بسم الله الرحمن الرحيم
AHMADIYAH SEBAGAI SINCRETISME AGAMA[1]
IDENTITAS SANG PEMIMPIN
Nama dan keturunan: Mirza Ghulam Ahmad, pendiri Ahmadiyah, mempunyai banyak nama dan keturunan. Suatu keistimewaan buat dia, “konon” semua itu diperoleh dari Tuhannya. Bahkan yang lebih menarik lagi, Mirza Ghulam Ahmad menguasai banyak bahasa, diantaranya: Bahasa Urdu, Inggris, Arab, Parsi, dan bahasa Ibrani. Dengan bahasa-bahasa itulah ia berdialog dengan Tuhannya.
Puteranya yang masyhur, Bashiruddin Mahmud Ahmad (1899-1965) yang menduduki tahta khalifah kedua dalam Jema’at Ahmadiyah, menulis tentang saat-saat kelahiran ayahnya sebagai berikut:
” Hazrat Ahmad as. lahir pada tanggal 13 Februari 1835 M, atau 14 Syawal 1250 H, hari Jumat, pada waktu shalat Subuh, di rumah Mirza Ghulam Murtaza di desa Qadian. Beliau lahir kembar. Yakni beserta beliau lahir pula seorang anak perempuan yang tidak berapa lama kemudian meninggal dunia. Demikianlah sempurna sudah kabar-ghaib yang tertera di dalam kitab-kitab agama Islam bahwa Imam Mahdi akan lahir kembar”.[2]
Demikian Bashiruddin M.A. menceritakan kelahiran ayahnya. Yang menjadi pertanyaan di sini ialah, oleh siapa dan pada siapa kabar ghaib lahir kembar itu telah disampaikan? Kemudian dalam buku-buku Agama Islam yang mana kabar itu dimuat?
Kiranya Bashir M.A. dan Ahmadiyahnya tidak berhasrat atau kurang perlu untuk menyebut nama orang-orang maupun buku-buku Islam yang menyebut berkenaan dengan kabar ghaib dan lahir kembar itu.
Lebih lanjut, perihal nama-nama yang dimiliki Mirza Ghulam Ahmad, Bashiruddin maupun Ahmadiyah berkata:
“Asal nama beliau hanyalah Ghulam Ahmad, atau nama lengkap (full name) beliau adalah Ghulam Ahmad”. [3]
Kemudian terdapat di depan Ghulam Ahmad, sebuah nama lagi ialah Mirza. Dengan demikian nama kepanjangannya menjadi Mirza Ghulam Ahmad. Di antara ketiga sebutan tadi, hanya Ghulam sajalah yang tidak diperbincangkan. Sisanya yakni Mirza dan Ahmad, merupakan nama-nama yang mengandung di dalamnya arti dan tujuan yang istimewa. Betapa tidak istimewa? Allah sendiri (kata Bashiruddin) yang sering memanggil-manggilnya dengan nama Ahmad!!
“Kebiasaan beliau adalah suka menggunakan nama Ahmad bagi diri beliau secara ringkas. Maka, waktu menerima baiat dari orang-orang, beliau hanya memakai nama Ahmad. Dalam ilham-ilham , Allah Ta’ala sering memanggil beliau dengan nama Ahmad” [ibid]
http://img88.imageshack.us/img88/931/asalnamazv0.jpg
Bashiruddin Mahmud Ahmad juga menjelaskan, perkataan atau sebutan nama MIRZA adalah untuk menyatakan bahwa ayahnya keturunan dari MUGHAL (Moghol).
Hazrat Ahmad as. adalah keturunan Haji Barlas, raja kawasan Qesh, yang merupakan paman Amir Tughlak Temur. Tatkala Amir Temur menyerang Qesh, Haji Barlas sekeluarga terpaksa melarikan diri ke Khorasan dan Samarkand, dan mulai menetap disana. Tetapi pada abad kesepuluh Hijriah atau abad keenambelas masehi, seorang keturunan Haji Barlas, bernama Mirza Hadi Beg beserta 200 orang pengikutnya hijrah dari Khorasan ke India karena beberapa hal, dan tinggal di kawasan sungai Bias dengan mendirikan sebuah perkampungan bernama Islampur, 9 km jauhnya dari sungai tersebut. [4] Disinilah kiranya darah keturunan Moghol Mirza Ghulam Ahmad dialirkan.
Lebih lanjut Bashiruddin menukil tulisan Sir Lepel Griffin dalam bukunya The Punjab Chiefs, tentang keluarga Hazrat Ahmad a.s : “Dalam tahun-tahun yang akhir dari kerajaan Kaisar Babar, yakni pada tahun 1530 masehi, seorang Moghol bernama Hadi Beg meninggalkan tanah tumpah darahnya ialah Samarkhand dan pindah ke daerah Gurdaspur di Punjab”.[5]
Hadi Beg inilah yang mendirikan kota Qadian, tempat lahirnya Mirza Ghulam Ahmad dan Ahmadiyahnya. Hadi Beg termasuk dalam urutan yang keduabelas ke atas dari kakek-kakek Mirza Ghulam. Akhirnya lebih meyakinkan lagi tentang keturunan mogholnya itu, ayah Mirza Ghulam Ahmad, Mirza Ghulam Murtaza memberi tahu anaknya bahwa nenek-nenek moyangnya adalah dari keturunan Moghol.[6]
Demikian kesaksian sejarah Ahmadiyah tentang darah Moghol yang mengalir dalam tubuh Mirza Ghulam Ahmad. Sayang bahwa darah Moghol ini tidak menjadi kebanggaan bagi yang empunya maupun bagi Ahmadiyahnya. Mungkin dikarenakan arti maupun tujuan dari darah itu kurang atau tidak istimewa, atau sama sekali tidak berarti.
Alasannya bisa diduga mengapa darah Moghol sampai diabaikan begitu saja. Yang penting untuk diketahui ialah, bahwa setiap nama maupun keturunan yang dimiliki Mirza Ghulam Ahmad, bahkan gelar-gelarnya sekalipun, datangnya dari pemberian Tuhannya. Itulah sebabnya meskipun kenyataannya darah Moghol mengalir dalam tubuh Mirza Ghulam, akan tetapi karena bukan dari pemberian Tuhan, maka Mirza segera menumpangi kualitas Mogholnya itu dengan darah lain yang baru. Ia berkata:
“Aku mendengar dari ayahku bahwa kakek-kakekku berdarah Moghol, akan tetapi aku mendapat wahyu dari Tuhan, bahwa kakek-kakekku berdarah Parsi” [7]
Dengan perkataan “akan tetapi”, lebih-lebih lagi ditambah dengan “mendapat wahyu dari Tuhan” maka praktis kata-kata atau ucapan ayah Mirza Ghulam tentang darah Moghol, menjadi lemah atau gugur!
Seringkali ditemukan dalam ucapan-ucapan tokoh-tokoh Ahmadiyah adanya pertentangan satu dengan yang lain. Bahkan kadangkala seorang pimpinan Ahmadiyah berkata tentang sesuatu hal atau masalah, di lain kesempatan orang tersebut merubah atau mengganti ucapannya yang semula. Misalnya dari ucapan-ucapan khalifah kedua Ahmadiyah, Bashiruddin Mahmud Ahmad; Mula-mula ia berkata bahwa perkataan “Mirza” pada nama ayahnya, menyatakan bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah dari keturunan Moghol. Akan tetapi di lain kesempatan ia berkata:
“Perkataan “Mirza” di dalam namanya Hazrat Mirza Ghulam Ahmad a.s. menunjukkan bahwa beliau a.s. adalah keturunan orang Parsi”. [8]
Pernyataan Bashir yang bertentangan itu telah menimbulkan keragu-raguan; Bagaimana ia bisa berkata bahwa perkataan Mirza pada nama ayahnya, adalah untuk menyatakan keturunan dari Moghol, akan tetapi di lain kitab ia menyatakan bahwa perkataan Mirza adalah menyatakan keturunan dari Parsi?!
Jelas bahwa ucapan-ucapan Bashiruddin tersebut tidak beres. Akan tetapi bagi Ahmadiyah hal-hal seperti itu mudah diselesaikan, bahkan dengan cara-cara yang sangat sederhana. Jika Bashir mula-mula menyatakan bahwa Mirza adalah keturunan Moghol, kemudian ia menyatakan di lain kitab bahwa Mirza adalah keturunan Parsi, maka Ahmadiyah menjelaskan:
“Adapun Mirza adalah nama kepangkatan dan suku dari nenek-moyang beliau. Beliau adalah keturunan Parsi dan keturunan Bangsawan” [9]
Di sini Ahmadiyah membuktikan bahwa Mirza Ghulam Ahmad memiliki dobel keturunan, Moghol dan Parsi.
Untuk membereskan makna dobel keturunan, maka Ahmadiyah menegaskan lagi:
“Pendiri Jema’at Ahmadiyah, Hadrat Mirza Ghulam Ahmad, berasal dari keluarga terhormat. MIRZA adalah gelar yang biasa diberikan kepada kaum ningrat keturunan raja-raja Islam dinasti Moghol berasal dari Parsi”. [10]
Demikianlah cara pemberesannya; raja-raja Islam dinasti Moghol yang berasal dari Parsi. Dengan susunan kalimat yang demikian, maka kesulitan yang terdapat pada dua buah tulisan Bashir yang berbeda telah terpecahkan.
Lebih jelas lagi ialah, bahwa keturunan dalam darah yang mengalir dalam tubuh pendiri Ahmadiyah itu, hanyalah darah Moghol saja. Sedangkan keturunan Parsi yang dimiliki Mirza Ghulam tidak lain kecuali tempat, domisili, dimana kakek-kakeknya tinggal berdiam. Dengan kata lain, Mirza Ghulam Ahmad keturunan Moghol dari Parsi.
Namun demikian Mirza Ghulam Ahmad dan Ahmadiyahnya lebih mengutamakan tempat asal kakek-kakeknya daripada darah yang mengalir dalam tubuh mereka. Parsi lebih penting dari Moghol, sebab di dalam Parsi itulah kepentingan Mirza Ghulam Ahmad dan Ahmadiyahnya, terletak. Dari keturunan Parsi terletak makna dan arti maupun tujuan dari sebuah Hadits, yaitu pada saat Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sambil menaruh tangan beliau kepundak sahabat Salman Al Parisi, bersabda:
“Sekiranya keimanan menggantung di bintang surya, niscaya akan dicapai oleh laki-laki dari Parsi”.
Mirza Ghulam Ahmad berkeyakinan bahwa yang dimaksud dan dituju dari sabda Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, tidak lain ialah untuk dirinya., karena dialah anak Parsi itu. Bahkan Tuhannya memberi wahyu padanya:
“Pegang teguhlah iman itu wahai anak Parsi” [11]
Sudah jelas bahwa Mirza Ghulam dan alirannya bertekad sebagai yang empunya hak mutlak atas sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tersebut. Benarkah mereka yang berhak? Benarkah Mirza Ghulam Ahmad yang dituju sabda Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam?
Padahal Mirza Ghulam Ahmad bukan keturunan Parsi, ia keturunan Moghol. Lebih-lebih lagi ia kelahiran India, berdomosili di India. Bahkan ayahnya maupun kakek-kakeknya sampai pada Hadi Beg kakeknya yang keduabelas itu, berada di India. Abad enam belas Masehi mereka sudah di Hindustan; Sudah hampir tiga ratus tahun kakek-kakek Mirza Ghulam berurat berakar di India. Tigaratus tahun jauh dari cukup untuk memberi titel pada ayah dan Mirza Ghulam Ahmad maupun pada kakek-kakeknya sebagai pribumi India. la harus dipanggil, tidak dengan panggilan “ya ibna Al Faras”melainkan dengan panggilan “ya ibnul Hind” wahai anak Hindustan.
Cara-cara yang ditempuh Mirza Ghulam Ahmad dan Ahmadiyahnya dengan mengambil Hadits tersebut di atas buat mereka, jelas merupakan pengingkaran terhadap sejarah serta memutar balikkan makna dan tujuan yang sebenarnya dari Hadits tersebut.
Tidaklah perlu menunggu sampai 1200 tahun kemudian serta memilih negeri India sebagai tempatnya, untuk menemukan maupun menunjuk orang yang dimaksud dan dituju dari sabda Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tersebut. Justru pada. saat-saat itulah dan di tempat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, makna dan tujuan dari ucapan Beliau terletak adanya.
Sahabat Salman Al-Farisi mempunyai kisah hidup yang unik serta mengagumkan. Dalam pengembaraannya mencari serta menemukan iman Tauhid, putera Parsi yang orisinil ini, pergi meninggalkan tanah tumpah darahnya Parsi, pergi jauh sampai ribuan mil, melalui proses perpindahan kepercayaan dari agama syirik menyembah api (Zarahustra) pada agama syirik menuhankan Isa Al Masih (Kristen) dan akhirnya sampai pada Agama Tauhid yang dibawa Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
Ketabahan, gairah, tekad, dan revolusi yang bergolak dalam jiwa Salman Al-Farisi, mencari kepuasan iman, ketentraman bathin dan sekaligus menemukannya pada diri Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, telah mendapat pujian langsung dari Nabi sendiri, lewat sabda Beliau di atas. Bahkan Salman Al-Farisi, telah memperoleh kedudukan istimewa; Siapa sangka bahwa musafir dari ribuan mil ini, telah memperoleh derajat “termasuk dari ahli bait Nabi” serta mendapat jaminan surga dari junjungannya?.
IA TELAH DI-FIRMANKAN
Maka apa yang telah dilakukan Mirza Ghulam Ahmad dan Ahmadiyahnya mendominir hadits demi kepentingan untuk memperoleh pegangan guna memperkuat dirinya, akan selalu dijumpai dalam setiap obrolan Ahmadiyah. Sampai-sampai pada ayat-ayat Al Qur’an, tidak terlepas dari pemakaian Mirza Ghulam menurut cara dan selera mereka. Jelasnya, menggunakan dasar Al Qur’an dan Hadits untuk mengukuhkan pegangan dengan jalan mengartikan dan mentafsirkan menurut kepentingan dan selera mereka, adalah watak khas serta hoby yang menyolok yang dimiliki Mirza Ghulam Ahmad, puteranya, pengikut-pengikutnya maupun alirannya. Kitab-kitab mereka sendiri yang membuktikan ciri-ciri khas itu.
Beralih kini pada urutan yang ketiga atau yang terakhir dari nama pendiri Ahmadiyah, yakni nama AHMAD, maka untuk nama inilah, Mirza Ghulam, puteranya dan alirannya telah membuat suatu surprise yang tidak tanggung-tanggung, interessant dan istimewa: “Jauh daripada nama Mirza, nama AHMAD ini merupakan kebanggaan bagi yang empunya maupun bagi pengikutpengikutnya. Menurut puteranya, Bashiruddin Mahmud Ahmad, bahwa acapkali beliau (mirza) suka menggunakan nama Ahmad bagi diri beliau secara ringkas. Maka waktu menerima bai’at dari orang-orang beliau hanya memakai nama Ahmad.
Dalam ilham-ilham acapkali Allah Subhanahu wa Ta’ala suka memanggil kepada beliau dengan nama Ahmad juga”. [12]
Bagaimana dengan yang empunya nama, Mirza Ghulam? Dengan perasaan bangga akan namanya ia berkata:
“Bahwasanya Allah sendirilah yang memberi nama Ahmad, padaku, ini sebagai pujian untukku di bumi serta di langit “’ [13]
Kendatipun kisah atau cerita pemberian nama itu tidak ada, namun itu tidak berarti bahwa pemberian nama dari Tuhan tersebut tidak mempunyai bukti. Justru yang paling berkesan serta meyakinkan, dibuktikan dengan tandas oleh Mirza Ghulam Ahmad dan alirannya.
Adapun bukti yang ditunjukkan itu bukan terjadi pada saat-saat Mirza Ghulam dilahirkan, melainkan pada saat-saat Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menerima wahyu! Jelasnya, 1200 tahun sebelum kelahiran Mirza Ghulam Ahmad, nama AHMAD yang dimilikinya itu, sudah disebut-sebut Allah dalam KitabNya, Al Qur’an Al Karim pada surah Ash Shaf ayat 6, sebagai AHMAD yang DIJANJIKAN. [14]
Lebih serius lagi, dari ulasan Ahmadiyah ialah, bahwa pangkat yang terdapat pada nama Ahmad dalam surah Ash Shaf itu, yakni pangkat Rasul, adalah juga milik Mirza Ghulam!! Berkata Ahmadiyah :
“Jika orang benar-benar meneliti maksud Al Qur’an itu (surah 61:6) maka akan mengetahui, bahwa yang dimaksud dengan nama AHMAD bukanlah Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, tetapi seorang RASUL yang diturunkan Allah Subhanahu wa Ta’ala pada akhir zaman sekarang ini. Bagi kami ialah: Hazrat (Mirza Ghulam) AHMAD Al-Qadiani”.[15]
Demikian tafsir dan makna surah Ash Shaf ayat 6 yang diolah seenak perut dan hawa nafsu Mirza Ghulam dan Ahmadiyahnya!!
Akhirnya dengan ucapan yang meyakinkan, Ahmadiyah dengan lantang berkata:
“Dengan demikian jelaslah, bahwa yang dimaksud Rasul Ahmad dalam surah Ash Shaf ayat 6 tersebut adalah pendiri Jemaat Ahmadiyah, Hazrat Mirza Ghulam Ahmad a.s.”[16]
Inilah dia, obrolan-obrolan Mirza Ghulam dan para pengikutnya; mereka seringkali menonjolkan watak-watak Yahudinya dengan Yuharrifu nal kalimah ‘an mawadi’ih, bermain sulap, awut-awutan, jungkir balik, tamak dan rakus di dalam mengartikan maupun menafsirkan ayat-ayat Al Qur’an serta Hadits.
Alasan-alasan yang digunakan Ahmadiyah untuk menguasai nama Ahmad dalam surah Ash Shaf itu, seolah-olah kelihatannya masuk akal; akan tetapi kalau diteliti dengan seksama, maka mereka hanya memaksakan agar makna maupun tafsir dari ayat 6 surah Ash Shaf itu, dikhususkan pada Mirza Ghulam Ahmad saja. Dengan kata lain, Ahmadiyah menafsirkan maupun mengartikan ayat-ayat Al Qur’an, menurut jalan pikiran mereka dan menurut kepentingan mereka. Sebagai alasan mengapa ayat 6 Ash-Shaf itu untuk Mirza, Ahmadiyah berkata:
“Memang dalamAl-Quran surah 61:6 tertulis nama Ahmad. Tidak mungkin nama itu digunakan bagi Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam karena disitu tertulis tanda-tanda dan kejadian-kejadian yang lain, terangnya seperti di bawah ini :
1.Wa huwa yud’a ilal Islam = dan dia (Ahmad) dipanggil (oleh orang-orang yang mengaku dirinya Islam) supaya kembali kepada agama Islam. Mengapa demikian? Mereka menganggap bahwa Hazrat Ahmad a.s. itu sudah kafir- nauzubillah -, disebabkan mengaku dirinya sebagai nabi. Marilah kita perhatikan: Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berkewajiban memanggil ummat dunia kepada Islam (lih. 61 :8), tetapi pada ayat tersebut malah mereka itulah (baca: ummat Islam) yang memanggil Ahmad, supaya kembali kepada Islam.
2.Yuriduna li yuthfiu nurullahi bi afwahihim: mereka itu (baca: seluruh ummat manusia di dunia sekarang ini) ingin benar memadamkan cahaya Allah Ta’ala dengan mulutnya. Pada zaman Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang memusuhi Agama Allah (Islam) menghunus pedang, tetapi pada akhir zaman ini, yang melawan dan menghantam Islam tidak dengan pedang lagi, melainkan dengan “propaganda”, dengan alat-alat modern, radio dan tulisan-tulisan. Ingatlah pula lidah lebih tajam lagi dari pedang.
3.Huwalladzi arsala rosulahu bilhuda wa dinil haqqi liyuzhhirahu ‘ala dini kullihi : Dia, Tuhan itulah yang mengirim Rasulnya dengan petunjuk, agar dapat ia (Ahmad) memenangkan agama Allah atas segala agama-agama. Terlaksananya ayat ini, hanya di suatu zaman, dimana pergaulan dunia antara agama dengan agama semuanya, menjadi lebih dekat, jarak antara benua dengan benua itu seakan-akan dekat, semuanya disebabkan alat-alat teknik yang modern tadi, bahkan antara bangsa dengan bangsa kini sudah dapat disatukan (PBB), atau bila dengan alat ialah : radio dan pesawat terbang. Bila kita mau menganalisa semuanya ini, mustahil bisa terkecoh lagi” [17]
Demikianlah ocehan-ocehan Ahmadiyah mempropagandakan alasan-alasan apa sebab Mirza Ghulam yang menjadi pemilik mutlak nama Ahmad di dalam Al Qur’an. Ditambah lagi dengan ocehan tafsir yang berlagak berani memperkosa ayat-ayat Allah, maka jelas tidak seorang mufassirpun yang berani berbuat demikian, kecuali mufassir-mufassir Ahmadiyah yang serba awut-awutan.
Berbicara tentang ayat 7 dari Surah Ash-Shaf tersebut, dimana sebagian dari ayat yang tersurat: wa huwa (dan dia) diajak pada Islam, telah digunakan oleh Ahmadiyah sebagai landasan untuk menguatkan hak milik Mirza Ghulam akan nama Ahmadnya itu, maka untuk mengetahui yang sebenarnya dari Firman Allah tersebut, haruslah diketahui keseluruhan ayat-ayatnya.Tidak boleh melepaskan kaitannya yang erat dengan ayat-ayat sebelumnya. Pada bagian akhir dari ayat 6 surah Ash Shaf tersebut (artinya):
“Maka tatkala Rasul itu datang pada mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata, mereka berkata: Ini adalah sihir yang nyata”.
dilanjutkan kemudian dengan ayat 7 dari surah yang sama, tersebut (artinya):
“Dan .siapakah yang lebih aniaya daripada orang yang mengada-adakan dusta terhadap Allah, pada saat mana ia diajak pada agama Islam? Dan Allah tidak memberi petunjuk pada orang-orang yang aniaya”.
Maka jelas sekali di situ bahwa huwa (ia) adalah orang yang mengada-adakan dusta terhadap Allah pada saat ia diajak oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam kepada Islam. Dan bukan seperti yang diulas Ahmadiyah, bahwa huwa (ia) adalah Ahmad Mirza Ghulam yang diajak pada Islam oleh orang-orang Islam yang menuduhnya kafir. Ini hanya silatan lidah dan sulapan mata yang dibuat oleh mufassir-mufassir Ahmadiyah.
Contoh yang mirip dengan ayat 7 Ash Shaf tersebut ialah pada surah Az Zumar ayat 32 ialah :
“Maka siapakah yang lebih aniaya daripada orang yang membuat dusta terhadap Allah dan mendustakan kebenaran ketika sampai padanya? Bukankah dalam neraka tempat tinggal orang-orang kafir ?”
Ayat, ketika sampai padanya ialah, ketika sampai kebenaran yang dibawa Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam padanya (huwa), maka ia mendustakan ayat-ayat Allah itu. Demikianlah tafsir maupun makna yang benar.
Alasan yang kedua yang dipakai Ahmadiyah bagi landasan pegangan Mirza untuk memiliki nama Ahmad ialah ayat: yuriduna li yuthfi’u nurullahi bi afwahihim. Ahmadiyah mengatakan, bahwa seluruh ummat manusia di dunia sekarang ini ingin benar memadamkan cahaya Allah dengan mulutnya, sedang pada zaman Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang memusuhi Agama Allah (Islam) menghunus pedang. Akhir zaman ini yang melawan dan menghantam Islam tidak dengan pedang lagi, melainkan dengan propaganda. Dan ingatlah bahwa lidah lebih tajam dari pedang. Demikian ulasan Ahmadiyah dari ayat tersebut di atas.
Inilah bukti kerabunan mata dan kekerdilan pikiran sesat mufassir Ahmadiyah. Mereka terang-terangan menutupi peristiwa-peristiwa sejarah Nabi, ataupun mereka sedang bersilat lidah dan mencoba membodohi ummat manusia dengan ocehan-ocehan tafsirnya itu. Apakah benar pada akhir zaman ini yang melawan dan menghantam Islam tidak dengan pedang lagi?! Apakah benar pada zaman Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang memusuhi Agama Allah tidak dengan mulut pula?!
Pertanyaan yang pertama sudah terjawab kedustaannya, bahwa orang-orang kafir tetap ada yang berhadapan dengan kaum muslimin dengan bersenjatakan pedang, tetapi yang kedua, karena berhubungan dengan obrolan Ahmadiyah tentang nama Ahmadnya Mirza Ghulam, akan dijawab berdasarkan beberapa ayat dari Al Qur’anul Karim.
Ayat 78 surah Ali-Imran: “Di antara mereka ada segolongan yang memutar-balikkan lidahnya dengan membaca al Kitab, supaya kamu kamu menyangka yang dibacanya itu sebagian dari al Kitab, padahal bukanlah ia dari al Kitab, dan mereka berkata: “Ia (yang dibaca itu datang) dari sisi Allah”, padahal ia bukan dari sisi Allah. Mereka berkata dusta terhadap Allah, sedang mereka mengetahui”.
Ayat 33 surah Al-An`aam: “Sesungguhnya Kami mengetahui, bahwasanya apa yang mereka katakan itu menyedihkan hatimu, (janganlah kamu bersedih hati), karena mereka itu tiada mendustakan engkau, akan tetapi orang-orang yang aniaya itu mengingkari ayat-ayat Allah”.
Surah Al-A`raf ayat 177: “Amat buruklah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan kepada diri mereka sendirilah mereka berbuat aniaya”.
Surah At-Taubah ayat 65: “Jika engkau bertanya pada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), niscaya mereka menjawab: Sesungguhnya kami hanyalah bersendagurau dan bermain-main saja”. Katakanlah: “Apakah dengan Allah, ayat-ayatNya dan RasulNya kamu selalu berolok-olok?”
Bagian akhir dari ayat 2 surah Yunus : “Orang-orang kafir berkata: Sesungguhnya orang ini (Muhammad) benar-benar adalah ahli sihir yang nyata”.
Surah Yunus ayat 65: “Janganlah engkau berduka cita karena mendengarkan perkataan mereka. Sesungguhnya kekuasaan itu bagi Allah semuanya. Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. “
Surah Al-Anfal ayat 31 : “Apabila dibacakan ayat-ayat Kami kepada mereka lalu mereka berkata: “Sesungguhnya kami telah mendengar (ayat-ayat yang seperti ini), jika kami menghendaki niscaya dapat pula kami membacakan yang seperti ini. (Al Qur’an) ini tidak lain melainkan dongengan-dongengan orang-orang dahulu kala”.
Surat Al-Anbiya’ ayat 5: “Bahkan mereka berkata: (Qur’an ini) mimpi yang kacau balau. Bahkan diada-adakannya, bahkan dia sendiri seorang ahli syair. Sebab itu hendaklah dia mendatangkan satu ayat (mu’jizat) buat kami, sebagaimana rasul-rasul yang telah lalu diutus”.
Surat. Ash Shaffaat, ayat 14/15: “Apabila mereka melihat ayat (tanda kebesaran Allah) mereka sangat menghinakan. Dan mereka berkata: “Ini tiada lain melainkan sihir yang nyata”.
Surat Shaad ayat 4: “Dan mereka heran karena datang pada mereka pemberi peringatan dari kalangan mereka; dan berkata orang-orang kafir: “Orang ini tukang sihir lagi pendusta”.
Surat Az-Zukhruf ayat 7: “Dan tiadalah seorang Nabipun datang kepada mereka melainkan mereka selalu memperolok-olokkan”.
Demikianlah, masih banyak lagi ayat-ayat Allah yang mengetengahkan cara-cara kaum musyrikin hendak memadamkan cahaya Allah dengan mulutnya. Sesungguhnya omongan mereka itu, keji hina, nista, jahat dan fitnah-fitnah mereka lebih biadab daripada pembunuhan.
Maka para mufassir Ahmadiyah pada kenyataannya buta atau sengaja hendak mengelabui ummat dengan mulut-mulut kotor mereka. Jelas bahwa orang Ahmadiyah mengingkari ayat-ayat Al Qur’an dan mengingkari sejarah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Lebih daripada itu, Ahmadiyah mengingkari sejarah perjuangan kaum Muslimin pada akhir zaman, dengan kata-kata mereka: “Bahwa yang melawan dan menghantam Islam akhir zaman ini, tidak lagi dengan pedang!
Alasan ketiga yang dipakai oleh Ahmadiyah untuk mengukuhkan Mirza Ghulam sebagai pemilik sutu-satunya atas nama Ahmad dari surat. Ash-Shaf itu, ialah ayat: Huwalladzi arsala rasulahu bilhuda wa dinil haqqi liyuzhhirohu ‘ala dini kullihi.
Ahmadiyah mengartikan ayat tersebut bahwa Dia Tuhan itulah yang mengirim Rasul-Nya dengan petunjuk, agar ia (AHMAD) dapat memenangkan agama Allah atas segala agama-agama.
Dengan kata lain, Ahmadiyah meyakinkan kita bahwa Mirza Ghulam (Ahmad)lah pendiri Ahmadiyah itu yang akan memenangkan Islam di atas segala Agama!
Apakah benar demikian? Jika alasan-alasan yang sebelumnya, Ahmadiyah telah menyalahgunakan ayat-ayat Al Qur’an, maka alasan yang terakhir ini tentu saja dibuat sedemikian rupa lewat ocehan-ocehan mereka yang agar kaum Muslimin terkecoh. Kelak ocehan-ocehan mereka itu akan terlihat bentuknya.
AHMAD TERAKHIR
Berbicara tentang nama AHMAD dalam surat Ash Shaf ayat 6, dimana tersirat di dalamnya ucapan Nabi lsa ‘Alaihis Salam yang menyampaikan kabar gembira (mubasysyiran) tentang datangnya seorang Nabi di kemudianku (mim ba’di ismuhu) yang bernama AHMAD, tidak lain yang dituju dari ucapan beliau ‘Alaihis Salam itu adalah Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Ucapan Nabi lsa ‘Alaihis Salam dengan kata-kata “di kemudianku” itu, tidak akan meloncati seorang Nabi yang benar-benar datang tepat sesudah beliau. Lebih-lebih lagi, dan inilah yang harus menjadi perhatian, bahwa Al Qur’an adalah Kalam Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Dengan demikian beliaulah orang pertama yang mengetahui akan makna tujuan serta seluruh yang tersirat dalam ayat-ayat Allah. Dengan kata lain, Nabi Muhammad Pesuruh Allah yang menyampaikan kabar gembira dan kabar takut (basyiiran wa nadziiran) pada umat manusia, tidak akan menyembunyikan sesuatu kabar dari Allah seperti yang tersurat dalam Al Qur’an surah Ash Shaf ayat 6 itu.
Jika surat itu memang ditujukan pada seorang AHMAD dari INDIA dari desa QADIAN, maka Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pasti dan pasti akan mensabda-kan kedatangannya, kelak sepeninggal beliau. Juga para sahabat Nabi, para Tabi’in maupun yang sesudahnya akan menyebut “milik siapa Ahmad” pada surah Ash Shaf itu. Tetapi memang Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak pernah bersabda demikian, tidak juga para sahabat maupun tabi’in sampai kemudian seorang dajjal pendusta dari India yang bangun kesiangan telah mendapatkan ilham-ilham setan dan mengaku menjadi pewaris sah kenabian!!
Jelaslah kiranya bahwa cara-cara yang dipakai Mirza Ghulam dan Ahmadiyahnya mencapai konklusi yang terang di sini, bahwasanya aliran Qadiani dan pendirinya itu telah melakukan penghinaan terang-terangan terhadap Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam!
Mereka sebenarnya telah melecehkan tugas suci yang dipikul Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang telah menerima wahyu kebenaran, menyampaikan serta menegakkannya; Tingkah laku maupun cara-cara yang demikian itulah yang paling disebar-sebarkan Ahmadiyah dalam kitab-kitab mereka.
Yang haq atas nama AHMAD dalam surat Ash Shaf ayat 6 itu, ialah seorang yang menerima wahyu Qur’an itu sendiri, AHMAD MUHAMMAD Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Ribuan tahun sebelum beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memangku jabatan Rasul dan Nabi yaitu tatkala Nabi Musa ‘Alaihis Salam diutus oleh Allah untuk bani Israil, tersebut dalam sebuah do’anya, beliau ‘Alaihis Salam memohon :
“Ya Allah jadikanlah hamba sebagai pengikut AHMAD“.[18]
Kemudian shahabat Salman Al-Farisi tatkala berada di Baitu l Maqdis, beliau mendengar dari seorang rahib, yang berkata padanya:
“Wahai Salman, sesungguhnya Tuhan sedang mengutus seorang Rasul bernama AHMAD, ia mau makan dari pemberian hadiah, akan tetapi ia menolak atas pemberian sedekah. Di antara pundaknya terdapat tanda dari khataman Nubuwah. Ketahuilah wahai Salman, bahwa saat-saat sekarang inilah kedatangannya”. [19]
Dan dalam sebuah Hadits yang diiiwayatkan oleh Imam Malik, Darimi, Tirmidzi, An-Nasa’i, Bukhari dan Muslim, dari Jabir ibn Muth’am, beliau ‘Alaihis Salam bersabda :
“Padaku ada beberapa nama-nama. Aku bernama Muhammad, aku bernama AHMAD, Al Mahi (yang menghapuskan) kekafiran, Al-Hasyir (yang mengumpulkan) ummat di bawali naunganku, dan Al Aghib (yang penghabisan) dimana tidak ada Nabi sesudahku”.
Demikianlah tentang nama Ahmad dalam surah Ash Shaf ayat 6.
Adapun yang dipakai alasan oleh Mirza Ghulam Ahmad dan Ahmadiyahnya, baik Hadits maupun Al Qur’an, hanyalah suatu penipuan belaka. Tidak sepotong ayatpun dalam Al Qur’an yang menyebut-nyebut nama Mirza Ghulam, juga tidak sebuah Haditspun. Jika memang ada, maka Mirza Ghulam dan Ahmadiyahnyalah yang mengada-adakan. Bahkan andaikata ada sebuah nama Ahmad kiriman Tuhan yang ditujukan pada Mirza Ghulam, maka itu adalah kiriman yang datang dari Tuhannya Mirza. Sebab ia rupa-rupanya memiliki Tuhan yang khas yang hanya menjadi miliknya. Kelak akan dijumpai dalam beberapa kitab-kitab Ahmadiyah, Tuhan spesifik milik Mirza Ghulam itu.
SETUMPUK ASAL-USUL
What is in a name? Untuk apa Mirza maupun Ahmadiyahnya memberi embel-embel, komentar terhadap namanya dengan ayat-ayat Al Qur’an dan Hadits? Andaikata Mirza Ghulam tidak berbuat itu semua, maka segala kepalsuannya tidak secepat itu ditemukan. Tetapi apa boleh buat, mungkin dikiranya alasan-alasan itu yang mendukung sepenuhnya, bahkan yang bisa diterima kaum Muslimin di luar alirannya. Padahal justru alasan-alasan itulah yang akan membongkar kedok kepalsuannya. Demikian juga pada hal-hal lain yang digunakan Ahmadiyah dan pendirinya, selalu dijumpai sikap-sikap yang ceroboh dan menggelikan.
Pun juga nama-namanya dari hasil keturunan kakek-kakeknya, maka yang inipun tidak kurang hebatnya. Sebagaimana diketahui bahwa dari pihak ayah dan kakek-kakeknya, Mirza Ghulam merangkap dua keturunan, yaitu keturunan Moghol dan keturunan Parsi.
Akan tetapi yang lebih menarik dari hal keturunan Mirza ini, ialah dari pihak ibunya maupun nenek-neneknya. Meskipun Mirza Ghulam jarang bahkan hampir tidak pernah menyebut-nyebut nama ibunya maupun nama nenek-neneknya apalagi membanggakannya, namun demikian ternyata mereka memegang posisi yang menentukan di dalam karier Mirza Ghulam. Justru keturunan mereka itulah yang lebih mantap bagi Mirza Ghulam untuk meletakkan dirinya pada kedudukan yang paling interes dan jempolan.
Ternyata, keturunan Mirza dari pihak ibunya lebih baik, bahkan lebih istimewa dibanding dengan keturunan dari pihak ayahnya. Mula-mula Mirza Ghulam membantah dengan tegas bahwa ia dari kaum Turky. [20]
Kembali pada keturunan dari pihak ibunya, Mirza Ghulam Ahmad ternyata mempunyai keistimewaan yang tidak tanggung-tanggung. Dengan bangga ia berkata dalam Khutbatul Ilhamiyah:
“Ketahuilah, bahwasanya Al Masih Al Mau’ud itu datangnya dari golongan QUREISY, sebagaimana Isa datangnya dari Bani Israil”. [21]
Tahukah anda apa Khutbatul Ilhamiyah itu? Ahmadiyah menjelaskan:
“Pada tahun 1902 itu juga, dalam kesempatan hari raya Idul Adha, Hazrat Ahmad as. telah menyampaikan khutbah yang langsung berisikan ilham-ilham Ilahi dalam bahasa Arab yang sangat fasih. Sewaktu berpidato itu keadaan beliau sangat lain. Wajah beliau as. menjadi merah dan memancarkan cahaya serta kegagahan. Tampak seolah-olah beliau as. berada dalam keadaan bawah sadar. Khutbah itu sangat halus dan bahasanya juga sangat bagus, sehingga banyak orang yang pandai bahasa Arab pun tidak sanggup mengarang yang demikian. Apalagi isinya pun mengandung hikmah serta rahasia-rahasia yang menakjubkan akal pikiran manusia.
Khutbah ini seluruhnya di dalam bahasa Arab, dan telah dicetak dalam bentuk buku yang berjudul Khutbah Ilhamiyah. [22]
http://img111.imageshack.us/img111/8671/khutbahilhamiyahzy7.jpg
Demikianlah, Mirza Ghulam dan Ahmadiyah meyakini telah menerima ilham (baca:wahyu) langsung dari tuhannya dengan gelar kepangkatan Al Masih Al Mau’ud, yang dimaksud ialah Pendiri Ahmadiyah itu sendiri, Mirza Ghulam. [23]
Ia memperoleh gelar itu, dan banyak lagi gelar-gelar yang ia peroleh dari Tuhannya. Lebih meyakinkan lagi tentang keturunan Qureisynya, Mirza Ghulam Ahmad berkata yakin:
“Adalah suatu keharusan bahwa Khalifah ini dari keturunan Qureisy”. [24]
Gelar khalifah inipun termasuk milik Mirza Ghulam Ahmad.
Satu persatu dari gelar-gelarnya akan dikenal nanti. Demikianlah pendakian telah sampai ke puncaknya. Keturunan QUREISY pada diri Mirza Ghulam Ahmad merupakan target terpenting dari planningnya.
Sambil bertepuk dada ia berkata: “Ketahuilah siapa aku ini! Jika kamu abaikan maka akan kau hadapi kerugian-kerugian dalam hidupmu”.
Qureisy mungkin masih agak luas ruang lingkupnya, karena ia masih terdiri dari keluarga-keluarga besar. Maka tidak salah lagi jika Mirza Ghulam Ahmad maupun Ahmadiyahnya memilih satu keluarga saja di dalam satu rumah yang paling mulia dan dimuliakan manusia. Dengan perasaan bangga ia berkata:
“Sesungguhnya akulah Al-Mahdi itu, juga Al Masih Mau’ud, dimana kedudukannya sudah jelas bahwa untuk jabatan kedua pangkat ini harus dipegang oleh seorang dari Bani Fatimah”. [25]
Apa sebab Mirza memilih Bani Fatimah untuk melengkapi dirinya? Tidak lain, karena ia akan mengambil alih sabda Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:
“Dari Ummu Salamah Radhiyallahu ‘anha, aku telah mendengar Rasul Allah bersabda: Mahdi itu dari anak cucuku, dari anak Fatimah”.
Maka Mirza Ghulam Ahmadlah yang menyatakan diri sebagai anak dari anak-anak Fatimah Radhiyallahu ‘anha. Kemudian dengan lantang sekali lagi ia berkata :
“Daripada kakek-kakekku, aku ini keturunan Parsi, sedang daripada nenek-nenekku aku ini keturunan Fatimah. Maka bergabunglah pada diriku dua kemuliaan”. [26]
Jika hanya dua kemuliaan saja, tentu bagi Ahmadiyah masih kurang. Harus ditambah lagi kemuliaan yang di atas segala-galanya. Last but not least inilah kemuliaan-kemuliaan itu. Mirza berkata :
“Daripada Tuhanku, telah turun wahyu padaku, bahwa dari pihak nenek-nenekku, aku ini keturunan Fatimah ahli baitin nubuwah.
Demi Allah, telah bersatu pada diriku Nasl (keturunan) Nabi ISHAQ dan nasl (keturunan) Nabi ISMAIL“.[27]
Bagaimana Mirza Ghulam Ahmad mengaku menjadi anak-cucu Nabi Ishaq ‘Alaihis Sallam? Apakah benar ia keturunan Nabi Ishaq? Mungkin ada yang tidak beres di sini, dan yang tahu persis bahwa Mirza tidak beres, adalah dirinya sendiri.
Akan tetapi kalau Ahmadiyah mengatakan bahwa itu benar dan tidak ada yang perlu dibereskan, maka kita ucapkan ahlan pada Mirza. Dengan nasl Ishaqnya itu, maka orang boleh berkata pasti, bahwa Mirza Ghulam Ahmad juga keturunan YAHUDI! Nah bergembiralah ya Mirza Israeli.
Demikianlah keturunan-keturunan istimewa milik pendiri Ahmadiyah.
Satu lagi keturunan yang tidak boleh diabaikan, juga hak milik Mirza Ghulam Ahmad yakni negeri dimana ia dilahirkan dan dibesarkan, INDIA, juga merupakan salah satu dari keturunan-keturunan yang ia miliki. Ahmadiyah menjelaskan bahwa dalam buku agama Hindu (yang mana?) ada tersebut bahwa Messiah yang dijanjikan itu adalah orang INDIA.[28]
Akhirnya, demikian Bashiruddin Mahmud Ahmad menutup cerita tentang identitas ayahnya, berkata :
“Maka sempurnalah sudah apa yang telah termaktub dalam kitab-kitab Ummat Parisi, Ummat Nasrani, Ummat Islam dan Ummat Hindu tentang datangnya Al Masih yang ditunggu-tunggu zaman, yaitu MIRZA GHULAM AHMAD“.[29]
Itulah bunyi gong Bashiruddin; orang-orang Ahmadiyah tentulah merasa bangga terhadap kedudukan maupun keturunan yang dimiliki pemimpinnya. Andaikata semua keturunan-keturunannya disandangkan di belakang namanya, maka millah dia adalah: Mirza Ghulam Ahmad AL MOGHOLI, AL PARISI, AL QUREISY, AL FATIMI ahli Baitin Nubuwah dan AL ISRAELI dan lagi AL HINDUSTANI.
Sungguh suatu keistimewaan yang menggelikan bulu kuduk ayam jantan!
KUNING LANGSAT BUKAN KEMERAH-MERAHAN
Sesudah kita ketahui sejumlah nama maupun keturunan-keturunan kakek moyang Mirza Ghulam Ahmad, maka agar lebih sempurna lagi jika kita kenal lebih jauh identitas lahiriyahnya. Dalam hal ini. perihal warna atau kelir kulit Mirza Ghulam Ahmad mustahaq untuk diketahui dan dibicarakan di sini. Sebabnya tidak lain ialah karena orang-orang Ahmadiyah merasa bangga akan kelir kulit pemimpinnya itu. Ahmadiyah menjelaskan bahwa dalam beberapa Hadits diterangkan:
“Kelir kulit yang mulia Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah PUTIH, Kulit yang mulia Nabi Isa ‘Alaihis Salam adalah KEMERAH-MERAHAN. Kulit yang mulia Nabi AHMAD a.s (Al Masih, II) adalah KUNlNG LANGSAT“.[30]
Yang dimaksud dengan yang mulia Nabi Ahmad a.s., tidak lain ialah Mirza Ghulam Ahmad. Dikemukakan oleh Ahmadiyah bahwa ada beberapa Hadits yang menerangkan
tentang kelir kulit-kulit ke tiga Nabi di atas itu. Manakah beberapa Hadits itu? Cukup kiranya sebuah saja dikemukakan di sini, maka Ahmadiyah akan tertolong dirinya dari kecerobohan-kecerobohannya yang menggelikan.
Lebih lanjut Ahmadiyah menambahkan, bahwa kalau Nabi Isa ‘Alaihis Salam itu kulitnya kemerah-merahan sedangkan Hazrat Mirza Ghulam Ahmad a.s. itu kulitnya kuning langsat, itu merupakan satu bukti yang menggelorakan segenap punggung-punggung Ahmadiyah bahwa Al Masih yang datang kedua kalinya itu bukanlah Al Masih putera Maryam Radhiyallahu ‘anha yang dulu itu. Sebab seandainya Nabi Isa ‘Alaihis Salam yang dulu itu datang kedua kalinya di dunia ini selaku Al Masih II, pastilah Almasih II itu kulitnyapun kemerah-merahan, bukan kuning langsat. [31]
Demikian salah satu alasan dari seribu satu macam alasan yang dipakai Ahmadiyah untuk memahkotai Mirza Ghulam dengan gelar Al Masih kedua.
Berbicara tentang warna kulit manusia di atas dunia ini, maka warna “kuning langsat” itulah yang lebih menarik bagi orang-orang Asia khususnya. Memang demikian, justru itulah kulit yang dimiliki Mirza Ghulam Ahmad, benar-benar menggelora! Seorang cucunya berkata tentang kakeknya itu:
‘”Bahwasanya Mirza Ghulam Ahmad termasuk dalam golongan yang paling elok”. [32]
Begitu eloknya dia, wahai siapa pula yang tidak akan jatuh hati padanya?! (Tapi siapa sangka nantinya (di artikel ke IV, insya Allah) kita akan menyaksikan bahwa nabi palsu yang elok rupawan ini justru yang jatuh hati kepada seorang dara, dan hati Mirza Ghulam Ahmad semakin jatuh berdebam-debam di tanah sesakit dipatuk-patuk ayam karena cintanya bertepuk sebelah tangan. Siapa orangnya yang begitu tega melepas kesempatan emas untuk dinikahi sang nabi palsu dari India? Yang pasti, gadis itu tidak tergiur sedikitpun kavling kuburan surganya Mirza Ghulam Ahmad dan Ahmadiyahnya!)
LAMPU ALADIN DI TANGAN MIRZA
Sudah tentu yang jatuh hati padanya adalah puteranya Bashiruddin, cucu-cucunya dan orang-orang yang buta hati dan buta pikiran sehatnya. Kepalsuan yang begitu kentara ternyata dapat disulap-sulap menjadi elok dan bergelora berkat propaganda-propaganda obralan dan pakaian-pakaian kebesaran murahan yang menyolok menyakitkan mata.
Keistimewaan Mirza Ghulam Ahmad yang explosiv itu bukan hanya terdapat pada nama-nama keturunan-keturunan maupun kelir kulitnya, bahkan jauh daripada itu, lebih banyak dan lebih istimewa lagi terdapat pada pangkat-pangkat, gelar-gelar maupun jabatan-jabatan yang menjadi miliknya.
Bukan kepalang-tanggung hebatnya, tidak seorang Nabi maupun seorang Rasulpun sebelum Mirza Ghulam yang memperoleh kedudukan begitu tinggi, begitu mulia, dan begitu banyak seperti yang pernah diperoleh Mirza Ghulam Ahmad. Bahkan lebih tinggi plus lebih mulia dari Yesus Kristus yang dianak Tuhankan oleh kaum Kristen.
Letak kehebatannya ialah, bahwa semua milik Mirza Ghulam Ahmad diperoleh langsung dari Tuhannya. Maka marilah diperkenalkan orang Qadian yang superior ini. Mirza Ghulam Ahmad mendapat julukan Pelindung “telur” Islam. [33]
Tidak dijelaskan mengapa Islam dikiaskan dengan telur? Setidak-tidaknya telur gampang sekali retak atau pecah. Alangkah lemahnya kondisi Islam sehingga dikiaskan sebagai telur belaka dan Mirza Ghulam Ahmad adalah orangnya, pelindung dari keretakan dan pecah itu, ataukah ia yang mengerami dan sekaligus yang menetaskan telur itu?!
Beralih pada gelar-gelarnya yang lain, Mirza Ghulam dikatakan sebagai penjaga kebun Allah. [34]
Mungkin yang dimaksud kebun di situ adalah Islam atau surga? Pendek kata demikian
Bagi Ahmadiyah, pribadi Mirza Ghulam Ahmad itu patut dihormati sebab ia berkhasiat sebagai “kibriti ahmar” [35] Oleh wujudnya itu maka nampaklah kehidupan agama Islam.
Selanjutnya Mirza Ghulam Ahmad adalah mujaddid akbar, [36] kepaia dari semua pembaharu yang dikirim ke aunia untuk memperbaharui Islam yang di dalam akidah-akidahnya telah terdapat banyak kontradiksi-kontradiksi. Bahkan lebih dari pada mujaddid akbar, Mirza Ghulam turunnya ke dunia ini sebagai “Fadhlan kabiran” bagi ummat manusia [37] Kemudian masih juga prihal turunnya Mirza Ghulam ke dunia, Ahmadiyah berkata:
“Pada hakikatnya ketika Imam Zaman turun ke bumi maka besertanya turun ribuan cahaya demi cahaya, dan di persada langit terjadi suatu suasana kemeriahan, dan terjadilah suatu penvebaran rohaniyat dan nuraniyat yang menggugahkan orang-orang berbakat suci. Pendeknya barangsiapa yang mempunyai bakat untuk menerima ilham semenjak itulah ia mulai menerima ilham”. [38]
Dan siapakah Imam Zaman itu? Maka pada saat ini, kata Mirza Ghulam Ahmad, aku berkata tanpa merasa takut dan gentar sedikitpun, dengan kerunia dan anugerah Allah Ta`ala menyatakan: “Imam Zaman itu adalah aku sendiri” [39] Bagaimana ‘Hadits mengenai Imam Zaman itu? Ahmadiyah berkata telah mengutip sebuah Hadits, akan tetapi sayang tidak menyebut tentang isi maupun perawi-perawinya; Dikatakart dalam Hadits itu bahwa, “barangsiapa yang kembali ke hadirat Allah dalam keadaan tidak menahu atau tidak mengenal tentang Iman Zamannya, ia akan datang dengan mata buta dan matinya berada dalam keadaan jahiliyah”! [40]
Demikian vonis Ahmadiyah terhadap Muslimin maupun yang bukan Muslim, yang berada di luar aliran Mirza Ghulam Ahmad; kalau tidak mau tahu atau tidak mau kenal Imam Zaman itu, maka ia mati jahiliyah !
Ingin tahu bagaimana akhlak Imam Zaman Mirza Ghulam Ahmad itu? Ahmadiyah dengan lantang berkata:
“Pada diri Imam Zaman Mirza Ghulam Ahmad telah cocok sepenuhnya kandungan ayat : Innaka la ‘ala khuluqin ‘azhim. [41].
Allahu Akbar!
Innaka la ‘ala khuluqin azhim, Al Qur’anul Karim ayat 4 Suratul Qalam, yang disampaikan Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sebagai insan kamil yang dihiasi ahlak mulia, dengan enaknya diambil alih begitu saja oleh Mirza Ghulam Ahmad sebagai kualitet dari akhlaknya sendiri! Ia merasa telah memiliki segala-galanya. Di tangannya ada lampu aladin, Mirza tinggal menggosok maka segala keinginannya terkabul! Abu gosok telah terhidang di depan mata dalam sekejap dan siap untuk disantap nabi India!
Perhatikanlah kini sebaris pantun yang ditujukan pada Mirza Ghulam Ahmad, dibuat oleh pengikut-pengikutnya yang setia:
“Wujudnya meliputi segala-gala
sedang engkau hanya sebagian
Kau akan binasa jika
melarikan diri dari padanya”. [42]
Pantun di atas bukan saja satu peringatan keras bagi mereka yang melarikan diri dari lingkungan rumah Mirza Ghulam Ahmad tatkala wabah pes melanda Punjab termasuk Qadian! Melainkan juga satu peringatan keras buat setiap orang yang tidak masuk Ahmadiyah, bahwa mereka akan binasa, yakni mati kafir jahiliyah !
Kemudian ia, Mirza Ghulam Ahmad, dikenal juga sebagai khatamal aulia , yakni wali yang paling sempurna. [43]
Di samping kata khatam yang diartikan sempurna itu, ternyata Ahmadiyah memberi anti lain juga yakni: akhir. Sebab Mirza Ghulam Ahmad mengambil lagi kedudukan yang lebih meyakinkan dengan berkata: “Aku adalah Wali yang terakhir sebab tidak ada wali sesudahku. Yang dimaksud tidak ada wali sesudahku ialah wali-wali yang berada di luar lingkungan Ahmadiyah, [44].
Mereka bukan wali dan tidak bisa jadi wali, kecuali kalau mereka mau masuk menjadi pengikut-pengikut Mirza Ghulam Ahmad.
Langkah-langkah berikut yang ditempuh Mirza Ghulam Ahmad adalah langkah-langkah yang paling berani, dalam arti kata ceroboh, dari seorang Qadian yang mengaku dirinya Muslim.
Sesudah dikenal sebagai khatamal aulia’, Mirza Ghulam dikenal juga sebagai Muhaddats, yakni orang yang diajak bercakap-cakap oleh Allah. [45]
Bahkan Ahmadiyah mengatakan betapa tingginya derajat Mirza Ghulam Ahmad, sampai-sampai Allah Ta’ala dengan sangat terbukanya bercakap-cakap dengan beliau. [46] Seringkali terjadi soal jawab dan waktu itu ditanya, waktu itu juga datang jawaban.[47]
Last but not least Ahmadiyah berkata:
“Dan DIA (ALLAH) membuka tabir dari sebagian wajahNya yang bercahaya dan mengkilap itu. Bukan itu saja, bahkan seringkali demikian rupa seolah-olah Allah Ta’ala tengah bergurau dengan beliau”. [48].
Explosive bukan?! Belum lagi, karena Mirza Ghulam belum meledakkan seluruh ambisi perutnya. Bagaimana hendak diartikan oleh Ahmadiyah kata-kata: seolah-olah Allah Ta’ala tengah bergurau dengan beliau?!
Lebih dari itu, mungkin dikarenakan Mirza Ghulam sudah melihat dari sebagian wajahNya yang bercahaya dan mengkilap itu, maka wajah Mirza kena kecipratan cahaya mengkilapnya Tuhan. Salah seorang cucunya yang bernama: Mirza Mubarak Ahmad, tokoh pimpinan dalam instansi tahrikjadid yang mengemudikan missi-missi Ahmadiyah di luar Pakistan dan India, menyanjung kakeknya Mirza Ghulam Ahmad dengan kalimat-kalimat yang amat mengesankan:
“Ketika hari raya Adha tiba, demikian Mubarak Ahmad bercerita, setelah beliau (Mirza Ghulam) duduk di kursi dan mulai berpidato, nampak seakan-akan beliau berada di alam lain. Mata beliau hampir-hampir tertutup dan wajah suci beliau begitu bercahaya nampaknya seakan-akan Nur llahy itu menyelimutinya dalam keadaan luar biasa bercahaya dan terang. Pada saat itu wajah beliau sukar dipandang dan dari kening beliau cahaya demikian memancar-mancar, sehingga, menyilaukan tiap orang yang memandangnya”. [49]
Selanjutnya sang cucu meneruskan puja-pujinya terhadap kakeknya dengan mengatakan bahwa beliau (Mirza Ghulam) adalah Satu nur yang dizhahirkan ke dunia untuk menyinari ummat manusia. [50] Beliau adalah juga Bulan Purnama yang sempurna. [51].
Dengan gelar satu Nur dan Bulan Purnama yang sempurna itu, maka sebenarnya Mirza Ghulam Ahmad boleh dipastikan, bahwa pada wajahnya terdapat satu cahaya yang sedap dipandang. Akan tetapi kalau mengingat kata-kata Mubarak Ahmad bahwa Mirza pada keningnya ada cahaya demikian memancar-mancar sehingga menyilaukan setiap orang yang memandangnya, maka apakah gerangan kiranya cahaya yang melekat di dahi Mirza Ghulam itu?! Kalau tidak sinar cahaya sang surya, mungkinkah itu cahaya mercusuar, yang langsung menyorot mata-mata para pengikutnya dari jarak yang tidak jauh, katakanlah tiga mil laut?!
MIRZA GHULAM TOKOH PENJELMAAN
Lebih banyak lagi kita mengenal tumpukan pangkat, gelar ataupun ibarat-ibarat yang dimiliki Mirza Ghulam Ahmad, maka kita akan lebih meyakini letak hakiki dari tokoh Ahmadiyah itu dalam sejarah Islam. Tidaklah berlebihan jika kita mengumpulkan seluruh pangkat yang ada dalam sejarah kerohanian semua Agama, maka Mirza Ghulam Ahmad merupakan juaranya, baik sebagai kolektor maupun sebagai pemilik dari hasil-hasil koleksinya itu. Ia berkata tentang dirinya:
“Akulah Hajar Aswad yang dimiliki bumi ini, aku dicium ummat manusia guna memperoleh berkahnya”. [52]
Selanjutnya Mirza mengaku sebagai khalifah akhir zaman [53], juga bergelar sebagai Guru jagat, [54] yakni guru bagi seluruh ummat manusia.
Karena sifatnya yang meliputi, maka Mirza Ghulam Ahmad mengambil langkah-langkah baru agar dapat memperoleh simpati dari ummat Hindu dan Buddha. Untuk ini Mirza Ghulam berkata:
“Sebagaimana kita ketahui di negeri India, seorang nabi telah lama pergi beberapa abad yang silam, yakni yang dikenal dengan nama: Krishna. Ia juga dipanggil, Ruvaddar Gowpal, si perusak sekaligus juga si pembangun, nama itu semua juga diberikan padaku. Sejak waktu itu bangsa Arya menanti-nanti kedatangan kembali sang Kreshna. Maka ketahuilah, aku inilah Sang Kreshna. Tuhan telah memberi kabar padaku bahwa Kreshna yang sedang dinanti-nantikan kedatangannya itu, tidak lain adalah aku raja bangsa Aryan”. [55]
Mirza Ghulam Ahmad menerangkan bahwa dari gelarnya sebagai Ruvaddar yakni si perusak tidak lain bahwa ia adalah orang yang akan membunuh musuh-musuhnya dengan dalih serta alasan-alasan yang kuat.
Dengan pengertian yang demikian itu, maka Mirza Ghulam Ahmad telah merubah makna asal daripada kata-kata Ruvaddar atau sang Perusak sebagaimana yang terdapat dalam agama Hindu.
Kedudukannya sebagai raja bangsa Aryan dan sekaligus sebagai Kreshna, menurut Ahmadiyah telah dinubuwatkan dalam kitab suci kaum Hindu, dimana dikatakan bahwa akan datang kelak seorang Autar yang mempunyai spirit dan martabat seperti Kreshna, atau sebagai buruz dari padanya, dan sudah dipastikan, demikian Mirza Ghulam, bahwa aku inilah sang Kreshna!
Untuk lebih meyakinkan terhadap kedudukannya itu, putera Mirza, Bashiruddin M.A. pernah mengatakan bahwa Tuhan sendirilah yang mewahyukan pada Mirza bahwa ia adalah Kreshna. Antara lain Tuhan menurunkan wahyu:
“Engkau ya Mirza adalah Kreshna, nama itu telah dinyanyikan dalam kitab suci Gita”. [56]
Peristiwa di atas tersebut, yakni turunnya wahyu pada Mirza sebagai sang Kreshna, mempunyai keistimewaan yang perlu digarisbawahi. Mula-mula Tuhan sendirilah yang mengabarkan bahwa dalam kitab suci Gita pujian terhadap Mirza telah dinyanyikan. Dan yang menarik lagi bahwa wahyu di atas disampaikan pada Mirza Ghulam oleh Tuhan, dalam bahasa India.
Maka tidak ragu-ragu lagi kalau orang-orang India akan meyakini kabar tersebut!
Dengan kata lain, Mirza Ghulam Ahmad maupun puteranya dan alirannya ingin menunjukkan sikap berbaik hati dan bertoleransi bahkan telah beriman pula terhadap kitab suci kaum Hindu. Bukankah Tuhan Mirza alias Tuhannya ummat Islam, yang menyebut-nyebut “Gita”, kitab suci orang-orang Hindustan itu? Apakah Ahmadiyah akan mengatakan bahwa Tuhannya Mirza juga menyebut-nyebut nama kitab suci golongan Kristen, yakni kitab Bibel untuk kepentingan Mirza Ghulam?
Mungkin kalau Mirza Ghulam yang berkompromi dengan kaum Hindu, itu masih bisa diterima, akan tetapi kalau Tuhan yang berbuat demikian untuk diri Mirza, maka jelas sudah itu hanya suatu obrolan kosong. Lebih menarik lagi jika Tuhan sampai-sampai menurunkan wahyu pada Mirza dengan kata-kata:
“Engkau juga adalah Brahman Avatar, dan engkau adalah seorang yang telah dinubuwatkan semua nabi-nabi”. [57]
Terus-menerus tiada henti-hentinya, Mirza Ghulam menumpuk seluruh pangkat dan gelar-gelarnya. Ia juga seorang yang digelari Rahmat Mujassam, yakni rahmat untuk keluarga, rahmat untuk kawan, rahmat untuk musuh, rahmat untuk tetangga, pembantu pembantu, peminta-minta dan untuk ummat manusia. [58] Rahmat (?) yang diberikan pada musuh, tetangga, dan ummat manusia oleh Mirza, akan merupakan cerita yang menarik kaki dan sangat berkesan.
Selanjutnya Mirza Ghulam Ahmad dikenal juga sebagai Sultanul Kalam, yakni raja di raja penulis yang karya-karyanya tiada tolok bandingannya. [59] Sebagai Sultanul-Kalam, Mirza Ghulam ternyata memiliki mu’jizat bahasa Arab dan untuk ini ia mengajukan tantangan pada siapa saja yang berani menandingi keistimewaan bahasa Arabnya. Bashiruddin Mahmud Ahmad berkata:
“Tuhan telah mengkaruniai Mirza Ghulam Ahmad ilmu bahasa Arab yang luar biasa, bahkan tidak dapat ditandingi sekalipun oleh mereka yang empunya bahasa itu sendiri. Untuk menyebarkan permaklumannya itu, ia telah menulis dan menerbitkan buku-buku dalam bahasa Arab kemudian menantang musuh-musuhnya, termasuk penulis-penulis di negeri Arab, Mesir dan Syria, andaikata mereka ini masih meragukan kedudukan Mirza Ghulam Ahmad. Tentu saja jawaban atas tantangannya harus dengan bahasa Arab pula. Namun kalau dilihat pada karya-karya Mirza, bagaimana keindahan sastranya, syair-syairnya, dan kehebatan serta kepadatan maknanya, maka tidak seorangpun yang akan berani muncul sebagai penantangnya. Buku-buku hasil karyanya itu sampai sekarang masih ada, dan kami masih membuka front bagi siapa yang berminat menandinginya”. [60]
Siapa pula yang berani menantang bahasa Arab Mirza Ghulam? Tidak seorangpun yang menjawab tantangan itu! Bahkan, kata Ahmadiyah melanjutkan, juga Syed Rasyid Ridha yang pernah mendapat tantangan itu, tidak berani menjawabnya. [61]
Apa sebab Mirza Ghulam Ahmad konon menguasai bahasa Arab tak terkalahkan? Ahmadiyah menjawab:
“Perbendaharaan kata-kata beliau bertambah secara sangat ajaib, 40.000 kata dasar diperoleh Mirza Ghulam hanya dalam waktu satu malam saja! [62] Ya keajaiban ilmu yang tidak mungkin diraih oleh seorang Syaikhul Islampun dalam sehari semalam. Bukankah Lampu Aladin ada di tangan Mirza Ghulam Ahmad, tinggal gosok dan…sekejap mata abu gosok terhidang di depan matanya, siap disantap untuk menutupi wajah belang-belang kedustaannya.
Akhirnya Bashiruddin M.A. putera Mirza Ghulam itu, berkata: “Kemu’jizatan bahasa Arab Mirza Ghulam Ahmad, menyamai kemu’jizatan Al Qur’an ul-Karim”. [63]
Jika demikian kedudukan bahasa Arab Mirza Ghulam, maka ia benar-benar raja di raja pena. Apakah ia juga raja untuk bahasa Urdu, Parsi dan Inggris? Kita akan tahu kelak bagaimana contoh dari bahasa Arabnya Mirza Ghulam yang tak terkalahkan itu.
Dan yang paling menarik dari kehebatan bahasa Arab Mirza Ghulam Ahmad, ialah sebagaimana yang diceritakan sendiri olehnya, bahwasanya segala yang diucapkan Mirza Ghulam adalah ayat-ayat suci yang diawali dengan Bismillahir-Rahmanir-Rahim, serta meyakini isi dari ayat-ayatnya sebagaimana meyakini ayat ayat Al Qur’anul Karim. [64] Itulah ciri-ciri khasnya bahasa Arab Mirza.
Masih meneruskan tentang pangkat-pangkatnya, dikatakan oleh Ahmadiyah maupun oleh Mirza sendiri, bahwa dari sudut tugas memperbaiki keadaan ummat dan membereskan masalah masalah yang dipertikaikannya baik yang menyangkut Sunnah dan Hadits, beliau Mirza Ghulam Ahmad adalah Imam Mandi [65] Kemudian dilihat dari sudut tugas menghadapi Dajjal dan fitnah-fitnahnya yang hebat di akhir zaman ini dan tugas menghadapi musuh-musuh Islam dengan keterangan-keterangan yang nyata dan tak terpatahkan, beliau adalah “Al Masih yang dijanjikan”.
Perihal kedudukannya sebagai Al Masih itu, oleh karena munculnya di kalangan Islam, maka Mirza Ghulam Ahmad bergelar Al Masih Al Muhammady, sebab Al Masih yang pertama, yakni Isa Al Masih adalah Al Masih Al Israili. [66] Mirza Ghulam Ahmad ternyata masih menggosok-gosokkan lampu Aladinnya, atau ia semacam lipan berkaki seribu, ambisinya untuk memiliki seluruh pangkat ketohanian, masih disusunnya lagi.
;Dan inilah klimaks dari cita-citanya. Mula-mula ia mengaku sebagai Nabi, akan tetapi bukan Nabi yang membawa syari’at melainkan sebagai Nabi Ummati, yakni nabi dari ummatnya nabi Muhammad s.a.w. Sebagai nabi ummati, Mirza Ghulam bisa juga memakai gelar-gelar seperti: nabi ghair tasy’ri’, nabi buruzi, nabi zilli, nabi majazi, nabi
lughawi, yang kesemuanya hanya menunjukkan sebagai bayangan atau pantulan atau nabi dari ummat Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
Akan tetapi karena Mirza memiliki lampu Aladdin, apa kehendaknya pasti terkabul. Bahkan ternyata ia bukan saja sebagai nabi bayangan tetapi sebagai nabi yang membawa dekrit dari Tuhan yang mungkin disetarapkan dengan syari’at.
Last but not least, Mirza Ghulam ternyata mengangkat dirinya sebagai Rasul Allah dengan sekaligus memperolen sanjungan Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam (sallallaliu alaihi wasallam). [67]
Apa lagi yang belum menjadi miliknya? Ternyata Mirza masih mengumpulkan lagi pangkat-pangkat yang luar-biasa. la harus menjadi segala-galanya. Ia berkata dengan bangga:
“Sesungguhnya Allah telah memberiku semua nama-nama dari para Nabi”. [68]
Yakni bahwa Mirza Ghulam Ahmad boleh dipanggil dengan panggilan nama-nama semua nabi. Sesungguhnya, berkata Mirza Ghulam:
“Bukan saja, aku ini dipanggil dengan nama Isa anak Maryam, bahkan semua nabi baik nama mereka maupun martabat mereka telah aku terima dari Allah. Itulah sebabnya, sebagaimana yang dijanjikan Tuhan dalam Barahiyn Ahmadiy-nya, aku ini adalah Adam, aku Nuh, aku Ibrahim, aku Ishaq, aku Ya’kub, aku Ismail, aku Musa, aku Daud, aku Isa, anak Maryam, dan aku Muhammad dalam arti buruznya”. [69]
Dengan martabat para nabi yang ia miliki itu, maka Mirza Ghulam Ahmad sanggup menonjolkan beberapa mu’jizat dari para nabi, maupun mengalami beberapa peristiwa seperti yang dialami mereka.
Satu nama lagi yang ia terima dari Tuhannya ialah: Abdul Qadir, entah untuk panggilannya itu ia sejajar dengan sayidina Abdul Qadir, atau Abdul Qadir yang lain, kurang jelas. [70]
Demikianlah cerita tentang nama, pangkat gelar dan kedudukan yang dimiliki Mirza Ghulam Ahmad. Dan sekedar untuk menyegarkan pikiran, inilah keseluruhannya itu: Mirza Ghulam Ahmad adalah—kibriti ahmar—hajar aswad pelindung telur Islam—penjaga kebun Allah—bulan purnama—satu Nur—Guru Jagat—Fadhlan kabiran—Rahmat Mujassam—Sultanul kalam—Raja Aryan. Mujaddid—Mujaddid Akbar—Khatamul Aulia’—Khatamul Khulafa’—Imam Zaman—Imam Mahdi Al-Ma’hud—Hakim yang adil—Al Masih Al-Mauud— nabi buruzi—nabi dengan dekrit Tuhan—Rasul Allah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam— Abdul Qadir—Adam—Nuh—Ibrahim—Musa—Isa—Ya’kub—Ishaq—Daud—Ismail—dan semua nabi. Aku adalah Kreshna—Brahman Avatar—dan aku adalah Kodrat Tuhan yang berjasad. [71]
Perihal akhlak dan prangainya maka Mirza Ghulam Ahmad adalah: Seekor singa jantan yang tampil ke depan—pemaaf—penutup kekurangan orang lain—pemurah—setia—rendah hati—sabar—syukur—memadakan yang ada—pemalu
— tunduk mata—menjaga diri dari segala keburukan—rajin—mencukupkan dengan yang dapat – tidak suka formalitas —sederhana—menyayangi —adab llahi—adab Rasul — dan orang-orang suci Agama—pendamai—tidak suka berlebih-lebih-an—suka melaksanakan kewajiban — suka memenuhi janji—terampil—bersimpati—suka menyebar agama—mendidik—indah dalam pergaulan — pengamat harta — berwibawa —kesucian—periang—penyimpan rahasia—ghairat—ihsan—pemelihara martabat orang —baik sangka — bersemangat —ulul ‘azam—penjaga diri—tenang berpikir—menahan amarah— menahan tangan dan lisan dari perbuatan lancang—berkorban— waktunya selalu penuh—mengatur perkembangan ilmu dan ma’rifat—pencinta Tuhan dan RasulNya—pengikut Rasul yang sempurna—mempunyai daya tarik magnitis—satu daya penarik yang ajaib disegani—berbakat kecintaan—katanya mengesankan— doanya makbul. [72]
Itulah Mirza Ghulam Ahmad, tidak ada satu kekurangan lagi bukan? Itulah keinginannya dan untuk itulah puteranya maupun pengikut-pengikutnya percaya tanpa reserve. Siapa yang tidak percaya dan tidak mengakui sebagai Imam Zaman dimana tercakup kenabian dan kerasulannya, maka matinya orang yang tidak percaya kepada Mirza Ghulam Ahmad adalah mati jahiliyah of mati kafir. [73] Rupanya setannya Mirza lupa dan tersilap bahwa para nabiyullah ‘Alaihissalam adalah manusia-manusia mulia, mereka bukanlah manusia-manusia berwatak rakus akan jabatan dan gelar-gelar sebagaimana rakusnya Su-permen dari India.
(Bersambung edisi ke III, Insya Allah bertema: “Ahmadiyah Sebagai Crypto-Islam”, Aliran yang secara terselubung mengoper ajaran-ajaran Islam)
Footnote:
[1] Aliran atau gerakan yang mempersatukan berbagai paham di bawah pimpinan seseorang
[2] Bashiruddin Mahmud Ahmad, Riwayat Hidup Hazrat Ahmad a.s., 1966, Djemaat Ahmadiyah Tjabang Djakarta, hal. 2, terjemah oleh Malik Aziz Ahmad Khan;
http://www.alislam.org/indonesia/pustaka/riwayat/ahmad-1.htm#A%20h%20m%20a%20d
[3] Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad, Riwayat Hidup Hazrat Ahmad a.s., hal. 2; http://www.alislam.org/indonesia/pustaka/riwayat/ahmad-1.htm#A%20h%20m%20a%20d dan Gh. J.D. Shams. h.a., ISLAM, tanpa tahun, Ahmadiyya Muslim Foreign Missions Office, Rabwali, hal. 16 (his full name was Ghulam Ahmad,….)
[4] ibid
[5] ibid
[6] Mirza Ghulam ‘Ahmad, Al Istiftaa’, 1378 Hijrah, Rabwah Matba’ah an Nashrah, hal. 75: (fi kitab sawaanah abaaii wa sami’tu min abi an abaaii kaanuu min al jarthumah al muqliyah). Al Jum’iyat ul Syarqiyah linasyru al Kutub id Diniyah Rabwah.
[7] Mirza Ghulam Ahmad, Al Istiftaa’, hal. 75: (wa lakin Allah auhii ilaa annhum kaanu min bani Fares, la minal aghwaam turkiyah.)
[8] Bashiruddin Mahmud Ahmad, Djasa Imam Mandi a.s., Soerabaya Anjuman Ahmadiyah Departemen Indonesia (A.A.D.I.) Gemeente, th. 1940
[9] Suara Lajnah Imaillah (Majalah kaum ibu Ahmadiyah), no. 10, th. II-1974, B.P.L.I. (Badan Penghubung Lajnah Imaillah Indonesia), Yogjakarta, hal.27.
[10] Sinar Islam (Majalah Ahmadiyah), no. 5-6, 1974, Jakarta Yayasan Wisma Damai, hal. 26.
[11] Mirza Ghulam Ahmad, Tukhfah Baqdad, Matba’ah an Nashrah, Rabwah, 1377h., hal. 26.
[12] Bashiruddin Mahmud Ahmad, Riwayat hidup Hazrat Ahmad a.s. hal. 2; http://www.alislam.org/indonesia/pustaka/riwayat/ahmad-1.htm#A%20h%20m%20a%20d
[13]Mirza Ghulam Ahmad, AI-Khutbatul Islamiyah, Rabwah Wikalah at Tabsyiir li-Tharik uj Jadid, 1388 h., hal. 86: (wa an Allaha sammahu Ahmad bima yahmadu bihi-r Rabbul Jalil fil ardhi kama yahmadu fis sama’)
[14] Suara ANSHARULLAH, majalah bulanan Ahmadiyah, no. 3 & 4, Djuni/ Djuli th. 1955, P.P. Ansharullah — Pusat Indonesia Djogjakarta, hal. 18
[15] ibid
[16] Suara Lajnah Imaillah, majalah kaum ibu Ahmadiyah no. 10. th. II. 1974, B.P.L.I. (Badan Penghubung Lajnah Imaillah Indonesia), Jogjakarta, hal. 27.
[17] suara Ansharullah, hal. 18/19 (note: aslinya ditulis dalam ejaan lama, di sini disesuaikan dengan ejaan baru).
[18] Abul Qasim as Suhaily, ar Raudul Unuf, 1332/1914, Marokko Sultanul Maghrib, hal. 106: (Allahummaj ‘alni min ummati Ahmad).
[19] dr. Abdul Aziz Muhammad Azzam, Muhammad Rasul ul A’zham, 1394/ 1974, Majlis A’lalisy Syuunal lslamiyah, Cairo, hal. 24.
[20] Mirza Ghulam Ahmad, Al Istiftaa’, hal. 75: (wa lakinnal-lah auhi ila annahum kanu min bani faras la min a-aqwaam ut turkiyah).
[21] Mirza Ghulam Ahmad, Al Khutbat ul Ilhamiyah, hal. (ha’): (wa innahu ma ja’a min-al Qureisy kama inna Isa,ma ja’a min bani Israil).
[22] http://www.alislam.org/indonesia/pustaka/riwayat/ahmad-2.htm#Bai%27at%20Pertama
[23] www.ahmadiyya.or.id , keterangan “Imam Mahdi & Masih Mau’ud Pendiri Jemaat Ahmadiyah” di bawah foto dajjal pendusta dari Qadian, Mirza Ghulam Ahmad.
[24] Mirza Ghulam Ahmad, al Khutbatul Ilhamiyah, hal. 13. (wa wajaba anla yakun hadzal Khalifah minal Qureisy).
[25] Mirza Ghulam Ahmad, al Khutbatul Ilhamiyah, hal. 46: (inni anaAl-mahdi alladzi huwa al Masih Muntadzir al Mau’ud, wama jaa fihi annahu min bani Fatimah)
[26] ibid, hal. 87: (wa ja’alahu min haisul aba’ min abna Faras wa min haisul ummahaat min bani Fatimah liyajmau fihil jalaal wal jamaal).
[27] Mirza Ghulam Ahmad, al Istiftaa’, hal. 75: (wa ma’a dzalika akhbarani rabbi bian ba’da ummahati min banil Fatimah wa min ahli baitin nubuwwah; wallahu fihim nasl Ishaq wa Ismail min kamalil hikmah wal mushalahah).
[28] Bashiruddin Mahmud Ahmad, Ahmadiyya Movement, Rabwah The Ahmadiyya Muslim Foreign Missions Office, 1962, hal. 47: (from the boots of the Hindus it appeared that the promised Messiah was an Indian).
[29] Bashiruddin M.A., Ahmadiyya Movement, hal. 47: (in ‘short, in him were fulfilled all the prophecies contained in the books of the Christians, the Parsees, the Hindus and Muslims),
[30] Suara Lajnah Imaillah, no. 10 th.II, 1974, hal. 33
[31] ibid, hal. 33
[32] Mirza Mubarak Ahmad, Masih Mau’ud a.s., Yayasan Wisma Damai, Bandung 1971, hal. 7.
[33] Mirza Ghulam Ahmad, Perlunya seorang Imam Zaman. terjemah: R. Ahmad Anwar, 1966, P.P. Majlis Chuddamul Ahmadiyah Indonesia, Jakarta, hal. 17.
[34] ibid, hal.17.
[35] ibid, hal. 17.
[36] Saleh A.Nahdi, Ahmadiyah Selayang Pandang, Khuddamul Ahmadiyah, Surabaya 1963, hal.27
[37] Saleh A.Nahdi, Soal-Jawab Ahmadiyah I, Ujung Pandang, RAPEN, 1972, hal.23.
[38] Mirza Ghulam Ahmad, Imam zaman, hal.10
[39] i bid, hal 32.
[40] ibid, hal. 10 ; Majalah Ahmadiyah “Sinar Islam“, no.13, 1965, Bandung, Yayasan Wisma Damai, hal.8
[41] Mirza Ghulam Ahmad, Imam Zaman, hal.15.
[42] Mirza Ghulam Ahmad, Perlunya Imam Zaman, hal.18.
[43] Mirza Ghulam Ahmad, al Khutbatul Ilhamiyah, hal.9
[44] Mirza Ghulam Ahmad, ibid, hal. 10: (wa ana khatamal auliya’ la wali ba’di illal lazhi huwa tninni wa ala ahdi)
[45] Mirza Ghulam Ahmad, Ajaranku, alih bahasa R.Ahmad Anwar, Bandung, Yayasan Wisma Damai, 1966, hal. 43.
[46] Mirza Ghulam Ahmad, Perlunya Seorang Imam Zaman, hal. 20
[47] ibid, hal. 20
[48] ibid, hal.20.
[49] Mirza Mubarak Ahmad, Masih Mau’ud a.s., hal. 83.
[50] ibid, hal. 87
[51] ibid, hal.5.
[52] Analyst, Facts about Ahmadiyya Movement, 1951, Ahmadiyya Anjuman Isha’at al Islam, Lahore, hal. 28: (I am that Hajar- I ul-ilhamiyah, hal. 82.
[54] Malik Aziz Ahmad Khan, Jasa Imam Mandi a.s., hal. 139
[55] The Review of Religions, March 1966, Rabwah, hal.79: (we find that in the country known as India, a Prophet of God has gone before, in the agesof past, who bore the name “Kreshna”; he was also called Ruvaddar Gowpal (i.e.destroyer, on one side, sustainer and developer, on the other). This name too, has bestowed on me. Since, Therefore, the Aryan people, these days, are awaiting the second advent of the Lord Krishna, I am that Krishna. I am not making claim purely on my own behalf; Allah has revealed to me, time and time again, that the Krishna expected to appear towards the latter days, was none other than my self – King of the Aryans.
[56] Bashiruddin M.A, Ahmadiyya Movement, hal.4: (Brahman av tar sa
o kwa bi la achha na heen. Aye Krishna dar Go pal teri meh ma Geeta men hai. Thou art the Blessed Krishna, the cherisher of Cows, and thy praise is chanted in the Gita.)
[57] Bashiruddin M.A., Ahmadiyya Movement, hal.4
[58] Mirza Mubarak Ahmad, Masih Mau’ud a.s., hal.47
[59] Mirza Mubarak Ahmad, Masih Mau’ud a.s. hal. 47
[60] Bashiruddin M.A., Ahmadiyya Movement, hal. 115: (…, he made an announcement that God has bestowed upon him an extraordinary knowledge of and command over, the Arabic language which could not be matched even by those whose mother tongue was Arabic. In persuance of this announcement he wrote and published several books in Arabic and called upon his opponents, including the people of Arabia, Egypt, and Syria, if they doubted his claim, to write books in Arabic, which should, in point of literary style, purity of diction, beauty of composition and the excellence and pregnancy of meaning, match those written by himself, but none has so far dared to take up the challange. The books written by him are still extant, and we still claim that they cannot be matched, and that God’s hand would be raised against any person who presumes to make an attemp to match (them.)
[61] Bashiruddin M.A., Invitation, Rabwah, Ahmadiyya Muslim Foreign Missions 1961, hal. 97: (Arabs were included in the challange, one book being specially addressed to Syed Rashid Riza of Al-Manar. The Syed did not accept the challenge.)
[62] Bashiruddin M.A., Invitation, hal. 97: (When the Ulama had done their worst, God granted him special knowledge of the Arabic language. His vocabulary grew miraculously to 40.000 root-words in a single night.)
[63] Bashiruddin MA., Invitation, hal. 97. (This miracle of language imitaxtes the miracle of the Holy Quran. It is a sign of the Promissed Messiah’s truth.)
[64] Mirza Ghulam Ahmad, al-Istifta’, hal.77: (wa nu’minu biha kama nu’minu bi kitabillah khaliqil Anaam, wahii hadzihi: bismillahirRahmanirRahim)
[65] Saleh A.Nahdi, Selayang Pandang Ahmadiyah, hal.29, serta hampir semua kitab-kitab Ahmadiyah.
[66] Mirza Ghulam Ahmad, al Khutbatul Ilhamiyah, hal.dzal dan hal. zai. Juga
oleh sdr. Drs Bahrum Rangkuti (sekjen) Departemen Agama pada puisinya yang berjudul “Silaturahmi (II)” pada halal bihalal di Bali Room dari masyarakat Sumut 29/12/’69, menyebut Isa a.s. sebagai Al Masih al-Israeli.
[67] M.G.A., Khutbatul Ilhamiyah, hal.muka, Perlunya Seorang Imam Zaman, hal 32, Tuhfah Bagdad, hal.muka dan lainnya.
[68] Mirza Ghulam Ahmad, al Istifta’, hal.82: (sammani rabbi ibrahim wa kadzalika sammani bi jama’i asmail-anbiya min adam ila khatimurusl)
[69] The Review of Religions, Mart 1966, hal. 10: (But, in the heavenly records. Isa, the son of Mary, is not only the name given to me: I have other names as well, twentysix years ago, which Allah made me put down in the pages of Braheen-i-Ahmadiyya. There is no prophet of God whose name and qualities Allah has not bestowed on me. Therefore, as God has promised in Braheen-i-Ahmadiyya-I am Adam. I am Noah, I am Abraham, I am Isaac, I am Jacob, I am Ismail, I am Moses, I am David, I am Isa, the-son of Mary; and I am Muhammad, in a sense and manner I call burzi.)
[70] Mirza Ghulam Ahmad, Thuhfah Bagdad, Rabwah Matba’ah An-Nadrah, 1377, hal.29: (ya Abdulqadir inni ma’aka asman wa araa).
[71] Mirza Ghulam Ahmad, al Wasiyat Neraca Trading Company, Jakarta 1949, hal. 12.
[72] Mirza Mubarak Ahmad, Masih Mauud a.s., hal. 85/86
[73] Mirza Ghulam Ahmad, Perlunya Seorang Imam Zaman, hal. 10/32