Penyimpangan Ihya’ Turots Bag.5 (Ihya’ Turots Boneka Abdurrahman Abdul Khaliq)

Penulis: Al Ustadz Abu Karimah Askari bin Jamal Al-Bugisi

Ihya’ Turots Boneka Abdurrahman Abdul Khaliq

Pada akhir pembahasan lalu, kami telah menjelaskan tentang ketidakpahaman serta kecerobohan Al-Akh Firanda dan yang bersamanya – waffaqonallahu wa iyyahum lima yuhibbu wa yardha – walaupun ia berusaha mentarjih permasalahan ini. Sayangnya ia seorang pentarjih yang kosong dari dalil, misalnya menganggap sebagian yang mentahdzir tidak termasuk jajaran ulama paling senior atau berdalil dengan naluri yang biasanya dilakukan oleh kaum shufiyyah dan yang lainnya. Juga kami membawakan tentang istilah fiqhul waqi’ yang dimaksudkan oleh para hizbiyyin semisal Abdurrahman Abdul Khaliq, mufti organisasi Ihya At Turats.

Maka pada edisi kali ini, kita akan menjelaskan perbedaan antara istilah “fiqhul waqi'” buatan kaum hizbi, dengan kaidah “yang memiliki ilmu adalah hujjah terhadap yang tidak memilikinya”, lalu kita akan menjelaskan pula beberapa penyimpangan Abdurrahman Abdul Khaliq dan pengaruhnya terhadap perpecahan yang ada di berbagai negara secara umum serta di Indonesia secara khusus. Maka dengan mengharapkan pertolongan dan taufiq dari Allah, saya mengatakan:

Definisi Fiqhul Waqi’ Menurut Para Ulama
Al-Allamah Al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah menjelaskan “fiqhul waqi’ menurut istilah mereka, dalam beberapa kaset dari “Silsilah Al-Huda wan-Nuur”, diantara fatwa beliau tersebut ada yang sudah ditranskrip. Diantaranya yang ditranskrip oleh Syaikh Ali Hasan Al-Halabi hafidzahullah Ta’ala dengan judul “Su’al wa jawab haula fiqhil waqi'” (Tanya jawab seputar fiqhul waqi’), yang dari penjelasan tersebut ada beberapa kesimpulan penting terkait dengan fiqhul waqi’ tersebut sebagai berikut :
1. Istilah Fiqhul Waqi’ adalah nama yang mereka ada-adakan.
2. Bila ilmu ini dipahami berdasarkan tinjauan syari’at, maka keadaannya sama dengan kaidah yang masyhur di kalangan para ulama yang berbunyi “menghukumi sesuatu merupakan bagian dari penggambarannya” (الحكم على الشيء فرع عن تصوره), dan itu dapat dilakukan dengan mengetahui realitanya. Maka fiqhul waqi’ yang benar adalah mengetahui keadaan kaum muslimin atau makar dari musuh-musuhnya untuk memberi peringatan darinya, bukan sekedar teori semata, namun hendaknya berbentuk realita.
3. Sebagian para pemuda Islam terbagi dua dalam menyikapi “fiqhul waqi’”, ada yang berlebih-lebihan yang mengangkat ilmu ini di atas kedudukan yang semestinya serta menghendaki agar setiap ‘alim harus mengetahui fiqhul waqi’ menurut versi mereka. Sebaliknya ada pula yang mengesankan bahwa orang yang lebih mengerti realita yang terjadi di dunia, maka dia adalah orang yang faqih (paham) terhadap Al-Kitab dan As-Sunnah dan Manhaj Salaf. Padahal hal tersebut tidak mesti demikian.
4. Tidak mungkin ada orang sempurna yang dapat mengetahui semua realita yang terjadi, sehingga yang wajib adalah bekerja-sama antara mereka yang mengerti realita, lantas mereka menerangkan gambarannya kepada ulama dan para mufti, lalu para ulama’-lah yang menjelaskannya dari sisi hukum syar’i yang dibangun di atas dalil yang shahih.
5. Adapun mendudukkan orang yang mengerti realita tersebut sebagai ‘alim dan mufti, hanya karena dia mengerti tentang “fiqhul waqi’”, maka tidak terdapat sisi pembenaran sama sekali, yang dengan ucapannya dapat membantah fatwa para ulama, dan membatalkan ijtihad dan hukum yang mereka tetapkan.
6. Berlebihan dalam mementingkan urusan “fiqhul waqi'” sehingga menjadikannya sebagai manhaj bagi para da’i dan para pemuda, lalu mereka mendidik dan terdidik dengannya serta menyangka bahwa itu merupakan jalan keselamatan: adalah kesalahan fatal dan kekeliruan yang jelas.
7. Penyakit yang menimpa kaum muslimin pada hari ini bukan disebabkan kejahilan mereka terhadap ilmu yang disebut “fiqhul waqi'” ini, namun sebabnya adalah karena mereka mengacuhkan dalam pengamalan hukum-hukum agama, berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah.
8. Terlalu mementingkan fiqhul waqi’ yang hukumnya fardhu kifayah (dengan tinjauan syar’i) dan kurang mementingkan urusan yang lebih penting yang hukumnya fardhu ‘ain, yaitu mempelajari Al-Qur’an dan As Sunnah: adalah menelantarkan dan mengabaikan apa yang menjadi kewajiban bagi setiap individu umat Islam.
9. Wajib untuk bersikap “pertengahan” dalam mengajak kaum muslimin untuk mengenal “fiqhul waqi’” dan tidak menenggelamkan mereka untuk menyibukkan diri dalam mengetahui berbagai berita politik, berbagai analisa dari para pemikir Barat. Namun yang wajib adalah selalu menyuarakan seputar pentingnya memurnikan Islam dari berbagai noda, dan mendidik kaum muslimin agar berada di atas Islam yang jernih dan murni.
10. Adapun mencela sebagian ulama dan penuntut ilmu dan menuduh mereka tidak mengerti fiqhul waqi’ dan menuduh mereka dengan sesuatu yang memalukan untuk disebutkan adalah kesalahan dan kekeliruan yang jelas.

Inilah sepuluh poin yang dapat saya simpulkan dari apa yang disebutkan oleh beliau rahimahullah Ta’ala. (selengkapnya silahkan merujuk langsung ke risalah tersebut).

Demikian pula Syaikhuna Al-Allamah Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i rahimahullah Ta’ala menyebutkan fiqhul waqi’ model hizbiyyun, setelah beliau menjelaskan fiqhul waqi’ yang syar’i adalah memahami Al-Qur’anul Karim dan Sunnah Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam. Lalu beliau berkata:

وقد ظن بعض المغفلين أن فقه الواقع أن تعرف كم شوارع باريس، وكم شوارع القاهرة، وكم شوارع أمريكا، وإذا لم تعرف الجغرافيا فما عرفت فقه الواقع.
فاعلم الناس بفقه الواقع هم أهل السنة وعلى رأسهم الشيخ ابن باز والشيخ الألباني – حفظهما الله -.
فأما فقه الواقع أن نصرف شبابنا إلى قراءة الجرائد والمحلات، وإلى استماع الإذاعات – ولسنا نحرم على الناس شيئًا أحله الله لهم – لكن أن نصرف الشباب الذين يصلحون لطلب العلم، نصرفهم إلى التمثيليات ، فالذي لا يمثل ما عرف الواقع، والذي ما عرف النشيد ما عرف الواقع، والذي ما عرف أن البشير هذا أحسن حكام المسلمين ما فقه الواقع، والذي لا يعرف أن الخميني إمام المسلمين ما فقه الواقع، والذي ما يعرف أن ضياء الحق كان رجلاً إصلاحيًا ما فقه الواقع، وضياء الحق هذا كان إسلاميًا بالقول، وأمريكيًا بالفعل – ولست أكفره –
“Sebagian orang-orang yang lalai menyangka bahwa fiqhul waqi’ adalah engkau mengetahui berapa banyak jalan yang ada di kota Paris, berapa banyak jalan di Kairo. Jika engkau tidak mengetahui Geografi, maka engkau tidak tahu mengerti fiqhul waqi’. Maka manusia yang mengerti tentang fiqhul waqi’ (berdasarkan tinjauan syar’i, pen) adalah Syaikh Bin Baaz dan Syaikh Al-Albani hafidzahumallah (rahimahumallah, pen). Adapun fiqhul waqi’ yang maksudnya agar kami memalingkan para pemuda agar membaca koran-koran dan majalah-majalah, dan mendengarkan berbagai siaran radio –walaupun kami tidak mengharamkan sesuatu kepada manusia apa yang dihalalkan oleh Allah untuk mereka- . Akan tetapi kami memalingkan para pemuda yang punya kemampuan untuk menuntut ilmu, kami memalingkan darinya untuk memeriahkan acara teater, (kami memalingkan dari pendapat) yang tidak mengikuti acara teater berarti dia tidak mengerti fiqhul waqi’, yang tidak mengenal nasyid berarti dia tidak mengetahui fiqhul waqi’, yang tidak mengetahui bahwa Basyir (Sudan – pen) adalah pemerintah muslimin yang paling baik, yang tidak mengetahui bahwa Khomeini adalah imamnya kaum muslimin, maka dia tidak mengerti fiqhul waqi’, yang tidak mengetahui bahwa Dhiya’ Al-Haq adalah seorang yang melakukan perbaikan, maka dia tidak mengerti fiqhul waqi’ – dan Dhiya’ul Haq ucapannya menunjukkan Islam, namun perbuatannya menunjukkan dia seperti orang Amerika dan saya tidak mengafirkannya-. (Dikutip dari kitab Fadhaih wa Nasha’ih: 109).

Berkata pula Syaikh Al-Fauzan hafidzahullah Ta’ala:
قال العلامة الفوزان رحمه الله تعالى:
( وأما الاشتغال بواقع العصر كما يقولون أو “فقه الواقع” فهذا إنما يكون بعد العلم الشرعي, إذ الإنسان بالفقه الشرعي ينظر إلى واقع العصر.وما يدور في العالم, وما يأتي من أفكار ومن آراء, ويعرشها على العلم الشرعي الصحيح ليميز خيرها من شرها , وبدون العلم الشرعي فإنه لا يميز الحق والباطل والهدى والضلال, فالذي يشتغل بادئ ذي بدء بالأمور الثقافية والأمور الصحافية والأمور السياسية وليس عنده بصيرة من دينه, فإنه يضل بهذه الأمور, لأن أكثر ما يدور فيها ضلال ودعاية للباطل, وزخرف من القول وغرور, نسأل الله العافية والسلامة.
(الأجوبة المفيدة عن الأسئلة المناهج الجديدة: 99)

“Adapun menyibukkan diri dengan realita di masa kini, seperti yang mereka katakan “fiqhul waqi’”, maka ini hendaknya bisa (dipelajari) setelah (mempelajari) ilmu syar’i. Sebab seseorang dengan fiqih yang syar’i dapat melihat kondisi masa kini dan apa yang terjadi di alam ini, juga apa yang muncul dari berbagai pemikiran dan pendapat dibangun di atas ilmu syar’i yang benar, agar dapat membedakan antara yang baik dan yang buruk. Akan tetapi tanpa ilmu syar’i, maka tidak mungkin dapat dibedakan antara yang haq dan yang batil, dan antara petunjuk dan kesesatan. Maka orang yang awal pijakannya dengan menyibukkan diri dengan pengetahuan umum, urusan berita koran, perkara politik, sementara ia tidak memiliki ilmu dalam agamanya, maka dia akan menjadi sesat dengan perkara-perkara ini. Sebab kebanyakan apa yang terdapat padanya adalah kesesatan dan propaganda terhadap kebatilan, dan ucapan yang ‘manis’ tapi menipu, kami memohon kepada Allah pemeliharaan dan keselamatan. (Dikutip dari kitab Al-Ajwibah al-Mufidah : 99).

Saya kira apa yang saya nukilkan dari keterangan para Ulama tentang istilah “fiqhul waqi” yang diinginkan oleh hizbiyyun cukup jelas, yang intinya adalah tujuan mereka dalam menggembar-gemborkan fiqih buatan hizbiyyun ini adalah:
– Hendak menjauhkan para pemuda Islam dari mempelajari Al-Qur’an dan As-Sunnah, dan menyibukkan diri dengan berita koran dan majalah, dan yang semisalnya.
– Menjadikan “fiqhul waqi’” sebagai jembatan untuk merendahkan kedudukan para ulama, sehingga umat tidak lagi menjadikan mereka sebagai panutan dan tempat mengembalikan berbagai problem yang sedang mereka alami.Sehingga pada saat mereka berfatwa dalam suatu permasalahan, terkhusus masalah yang bersifat kontemporer, maka dengan serta-merta mereka menjawab : “Ulama itu bidangnya hanya dalam masalah haid dan nifas saja”, atau “dia-kan bukan ulama mujahid…”, atau yang semisalnya.
– Menjauhkan para pemuda Islam dari manhaj Salafus Shalih yang lebih mengutamakan urusan “At-Tashfiyah wat-Tarbiyah” [1]
– Menjadikan fiqih ini sebagai jembatan untuk melegitimasi sebagian apa-apa yang diharamkan Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya Shallallahu alaihi wasallam.

Maka hal ini telah jelas, sungguh sangat jauh berbeda dengan kaidah yang masyhur di kalangan para ulama, “menghukumi sesuatu adalah cabang dari penggambarannya”, juga kaidah, “yang mengetahui suatu ilmu adalah hujjah terhadap yang tidak mengetahuinya.” Sebab bukanlah diantara persyaratan sebagai seorang mujtahid atau mufti adalah mengetahui segala sesutu yang terjadi di dunia, atau dengan ungkapan lain, harus mengetahui sesuatu yang “sangat terkenal kiprahnya dan diketahui oleh banyak orang”. Jangankan seperti Syaikh Bin Baaz, atau Ibnu Utsaimin, atau yang lainnya dari kalangan para ulama –rahimahumullah-, bahkan setingkat Nabi Sulaiman ‘alaihis salaam sekalipun – yang memiliki kerajaan yang luas yang meliputi jin, manusia dan hewan-, sebagaimana yang Allah Ta’ala firmankan:

وَوَرِثَ سُلَيْمَانُ دَاوُودَ وَقَالَ يَا أَيُّهَا النَّاسُ عُلِّمْنَا مَنطِقَ الطَّيْرِ وَأُوتِينَا مِن كُلِّ شَيْءٍ إِنَّ هَذَا لَهُوَ الْفَضْلُ الْمُبِينُ وَحُشِرَ لِسُلَيْمَانَ جُنُودُهُ مِنَ الْجِنِّ وَالْإِنسِ وَالطَّيْرِ فَهُمْ يُوزَعُونَ
“Dan Sulaiman telah mewarisi Daud dan dia berkata: “Hai manusia, kami telah diberi pengertian tentang suara burung dan kami diberi segala sesuatu. Sesungguhnya (semua) ini benar-benar suatu kurnia yang nyata”. Dan dihimpunkan untuk Sulaiman tentaranya dari jin, manusia dan burung lalu mereka itu diatur dengan tertib (dalam barisan). (QS.An-Naml:16-17)

Namun kerajaan yang demikian luas yang beliau miliki, ternyata beliau tidak mengetahui sebuah kerajaan yang “sangat terkenal kiprahnya dan diketahui banyak orang”, sementara seekor burung Hud-hud yang kecil, yang tentunya jauh lebih rendah kedudukannya dibanding Nabi Sulaiman Alaihis salaam, justru memiliki “fiqhul waqi'” tentang kerajaan tersebut. Allah Ta’ala mengkisahkan tentang percakapan antara Nabi Sulaiman dengan burung dalam firman-Nya:

وَتَفَقَّدَ الطَّيْرَ فَقَالَ مَا لِيَ لَا أَرَى الْهُدْهُدَ أَمْ كَانَ مِنَ الْغَائِبِينَ لَأُعَذِّبَنَّهُ عَذَابًا شَدِيدًا أَوْ لَأَذْبَحَنَّهُ أَوْ لَيَأْتِيَنِّي بِسُلْطَانٍ مُّبِين ٍفَمَكَثَ غَيْرَ بَعِيدٍ فَقَالَ أَحَطتُ بِمَا لَمْ تُحِطْ بِهِ وَجِئْتُكَ مِن سَبَإٍ بِنَبَإٍ يَقِينٍ إِنِّي وَجَدتُّ امْرَأَةً تَمْلِكُهُمْ وَأُوتِيَتْ مِن كُلِّ شَيْءٍ وَلَهَا عَرْشٌ عَظِيمٌ وَجَدتُّهَا وَقَوْمَهَا يَسْجُدُونَ لِلشَّمْسِ مِن دُونِ اللَّهِ وَزَيَّنَ لَهُمُ الشَّيْطَانُ أَعْمَالَهُمْ فَصَدَّهُمْ عَنِ السَّبِيلِ فَهُمْ لَا يَهْتَدُونَ أَلَّا يَسْجُدُوا لِلَّهِ الَّذِي يُخْرِجُ الْخَبْءَ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَيَعْلَمُ مَا تُخْفُونَ وَمَا تُعْلِنُونَ اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ رَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيمِ قَالَ سَنَنظُرُ أَصَدَقْتَ أَمْ كُنتَ مِنَ الْكَاذِبِينَ
“Dan dia memeriksa burung-burung lalu berkata: “Mengapa aku tidak melihat Hud-hud, apakah dia termasuk yang tidak hadir. Sungguh aku benar-benar akan mengazabnya dengan azab yang keras atau benar-benar menyembelihnya kecuali jika benar-benar dia datang kepadaku dengan alasan yang terang”. Maka tidak lama kemudian (datanglah Hud-hud), lalu ia berkata: “Aku telah mengetahui sesuatu yang kamu belum mengetahuinya; dan kubawa kepadamu dari negeri Saba’ suatu berita penting yang diyakini. Sesungguhnya aku menjumpai seorang wanita yang memerintah mereka, dan dia dianugerahi segala sesuatu serta mempunyai singgasana yang besar. Aku mendapati dia dan kaumnya menyembah matahari, selain Allah; dan syaitan telah menjadikan mereka memandang indah perbuatan-perbuatan mereka lalu menghalangi mereka dari jalan (Allah), sehingga mereka tidak dapat petunjuk, agar mereka tidak menyembah Allah yang mengeluarkan apa yang terpendam di langit dan di bumi dan yang mengetahui apa yang kamu sembunyikan dan apa yang kamu nyatakan. Allah, tiada Tuhan yang disembah kecuali Dia, Tuhan yang mempunyai ‘Arsy yang besar”. Berkata Sulaiman: “Akan kami lihat, apa kamu benar, ataukah kamu termasuk orang-orang yang berdusta. (QS. An-Naml:20-27)

Adapun yang menunjukkan bahwa Nabi Sulaiman tidak mengetahui kerajaan tersebut dari dua perkara:
Pertama: ucapan Hud-hud, “Aku telah mengetahui sesuatu yang kamu belum mengetahuinya”.
Kedua: Nabi Sulaiman ‘alaihis salam yang ingin membuktikan kebenaran apa yang diucapkan Hud-hud.
Padahal bukankah ia punya sebuah kerajaan, yang tentunya sangat terkenal kiprahnya dan diketahui banyak orang ? Apakah ayat ini tidak cukup bukti bagi orang-orang yang mau berfikir, dan tidak mengekang dirinya dengan sikap ta’ashub dan fanatik buta tanpa hujjah?

Bila hal ini telah jelas, maka butuh adanya kerjasama (ta’awun) antara mustafti (yang meminta fatwa, atau yang bertanya) dengan mufti (yang berfatwa), kewajiban bagi mustafti adalah menjelaskan dari berbagai sisi gambaran permasalahan yang akan ditanyakan- baik positif dan maupun negatif – sehingga sesuatu yang ditanya tersebut dapat tergambar dengan jelas bagi seorang mufti. Sebab penggambaran yang keliru dapat menyebabkan fatwa yang keliru, bukan berasal dari keteledoran seorang mujtahid dalam menjawab, namun disebabkan kesalahan atau rekayasa si penanya dalam menggambarkan kondisi yang sebenarnya.

Dengan demikian, apa yang diucapkan oleh Al-Akh Firanda, “Ini mirip dengan cara hizbiyyin dalam menolak fatwa-fatwa para ulama kibar, yaitu dengan tuduhan bahwa mereka tidak mengerti fiqhul waqi’, sehingga fatwa mereka mentah, tidak sesuai dengan kenyataan yang ada”, ini adalah kesalahan dan kecerobohan yang sangat fatal.

Pengaruh “fiqhul waqi’” terhadap mufti Organisasi Ihya At Turats, Abdurrahman Abdul Khaliq

Abdurrahman Abdul Khaliq, mufti organisasi Ihya At Turots yang sangat membanggakan “fiqhul waqi’”-nya, yang menyebabkan ia melecehkan para ulama Ahlus Sunnah wal-jama’ah, bahkan melecehkan sebagian para masyaikh dari guru-gurunya yang pernah mengajarnya sewaktu dia masih belajar di Jami’ah Islamiyyah. Ia berkata: [2]
“Sepantasnya kita memahami bahwa muslim yang hakiki adalah yang hidup dengan keyakinannya dan hidup di masanya, bukan hidup di luar jamannya. Orang yang hidup di luar jamannya – dan hidup hanya dengan pemikiran dan penanya – adalah orang muslim. Namun dengan kondisi yang ada dan dakwahnya, dia bukan muslim. Ini adalah sesuatu yang tidak diridhai.” (Jama’ah Wahidah, karya syaikh Rabi’ :33)
Ia juga mengatakan : “Sesungguhnya kami menghendaki ulama yang setingkat masa kini, ilmunya, pengetahuannya, adabnya, akhlaqnya, keberaniannya, perjuangannya, memahami berbagai makar dan tipu- daya terhadap Islam. Dan kami tidak menginginkan adanya antrian dari para ulama yang dikekang yang hidup dengan jasadnya di masa kini, namun ia hidup dengan akal dan fatwanya bukan pada jaman kita……..”.
Lalu ia melanjutkan:
“…agar ucapanku yang terdahulu tidak dipahami sebagaimana mestinya, maka saya akan memberi contoh nyata yang saya saksikan sendiri – dan itu bukan contoh satu-satunya bagiku-. Dahulu ada seorang alim yang mulia yang pernah mengajari kami tafsir dan ushul fiqih [3]. Benar-benar dia adalah seorang alim, dia tidak menyebut satu ayat dari Kitabullah hingga ia menjelaskan pertama kali adalah lafadz-lafadznya ditinjau dari bahasa, dengan mengambil dukungan puluhan bait-bait sya’ir hanya untuk satu lafadz. Lantas ia menjelaskan pengertian kata-katanya, kemudian maknanya secara umum, kemudian penafsiran Salaf terhadapnya, dengan berdalil dengan hadits-hadits dan atsar. Kemudian apa yang diambil dari faedah berupa hukum-hukum fiqih, lalu apa yang bisa dikeluarkan darinya berupa kaidah-kaidah ushul, kemudian ia menjelaskan apa yang serupa dengannya dari ayat-ayat yang lain dalam Kitabullah. Ia menyebut semua itu dalam keadaan engkau terkagum melihat keluasan ilmu dan penelitiannya. Namun orang ini tidaklah sesuai sedikitpun dengan level jamannya, Dia tidak mampu menjangkau syubhat yang dimunculkan seorang musuh – dari musuh-musuh Allah- dan bahkan tidak punya kesiapan sama sekali untuk mendengar syubhat ini. Dan dia menyerang hakekat ilmu alam, dia menuduh orang-orang yang membolehkan pendaratan di bulan dengan kekufuran dan zindiqi [4].”
Lalu ia berkata: “Adalah orang ini – yang mataku tidak pernah melihat orang yang paling berilmu terhadap Kitabullah darinya- , ia bagaikan perpustakaan berjalan, namun cetakan lama yang membutuhkan adanya koreksi dan revisi. Ini sekedar contoh, dan ada pula yang selain dia [5] mengajar puluhan mata pelajaran dalam ilmu syari’at dengan level ini, namun bodoh terhadap kehidupan dan berilmu tentang agama.” (Jama’ah Wahidah, Syaikh Rabi’:49-51. Syaikh Nashir Al-Faqihi tatkala memberi kata sambutan terhadap kitab Syaikh Rabi’ dalam muqaddimah kitabnya: An-Nashr Al-Aziz, beliau pun menukil kembali ucapan Abdurrahman Abdul Khaliq yang saya sebutkan di atas, yang menunjukkan kebenaran penukilan ucapan tersebut dari Abdurrahman Abdul Khaliq)
Dan dia juga mengatakan:
“Para ulama kami yang mulia – mereka tidak mengetahui sedikitpun tentang organisasi-organisasi rahasia milik musuh-musuh (Islam), dan mereka tidak tahu banyak tentang gerakan dan taktik mereka. Mereka tidaklah mempelajari syubhat musuh-musuh dan makar mereka, mereka sama sekali tidaklah pantas untuk membantah makar musuh-musuh mereka. Bahkan mereka tidak mampu membebaskan para pemuda umat ini dari kerusakan, kekufuran yang dimurkai ini.”
(Khutut Ra’isiyyah, dikutip dari kitab Jama’ah Wahidah: 53).

Ini adalah sebagian kecil dari penukilan ucapan Abdurrahman Abdul Khaliq tentang fiqhul waqi’, barangsiapa yang ingin melengkapi pengetahuannya, silahkan merujuk Kitab “Jama’ah Wahidah” dan kitab “An-Nashr Al-Aziz” yang keduanya ditulis oleh Syaikh Rabi’ hafidzahullah Ta’ala. [6]
Saya tidak ingin menyebutkan bantahan terhadap ucapan ini, namun saya hanya menukilnya untuk diketahui oleh para pembaca, bahwa Abdurrahman Abdul Khaliq adalah salah satu dari “faqih al-waqi'” yang merendahkan kedudukan para ulama Ahlus Sunnah wal jama’ah. Namun yang saya ingin sampaikan bahwa pemikiran ini merupakan salah satu diantara sekian penyimpangan yang dimiliki tokoh-tokoh Ikhwanul Muslimin [7], dari merekalah pemikiran ini berasal. Hal ini dijelaskan oleh Syaikh Shalih Alus Syaikh hafidzahullah Ta’ala, beliau menyatakan tatkala menjelaskan tentang pemahaman yang benar dalam menyikapi “fiqhul waqi’”:
“…oleh karena itu kami mengatakan, bahwa sesungguhnya keadaan politik dapat diketahui. Adapun mendalaminya, maka ini sangatlah sulit menjangkaunya, sampai para politikus sendiri mereka tidak mengetahui hakikatnya. Kita mungkin mendalami dari kondisi politik dengan apa yang Allah Jalla wa ‘Alaa memberikan kepada kita fiqihnya , berupa prinsip-prinsip yang kokoh dalam menjelaskan hubungan antara seorang mukmin dengan musuh-musuhnya. Ini adalah pokok-pokok yang tetap, kita memahaminya dengan baik, seperti mengenal musuh-musuh kaum muslimin. Allah Ta’ala berfirman:
وَاللهُ أَعْلَمُ بِأَعْدَائِكُمْ وَكَفَى بِاللهِ وَلِيًّا وَكَفَى بِاللهِ نَصِيرًا?[النساء:45]
“Dan Allah lebih mengetahui (dari pada kamu) tentang musuh-musuhmu. dan cukuplah Allah menjadi pelindung (bagimu). Dan cukuplah Allah menjadi penolong (bagimu).” (QS.An-Nisaa:45)
Allah Jalla wa ‘Alaa menjelaskan kepada kita bahwa kaum musyrikin seluruhnya sebagai musuh bagi kita, bahwa Yahudi itu adalah musuh bagi kita, Nashara adalah musuh bagi kita, orang-orang munafik adalah musuh bagi kita. Hal ini adalah prinsip yang umum, memahaminya adalah dengan memahami al-Kitab dan Sunnah, dan tidak ada lagi fiqih tambahan. Maka seorang mukmin mengambil sikap kehati-hatiannya dengan fiqih yang diambil dari Al-Kitab dan As-Sunnah, sebab fiqih yang khusus ini yang disebut fiqhul waqi’ tidak dapat dijangkau oleh ilmu tersebut –dan ia bukan fiqih-, tidak dijangkau kecuali orang yang sangat khusus sekali.
Sedangkan suatu hal yang dimaklumi bahwa diantara kaidah syariat yang ditetapkan oleh Asy-Syathibi dan yang lainnya dalam kitabnya “Al-Muwafaqaat”, dan dinyatakan pula oleh yang lainnya bahwa syariat Islam adalah syariat yang ummiyyah, yaitu dalam penetapan syariatnya dan apa yang dituntut oleh syariat dari para penganutnya adalah melihat keadaan mayoritas mereka, yaitu mereka yang ummi (tidak dapat membaca dan menulis, pen). Dan apabila hukum-hukum dibangun di atas sesuatu yang tidak ada yang dapat menjangkaunya kecuali ‘orang yang khusus’, maka ini merupakan celaan terhadap syariat. Sebab hukum-hukum yang dibutuhkan manusia seluruhnya tidak dibangun di atas pengetahuan ‘orang-orang khusus’ dan hal yang dimaklumi bahwa sikap muslim atas musuh-musuhnya diperlukan oleh setiap orang. Oleh karenanya Allah Jalla wa ‘Alaa menjelaskannya dalam al-Qur’an dengan sangat terperinci.
Sesungguhnya kadar yang wajib dari (ilmu) tersebut –yang dinamakan fiqhul waqi’ as-siyasi (memahami kondisi politik)- kadar yang wajib – yang diwajibkan kepada setiap muslim agar mengetahui dari kondisi tersebut- : kondisi yang Allah kabarkan dalam kitab-Nya atau yang dikabarkan oleh Nabi shallallahu alaihi wasallam dalam Sunnahnya. Namun apa yang lebih dari itu, ada kalanya termasuk dalam fardhu kifayah, dan ada kalanya termasuk diantara perkara yang disukai, dan terkadang tidak terpuji dalam sebagian keadaan, apabila menyebabkan dia menyia-nyiakan pokok-pokok syari’at , sebab permasalahan ini banyak terjadi.
“Orang yang pertama yang menyebutkannya –sepengetahuan saya- di masa ini adalah Sayyid Quthb dalam tafsirnya “Fi Dzilalil Qur’an” dalam surat Yusuf –menurut persangkaanku dan mungkin saja aku lupa [8] – ketika menjelaskan firman Allah Ta’ala :
قَالَ اجْعَلْنِي عَلَى خَزَآئِنِ الأَرْضِ إِنِّي حَفِيظٌ عَلِيمٌ
“Berkata Yusuf: “Jadikanlah Aku bendaharawan negara (Mesir); Sesungguhnya Aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan”. (QS.Yusuf:55)
Dia (Sayyid Quthb) membagi fiqih menjadi dua bagian:
-Fiqhul Auraq (fiqih kertas)
-Fiqhul Harakah (fiqih pergerakan)
Dan dia mengatakan : “Sesungguhnya fiqih pergerakan dibangun di atas fiqhul waqi’, dan haruslah bagi pergerakan –yaitu jama’ah Islamiyyah yang terorganisir- agar mementingkan fiqhul waqi’, sebab pergerakan dibangun di atas pengetahuannya terhadap fiqhul waqi’”. Dia lebih mementingkan fiqhul waqi’ di atas apa yang dinamakan fiqih kertas, sebab fiqih kertas –yaitu memahami al-Qur’an dan As-Sunnah- hanyalah dibutuhkan jika daulah Islamiyyah telah ditegakkan. Adapun jika daulah Islamiyyah belum tegak, atau jama’ah Islam tidak memiliki kekuatan politik yang dapat menegakkan hukum, lalu bagaimana mungkin akan diperhatikan ‘fiqih kertas’ tersebut sebelum tegaknya (daulah Islamiyah), sehingga mementingkan ‘fiqih kertas’ dalam kekosongan –menurut ungkapannya- dalam keadaan kosong, tidak dapat diterapkan pada kondisi tertentu. Lalu diapun memusatkan pembicaraannya seputar fiqhul waqi’. Ini yang saya ketahui, dia yang pertama menyebarkannya dan menyebutkannya, dan fiqhul waqi’ hanyalah masyhur pada masa-masa 30 tahun terakhir , lalu menyebar di kalangan para da’i dan pemuda.”
(Transkrip salah satu ceramah beliau yang berjudul: “Pemahaman yang benar tentang fiqhul waqi’”, dari program/barnamij Maktabah Shalih Alus Syaikh “Ruhul Islam”, transkrip Al-Akh Salim Al-Jazairi).
Sayyid Quthb juga mengatakan dalam kitabnya “Limadza A’damuni” (48-49):
“…aku telah membebankan kepada mereka agar mengkhususkan diantara mereka orang-orang yang mereka pilih sebelumnya, mereka yang meneliti koran-koran dunia dan berita-berita dunia dan jika memungkinkan kitab-kitab yang diterbitkan dalam dua bahasa: Inggris dan Perancis serta memiliki semangat Islam dan mantiq Islami.”

Syaikh Rabi’ tatkala menukilkan ucapan Sayyid ini mengatakan: “Ini awal pijakan dari apa yang mereka namakan “fiqhul waqi'”, yang telah melalaikan banyak dari para pemuda untuk mementingkan ilmu syar’i, serta menanamkan dalam jiwa mereka sikap merendahkan ulama dan memalingkan para pemuda dari mereka. Bahwa dengan hawa nafsu mereka (hizbiyyun) memunculkan berbagai tuduhan dan hukum bahwa mereka (ulama) adalah “antek-antek” dan “mata-mata” , “ulama haid dan nifas” dan ” mereka antrian (terbelakang) dari orang –orang yang dikekang (masa lalu) dan ilmu mereka hanya kulitnya saja”. Dan Sayyiq Quthb telah menjadi contoh dalam mencela para ulama dan mencerca mereka, ilmu dan kitab-kitab mereka. (Dikutip dari kitab Yanbu’ al-Fitan:6, karya Syaikh Rabi’, ta’liq atas perkataan Sayyid Quthb rahimahullah).

Dari apa yang kita paparkan sangat nampak sekali pengaruh dakwah Ikhwanul Muslimin yang bercokol pada diri Abdurrahman Abdul Khaliq, sehingga sampai kepada tingkat merendahkan kedudukan para ulama Ahlus Sunnah wal-Jama’ah dan memberinya gelar-gelar yang buruk. Berkata At-Thahawi rahimahullah dalam aqidahnya:
” وعلماء السلف من السابقين، ومن بعدهم من التابعين –أهل الخير والأثر، وأهل الفقه والنظر- لا يذكرون إلا بالجميل، ومن ذكرهم بسوء فهو على غير السبيل
“Ulama Salaf yang terdahulu, dan yang setelahnya – dari yang mengikuti mereka –dalam kebaikan dan mengikuti atsar, ahli fiqih dan berpandangan- mereka tidak disebut kecuali dengan kebaikan, barangsiapa yang menyebut mereka dengan keburukan, maka dia bukan di atas jalan (yang benar).”

Sebenarnya dengan apa yang telah kami sebutkan, sudah cukup untuk menjelaskan tentang keadaan Abdurrahman Abdul Khaliq dari sisi manhaj yang dimilikinya. Demikian besar pengaruh manhaj Al-Ikhwanul Muslimun terhadap dakwah yang sedang dijalankan olehnya. Sehingga sangat wajarlah kalau Al-Akh Firanda memasukkannya dalam daftar “para hizbiyyin” yang dia sebutkan sebelumnya.
Para pembaca yang budiman – semoga Allah senantiasa merahmati kita semua- , untuk melengkapi data bagi para pembaca –disamping kesalahan yang telah kami sebutkan yakni bersikap berlebih-lebihan dalam menyikapi fiqhul waqi’, mencela ulama, bahkan gurunya sendiri, – yang ingin mengetahui lebih jauh tentang penyimpangan tokoh penting dalam organisasi Ihya At-Turats ini, maka kami akan meringkasnya dalam poin-poin berikut:
– Menganggap bahwa diantara metode dakwah Nabi shallallahu alaihi wasallam adalah berdemonstrasi
– Menganggap bahwa kondisi kaum muslimin yang terpecah-pecah menjadi berkelompok-kelompok dan berjama’ah adalah fenomena yang sehat
– Membolehkan masuk ke dalam parlemen, bahkan menulisnya dalam kitab khusus dengan judul “Masyru’iyyah ad-Dukhul ilaa al-Majalis at-Tasyri’iyyah” (di Kuwait dan Bahrain ada parpol dengan nama Salafi, red)
– Membagi syari’at Islam menjadi dua bagian yakni kulit dan isi. Dan Abdurahman Abdul Khaliq mengatakan : “Sayang sekali, kita memiliki para Syaikh yang memahami kulit-kulit Islam, pada tingkatan masa-masa lalu yang telah mengalami perubahan dalam aturan kehidupan manusia dan metode mu’amalah mereka.”
– Menuduh salafiyyin yang membantah ahlul bid’ah sebagai orang yang bermanhaj Khawarij yang memberontak terhadap Utsman radhiyallahu ‘anhu dan membunuhnya
– Menguatkan manhaj muwazanah, dalam menyebutkan kebaikan dan keburukan ahlul bid’ah.
– Ia dengan organisasinya telah membentuk hizbiyyah tanpa memperhatikan masalah tashfiyah dan tarbiyah.
– Ia dengan organisasinya telah menempuh cara Al-Ikhwanul Muslimun dalam berdakwah lewat politik. Syaikh Al-Albani rahimahullah berkata tentangnya : “Politik telah merubahnya…”
Menganggap boleh melakukan sebagian perkara haram untuk mencapai tujuan. Ia berkata dalam kitabnya “Al-Muslimun wal ‘Amal as-Siyasi”, hal:56: “Seorang muslim tidaklah mungkin menangani perdagangan, pertanian, keterampilan dan amalan apapun, kecuali dengan melakukan sebagian perkara – yang haram – yang telah ditetapkan oleh kondisi yang menyimpang dari agama.”

Dan masih banyak lagi yang lainnya, yang akan kita sebutkan pada edisi selanjutnya, insya Allah Ta’ala.
Untuk mengetahui semua apa yang kami sebutkan, silahkan merujuk ke referensi berikut:
– Jama’ah Wahidah laa Jamaa’aat, tulisan Syaikh Rabi’
– Mulahadzoot ‘alaa Ba’dhi Kutub As-Syaikh Abdurrahman Abdul Khaliq, tulisan Syaikh Bin Baaz rahimahullah, terdapat dalam fatawa Ibnu Baaz: 8/240-245
– An-Nashr Al-Aziz, tulisan Syaikh Rabi’ hafidzahullah, dengan kata sambutan dari Syaikh Ahmad An-Najmi hafidzahullah
– Fatawa Al-Albani dari kaset Silsilah Al-Huda wan-Nuur:200, dari program Ahlul Hadits wal Atsar
– Fatawa Al-Albani dari kaset Silsilah Al-Huda wan-Nuur: no: 700, dari program Ahlul Hadits wal Atsar.

Jika ada yang mengatakan : “Kami sudah tahu tentang penyimpangan Abdurrahman Abdul Khaliq, namun apa hubungan antara kesalahan-kesalahan Abdurrahman Abdul Khaliq dengan organisasi Ihya At-Turats?”
Maka kami menjawab dari beberapa sisi:
1. Perlu kita mengetahui –semoga Allah senantiasa membukakan hati kita untuk menerima al-haq- bahwa pengaruh dan campur tangan Abdurrahman Abdul Khaliq terhadap Ihya At-Turats adalah seperti pengaruh Hasan Al-Banna terhadap al-Ikhwanul Muslimun. Sebagaimana seseorang yang apabila dia hendak mengetahui tentang gerakan Al-Ikhwanul Muslimun, maka dengan cara mempelajari model dan pemikiran dakwah Hasan Al-Banna serta tokoh-tokohnya. Maka demikian pula Abdurrahman Abdul Khaliq, yang memiliki peranan yang sangat penting dalam organisasi tersebut, dan pendapat-pendapatnya-lah yang selalu dikedepankan dalam menjalankan “hizbiyyah” Ihya’ At-Turats. Dan itu sangat nampak sekali dari manhaj mereka yang dituangkan lewat majalah mereka yang dinamakan “Al-Furqan”, dan juga berdasarkan data-data dan kesaksian dari para masyaikh dan penuntut ilmu yang mereka pernah hidup bersama mereka. Hal ini akan kita beberkan pada edisi berikutnya, insya Allah Ta’ala.
2. Bahwa Abdurrahman Abdul Khaliq-lah yang menjadi penyebab perpecahan yang terjadi di Indonesia, dengan kedatangannya ke ma’had Al-Irsyad, Tengaran, Boyolali dan sempat mengisi ceramah disana. Disaat beberapa ustadz berkumpul di sana untuk mendengar taushiyah dari ‘Syaikh’ Abdurrahman Abdul Khaliq –semoga Allah memberi hidayah kepada kita semua-, lalu kemudian terjadi forum tanya-jawab. Adapun yang saya ingat ketika itu (dan saya hanya mendengar dari kaset, namun beberapa ustadz menghadiri secara langsung majelis tersebut, diantara yang saya ingat adalah Al-Ustadz Muhammad Sewed, dan Al-Ustadz Shalih Su’aidi. Dan ketika itu belum jelas keadaan Abdurrahman Abdul Khaliq dan hakikat penyimpangannya oleh sebagian kalangan para ustadz tersebut) bahwa Abdurrahman sangat getol melakukan pembelaannya terhadap Yusuf Al-Qaradhawi. Abdurahman juga memujinya (Yusuf), menyatakan andilnya yang sangat besar terhadap Islam –menurutnya, ia mencela orang yang merendahkan kedudukannya. Bahkan ia sampai kepada tingkat mentahdzir orang yang melecehkan Yusuf Al-Qaradhawi agar tidak menghadiri majelis orang yang seperti itu. Apa yang saya sebutkan ini banyak diketahui oleh ikhwan yang mengalami awal terjadinya perpecahan pada saat itu. Tapi sayang sekali, kaset itu entah dimana karena kejadian ini sudah cukup lama sekali, kalau tidak salah di tahun 1996, sepuluh tahun yang lalu.

Oleh karenanya, sungguh benar apa yang disebutkan oleh Syaikh Muqbil rahimahullah Ta’ala:
فجمعية إحياء التراث بالكويت هي التي تجمع الأموال ثم ترسل عبدالرحمن بن عبدالخالق ليضل الناس ويشتت شملهم، فالدعوة غنية عن عبدالرحمن وعن أفكاره، فعليه بالجلوس في بيته
“Organisasi Ihya At Turots di Kuwait, yang mengumpulkan harta lalu mengirim Abdurrahman Abdul Khaliq untuk menyesatkan manusia dan memecah-belah persatuan mereka. Maka dakwah ini tidak membutuhkan Abdurrahman Abdul Khaliq dan pemikirannya. Hendaklah ia duduk di rumahnya.” (Dikutip dari kitab Tuhfatul Mujib : As’ilah Syabab Andunusia, pertanyaan no:75)

Oleh karena itu, tatkala para ulama menjelaskan tentang kondisi dakwah Salafiyyah model “Abdurrahman Abdul Khaliq”, maka mereka tidak mengkhususkan pembicaraannya terhadap Abdurrahman Abdul Khaliq, namun mengikut-sertakan organisasinya yang diatur dan dididik oleh Abdurrahman dengan pemikiran “Al-Ikhwanul Muslimun”-nya. Sementara yang menunjukkan apa yang saya sebutkan adalah tatkala Syaikh Al-Albani –tentu beliau termasuk ulama senior dalam pandangan Firanda dan yang lainnya- ditanya dalam salah satu majelisnya tentang buku Abdurrahman Abdul Khaliq yang menulis tentang disyariatkannya melakukan amalan politik. Beliau (syaikh Al Albani) menyampaikan nasehat setelah beliau membaca risalah tersebut, dan diantara yang beliau katakan:
في اعتقادي أن الإخوان في الكويت خوفي منهم شديد يصبحون كالإخوان المسلمين , ما يهتمون بالدعوة , ما يهتمون بما أسميه بالتصفية والتربية , همهم الدعوة الساسية والمناصب والانتخابات والبرلمان ونحو ذلك .وأكثر من هذا كونه يصرح بأنه لا بد من ارتكاب بعض المحرمات, لأنه لو تصدر من إفرنجي كان كثيرا, فكيف من سلفي؟ ربنا يقول { ومن يتق الله يجعل له مخرجا ويرزقه من حيث لا يحتسب} وهو يقول : لا بد من ارتكاب بعض المحرمات, وفي الحديث المشهور ((فإن ما عند الله لا ينال بالحرام))
“Dalam keyakinanku, bahwa para ikhwan yang ada di Kuwait –aku sangat khawatir terhadap mereka- mereka telah menjadi seperti Al-Ikhwanul Muslimun, mereka tidak mementingkan perkara dakwah, tidak mementingkan dengan apa yang saya namakan dengan “tashfiyah dan tarbiyah”. Kepentingan mereka adalah politik, kedudukan, pemilu, parlemen, dan yang semisalnya. Lebih dari itu yakni dia (Abdurrahman Abdul Khaliq) menyatakan bahwa diharuskan melakukan sebagian perkara yang diharamkan! Sebab hal ini jika diucapkan seorang kafir, ini merupakan perkara besar, lalu bagaimana jika diucapkan oleh seorang Salafi? Rabb kita berfirman:
وَمَن يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَل لَّهُ مَخْرَجًا وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ
“Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.”
(QS.At-Tholaq:2-3)

Sementara dia (Abdurrahman Abdul Khaliq) mengatakan: “Harus melakukan sebagian perkara yang diharamkan”. Maka dalam hadits yang masyhur: “Sesungguhnya apa yang ada di sisi Allah tidak boleh didapatkan dengan cara yang haram” [9]. (Dikutip dari kaset Silsilah al-Huda wan Nuur, fatawa Syaikh Al-Albani rahimahullah, no: 166, dari program Ahlul Hadits wal Atsar).

3. Memberi peringatan kepada kaum muslimin dari bahaya pemikiran Abdurrahman Abdul Khaliq,yang disebarkan melalui berbagai kegiatan Organisasi Ihya At-Turats di berbagai negara secara umum dan di Indonesia secara khusus, agar mereka tidak terpengaruh dari berbagai penyimpangan dan kesesatan tersebut. Sebab boleh jadi seseorang dapat terpengaruh –baik secara langsung maupun tidak – dengan sebab sikap husnudz-dzhan (berbaik sangka) kepada organisasi ini, sehingga dapat menyebabkan ia merendahkan kedudukan seseorang –terlebih bila dia tergolong dalam salah satu ulama “paling senior”- yang mengkritik dan menjelaskan kesesatan dan penyimpangannya.

Al-Ustadz Al-Fadhil Ibnu Yunus hafidzahullah (Makassar) mengabarkan kepada kami bahwa pernah terjadi pertemuan empat mata antara beliau dengan Al-Akh Firanda, terjadi dialog diantara keduanya. Diantara yang disebutkan oleh Firanda bahwa ia dikabari oleh gurunya yang mengajarinya di “Jami’ah Islamiyyah” Madinah Nabawiyyah, bahwa “keadaan kota Madinah “lebih kondusif” setelah Syaikh Rabi’ “diusir” dari kota tersebut”. Kira-kira itulah yang dia sebutkan dalam pertemuan tersebut. Maka bila hal ini benar, sungguh Firanda telah menjadi buta dengan sebab kecintaannya terhadap organisasi Ihya at-Turats dan yang bekerjasama dengan mereka, dengan sebab itulah yang menyebabkan dia berani menukil berita “bohong dan palsu” yang memang dijadikan senjata oleh para hizbiyyun, untuk merendahkan kedudukan Asy-Syekh Rabi’ hafidzahullah Ta’ala. Wallahul musta’an.

Mungkin saja Firanda berusaha mengelak dan mengatakan : “Saya tidak bermaksud merendahkan Syaikh Rabi’ dengan penukilan tersebut”.
Kami katakan: “Lalu apa maksud antum menukil berita dusta itu?”, sebab seseorang tatkala menukil sebuah berita, maka dia tidak menukilnya melainkan disebabkan satu tujuan tertentu:
– Apakah ia menukil untuk membantah kedustaan berita tersebut, dan itu tidak anda lakukan, sebagaimana yang dikisahkan kepada kami tentang pertemuan tersebut ?
– Apakah ia menukil untuk membenarkan apa yang diceritakan oleh guru anda ?

Adapun kalau hanya sekedar menukil dan tidak bermaksud apa-apa, atau sekedar pengisi waktu disaat ngobrol, maka yang demikian bukan ciri-ciri seorang yang pantas disebut sebagai “thalibul ‘ilmi”. Apalagi bagi mereka yang telah mendapat gelar “LC” Licente, “MA” Master of Art, “penuntut ilmu senior” dan yang semisalnya.” Sikap lempar batu sembunyi tangan semacam yang anda tunjukkan ini tidaklah mencerminkan kepribadian seorang Salafi dan Ahlis Sunnah.

Mari kita menyadari dan merenungi dosa dan kesalahan kita masing-masing tanpa harus membuat trik-trik yang mengesankan kita terbebas dari dosa dan kesalahan. Ketahuilah, sesungguhnya daging para ulama itu beracun !

Adapun bantahan terhadap berita”dusta dan palsu” ini akan kami nukilkan pada edisi berikutnya, insya Allah Ta’ala.

(BERSAMBUNG INSYA ALLAH)

Catatan kaki :

1. At-Tashfiyah adalah menjernihkan berbagai noda yang melekat dalam hati kaum muslimin, berupa noda syirik, kekufuran, bid’ah dan yang lainnya. Dan At-Tarbiyah adalah mendidik umat dengan pemahaman yang benar berdasarkan Al-Qur’an, Sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, berdasarkan pemahaman Salafus Shalih.
2. Pernyataan Abdurrahman Abdul Khaliq saya nukil dari kitab Syaikh Rabi’ “Jama’ah Wahidah laa jama’aat”. Mungkin ada yang mengatakan: “bisa saja Syaikh Rabi’ salah dalam penukilan?” Maka saya menjawab: “Benar, namun asal penukilan seorang yang tsiqoh adalah terpercaya. Apalagi dikuatkan dengan kesaksian dari Syaikh Ali bin Muhammad Nashir Al-Faqihi – hafizhahullah – ketika beliau memuji kitab tulisan Syaikh Rabi’ tersebut, lantas beliau berkata: “Sesungguhnya aku telah membaca kitab ini, dan aku mendapatinya sebagai pembahasan ilmiah yang terpercaya”. Dan berkata pula : “Aku tidak ragu terhadap penukilan Syaikh Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali dari Abdurrahman, apa yang ia sebutkan dari hal: 38-43 dari tulisannya ini. Namun untuk semakin memntapkan hatiku dengan itu, akupun merujuk kembali ke kitab Abdurrahman Abdul Khaliq yang berjudul: “Khutut Ra’isiyyah Liba’tsi al-Ummah al-Islamiyyah, cetakan kedua, tahun 1406 H.” Selesai.
Ucapan beliau dapat dilihat dalam kata sambutannya terhadap kitab Syaikh Rabi’ yang berjudul “An-Nashr Al-Aziz”
3. Beliau adalah Syaikh Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithi rahimahullah Ta’ala.
4. Syaikh Nashir Al-Faqihi – hafidzahullah – menjelaskan, dari Asy-Syinqithi – rahimahullah – bahwa Syaikh tidak pernah menuduh orang yang membenarkan pendaratan orang di Bulan sebagai kufur dan zindiq. Namun beliau hanya mengatakan: “Dhohir dari ayat menunjukkan bahwa bulan berada di dalam langit, atau di langit-langit. Jika demikian, maka ini menunjukkan bahwa mereka mustahil dapat sampai ke sana. Namun jika tidak demikian, maka berarti kami belum memahami Al-Qur’an. “Dan beliau berbicara tentang orang-orang kafir dan keinginan mereka untuk menyesatkan kaum muslimin.
Dan Syaikh Rabi juga menukil dari tulisan salah seorang penulis Barat yang berjudul “Kami tidak mendarat di Bulan”, yang dimuat di majalah “Al-Mujahid” dari Afghanistan, dalam dua edisi menjelaskan tentang kedustaan Amerika dan NASA-nya yang mengaku telah mendarat di Bulan.
(Dikutip dari kitab Jama’ah Wahidah: 50-51)
5. Siapa yang dimaksud Abdurrahman Abdul Khaliq dengan “selain dia”?, perlu diketahui bahwa diantara para pengajar di Jami’ah Islamiyyah pada saat itu adalah Syekkh Bin Baaz dan Syaikh Al-Albani rahimahumallah.
6. Kami banyak menukil dari kitab Syaikh Rabi’ hafidzahullah bukan disebabkan karena kami taqlid kepada beliau atau kepada yang lainnya, sama sekali tidak. Sebab merupakan pokok ajaran Ahlus Sunnah wal jama’ah adalah menjadikan Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan pemahaman Salaful Ummah sebagai pedoman dalam berislam yang benar. Namun karena beliau yang paling banyak menghabiskan umurnya untuk menulis dan membantah syubhat para hizbiyyun, yang disertai dalil dan referensi yang terpercaya, dan ketsiqahan para ulama terhadap bantahan-bantahan beliau, terkhusus Syaikh Bin Baaz dan Al-Albani rahimahumallah, sehingga kami banyak menukil dari kitab beliau. Namun sebagian orang yang benci dengan “dakwah salafiyyah” yang mulia ini, sengaja melontarkan berbagai gelar-gelar yang buruk terhadap dakwah tersebut, seperti gelar “taqlid Syaikh Rabi’”, atau “Salafi Yamani”, “Taqlid Syaikh Muqbil”, dan yang semisalnya. Wallahul musta’an.
7. Syaikh Zaid Al-Madkhali hafidzahullah berkomentar terhadap ucapan Abdurrahman Abdul Khaliq yang merendahkan kedudukan gurunya sendiri – Syaikh Asy-Syinqithi – : “Bahwa ucapannya terhadap Syaikh Asy-Syinqithi mirip seperti apa yang diucapkan oleh Muhammad Al-Ghazali –rahimahullah- : bahwa sesungguhnya Asy-Syinqithi mempermainkan lafadz, ” ia menyebutkannya dalam kitabnya: “‘Ilal wa adwiyah”. Lihat muqoddimah kitab “An-Nashrul Aziz”, tulisan Syaikh Rabi’.
8. Apa yang beliau sebutkan tentang ucapan Sayyid Quthb pada ayat tersebut adalah benar, setelah dilakukan pengecekan, dan beliau menukilnya secara makna, Sayyid Quthb berbicara tentang kedua jenis fiqih tersebut.
9. Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam “Hilyatul Auliya’:10/27, dari Abu Umamah dengan lafadz:
إن روح القدس نفث في روعي أن نفسا لن تموت حتى تستكمل أجلها و تستوعب رزقها فاتقوا الله و أجملوا في الطلب و لا يحملن أحدكم استبطاء الرزق أن يطلبه بمعصية الله فإن الله تعالى لا ينال ما عنده إلا بطاعته
“Sesungguhnya Jibril telah meniupkan ke dalam hatiku bahwa satu jiwa tidak akan mati sampai ajalnya sempurna, dan rizkinya telah terpenuhi, maka bertakwalah kepada Allah dan baiklah dalam mencari (rizki), dan janganlah salah seorang kalian bila diperlambat rizkinya, maka dia mencarinya dengan cara berbuat maksiat. Karena sesungguhnya tidak diperoleh apa yang ada di sisi-Nya kecuali dengan cara ta’at kepada-Nya.”. Hadits ini dishahihkan Al-Albani dalam Shahih al-Jami’ As-Shaghir:2085 dan juga diriwayatkan dari jalan yang lainnya.

(Dikutip dari tulisan al Ustadz Abu Karimah Askari, judul asli IHYA ATTUROTS, BONEKA ABDURRAHMAN ABDUL KHALIQ. URL Sumber http://www.darussalaf.or.id/index.php?name=News&file=article&sid=424)