Pengantar
Alhamdulillah, pada artikel yang telah lalu, ketika kita mengemukakan fakta hizbiyyah salah satu yayasan pemecah belah umat, Al-Sofwa Al-Muntada yang didirikan oleh Muhammad Khalaf, kita telah menghadirkan bukti bahwa pijakan dasar dari dakwah yayasan ini adalah berdusta atas nama Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam dan salaful ummah, menegakkan tulang punggung dan mengisi perut para da’i kondangnya dengan kaidah “Amar Munkar Nahi Ma’ruf” sebagaimana yang tertulis dalam Undang-Undang Dasar yayasan ini:
http://img241.imageshack.us/img241/5074/buktiyayasanalsofwaamarvc1.jpg
Walaupun kenyataan FAKTAnya sedemikian jelasnya, dapat diakses siapapun buktinya (karena Al-Sofwa sendiri yang mempublikasikan di dalam situs resminya) Abdullah Taslim dengan Muslim.or.id masih pula tanpa rasa malu berupaya melempar syubhat “murahan” dengan mengaku tidak memiliki informasi yang jelas tentang status yayasan ini. Bukankah dirinya berada satu majelis dengan para pembesar Al-Sofwa dalam daurah-daurah Masyayikh yang diselenggarakan oleh Al-Irsyad illegal Surabaya? Anehnya, solusi ketidakjelasan status yayasan Al-Sofwa tersebut, umat dimintanya agar bertanya kepada para asatidzah yang justru selama ini terbukti erat terkait langsung dengan yayasan tersebut! Haihata, haihata…
Bukan itu saja, walaupun tampak NYATA di depan mata bahwa situs resmi Al-Sofwa mempromosikan para gembong Sururi kaliber Internasional, masih pula “status” yayasan ini tidak jelas bagi mereka! Adapun “kebaikan fulus”nya, adakah mereka juga mengingkari ketidakjelasannya?
Duhai, bukankah kebaikan dana yayasan pemecahbelah umat dari Kuwait, Ihya’ut Turats juga begitu jelasnya di depan mata mereka, tetapi “giliran” menyaksikan FAKTA kejahatan dan kebobrokan manhaj yayasan ini (walau telah terhidang di depan matanya) juga masih belum jelas bagi mereka?
http://img64.imageshack.us/img64/7177/sofwapromogembongsururife9.jpg
Kalau cinta buta sudah melekat,
Tanah liatpun serasa nikmat layaknya coklat!
Maka pada kesempatan ini, kita akan menurunkan fatwa Asy-Syaikh Ubaid Al-Jabiri untuk menyingkap jati diri salah seorang gembong Sururi-Ikhwani, Thariq As-Suwaidan (lihat nama di nomor 3 dari bawah yang tertulis pada bukti di atas) yang dipromosikan oleh Al-Sofwa Al-Muntada Al-Hizbi.
Apabila sebab itu telah diketahui,
maka gugurlah perasaan takjub. Juga…
Jika tak kenal,
maka…tak waspada!
Semoga Allah Ta’la memudahkan kita dalam menerima kebenaran dan berpegang teguh dengannya, serta berani berlepas diri dari kesesatan dan para tokohnya, amin.
THARIQ AS-SUWAIDAN,
HIZBI KELAS KAKAP DARI HIZBUL IKHWAN
(Asy-Syaikh Ubaid Al-Jabiri Hafidhahullah)
SOAL KEDUA: Bagaimana kita membantah Thariq As-Suwaidan?
JAWAB: Siapakah sebenarnya Thariq Suwaidan? Apa pemahamannya? Siapakah dia sebenarnya?
Dia adalah seorang laki-laki dari Kuwait, dia banyak menulis buku-buku dan kaset-kasetnya pun banyak, dia bukanlah orang yang memiliki ilmu syar’i, dia mengambil spesialisasi dalam bidang ilmu yang lain, kabar terakhir yang telah sampai kepadaku bahwa sesungguhnya dia adalah dosen di Fakultas Tehnologi atau Tehnik. Dan ini cukup (sebagai dasar), bahwa dia dan apa yang diberitakan serta dikatakannya tidak bisa dijadikan sebagai pegangan. Tiap-tiap ilmu mempunyai dasar dan kaidah sebagai landasan pijakan, dan tidak ada yang mumpuni tentang dasar-dasar serta kaidah-kaidah dari suatu ilmu melainkan orang-orang yang memang mengambil keahlian khusus dalam bidang tersebut. Maka, ilmu syar’i itu memiliki dasar-dasar dan kaidah-kaidah, sedangkan Thariq Suwaidan bukanlah orang yang mumpuni dalam bidang tersebut.
Apa pemahaman dia? Dia adalah seorang Ikhwani, dia berpijak di atas kaidah mereka yang cukup masyhur, yang mereka warisi dari Al-Manar, kaidah tersebut pada mulanya adalah kaidah Al-Manar, kemudian menjadi kaidah Ikhwani (yakni: Ikhwanul Muslimin, pent), yaitu kaidah: “Menerima Udzur dan Saling Tolong Menolong”, yang detailnya ialah: “Kita Saling Tolong Menolong Dalam Perkara yang Kita Sepakati dan Kita Menerima Udzur Antara Satu dengan yang Lain Dalam Perkara yang Kita Perselisihkan”.
Kaidah ini pun masuk di tengah-tengah kaum muslimin dan menjadi bencana bagi mereka. Ikhwanul Muslimin telah menimpakan bencana besar (kepada kaum muslimin) melalui kaidah ini, aku memohon kehadirat Allah Yang Maha Mulia Pemilik ‘arsy yang agung agar menghadapkan orang-orang yang tidak mau mencari petunjuk kepada kebenaran untuk berdebat pada hari kiamat nanti.
Kaidah tersebut merupakan pintu yang selalu terbuka lebar bagi tiap-tiap aliran kepercayaan yang dapat menimpakan bencana besar terhadap Islam dan kaum muslimin itu sendiri, sama saja apakah aliran kepercayaan ini bernisbat kepada Islam seperti: Rafidhah —orang-orang yang mereka namakan dengan Syiah— atau yang bernisbat bukan kepada Islam, seperti: Yahudi dan Nashrani.
Thariq Suwaidan memiliki satu kaset yang ada padaku, yang memuat perkataan —atau keikut sertaannya— dalam sebuah acara pertemuan yang diadakan di Husainiyyah— Husainiyyah adalah basis-basis dan tempat-tempat berkumpul dan ibadahnya orang-orang Rafidhah— tampak jelas di dalam kaset ini upaya pendekatan yang nyata antara Ahlussunnah dengan Rafidhah.
Maka bila demikian, tidaklah aneh jika laki-laki ini selalu berpijak di atas kaidah ini (yakni kaidah: kita saling tolong menolong dalam perkara yang kita sepakati dan kita menerima udzur antara satu dengan yang lain dalam perkara yang kita perselisihkan, pent), dia mempunyai pendahulu — dan itu sejelek-jelek pendahulu dan panutan—.
Pertama: pada saat jamaah Ikhwanul Muslimin tumbuh berkembang —yang didirikan oleh Hasan al-Banna di Mesir—, aku menduga pada pertengahan abad 20 miladi, hal ini berdasarkan penanggalan mereka dan kami tidak menggunakan penanggalan miladi, bagaimana Hasan al-Banna melahirkan jamaah ini, bagaiman membuat asasnya, dan mendakwahkannya?—.
Pertama: Dia membangun “Gedung (untuk) Pendekatan Antara Sunnah dengan Syiah” di Mesir, ia mengatakan: “bahwa markas-markas dan rumah-rumah Ikhwanul Muslimin selalu terbuka lebar bagi Syiah” dia pernah menjamu para dedengkot Rafidhah semisal Nawwaf Shafawy, dia (Hasan al-Banna) biasa berhubungan dengan mereka ketika haji serta berusaha membangkitkan simpati mereka dan bersikap lunak kepada mereka dengan perkataan-perkataan mereka, di antaranya: “Antara kami dan kalian tidaklah ada perselisihan, antara kami dengan kalian hanya ada beberapa perkara sepele yang mungkin untuk diselesaikan seperti Mut’ah”.
Lantas dimana caci maki dan pengkafiran mereka terhadap para sahabat nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam – kecuali hanya tiga atau sepuluh atau tujuh orang sahabat – ?, di manakah ucapan mereka bahwa al-Qur’an telah diselewengkan ? Mereka mempergunakan al-Qur’an yang diselewengkan sampai munculnya al-Mahdi al-Muntadhar (yang ditunggu-tunggu, pent).
Dimanakah tuduhan-tuduhan dusta mereka terhadap Aisyah radhiallahu ‘anha selaku Ummul Mukminin dan istri dari penghulu segenap makhluk Shallallahu ‘alaihi wasallam? Ini semua adalah ucapan-ucapan Rafidhah yang diabaikan oleh Hasan al-Banna dan ia tidak menganggapnya sebagai sesuatu, karena ia berupaya untuk menggabungkan, mengumpulkan sesuatu yang jelek dari sana sini, dan merangkulnya.[1]
Kedua: Ia telah mengatakan suatu perkataan yang pada hakekatnya adalah perkataan kekufuran – dan janganlah kalian menukilkan dariku bahwa aku mengkafirkan al-Banna -, akan tetapi ucapan tersebut merupakan kekufuran, ia (Hasan al-Banna) berkata: “Antara kita dengan Yahudi tidak ada pertikaian karena sentimen agama, namun yang ada hanyalah pertikaian karena faktor ekonomi, dan Allah memerintahkan kita untuk berkasih sayang serta berjabat tangan dengan mereka”, dan dia berdalil dengan ayat:
“Dan janganlah kalian mendebat ahli kitab melainkan dengan cara yang terbaik”.,
Inilah yang telah diriwayatkan oleh Mahmud Abdul Halim – ia merupakan orang-orang terdekatnya Hasan al-Banna – di dalam bukunya:
التاريخ صنعت أحداث الإخوان
{Ikhwanul Muslimin Sang Pengukir Sejarah}
Kemudian setelah itu, setiap orang yang berada di atas manhaj al-Banna dan manhaj Ikhwanul Muslimin dalam berdakwah selalu berdiri di atas kaidah ini. Dari kaidah inilah muncul seruan penyatuan agama-agama dan dialog lintas agama. Maka engkau tidak akan mendapati seorang Ikhwani tulen melainkan dia selalu berada di atas manhaj taqrib (pendekatan antar semua golongan) ini, dan orang-orang yang telah kita ketahui paling tulen dalam dakwah ini adalah: Hasan bin Abdullah at-Turaby as-Sudany dan Yusuf al-Qaradhawy al-Mishry,—. Dan aku memiliki bukti – bukti atas apa yang kunukilkan — bahwa Yusuf Al Qaradhawi menamakan kaidah ini dengan “Kaidah Emas”.
Ia menyebutkan alasan dakwah kepada penyatuan agama-agama ini adalah bahwa kehidupan akan menampung lebih dari satu kebudayaan, dan menampung pula lebih dari satu agama, bahkan satu agama dapat pula menampung lebih dari satu pandangan hidup.
Kaidah tersebut adalah kaidah karet —yakni agama yang sifatnya lentur dan menampung beberapa gagasan-gagasan yang dibangun oleh Al Qaradhawy dan orang-orang semisalnya, (dan) ini sama sekali bukan ajaran agama Islam yang telah dibawa oleh para rasul, semoga sholawat serta salam dilimpahkan atas mereka, yaitu: [Berserah diri kepada Allah dengan mentauhidkan-Nya, tunduk kepada-Nya dengan mentaati-Nya, dan berlepas diri dari segala bentuk kesyirikan serta para pelakunya].
Menurut Al Qaradhawy, Islam itu hanyalah sekedar seruan penyatuan dan penggabungan semua orang. Sehingga Rafidhah, Shufiyyah para penganut Wihdatul Wujud, Bathiniyyah, Hululiyyah, Quburiyyah, berdasarkan kaidah ini, mereka semua adalah orang-orang muslim yang sesungguhnya. Karena mereka itu bersepakat dengan ahli Islam dan ahli Sunnah pada perkataan: Laa ilaaha illallah, dan berbeda pendapat pada selain itu, jika demikian, masing-masing dapat berijtihad dan telah sampai kepada apa yang telah ditunaikan oleh ijtihadnya tersebut.
Yang saya maksud dari penjelasan bahwa Thariq As-Suwaidan selalu berpijak di atas kaidah ini dan inilah tabiat umum dari dakwahnya.
Adapun secara detailnya, antara lain:
Dia (Thariq Suwaidan, pent) menyebar luaskan perselisihan yang terjadi di kalangan para sahabat nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, padahal ini merupakan perkara yang telah disepakati oleh ijma’ untuk ditinggalkan, yakni diharamkan. Seseorang tidak diperbolehkan menyebar luaskan perselisihan yang terjadi di kalangan sahabat-sahabat nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebab dapat memunculkan di tengah-tengah kaum muslimin segala bentuk fitnah dan kecenderungan kepada perkara yang para sahabat nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam berlepas diri darinya.
Demikian juga ia bersandar kepada metode cerita, dan bukan metode yang berdiri di atas Al-Qur’an dan As-Sunnah. Bahkan laki-laki tersebut pada suatu kesempatan mengatakan di dalam kaset yang telah kusebutkan kepada kalian tadi, bahwa dia menyerukan Taqrib (pendekatan antar semua golongan) dan satu barisan serta menghargai perasaan (orang lain) selama dakwah dan tujuan mereka itu satu, — misalnya —:
“Janganlah kalian mencaci maki Abu Hurairah di hadapanku, tetapi caci makilah ia di rumah-rumah kalian”.
Ini adalah persetujuan darinya untuk mencaci maki para sahabat nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, dia hanya mengingkari kalau hal ini dilakukan secara mencolok dan terang-terangan, sebab dapat melukai perasaan serta merusak persatuan barisan dan tujuan. Dan barang kali ia mengatakannya pada waktu pemilu.
Inilah penjelasan ringkas tentang siapakah sebenarnya Suwaidan dan pijakannya! Semoga kalian semua mengetahui sebabnya, dan telah lama dikatakan:
Apabila sebab itu telah diketahui,
Maka gugurlah perasaan takjub.
(Dinukil dari buku: http://img458.imageshack.us/img458/6558/coverberdamai1og4.jpg
Terbitan Maktabah Al-Manshuroh, Ambon)
Footnote:
[1] Tentu anda sekalian masih ingat dengan pendiri Jum’iyyah Hizbiyyah Irsyadiyyah, orang yang dilambungkan gelarnya sebagai Syaikh Salafi yang di dalam kitabnya sendiri (yang dibangga-banggakan oleh para pengikut fanatiknya) ternyata menyerukan persatuan dengan Syi’ah, Khawarij Kilabun Naar, Khurafiyyun untuk masuk di dalam barisan dakwah Irsyadnya! http://img405.imageshack.us/img405/8567/abdurrahmanalkadzdzabps7.jpg
Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un (-ed.)