Cinta dan benci karena Allah merupakan bagian dari akidah Islam dan kesempurnaan iman. Muadz bin Anas meriwayatkan sabda Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam : “Barangsiapa yang memberi karena Allah, menahan karena Allah, membenci karena Allah dan menikah karena Allah, maka telah sempurna keimanannya. (HR Ahmad, At Tirmidzi, Al Hakim, Abu Dawud dan disahihkan oleh Al Albani).
Masalah ini sangat penting dan bila saya uraikan panjang lebar, akan membuat pembahasan buku ini tak terarah. Oleh sebab itu, saya akan membatasi seputar masalah yang berkaitan dengan ahli bid’ah.
Hakikat cinta dan benci karena Allah secara umum seperti yang dituturkan para ulama diantaranya Yahya bin Muadz berkata “Hakikat cinta karena Allah adalah tidak bertambah dengan kebaikan dan tidak berkurang karena hubungan renggang. (Fathul Bari jilid I, hal 62).
Maksudnya cinta diberikan secara tulus ikhlas karena Allah. Kecintaanmu kepada seorang mukmin, tidak bertambah karena budi baik kepadamu dan tidak berkurang akibat hubungan renggang. Jika tidak demikian, maka cinta itu hanya untuk kepentingan pribadi, meskipun dibungkus dengan cinta karena Allah. Terbukti bertambah dan berkurangnya cinta sangat terpengarus oleh budi baik orang yang dicintai.
Pernyataan Yahya bin Muadz sejalan dengan hadits dari Anas bin Malik Radiyallahu ‘anhu bahwa Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda, (artinya) “Ada tiga perkara yang jika seseorang memilikinya akan merasakan manisnya iman, yaitu bila Allah dan RasulNya lebih ia cintai daripada selain keduanya dan tidak mencintai seseorang kecuali karena Allah, serta benci kembali kepada kekufuran setelah Allah menyelamatkannya daripadanya sebagaimana ia benci untuk dilemparkan ke neraka. (Muttafaq ‘alaihi).
Cinta karena Allah harus tulus tidak boleh tercampur oleh tujuan-tujuan yang tidak syar’i, dan harus sesuai dengan ketentuan syariat, agar diterima Allah tanpa ada unsur berlebihan (ifrath) dan meremehkan (tafrith).
Syaikh Islam Ibnu Taimiyyah memberi bantahan kepada Syi’ah Rafidhah, “Cinta yang benar adalah mencintai seseorang sesuai dengan ketentuan syar’i. Bila sekarang ada seorang shalih dianggap Nabi dan pendahulu-pendahulunya, lalu dia dicintai karena hal itu, jelas ini merupakan kecintaan yang tidak benar. Sebab orang tersebut dicintai secara batil dan mencintai suatu yang tidak berwujud, seperti lelaki yang mau menikah lalu menghayal bahwa calon instrinya seorang yang kaya, cantik, taat beragama dan bernasab mulia. Dengan dasar itu, ia mencintainya. Namun ternyata, keadaaan wanita tersebut jauh di luar dugaan. Maka kecintaannya akan berkurang sejalan dengan berkurangnya keyakinannya. Hukum yang tetap karena suatu ‘illat (alasan), maka status hukum akan hilang bersama hilangnya ‘illat itu. Begitu juga orang yang mencintai sahabat secara batil, maka kecintaan itu tidak benar. Kecintaan Rafidhah kepada sahabat Ali seperti itu, sama saja mereka mencintai sesuatu yang tidak ada. Sebab anggapan dia bahwa Ali adalah imam yang maksum (tidak pernah salah, red). Sebab anggapandia bahwa Ali adalah imam maksum dan tidak ada imam setelah Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam kecuali Ali, dan mereka menganggap bahwa Abu Bakar dan Umar dzalim, perampas hak atau keduanya kafir. Bila ditampakkan di depan mereka nanti di hari Kiamat, ternyata Ali tidak lebih utama dari keduanya dan keutamaan Ali hanya sekadar mendekati keduanya. Beliau (Ali) mengakui imamah (kepemimpinan) dan keutamaan mereka berdua (Abu Bakar dan Umar) dan semua tidak ada yang maksum, serta tidak ada nash yang melegalisasi imamahnya. Jelas cinta mereka cinta palsu, bahkan mereka orang yang paling membenci Ali karena mereka membenci sifat kesempurnaan yang diakui oleh Ali tentang ketiga khalifah sebelumnya. Bahkan beliau mengakui kepemimpinan mereka. (Minhajus Sunnah 4/293-296).
Pernyataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan Muadz bin Anas diatas, mengindikasikan bahwa kecintaan harus memenuhi dua syarat, yakni ikhlas dan mutaba’ah (mengikuti syariat Rasulullah). Keduanya merupakan syarat yang berlaku untuk segala jenis amalan sholih. Maka kecintaan tidak diterima kecuali harus memenuhi dua syarat tersebut. (Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah I/333).
Tulus tidaknya kebencian karena Allah bisa diukur dengan kaidah, bahwa kebencian tidak bertambah karena disaikit dan tidak berkurang karena diperlakukan dengan baik. Kebencian demikian yang benar-benar tulus karena Allah dan sesuai dengan ajaran Allah. Bila tidak, maka hanya kepentingan pribadi saja. Benci yang sesuai dengan ajaran Allah adalah yang disebutkan yakni atas penyelewengan orang yang dibenci agama Allah dalam tiga perkara, yaitu kufur (kekafiran/penolakan atas syariat, red), bid’ah (perkara baru dalam agama yang tidak ada dasarnya, red) dan maksiat. Selain itu, tidak memberi pengaruh bertambah atau berkurangnya kebencian.
Syaikhul Islam berkata, “Setiap orang mukmin wajib kita berikan wala’ (kecintaan), walaupun dia berlaku aniaya dan dholim kepadamu. Dan setiap orang kafir wajib dimusuhi, walaupun memberi manfaat dan berbuat baik kepadamu. Allah mengutus utusan dan menurunkan Al Quran agar agama (yang dipeluk, red) hanya agama milik Allah saja. Seharusnya hanya mencintai para kekasihNya dan menghinakan para musuhNya serta pahala hanya untuk para kekasihNya dan siksaan untuk para musuhNya. (Majmu Fatawa 28/209).
Dalam masalah membenci orang juga harus semata-mata karena keburukan yang ada. Kebencian bertambah karena bertambahnya keburukan dan berkurang karena berkurangnya keburukan dan tidak berlebihan. Allah berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُونُواْ قَوَّامِينَ لِلّهِ شُهَدَاء بِالْقِسْطِ وَلاَ يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلاَّ تَعْدِلُواْ اعْدِلُواْ هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُواْ اللّهَ إِنَّ اللّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang akamu kerjakan.” (Al Quran Surat Al Maidah 8).
Termasuk bersikap adil dalam membenci, tidak boleh membenci orang yang melakukan bid’ah kecil sama seperti orang yang melakukan bid’ah besar (yang mengeluarkan dari Islam, red) dan tidak boleh membenci pelaku dosa besar setimpal dengan membenci orang kafir.
Allah telah mengabarkan perbedaan kebencian orang-orang kafir kepada orang-orang beriman sebagaimana firman Allah :
لَتَجِدَنَّ أَشَدَّ النَّاسِ عَدَاوَةً لِّلَّذِينَ آمَنُواْ الْيَهُودَ وَالَّذِينَ أَشْرَكُواْ
Artinya : “Sesungguhnya kamu dapati orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang-orang yang beriman ialah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik.” (Al Quran Surat Al Maidah 82).
Jika sikap mereka seperti itu, seharusnya kebencian kita kepada mereka juga tidak boleh sama antara orang yang sangat memusuhi orang mukmin dengan orang yang tidak begitu memusuhi. Apalagi dengan orang yang dinyatakan oleh Allah paling dekat persahabatan mereka dengan orang beriman.
Manhaj/metode ini berlaku pada setiap orang yang harus dibenci selain orang kafir, baik ahli bid’ah atau maksiat. Namun kebencian itu harus sesuai dengan kadar kebid’ahan dan kemaksiatan masing-masing.
Jadi, kedudukan cinta dan benci hendaknya tulus karena Allah dan sesuai dengan kehendak syariat. Hendaknya cinta kepada seseorang semata-mata karena perangai baik dan benci karena sifat buruk yang menyelisihi syariat yang ada pada diri seseorang. Maka kebencian terhadap ahli bid’ah semata-mata karena keluarnya mereka dari sunnah dan perbuatan bid’ahnya, sesuai dengan dalil-dalil syar’i, pernyataan Ulama Salaf dan ulama Ahli sunnah tentang kebencian dan bara’(berlepas diri) mereka dari ahli bid’ah.
Allah Ta’ala berfirman,
لَا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آبَاءهُمْ أَوْ أَبْنَاءهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ أُوْلَئِكَ كَتَبَ فِي قُلُوبِهِمُ الْإِيمَانَ وَأَيَّدَهُم بِرُوحٍ مِّنْهُ وَيُدْخِلُهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِن تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ أُوْلَئِكَ حِزْبُ اللَّهِ أَلَا إِنَّ حِزْبَ اللَّهِ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Artinya : “Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka.Mereka itulah orang-orang yang Allah telah menanamkan keimanan dalam hati mereka denga pertolongan yang datang daripada-Nya.Dan dimasukkan-Nya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya.Allah ridha terhadap mereka dan merekapun merasa puas terhadap (limpahan rahmat)-Nya.Mereka itulah golongan Allah.Ketahuilah, bahwa sesungguhnya golongan Allah itulah golongan yang beruntung.” (Al Quran Surat Al Mujadilah 22).
Ayat diatas melarang untuk berkasih sayang dengan orang yang memusuhi Allah dan RasulNya, sementara ahli bid’ah secara nyata memusuhi Allah dan RasulNya dengan kebid’ahan. Permusuhan berarti perlawanan, dan bid’ah bertentangan dan bertabrakan dengan syariat. Oleh karena itu, mereka mendefinisikan bid’ah dengan sikap penentangan terhadap syari’at dalam bentuk menyalahi atau merusak dengan menambah atau menguranginya.
Imam Al Qurthubi mengomentari ayat diatas,”Imam Malik menggunakan ayat ini sebagai dasar untuk memusuhi Qadariyah dan tidak mau duduk-duduk bersama mereka.” Dari Asyhab berkata bahwa Imam Malik berkata,’Janganlah kamu duduk-duduk bersama Qadariyah dan musuhilah karena Allah berfirman :
لَا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آبَاءهُمْ أَوْ أَبْنَاءهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ
Artinya : “Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka. (Al Quran Surat Al Mujadilah 22). (Tafsir Al Qurthubi 17/308).
Keimanan jelas menolak cinta kepada musuh Allah dan RasulNya. Namun Allah ingin memberi peringatan keras bagi orang yang mencintai musuh-musuh Allah dan RasulNya. Para ulama Salaf sangat membenci ahli bid’ah. Realisasinya, seorang ahli sunnah harus membenci ahli bid’ah dan kesesatannya, serta memusuhi mereka, tidak tinggal bersama mereka, tidak bersanding dan menyatakan permusuhan secara nyata dengan mereka.
Berikut sikap tegas Salafus Sholih, baik dari kalangan ulama Salaf dan khalaf. Sikap tegas ditunjukkan Ibnu Umar Rasiyalallahu ‘anhu ketika ditanya tentang orang yang mengingkari takdir, jawab beliau “Jika kamu bertemu dengan mereka, maka sampaikan kepadanya bahwa Ibnu Umar bersikap bara’ darinya dan mereka juga bara’ darinya, (sebanyak tiga kali).” (As Sunnah, Abdullah bin Ahmad, 2/420, Syarh Ushul I’tiqad Ahlis Sunnah 2/588).
Juga sikap Ibnu Abbas Radiyallahu ‘anhu,”Tidak ada orang yang paling aku benci di muka bumi ini, selain orang yang datang kepadaku mengajak berdebat dalam masalah takdir. Karena mereka tidak tahu secara persis takdir Allah. Sesungguhnya Allah tidak pantas ditanya tentang apa yang Dia lakukan dan merekalah (makhluk) yang justru ditanya.” (Asy Syariah, Al Ajurri hal 213).
Ibnu ‘Aun berkata, “Tidak ada orang yang paling dibenci oleh Muhammad bin Sirrin daripada orang yang berbuat bid’ah dalam masalah takdir.” (Asy Syariah, Al Ajurri hal 219).
Syu’bah berkata,”Sufyan Ats Tsauri sangat membenci ahli bid’ah dan melarang duduk-duduk bersama mereka.” (Mukhtashar Al Hujjah, Nashr Al Maqdisi hal 460).
Imam Al Baghawi menukil ijma Ulama salaf dalam memusuhi dan menghindar dari ahli bid’ah, beliau berkata,”Para sahabat, tabi’in dan pengikut mereka serta para ulama ahli sunnah sepakat dan ijma’ dalam memusuhi dan menghindari ahli bid’ah (Aqidah Salaf Ashabul Hadits 1/131).
Hasan Al Bashri berkata,”Janganlah kalian beramah-tamah, mengajak berdebat dan mendengar kebid’ahan ahli ahwa / pengikut hawa nafsu”.
Abu Jauza’ berkata,”Lebih baik saya bertetangga dengan kera dan babi daripada bertetangga dengan manusia dari ahli bid’ah”.
Fudhail bin Iyadh berkata,”Saya sangat berharap diantara aku dengan ahli bid’ah ada tembok penghalang dari besi. Saya makan bersama orang Yahudi dan Nashrani, lebih baik daripada makan bersama ahli bid’ah”. (Al Ibanah al Kubra, 2/467 dan Syarh Ushul I’tiqad Ahlis Sunnah 1/131).
Imam al Baghowi menukil riwayat bahwa para sahabat dan tab’in serta ulama sunnah telah berijma’ (bersepakat, red) dan sepakat untuk memusuhi ahli bid’ah dan memutuskan hubungan dengan mereka. (Syarh Ushul I’tiqad Ahli Sunnah, 2/638).
Demikian pula para ulama khalaf yang berijma’ untuk membenci dan memutuskan hubungan dengan ahli bid’ah. Sikap tersebut menjadi ketetapan baku ahli sunnah dan kesepakatan ulama salaf. (Syarh as Sunnah, Al Baghawi 1/227).
Syaikh Ismail Ash Shobuni ketika mensifati akidah salaf dan ahli hadits berkata,”Mereka sangat memebnci ahli bid’ah karen mereka mengada-ada perkara baru dalam agama, tidak mencintai mereka, tidak mau menjadi sahabat mereka, tidak mendengar ucapan mereka, tidak duduk-duduk bersama mereka dan tidak nberdebat dengan mereka dalam masalah agama, serta sangat menjaga telinga dari kebatilan mereka. Sebab bila masuk ke telinga dapat merusak hati dan menimbulkan was-was.” (Aqidah Salaf wa Ashabul Hadits 1/131).
Imam Al Qurthubi menukil dari Ibnu Khuwaiz bin Mindad dalam Tafsirnya,”Barang siapa yang berbicara tentang ayat-ayat Allahg tanpa ilmu, saya tidak mau duduk-duduk bersamanya dan memutuskan hubungan dengannya baik orang mukmin atau kafir. Begitu juga para rekan kami melarang masuk ke daerah musuh, gereja/tempat peribadatan orang kafir, duduk-duduk bersama orang kafir dan ahli bid’ah, tidak boleh mencintai mereka, tidak boleh mendengar ucapan mereka dan berdebat dengan mereka.” (Tafsir Al Qurtubi 7/13).
Asy Syatibi berkata, “Firqah Najiyah adalah ahli sunnah yang diperintah untuk memusuhi ahli bid’ah, mengusir dan memberi sanksi orang yang terpengaruhi, baik dengan hukuman mati atau selainnya. Dan para ulama melarang untuk berbicara dan duduk-duduk bersama mereka, sebagai bentuk permusuhan dan kebencian/” (Al I’thisam 1/120).
Syaikh Abullatif bin Abdurahman Asy Syaikh membuat tahdzir (peringatan) kepada sebagian ahlu bid’ah dari Oman yang telah menulis selebaran yang dapat mengaburkan pemahaman orang awam. “Sudah menjadi ijma’ Ulama Salaf termasuk Imam Ahmad bin Hambal bahwa mereka bersikap keras kepada ahli bid’ah, memutuskan hubungan, membiarkan, tidak berdebat dan menjauhinya sebisa mungkin, lebih mendekat kepada Allah meskipun dibenci dan dimusuhi oleh ahli bid’ah.” (Majmu ar Rasail wa Al Masail Najdiya, 3/111).
Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin berkata, “Yang dimaksud dengan memutuskan hubungan dengan ahli bid’ah adalah menjauhi mereka, tidak mencintai mereka dan tidak berwala’ loyal kepada mereka, tidak mengucapkan salam, tidak berkunjung dan tidak menjenguk ketika mereka sakit. Memutuskan hubungan dengan ahli bid’ah adalah wajib, karena Allah berfirman,
لَا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آبَاءهُمْ أَوْ أَبْنَاءهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ
Artinya : “Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka. (Al Quran Surat Al Mujadilah 22). Karena Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam telah memutuskan hubungan dan tidak mengajak bicara Ka’ab bin Malik, Murarah bin Rabi’ Al Amri dan Hilal bin Umaiyah al Waqifi ketika absen dari perang Tabuk (tanpa alasan syar’i, red).” (Syarh Lum’atul I’tiqad hal 110).
Syaikh Bakar bin Abdullah Abu Zaid memberi batasan cinta dan benci karena Allah dalam kitab Hajr al Mubtadi’,”Kaidah ini termasuk logika aqidah Islam berdasarkan nash-nash dari Al Quran dan Assunnah yang banyak. Karena merupakan bagian dari ibadah yang berpahala. Bara’ dari ahli bid’ah dan menyatakan permusuhan serta memberi pelajaran dengan memutuskan hubungan hingga mereka bertaubat, merupakan ketetapan hampir dalam semua kitab-kita aqidah ahli sunnah wal jama’ah.” (Hajr al Mubtadi’ hal 19).
Bersambung ke Sikap muslim dalam membenci dan memusuhi ahli bid’ah (II)
Daftar Istilah Penting:
As Sunnah = Meniti jalan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam dan meniru tingkah laku beliau dalam tiga hal, ucapan, perbuatan dan akidah.” (Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah vol 4/180). Sunnah menjadi lawan dari bid’ah. Sunnah adalah jalan yang ditempuh mencakup seluruh ajaran Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam, para Khulafaur Rasyidin radhiyallahu ‘anhum, baik berupa keyakinan, tindakan dan ucapan. Oleh karena itu, ruang lingkup sunnah menurut generasi salaf mencakup itu semua. Demikian diriwayatkan dari Hasan al Bashri, AL Auza’I dan Fudhail bin ‘Iyadh (Jami’ Al Ulum wal Hikam 262).
Ahli Sunnah = Pengikut kebenaran, selain mereka berarti termasuk ahli bid’ah. Mereka adalah para Sahabat dan setiap orang yang meniti manhaj mereka dari kalangan Tabi’in, kemudian ahli Hadits dan para pengikut mereka dari kalangan ulama ahli Fikih, serta para pengikut mereka yang baik dari belahan bumi timur dan barat hingga saat ini.” (Al Fashl fi Al Milal wa Al Ahwa’ wa an Nihal 2/271). Ahli Sunnah adalah setiap orang yang berpegang teguh kepada Kitabullah dan sunnah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam, serta ijma’ para generasi pertama dari kaum Muhajirin dan Anshar serta orang-orang yang mengiktui mereka dengan baik.” Barangsiapa berbicara sesuai dengan Al Quran dan As Sunnah serta ijm’a maka dia termasuk ahli sunnah.” (Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah hal 375,346). Nama lain Ahli Sunnah adalah Ahli Sunnah wal Jama’ah, Firqah Najiyah (Golongan yang selamat), Thaifah Al Manshurah (Kelompok yang tertolong), Salafy (peniti jejak para pendahulu/salaf sholih yang setia) (Ma’alim Al Intilaq Kubra, Muh. Abdul Hadi Al Mishri 43-56, Hukm Al Intima’, Abu Zaid hal 28-40)
Bid’ah = Suatu ajaran yang tidak disyariatkan oleh Allah dan RasulNya, tidak ada perintah baik berbentuk kandungan wajib/sunnah. Adapun bila ada anjurannya, baik berbentuk wajib/dianjurkan dengan didukung dalil-dalil syar’I terhadap anjuran tersbeut, maka hal itu termasuk bagian dari Dien, meskipun terdapat perselisihan antara alim ulama dalam sebagian masalah. (Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah 4/107-108).
Ahli Bid’ah = Kebid’ahan yang membuat seseorang menjadi dikatakan ahli bid’ah, bila kebid;ahan tersebut telah dikenal luas oleh para ulama ahlussunnah telah menyelisihi Al Quran dan As Sunnah speerti kebid’ahan Khawarij, Rafidhah, Aqadariyah dan Murji’ah” (Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah 35/414). Ahli Bid’ah adalah suatu ungkapan untuk semua hakikat tindakan seseorang yang membikin perkara bid’ah dalam agama, dengan merujuk pada hawa nafsunya untuk menetapkan suatu ajaran, dan menyatakan ajaran tersebut suatu yang syah, bahkan orang yang menolak ajaran tersebut dikatakan sesat, sedang yang suka menyatakan sebagai sunnah. Berbeda dengan orang yang ikut-ikutan saja, ia tidak mengikuti hawa nafsu melainkan mengikuti ajakan tokohnya (ahli bid’ah), maka orang yang taklid dalam kebid’ahan ini tidak bisa disebut ahli bid’ah (disebut sebagai pelaku bid’ah saja, red), kecuali dia ikut membuat ketetapan dan pandangan tentang baiknya perkara bid’ah tadi.” (Al I’tisham 1/162-164). Adapun ciri-cirinya mereka Ahli Bid’ah berpecah-belah dari jalan Allah, lebih mengikuti hawa nafsu pemimpinnya/dirinya, mengambil nash-nash Al Quran/Assunnah yang bisa dipelencengkan/mutasyabih, Mengkontradiksikan antara Al Quran dan As Sunnah, membenci Ahli Atsar/Ahli Hadits, menjelek-jelekkan Ahlu Sunnah, Tidak mau merujuk kepada Salaful Ummah, Mengkafirkan orang yang berbeda pendapat dengannya. (Dinukil dari Kitab Mauqif Ahlussunnah wal Jama’ah min Ahlil Ahwa’ wal Bida’, Dr Ibrahim Ruhaili, Bab Definisi Ahli Bid’ah dan Ahli Ahwa’)
(Dinukil dari Kitab Mauqif Ahlussunnah wal Jama’ah min Ahlil Ahwa’ wal Bida’, Maktabah Al Ghura’a Al Atsriyah 1415 H, Penulis Syaikh Dr. Ibrahim Bin Amir ar Ruhaili, edisi Indonesia Manhaj Ahli Sunnah Menghadapi Ahli Bid’ah)