Penulis: Al Ustadz Abu Hamzah Yusuf
Telah menjadi jalannya para Salafush Shalih dan termasuk da’wah ilallah (menyeru ke jalan ALLAH, red) bahkan jihad fi sabilillah menerangkan aqidah Ahlussunnah dan membelanya, membongkar aurat ahlil bid’ah (pembaharu dalam Dien, red), mulhidin (orang yang menyimpang), dan mentahdzirnya (mengingatkan akan bahayanya).
Allah berfirman, “Sebenarnya Kami melontarkan yang hak kepada yang batil, lalu yang hak itu menghancurkannya, maka dengan serta merta yang batil itu lenyap.” (QS Al Anbiyaa`: 18). Semoga Allah merahmati para salaf yang telah menjadikan tahdzir terhadap ahli bid’ah sebagai metodologi yang ditempuh dan prinsip yang dijunjung luhur sepanjang sejarah kehidupan mereka.
Akhir-akhir ini telah banyak permintaan mengenai penjelasan seputar “Man huwa Abu Qotadah?” Pasalnya, kehadiran rojul (orang) ini bukan hanya membingungkan umat tetapi juga membikin jenggot-jenggot para hizbiyyah rada-rada tumbuh –yang dulunya kebakaran- serasa mendapat angin segar. Rentang waktu yang cukup lama sebenarnya penulis berharap rojul itu dapat berubah dan kembali ilaa manhajissaliim (kembali menuju jalan yang selamat, Salafus Sholih, red), tetapi seperti dikatakan, “Qod zaadat thiinu ballah” dengan pengetahuannya dia semakin jauh dari yang diharapkan. Wal hasil apa yang akan ditulis di sini sebagai nasehat bagi ummat umumnya dan yang bersangkutan secara khusus. Wabillahit taufiq.
“Orang-orang sururi itu perlu pedangnya Abu Qotadah!” tandasnya. (Sururi, pengikut pemahaman Muhammad Surrur, red)
“Mengapa kuniyah saya Abu Qotadah?! Karena Qotadah artinya syaukah, sedangkan syaukah artinya duri, ya, itulah Abu Qotadah duri bagi ahli bid’ah,” teriaknya dengan penuh kepahlawanan.
Kaum muslimin –rahimakumullah- saat ini kita sedang mengenal tamu baru, yang kini tengah menjadi kebanggaan kaum hizbiyyun (sempalan) sururiyyun, kehadirannya dijadikan alat oleh para sururiyyun untuk memperkeruh suasana menghembuskan angin baru sebagai sebuah “kado syubhat” tuk melegitimasi bahwa mereka adalah salafiyyun ahlissunnah wal jama’ah – miskin… mereka – tentu saja dengan sejuta kepolosan sang tamu tersebut.
Yah itulah Abu Qotadah, rojul yang pernah duduk di majlis fadhilatusy Syaikh Abu Abdirrahman Muqbil bin Haadi al Wadi’i rahimahulloh, namun kini rojul itu telah bertengger di deretan sejumlah adznab-adznab hizbiyyah sururiyyah –inna lillahi wa inna ilaihi raji’un-. Dia pernah mengatakan, “Saya hanya menjalankan fatwa Syaikh Muqbil (Al Ihtimam bil ‘Ilmi).”
Makna yang dimaukan dia, adalah dia tidak mau mengurusi masalah salafiyyah –sururiyyah- yang padahal dengan fitnahnya sururiyyun telah memecah-belah salafiyyun- perkaranya sangat mengherankan lagi, saat di kesempatan lain dia mengatakan “Saya siap disuruh mengajar di pihak mana saja” (yakni dimaksud di pihak adznab sururi ataupun di pihak salafiyyin). Sungguh sikapnya ini menunjukkan bahwa dia tak ubahnya bagaikan seekor domba buta!
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wassalam bersabda, “Perumpamaan seorang munafiq di tengah-tengah umatku ibarat seekor domba buta di antara dua kambing, sesekali berjalan ke yang satunya, pada kali lainnya berjalan ke yang lainnya, tidak tahu mana yang patut diikuti.” (Hadits riwayat Muslim dari Ibnu ‘Umar).
Ditanyakan kepada al Imam al Auza’i tentang seseorang yang berkata, “Aku akan duduk bersama ahlus sunnah dan duduk pula bersama ahli bid’ah”, maka al Imam al Auza’i menjawab, “Orang ini ingin menyamakan antara yang haq dengan yang batil!”
Jangan coba-coba kau mengambil fatwa syaikh dalam rangka mencocoki hawa nafsumu, sedangkan kamu tinggalkan fatwa-fatwanya yang lain, ini adalah metodologi ahli zaigh wadh dholal! Dulu dia punya sikap yang cukup tegas terhadap adznab sururiyyun amtsal: Abu Nida`, Aunur Rofiq, Yazid Jawas *), dan yang lainnya dengan pernyataannya yang masyhur, “Orang-orang sururi itu perlu pedangnya Abu Qotadah.” Ternyata pedangnya itu tak lebih dari pedang yang haus akan fulus (harta, red) ! Pedangnya tak bisa berbuat banyak di hadapan Abu Nida` saat dengan sengaja dia menemuinya, malah giginya Abu Qotadah yang digosok dan dirinya yang diuntal miring (dikuasai) oleh Abu Nida` yang memang kepandaiannya hanya bersilat lidah. Pedangnya itu semakin tak berguna ketika sengaja dia bertemu dengan Kholid Syamhudi *) seorang yang pernah kepanasan telinganya waktu duduk di hadapan Syaikh Muhammad bin Hadi al Madkhali hafizhahullah ketika beliau menjelaskan bahaya hizbiyyah diapun keluar dari majlis tanpa pamit, seperti diberitakan ikhwanuna salafiyyin di Madinah.
Tidak ketinggalan pula Abu Haidar didatanginya, Abu Haidar sang centeng bangunan dari Bandung… yang berlagak kesyaikh-syaikhan itu, ia pernah diberitahu tentang seorang rojul yuqoolu lahu Muhammad Kholaf, dengan penuh gaya dia mengatakan, “Muhammad Kholaf sudah tobat di hadapan saya.” Padahal Muhammad Kholaf ini salah seorang yang dihujani tahdziran para ulama hingga kini (bagi yang ingin mengetahui lebih lanjut rojul ini silahkan melihat tulisan akhuna Ustadz Muhammad Umar as-Sewed hafizhahullah).
Mereka para adznab sururiyyun itu kemudian diundangnya di majlisnya Ma’had Ihya`us Sunnah –yang lebih cocok disebut dengan Imaatatis Sunnah-, hubungannya semakin dekat dengan mereka, menyebabkan dirinya semakin jauh dari salafiyyin [sempat terlontar dari mulutnya bahwa dia ditinggalkan teman-temannya salafiyyin, justru sebenarnya dialah yang memisahkan diri dari salafiyyin dan bergabung dengan adznab sururiyyah, dia bukan orang yang tidak mengerti masalah ini]. Dia semakin mustafidh di dalam hal ilaqoh / hubungannya dengan lembaga-lembaga hizbiyyah, bahkan pernah diundangnya seseorang (yang menurutnya Syaikh) dari Ihya`ut Turots Kuwait, inna lillahi wa inna ilaihi roji’un.
Dalam satu kesempatan dia pernah ditanya oleh seorang mustami’nya mengenai lembaga Ihya`ut Turots, apa jawabnya, “Kita belum jelas dengan keberadaan lembaga itu, kalau memang hizbi, maka kita tinggalkan.” Jawaban inilah yang disinyalir olehnya akan dapat meloloskan dirinya dari kenyataan hakikat lembaga itu, tanpa dia sadari bahwa sebenarnya dengan jawabannya itu semakin memperjelas posisinya, dimana dengan pernyataannya itu sudah tercium bau-bau pembelaan terhadap Ihya`ut Turots yang kemudian dikuatkan lewat ilaqoh-ilaqohnya bersama lembaga tersebut, ya hadza! Kalau sekiranya menurutmu bahwa lembaga itu belum jelas keberadaannya, maka minimal seharusnya kamu diam tidak berhubungan dengannya!
Bukan malah sebaliknya bermuamalah bersama lembaga itu bahkan mendatangkan orang-orangnya, faham macam apa ini?!! Rupanya saat ini sudah pandai membuat manhaj jadidah! Benarlah apa yang dikatakan sya’ir
أوردها سعد و سعد مشتمل # ما هكذا تورد يا سعد إبل
Dia berpura-pura bodoh -kalau tidak sebenarnya demikian- dia cukup tahu kalau para ulama memberikan pernyataan lembaga itu adalah lembaga hizbiyyah, bahkan selalu terdengar saat penulis dan dia masih sama-sama di Yaman sentilan-sentilan pedas dari Syaikh Yahya al Hajury dengan kata-kata, “Turotsi!… Turotsi!!!” Apakah kemudian dikatakan “Kita belum jelas dengan keberadaan lembaga itu”??? Salah seorang pendiri dan yang berperan penting pada lembaga itu adalah Abdurrohman Abdul Kholiq, orang yang dinyatakan mubtadi’ oleh Syaikhan, Syaikh Muqbil dan Syaikh Al Albani rahimahumallah dan masyayikh (ulama-ulama) lainnya. Dia tahu bagaimana Syaikh Muqbil mewanti-wanti dari bermuamalah dengan lembaga-lembaga hizbiyyah, lembaga-lembaga yang tidak jelas. Tetapi memang ceritanya lain bila sudah urusannya hawa (nafsu, red) dan tawar-menawar harga. Seorang sya’ir berkata,
عجبت لمبتاع الضلالة بالهدى # ومن يشتري دنياه بالدين أعجب
Kaum muslimin rahimakumullah, hati itu lemah sedangkan syubhat senantiasa menyambar-nyambar hati yang lemah itu. Makanya Allah Jalla Jalaaluhu mengingatkan kita dengan firmanNya, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudhorotan bagimu.” (QS Ali Imron: 18).
Kita dilarang untuk bergaul bersama ahli bid’ah, sebab seseorang itu akan dihukumi sesuai dengan keadaan temannya yang di sampingnya. Abdullah ibnu Mas’ud mengatakan, “Perhatikanlah manusia itu siapa-siapa saja yang ada di sampingnya, sesungguhnya seseorang tidak akan berdampingan kecuali dengan yang disenanginya.” Sufyan ats Tsauri ketika datang ke kota Bashroh, ia bertanya tentang madzhabnya Rabi’ ibnu Subaih, orang-orang yang ada di situ menjawab, “Ia tidak bermadzhab melainkan sunnah!” “Siapa teman-temannya?” tanya Sufyan. Mereka menjawab, “Ahli qodar!” Kemudian Sufyan berkata, “Dia seorang Qodari!!!” Betapa banyak atsar-atsar salaf yang seperti ini.
Bila saja para salaf sedemikian hati-hatinya, mana kehati-hatianmu dalam hal ini ya… Qotaad?! Mana pula pengakuanmu bahwa dirimu duri bagi ahli bid’ah? Jika keadaanmu demikian, maka “duri” itu akan berbalik huruf menjadi “ridu” karena aliran dana yang cukup deras dari lembaga-lembaga hizbiyyah, pantaslah bila kemudian kamu memimpi-mimpikan untuk membeli lapang Dadaha (Tasikmalaya) –hebatnya mimpi orang yang kelebihan duit-, dirimu hanya akan menjadi bahan tertawaan ahli bid’ah dan sampah bagi ahlissunnah jika tidak mau berubah. Keberadaanmu di pihak adznab sururiyyah akan menjadi tazkiyah bagi mereka, mereka tidak butuh kamu tetapi butuh label “murid Syaikh Muqbil”. Di akhir tulisan ini, ya… Qotaad, segeralah tinggalkan olehmu para adznab sururiyyah itu -bila kamu tidak ingin tergolong seperti mereka- tinggalkan lembaga-lembaga hizbiyyah itu –bila kamu menginginkan kebaikan. Wallahul Musta’an… Wal ‘Ilmu indallah wal hamdulillahi robbil ‘alamin.
Yang faqir di hadapan Robbnya,
Abu Hamzah al Atsari.
17 Rajab 1424 (14/09/2003)
(Dikutip dari tulisan al Ustadz Abu Hamzah Yusuf yang dikirim al akh Uuh Muhdy Zaeny)
sumber: http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=249