubuwat-nubuwat Al Qur’anul Karim yang melukiskan terjadinya perubahan-perubahan besar, yang mencengangkan pikiran manusia luar biasa, akan tetapi justru pada saat-saat sekarang ini, sudah tidak lagi bersifat demikian, melainkan hanya dianggap soal biasa saja? Inilah jawaban Ahmadiyah dari ayat-ayat Al Qur’an, diambil dari surah At-Takwir ayat 1 sampai dengan ayat 11. Mereka terjemahkan dan tafsirkan sat persatu sebagai berikut:
“idzasy syamsu kuwwirat”: apabila matahari telah tertutup, periksa tanda-tanda kedatangan Imam Mahdi yang disebutkan bersangkutan dengan gerhana matahari;
“waidzan nujumun kadarat”: apabila bintang-bintang menjadi pudar; bintang adalah orang-orang besar Islam, besar dalam arti ilmunya. Kerohanian dan kesuciannya. Ayat ini menubuwatkan akan berkurangnya orang-orang itu yang dalam segi agama mereka bagaikan bintang pembawa pelita rohaniah dan pembimbing yang baik. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. bersabda, bahwa sahabat-sahabat beliau adalah bagaikan .bintang. Siapa saja dari pada sahabat-sahabat itu dijadikan ikutan pengikut itu akan memperoleh petunjuk yang pasti;
“waidzal jibalu suyyirat”: apabila gunung-gunung bergerak; kapal-kapal laut yang besar-besar bergerak di samudera dinamakan pula sebagai gunung;
“waidzal isyaru ‘uththilat”: apabila onta-onta betina yang bunting ditinggalkan; dengan adanya kendaraan-kendaraan modern; mobil, pesawat terbang dan sebagainya di akhir zaman onta-onta tidak memainkan peranan penting lagi di bidang angkutan seperti dahulu;
“waidzal wuhusyu husyirat “: apabila binatang-binatang buas atau orang-orang primitip dikumpulkan; kita periksa kebun binatang umpamanya atau lihat bangsa-bangsa orang yang tadinya biadab dan terbelakang. Kita lihat orang-orang Afrika dahulu dan sekarang;
“waidzal biharu sujjirat “: apabila lautan membual dan dipertemukan; terusan Suez dan sudah ditembus itu menyatukan dua samudera yang tadinya terpisah, begitu pula terusan Panama;
“waidzan nufusu zuwwijat “: apabila manusia disatukan; PBB, K.A.A. dan organisasi lainnya adalah satu contoh yang hidup. Manusia dari tiap penjuru dunia dahulu tidak pernah berhimpun seperti sekarang. Dari sudut lain nubuwat ini menyangkut pula bidang perhubungan dan komunikasi. Adalah masa dahulu orang yang dapat mengadakan p rhubungan dalam sedetik dari timur ke barat? kita camkan sekarang;
“waidzash shufu nusyriyat”: apabila surat-surat kabar, Majalah dan buku-buku tersebut; sejarah menjadi saksi bahwa pada masa dahulu tidak pernah tersebar luas seperti sekarang ini. Ini nubuwatan yang luar biasa pula;
“waidzas sama u kusyithat “: apabila langit terbuka; bukan rahasia lagi manusia sekarang terbang di luar angkasa, mengitari bumi berulang kali, hal yang tidak pernah terjadi dalam sejarah dunia; [61]
Akhirnya Ahmadiyah memberi penegasan tentang ayat-ayat tersebut di atas:
“Inilah beberapa tanda yang dinubuwatkan Al Qur’an agar manusia memperhatikannya lalu mengenal Imam Mahdi, reformer agung sedunia”[62].

Demikian cara Ahmadiyah mengartikan dan menafsirkan ayat-ayat satu sampai dengan sebelas dari surah At Takwir. Cara-cara mereka ini tidak pernah terjadi sebelumnya.
Sungguh satu hal yang luar biasa, mencengangkan bahkan tidak terpikirkan oleh manusia abad sekarang ini, bahwasanya kedatangan Imam Mahdi Mirza Ghulam Ahmad didahului dengan peristiwa-peristiwa yang dinubuwatkan dalam Al Qur’an. Alangkah hebat mukaddimah penyambutan datangnya Imam Mahdi dari India itu. Bayangkan, sebelas kali dentuman meriam untuk Imam Mahdi dari desa Qadian itu!

Satu perbuatan cerdik, terang-terangan sengaja dilakukan Ahmadiyah dengan menghilangkan dua buah ayat dari surah At-Takwir itu (ayat ke 8 dan 9). Diantara ayat ke 7 yang berbunyi : “waidzan’ nufusu zuwwujat” dengan ayat ke 10 yang berbunyi “waidzashshuhut nusyirat” terdapat dua ayat yang berbunyi: “waidzal mau`udatu suilat” dan “bi ayyi dzanbin Qutilat”. Kedua ayat ini dihilangkan oleh Ahmadiyah, tidak dipakai untuk kepentingan Imam Mahdi Mirza! Apa alasan mereka menghilangkan kedua ayat itu? Apakah karena tidak bisa dipakai penafsirannya untuk tanda diantara banyak tanda datangnya Imam Mahdi?!
Kenyataannya bahwa kaum Ahmadiyah ini telah menghilangkan ayat 8 dan ayat 9 dari surah.At Takwir karena ayat-ayat itu bila diterjemahkan berbunyi:
“Dan apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup itu ditanya, karena dosa apakah ia dibunuh?”
Maka dari terjemahan itu, Ahmadiyah tidak menemukan bahan-bahan zaman sekarang yang bisa diterapkan pada ayat-ayat tersebut.

Surat At-Takwir adalah surat yang sifatnya memberi peringatan, membawa kabar takut akan hebatnya peristiwa ketika hari kiamat terjadi. Dalam surat ini dari ayat pertama sampai ayat ke 14 Allah menerangkan bagaimana hebat dan dahsyatnya malapetaka yang menimpa alam sejagad di hari kiamat termasuk matahari, bintang-bintang, gunung-gunung, binatang-binatang liar dan jinak dan lautan, dan bagaimana tiap jiwa dipertemukan kembali dengan jasadnya, anak-anak perempuan yang tidak bersalah yang di kubur hidup-hidup ditanyai mengapa mereka dibunuh. Ketika itu dibuka kitab setiap manusia yang berisi catatan perbuatan dan amalnya di dunia dan ketika itu pula dinyalakan api neraka dan didekatkan syurga. Di kala itu insaflah setiap insan dan sadarlah dia bahwa segala apa yang dikerjakannya di dunia akan mendapat balasan yang seadil-adilnya dari Allah.
Peristiwa itu pasti akan terjadi dan saat-saat tibanya hanya Allah yang mengetahuinya. Tidak seperti yang diutarakan Ahmadiyah, ayat-ayat dari surah At Takwir diartikan kiasan-kiasan belaka seperti:
“Matahari digulung, mereka artikan matahari tertutup atau gerhana,
Bintang-bintang berjatuhan, mereka artikan orang-orang besar Islam berkurang,
Gunung-gunung dihancurkan, mereka artikan kapal-kapal besar bergerak di samudera,
Unta-unta bunting ditinggalkan, mereka artikan mobil pesawat dan lain-lain,
Binatang-binatang liar dikumpulkan, mereka artikan kebun binatang,
Lautan dijadikan meluap, mereka artikan terusan Suez dan Panama dipertemukan,
Arwah dipertemukan dengan jasad, mereka artikan manusia disatukan, PBB — K.A.A.,
Catatan amal manusia, mereka artikan surat-surat kabar dan majalah,
Langit dilenyapkan, mereka artikan manusia kini terbang kie luar angkasa”.

Tingkah laku yang di luar batas sopan santun terhadap Kalamullah, Al Qur’anul Karim ini sengaja mereka lakukan terang-terangan. Mereka akan terus berbuat demikian demi kepentingan Mirza Ghulam Ahmad dan Ahmadiyahnya. Bisa dipastikan bahwa Mirza Ghulam sendiri pada waktu masih hidupnya tidak kenal apa itu mobil, pesawat ataupun PBB. Jelas bahwa tafsir demikian dilakukan oleh pengikut-pengikutnya untuk menguatkan kedudukan Mirza Ghulam Ahmad. Mereka menjadi mufassir-mufassir jagoan yang menafsirkan surah At Takwir menurut selera akal mereka.
Tidak berlebih-lebihan kalau dikatakan bila sang Imam Mahdi Mirza sudah tidak waras akalnya, maka sang cucu, sang putra dan pengikut-pengikutnya yang mengimani ketidak warasan akalnya tentu “lebih” tidak waras lagi.

Untuk lebih mengenal diagnosa “ketidak-warasannya”, marilah kita periksa cara-cara mereka menerjemahkan maupun menafsirkan ayat-ayat suci Al Qur’an yang lain.
Lagi-lagi Ahmadiyah berkata:
“Imam Mahdi atau reformer agung adalah petugas dari Allah yang membawa kabar suka dan peringatan-peringatan keras. Di satu pihak Al Qur’an memberikan tanda guna memudahkan cara mengenalnya oleh manusia, di lain pihak merupakan tanda peringatan-peringatan keras. Sebab itu dalam hubungan kedatangan Imam Mahdi, Al Qur’an memberikan tanda-tanda yang dinubuwatkan dalam ayat-ayat Al Qur’an yang berikut: Idza zulzilatil ardhu zilzalaha, wa akhrajatil ardhu atsqalaha, wa qalal insanu malaha? Apabila bumi digempakan sekeras-kerasnya, bumi mengeluarkan muatannya, lalu manusia berkata: mengapa ini terjadi?” [63]
Demikian kutipan Ahmadiyah dari surah Az Zalzalah ayat 1 sampai dengan ayat tiga. Mereka tidak melanjutkan kesudahan dari ayat-ayat dalam surah Zalzalah itu. Kebutuhan mereka tampaknya hanya sampai pada ayat 1 sampai tiga saja; Tentu saja kebutuhan untuk Mirza Imam Mahdi, yang dimaksud. Karena itu mereka mengatakan bahwa apabila utusan-utusan Allah itu ditolak termasuk di dalamnya petugas Ilahy Mirza Ghulam maka Allah bertindak dengan berbagai peringatan berupa cobaan-cobaan, adzab, sampai mereka mau menerima para utusanNya. Dan diantara adzab-adzab itu, termasuk gempa (lindu). [64]
Surah Zalzalah yang dikutip Ahmadiyah dari ayat 1 sampai dengan ayat 3 adalah ayat-ayat gempa. Mereka berkata tentang ayat-ayat tersebut:
“Secara letterlek saja nubuwat-nubuwat A1 Qur’an ini sudah beberapa puluh kali digenapkan Tuhan. Ratusan ribu manusia menjadi korban gempa bumi sedang sekarang kita masih dikejutkan oleh berita-berita gempa yang terjadi di berbagai negeri” [65]
Perlu apa lagi mereka sebut: secara letterlek saja, bukankah mereka sudah jauh menyimpang dari makna dan tafsir yang sebenarnya, hanya semata-mata untuk memuaskan selera mereka dan Imam Mahdinya? Padahal surah itu adalah surah yang menerangkan peristiwa saat hari kiamat tiba. Bukan tentang gempa-gempa bumi yang telah terjadi di berbagai negeri, seperti maunya Ahmadiyah.

Last but not least, kita akan periksa tubuh Ahmadiyah yang kehilangan akal warasnya ini dengan satu kali lagi melihat cara-cara mereka mengartikan dan menafsirkan Al Qur’an. Antara lain mereka berkata:
“Peperangan-peperangan dahsyat yang terjadi dan memakarr korban jutaan manusia dengan akibat-akibatnya yang mempengaruhi jalannya kehidupan semua mahluk di permukaan bumi ini telah dinubuwatkan Al Qur’an sebagai salah satu tanda kedatangan Utusan Agung Ilahy”. [66]
Kedatangan Utusan Agung Ilahy yang dimaksud di atas ialah datangnya utusan yang bernama: Mirza Ghulam Ahmad. Sekali lagi adzab Tuhan terjadi karena penolakan utusan agung dari India itu.
Apakah gerangan yang dinubuwatkan Al Qur’an tentang peristiwa terjadinya peperangan-peperangan yang dahsyat itu? Sekali lagi Ahmadiyah menjawab bahwa di dalam Al Qur’an dicatat dalam surah (101: 6) sebagai berikut:
“Alqari’atu malqari’ah? Wa ma adraka mal qari’ah? Yauma yakunun nasu kalfarasyil mabtsuts, watakunul jibalu kal ihnil manfusy; yang artinya:
Penggegar, apakah penggegar? Dan taukah apa yang dikatakan penggegar? Ia adalah hari dimana manusia akan merupakan rama-rama bertebaran dan gunung-gunung akan jadi seperti bulu berhamburan’’ [67]
Kita ingin tahu gerangan, apa tafsir kaum Ahmadiyah atas kata-kata Penggegar. Maka inilah dia jawaban mereka yang paling menarik:
“Dua kali “penggegar” adalah dua kali perang dunia dan mungkin lebih hebat lagi “wa ma adraka mal qari’ah?” atau “penggegar” ketiga yang disertai tanda dahsyat karena tekanan khususnya. Memang bila kita perhitungkan keadaan perlengkapan dan alat-alat perusak sekarang dapatlah dibayangkan betapa hebatnya “penggegar” ketiga yang akan terjadi nanti yang oleh agama tidak dapat dilepaskan dari silsilah adzab-adzab Ilahy”.[68]

Demikian itulah bualan tanpa adab, obrolan-obrolan tak berbudi dari Ahmadiyah tentang Suratul Qari’ah, Suratul Qiyamah yang diartikan oleh mereka: perang dunia kesatu, kedua dan ketiga. Mungkin akan menjadi berpuluh-puluh halaman di sini bila kita terus menerus memeriksa cara-cara kurang ajar mereka dalam memperlakukan ayat-ayat Al Qur’an, memberi arti maupun tafsirnya. Allahul Musta’an.
Sebaiknya kita tidak ke situ lagi, melainkan melihat dan memeriksa cara-cara mereka yang lain, hasil refleksi dari akal-akal tidak warasnya.
(Bersambung, Insya Allah dengan edisi ke 4 bertema: Ahmadiyah sebagai Diabolisme, gerakan/aliran yang ajaran-ajarannya diilhami oleh pengaruh-pengaruh Iblis)
Bahasan tentang Love Affair Mirza Ghulam Ahmad, Nabi Palsu from Qadian. Menarik bukan? Ya, tentu jauh lebih menarik dibanding kita membahas “pemain lokal”, Michael Muhdats dengan Qiyadah Al Islamiyahnya. Sepak terjang Mirza jauh lebih gila, lebih seru serta lebih heboh dan tentu saja lebih “tolol dan konyol”, meminjam istilah Ulil Abshar dengan Kajian Orang Utannya.

Footnote:
[1] Saleh Nahdi, Selayang Pandang Ahmadiyah, hal.41.
[2] Mirza Mubarak Ahmad, Masih Mau’ud a.s., hal.22
[3]. Mirza Mubarak Ahmad, Masih Mau’ud a.s., hal.17.
[4] Mirza Ghulam Ahmad, Ajaranku, terjemah R. Ahmad Anwar, 1966, Wisma Damai, Bandung, hal. 20.
[5] Ibid, no.4, hal.20
[6] Sinar Islam, Januari/Pebruari/Maret/April 1974, No: 5-6, hal. 34.
[7] Saleh A.Nahdi, Selayang Pandang Ahmadiyah, hal.41.
[8] Syafi R.Batuah, Ahmadiyah Apa dan Mengapa?, Jakarta, Jemaat Ahmadiyah Indonesia, 1968, hal.19.
[9] Saleh A.Nahdi, Selayang Pandang Ahmadiyah, hal. 33
[10] Saleh A.Nahdi, Selayang Pandang Ahmadiyah, hal.33.
[11] Syafi R.Batuah, Ahmadiyah Apa dan Mengapa?, hal. 19
[12] Saleh A.Nahdi, Selayang Pandang Ahmadiyah, hal. 35
[13] Saleh A.Nahdi, Selayang Pandang Ahmadiyah, ha1.35; Saleh A.Nahdi, Soal-Jawab Ahmadiyah bag.I, Ujung Pandang, Rapen, 1972, ha1.11
[14] Saleh A.Nahdi, Soal Jawab Ahmadiyah, hal.8/10
[15] Saleh A. Nahdi, Selayang Pandang Ahmadiyah, hal. 34
[16] Bashiruddin Mahmud Ahmad, Jasa Imam Mahdi a.s. terjemah Malik Ahmad Khan
[17] Saleh A.Nahdi, Soal Jawab Ahmadiyah I, hal. 10
[18] M.Ahmad Nuruddin, Masalah Kenabian, Wisma Damai Bandung, 1967, hal.12: (qulu innahu khatamul ambiya’i wa la taqulu la nabiyya ba’dahu)
[19] Saleh A.Nahdi, Soal Jawab Ahmadiyah I, hal. 10
[20] Saleh A.Nahdi, Selayang Pandang Ahmadiyah, hal. 36
[21] Saleh A. Nahdi, Selayang Pandang Ahmadiyah, hal. 46.
[22] Sayyid Shah Muhammad, Menyingkap Keraguan, Jakarta, Jemaat Ahmadiyah Indonesia, tanpa tahun, hal.18.
[23] Bashiruddm Mahmud Ahmad, Jasa-Jasa Imam Mandi
[24] M.Ahmad Nuruddin, Masalah Kenabian, hal. 16.
[25] Bashiruddin Mahmud Ahmad, Jasa-Jasa Imam Mahdi, hal. 15.
[26] Syafi R.Batuah, Ahmadiyah Apa dan Mengapa?, hal.6
[27] Saleh A.Nahdi, Mengapa Dua Ahmadiyah? Jogjakarta, 1966, hal.19.
[28] A.Nuruddin, Arti Hakiki dari Ayat Khatamannabiyin, hal. 44
[29] A.Nuruddin, Arti Hakiki.dari Ayat Khatamannabiyin, hal. 44
[30] A.Nuruddin, Arti Hakiki dari Ayat Khatamannabiyin, hal. 44
[31] Saleh A. Nahdi, Soal Jawab Ahmadiyah I , hal. 54.
[32] Ibid, hal. 54
[33] Ibid, hal. 55
[34] A. Nuruddin , Khataman Nabiyin , hal. 45
[35] Saleh Nahdi, Soal Jawab Ahmadiyah I, hal. 55.
[36] ibid, hal. 54
[37] Mirza Ghulam Ahmad, Khutbatul Ilhamiyah, hal. 32: (fa kaana khaliyan
maudi’u labinatin, au’nil mun amaq alaihi min hadzihil imarah, fa aradha Allahu an yutimma nabaa’ wa yukmila al binaa bil labinati—akhirah, fa ma tilkal labinatu ayyuhan nadhiruun).
[38] M. Ahmad Nuruddin, Masalah Kenabian, hal 22.
[39] Ali Muchajat, Hakikat al-Masih, Jakarta Al-Busyra, tanpa tahun, hal. 53.
[40] M. Ahmad Nuruddin, Masalah Kenabian, hal. 20.
[41] ibid, hal. 21/22.
[42] M. Ahmad Nuruddin, Masalah Kenabian, hal. 17/18.
[43] M. Ahmad Nuruddin, Masalah Kenabian, hal. 17.
[44] Analyst, Facts about Ahmadiyya Movement, Lahore, Ahmadiyya Anjuman Isha’at I Islam, 1951, hal. 21 (anta minni wa ana minka).
[45] Mirza Ghulam Ahmad, Fountain of Christianity, Rabwah, The Ahmadiyya Muslim Missions Office, 1961, hal. 45 (ya qamar ya syamsu anta minni wa ana minka).
[46] Saleh Nahdi, Ahmadiyah Membantah Tuduhan Wahid Bakry BA., Ujung Pandang, Jema’at Ahmadiyah Indonesia, 1972, hal. 38/39,
[47] ibid no. 46.
[48] ibid no. 46 dan 47.
[49] Saleh Nahdi, Bantahan atas Tuduhan Wahid Bakry, hal. 38.
[50] ibid, no. 49, hal. 38.
[51] Saleh A. Nahdi, Selayang Pandang Ahmadiyah, hal. 25.
[52] Bashiruddin Mahmud Ahmad, Invitation, Rabwah, The Ahmadiyya Muslim Foreign Missions Office, 1961, hal. 47 (its uniqueness is enhanced by the fact that it is also mentioned in the new testament and in the holy Qur’an).
[53] ibid, hal. 52 (immediately after the tribulation of those days shall the sun be darkened and the moon shall not give her light.)
[54] Suara Ansharullah no. 3 & 4. 1955. hal. 18.
[55] Bashiruddin Mahmud Ahmad, Invitation, hal. 47 (the holy Quran speaks of
the Day of Awakening and goes on: “it is when the sight is dazzled and the moon is eclipsed and the sun and the moon are conjoined. The conjoining refers to the occurence of the two eclipses in the same month, the month of ramadhan as in the hadith. The eclipses took place in 1311 hejira or 1894 A.D.)
[56] Bashiruddin Mahmud Ahmad, Invitation, hal. 47 (it is when the sight is dazzled and the moon is eclipsed and the sun and the moon are computed).
[57] Bashiruddin. MA., Invitation, hal. 47 (the conjoining refers to the occurence of the two eclipses in the same month, the month of ramadhan as in the hadith.)
[58] Saleh A. Nahdi, Majalah Sinar Islam, Yayasan Wisma Damai Bandung, no. 13
th. XV/1965, hal. 18.
[59] ibid, no. 58, hal. 18.
[60] ibid, no. 58, hal. 18.
[61] Saleh Nahdi, majalah Sinar Islam, no. 13/1965, hal. 18/19..
[62] ibid, no. 61, hal. 19.
[63] Saleh A. Nahdi, Majalah Sinar Islam, no. 13/1965, hal. 20.
[64] Ibid, no. 64, hal. 20.
[65] ibid, no. 64, hal. 20.
[66] ibid, no. 64, hal. 20.
[67] Saleh A. Nahdi, Sinar Islam, no: 13/1965, hal. 20.
[68] ibid, no. 68, hal. 20.