Jawaban Untuk Saudaraku ALI ABBAS -hadanallohu wa iyyah-
بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله والصلاة والسلام على من لانبي بعده وعلى آله وأصحابه ومن والاه أما بعد:
Namun kenyataannya berbeda, Beliau semakin berusaha untuk membela kesalahan yang terjadi, Wallahul Musta’an.
Oleh karenanya, berikut ini adalah jawaban dari bantahan Ali Abbas terhadap tulisan pertama saya. Dari tanggapan surat Al-Akh Abu Muqbil Ali Abbas -waffaqanallahu wa iyyaah-, maka kami katakan:
Pertama:
Ali Abbas -Hadanallahu wa iyyah- mengatakan:
“Telah sampai kepada kami tulisan Askari -hadaahulloh- (Pembina/Pimpinan Yayasan as-Salaf (?)”,… Selesai penukilan ucapan.
Kami katakan:
Sekedar untuk mengklarifikasi ucapan yang disebutkan bahwa saya sebagai “Pembina/Pimpinan Yayasan as-Salaf (?)”, yang benar bahwa saya adalah salah seorang pengajar pondok pesantren Ibnul Qayyim di Balikpapan. Adapun yang tertulis dalam kepengurusan yayasan tentang disebutnya nama salah seorang ikhwan kita sebagai “pimpinan yayasan”, atau sebagian ikhwan yang menyebut saya sebagai “Pimpinan Pondok”, hanyalah merupakan formalitas semata, yang tidak memiliki nilai sedikitpun dalam perjalanan dakwah salafiyah dan ma’had Ibnul Qayyim tersebut.
Sebab bagaimanapun, Al-Haq merupakan perkara yang wajib didahulukan atas segala sesuatu. Seperti halnya Al-Jami’ah Al-Islamiyah di Madinah Nabawiyah, yang ketika itu dipimpin oleh Samahatus Syaikh Abdul Aziz bin Baaz Rahimahullah Ta’ala, dan para ulama kibar banyak yang menjadi pengajar di Al-Jami’ah Al-Islamiyah, diantaranya Al-Imam Al-Albani Rahimahullah, Al-Allamah Asy-Syinqithi Rahimahullah, dan yang lainnya. Namun masing-masing mereka berhak menentukan apa yang menurut mereka bahwa itu merupakan Al-haq yang wajib untuk diikuti.
Kedua:
Ali Abbas berkata:
“Mengenai koreksi beliau terhadap terjemahan dari pertanyaan yang diajukan kepada syaikh yang mulia Robi’ Al-Madkholy -hafidzahulloh ta’ala- pada kalimat :
لنفس الغاية
Dimana pada terjemahan yang lalu kami artikan “dibawah naungan yayasan” dengan pengoreksian Askari –hadaahulloh- “dengan tujuan yang sama“
Dari koreksi tersebut, kami jawab bahwa siapa saja yang memperhatikan pertanyaan yang pertama dan jawaban Syaikh Robi’ -semoga Alloh menjaganya- dengan nasehat beliau untuk menjauhi yayasan-yayasan sebab itu adalah penyebab terpecahnya salafiyyun dan munculnya hizbiyyah, maka ia akan mengetahui bahwa kalimat لنفس الغاية , pada pertanyaan yang ke-dua berputar pada masalah mendirikan markaz ilmiah atau dengan kata lain ma’had atau pondok dengan tujuan yang sama (maksud nya disini adalah sama dalam cara yang ditempuh pada pertanyaan yang pertama, yakni dengan cara menggunakan yayasan dengan bahasa kami pada terjemahan yang lalu “dibawah naungan yayasan”. Selesai penukilan ucapan Ali Abbas.
Kami jawab:
Jawaban terhadap ucapan ini dilihat dari beberapa sisi:
1- Ali Abbas -Hadanallahu wa iyyah- terlalu memaksakan untuk membawa lafazh (لنفس الغاية) kepada makna “dibawah naungan yayasan”, padahal sangat jelas ini merupakan penakwilan yang sangat jauh sekali, terlebih bagi orang yang pernah belajar bahasa Arab. Bagaimana mungkin anda bisa mengatakan “siapa saja yang memperhatikan pertanyaan pertama…”, lalu siapa yang lebih pantas disebut sebagai ahli ta’wil? Ada perumpamaan Arab yang mengatakan:
عَنْزٌ وَلَوْ طَارَتْ
“Itu kambing meskipun terbang”!?
Berusaha membawa maksud penanya kepada keinginannya, sangat nampak kesalahannya.
2- Lalu bagaimana anda menta’wil penukilan Muhammad bin Khalifah Al-Maghribi berikut ini (dan telah kami nukil dalam tulisan pertama):
“…tatkala Ikhwah salafiyin bertanya kepada Syaikh Rabi’ : “Wahai Syaikh, kami memiliki markaz salafi sekarang di Amsterdam, dan memungkinkan Engkau menyampaikan ceramah lewat telepon?”. Beliau menjawab:
اتركوا المراكز كل الشر أتانا من المراكز عليكم بالمساجد
“Tinggalkan markaz-markaz, semua kejahatan datang kepada kami melalui markaz-markaz. Hendaknya kalian memilih masjid.” Selesai.
Apakah anda juga akan membawanya kepada yayasan? Jika iya, berarti semakin jelas siapa sesungguhnya yang berhak menyandang gelar ahli ta’wil, karena dalam pertanyaan sama sekali tidak menyebutkan tentang yayasan.
3- Kalaulah yang dimaksud oleh penanya (Hamid Al-Junaibi) kepada Syaikhuna Rabi’ Hafizhahullah Ta’ala, tentang pondok pesantren yang “dibawah naungan yayasan”, lalu untuk apalagi sipenanya bertanya tentang hal yang menyangkut yayasan sementara Syaikh telah menjawab pada pertanyaan sebelumnya yang menjelaskan masalah yayasan, dan Beliau menasehati untuk meninggalkannya. Ini sama saja menisbatkan kepada Syaikh Hamid Al-Junaibi sebagai orang yang tidak faham dengan jawaban Syaikh Hafizhahullah, karena ketika Syaikh telah menjawab, kok malah bertanya lagi dengan pertanyaan yang sama intinya, yaitu masalah yayasan. Inilah yang biasa disebut “tah–shilul hashil”, mempertanyakan kembali sesuatu yang sudah ada jawabannya.
4- Yang bertanya tentu lebih memahami maksud pertanyaannya, coba anda perhatikan penjelasan Syaikh Hamid Al-Junaibi Hafizhahullah berikut ini:
وكنتُ قد سألتُ الشيخ حفظه الله تعالى عن إقامة المراكز لاستقدام المشايخ الفضلاء لنفس الغاية
“Aku yang bertanya kepada Syaikh Hafizhahullah Ta’ala tentang mendirikan markaz-markaz guna “mendatangkan para masyayikh yang mulia” dengan tujuan yang sama…”
Para pembaca yang budiman, coba anda perhatikan ucapan Syaikh Hamid Al-Junaibi yang menafsirkan pertanyaan Beliau sendiri “dengan tujuan yang sama“ yaitu mendatangkan masyayikh dan tujuan yang lainnya yang disebutkan dalam pertanyaan pertama.
Siapa yang lebih berhak memahami pertanyaan, sipenanya ataukah Ali Abbas ??, waffaqanallahu wa iyyaah.
Perlu diketahui bahwa Penjelasan Syaikh Hamid Al-Junaibi Hafizhahullah Ta’ala tersebut untuk membantah salah seorang pengisi komentar dalam situs “kullas salafiyin” yang menyebutkan bahwa kejadian di Irak adanya seseorang yang merubah nama “markaz as-sunnah” menjadi “Madrasah as-sunnah”. Jadi memang permasalahannya seputar markaz, bukan yayasan.
Ketiga:
Ucapan Ali Abbas -hadanallahu wa iyyah-
“Adapun memahami ucapan Syaikh Robi’ sebagaimana yang difahami oleh Askari bahwa Syaikh Robi’-hafidzohulloh- melarang mendirikan markaz ilmiah (pondok pesantren) secara mutlak melalui yayasan atau tidak adalah pemahaman yang sangat jauh, sebab dari ucapan Syaikh Robi’ yang masyhur beliau senantiasa menganjurkan seseorang untuk rihlah menuntut ilmu kemarkaz-markaz salafiyyah (pondok-pondok pesantren salafy ) seperti ke Darul-Hadits di Dammaj yang mana sejak awal didirikannya oleh Asy-Syaikh Al-Muhaddist Muqbil bin Hady Al-Waadi’iy -rohimahulloh- hingga sampai sekarang dibawa pimpinan Asy-Syaikh Al-Muhaddist An-Naashihul-Amiin Yahya bin ‘Ali Al-Hajury –hafidzohulloh- jauh dari embel-embel yayasan sehingga dari sini sangatlah jelas bahwa yang dimaksud oleh Asy-Syaikh Robi’ -hafidzohulloh- dari larangan mendirikan markaz pada jawaban dari pertanyaan yang kedua adalah markaz-markaz (pondok-pondok) yang dibangun dibawah naungan yayasan bukan markas(pondok) secara mutlak.” Selesai
Jawaban kami :
Dari ucapan Ali Abbas ini, kami semakin yakin bahwa Ali Abbas benar-benar tidak memahami maksud ucapan Syaikhuna Rabi’ bin Hadi -Sallamahullah-.
Tolong dilihat kembali penjelasan kami pada tulisan pertama, kami mengatakan dalam menjelaskan fatwa Syaikhuna Al-Walid Rabi’ Hafizhahullah:
“Jadi sekali lagi, Syaikh Rabi’ Hafizhahullah Ta’ala dari penukilan Hamid Al-Junaibi, tidak hanya mempermasalahkan mendirikan yayasan, namun juga mempermasalahkan mendirikan markaz/ pondok pesantren yang meninggalkan masjid sebagai tempat utama untuk belajar dan mengajar.” Selesai penukilan dari tulisan pertama kami.
Perhatikan pada tulisan yang dicetak tebal, lalu cocokkan dengan fatwa Syaikhuna Rabi’ Hafizhahullah, sangat jelas bahwa Beliau menganjurkan untuk meninggalkan markaz-markaz yang meninggalkan masjid sebagai tempat utama dalam menuntut ilmu. Perhatikan jawaban Syaikhuna setelah itu:
(يُقيمون الدروس في المساجد – بارك الله فيك – ، عليهم بإقامة الدروس في المساجد)
“ Hendaknya mereka membuat pelajaran- pelajaran di masjid-masjid -semoga Allah memberi berkah padamu-, hendaknya mereka membuat pelajaran-pelajaran di masjid-masjid.”
Nah, sekarang saya ingin bertanya kepada saudara kami Ali Abbas, menuntut ilmu di Dammaj dilakukan dimana? Di masjid ataukah di kelas-kelas? Tentu jawabannya jelas, yaitu di masjid. Oleh karenanya, sangat masyhur dari fatwa-fatwa Syaikhuna Rabi’ Hafizhahullah Ta’ala bahwa Beliau menganjurkan mendatangi markaz-markaz salafiyah yang menjadikan masjid sebagai tempat utama dalam menuntut ilmu, seperti di Dammaj, di Fuyusy Aden, markaz Syaikh Abdurrahman Al-Adani Hafizhahullah Ta’ala, dan yang lainnya.
Oleh karenanya, Syaikh Hamid Al-Junaibi berkesimpulan bahwa Syaikh Rabi’ Hafizhahullah tidak mengharamkan yayasan sebagaimana Beliau tidak mengharamkan markaz-markaz / pondok pesantren yang tidak menjadikan masjid sebagai tempat utama dalam menuntut ilmu, namun mengarahkan kepada yang lebih afdhal dan yang lebih utama. Berkata Hamid Al-Junaibi:
“Yang perlu diperhatikan disini, bahwa Syaikh tidak mengatakan “tidak boleh mendirikan markaz ilmu”, namun Beliau menasehati agar pelajaran-pelajaran dilakukan di masjid-masjid.”
Beliau juga berkata :
فلا أظنُّك تفهم أنَّ الشيخ يُحرِّم الجامعات ، والمعاهد الشرعية ؟؟!!
“Maka saya tidak menyangka, bahwa kamu memahami bahwa Syaikh mengharamkan seluruh universitas, dan ma’had-ma’had syar’i ??!!.”
Dari beberapa keterangan ini sangat jelas sekali bahwa Syaikh Hamid memaksudkan pertanyaan Beliau adalah markaz-markaz, demikian pula jawaban Syaikhuna Rabi’ Hafizhahullah Ta’ala menganjurkan untuk meninggalkannya, disebabkan karena tidak menjadikan masjid sebagai tempat utama dalam menuntut ilmu. Sehingga ma’had-ma’had dan yayasan-yayasan yang berstatus sebagai “payung ma’had-ma’had salafiyah” dalam menjalankan kegiatan dakwah yang bersifat legal, yang jauh dari pemahaman hizbiyah, jauh dari cara-cara penggalangan dana model hizbiyah, fokus dalam pendidikan dan menuntut ilmu, tidak meluas dalam mengurusi hal-hal yang lain, tidak ada bai’at, tidak ada pemilu, tidak menjadikan yayasan sebagai sesuatu yang dibanggakan dan diperebutkan kepemimpinannya seperti yang dilakukan oleh sebagian orang, dan tidak menjadikannya sebagai bentuk “al-wala wal bara”, jauh dari hal-hal yang bersifat menyelisihi syari’at Islam, dan menjadikan masjid sebagai tempat utama dalam menuntut ilmu, yang demikian bukanlah sesuatu yang terlarang, dan kami tidak mengetahui seorang pun dari kalangan para ulama yang melarangnya, apalagi mengharamkannya.
Keterangan :
Para pembaca yang budiman, kami mohon maaf karena keterbatasan waktu kami, dan kesibukan kami dalam menuntut ilmu di ma’had Ibnul Qayyim -Harosahallah-, tulisan ini akan kami lanjutkan jika ada kesempatan Insya Allah Ta’ala, semoga bisa dimaklumi.
….. (Bersambung Insya Allah)
Ditulis oleh:
Abu Muawiyah Askari bin Jamal
14 safar 1433 H
Artikel terkait:
Pembelaan Terhadap Asy Syaikh Rabi’ bin Hadi Al Madkhali hafizhahullah
Yayasan Dan Markaz Sebab Perpecahan
Benarkah Istilah “USTADZ” Adalah Gelar Ikhwanul Muslimin Untuk Memanggil Da’i atau Penuntut Ilmu?
Fatwa Tentang Jum’iyyah dan Yayasan
Sekali Lagi Tentang Jum’iyyah dan Yayasan